• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURVEILAN KASUS PENYAKIT AKIBAT PANGAN

Konsep surveilan penyakit akibat pangan (foodborne disease surveillance) sering dipahami hanya sebagai kegiatan pengumpulan data dan penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan. Pengertian tersebut menyembunyikan makna analisis dan penyebaran informasi sebagai

bagian yang sangat penting dari proses kegiatan surveilan penyakit akibat pangan tersebut. Menurut WHO (2000), surveilan adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan terus-menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil suatu tindakan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu definisi surveilan penyakit akibat pangan yang lebih mengedepankan analisis atau kajian penyakit akibat pangan serta pemanfaatan informasi penyakit akibat pangan, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan surveilan kasus penyakit akibat pangan adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus-menerus terhadap penyakit akibat pangan atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan faktor risiko penyakit akibat pangan agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi tentang penyakit akibat pangan kepada pihak terkait dengan masalah keamanan pangan. Kasus dalam kegiatan surveilan ini adalah pasien atau orang (perseorangan) yang mengalami atau menderita penyakit akibat pangan.

2. Definisi Kasus Penyakit Akibat Pangan

Kasus setiap penyakit akibat pangan harus didefinisi secara jelas. Hal tersebut penting dilakukan dalam surveilan kasus penyakit akibat pangan sehingga diharapkan data yang tersedia akurat dan berkualitas. Maksud data yang berkualitas adalah data yang ada untuk setiap jenis penyakit tidak melebihi kasus yang secara faktual terjadi di masyarakat (over estimate) maupun tidak terlalu jauh lebih kecil dari kenyataan yang ada di lapang (under estimate). Oleh karena itu, untuk menentukan data yang akurat dan faktual tersebut diperlukan adanya pemeriksaan laboratorium sebagai penguat diagnosis klinis yang dilakukan oleh dokter. Hal ini penting, karena jenis penyakit tertentu mungkin mempunyai gejala (symptoms) yang hampir sama dengan jenis penyakit lainnya. Sebagai

contoh, gejala diare berdarah dapat disebabkan oleh adanya penyakit shigellosis ataupun campylobacteriosis (Black et al., 1988; Wallis, 1994). Untuk tujuan surveilan, kasus penyakit akibat pangan didefinisikan menurut status diagnosis. Berdasarkan status diagnosisnya, kasus penyakit akibat pangan terbagi dalam dua kategori yaitu :

a) Kasus penyakit yang bersifat dugaan (suspected case)

Kasus penyakit yang bersifat dugaan adalah kasus penyakit akibat pangan dimana penetapan agen penyebab penyakit tersebut hanya berdasarkan dugaan (suspected) dari gejala klinis yang ada, tanpa dilengkapi dengan hasil analisis spesimen dari laboratorium, sehingga diagnosis yang ada tidak pasti (unconfirmed).

b) Kasus penyakit yang bersifat tetap (confirmed case)

Kasus penyakit yang bersifat tetap adalah kasus penyakit akibat pangan yang didiagnosis secara klinis oleh petugas kesehatan (dokter) dan dilengkapi dengan hasil pengujian spesimen oleh laboratorium untuk menentukan agen penyebab penyakit tersebut secara pasti (confirmed).

Pendefinisian kasus penyakit akibat pangan ini berkontribusi dalam menyediakan data kasus penyakit akibat pangan yang ilmiah. Data yang ilmiah tersebut merupakan salah satu pendukung dasar (evidence base) penetapan kebijakan, disamping landasan non ilmiah (Sparringa, 2002). 3. Pelaporan Kasus Penyakit Akibat Pangan

Penyakit akibat pangan sebagai salah satu masalah keamanan pangan di Indonesia akan menjadi ‘bom waktu’ yang dapat ‘meledak’ sewaktu-waktu bila tidak tertangani dengan baik. Pola pelaporan penyakit akibat pangan mengikuti pola ‘gunung es’ yaitu suatu pola dimana kasus penyakit akibat pangan yang terlapor sangat sedikit dan berada pada puncak gunung atau permukaan saja, sedangkan data kasus yang sebenarnya terjadi jauh lebih besar dari keadaan yang ada di permukaan (Rocourt et al., 2003). Keadaan ini dapat dilihat pada kejadian maupun kasus busung lapar yang sedang di sorot banyak media akhir-akhir ini. Pola pelaporan kasus penyakit akibat pangan ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat banyak informasi yang hilang pada setiap langkah sebelum kasus terlaporkan pada institusi kesehatan yang berwenang (health authority) untuk dijadikan sebagai sumber informasi dalam surveilan kasus penyakit akibat pangan.

Sebagian besar kasus penyakit akibat pangan yang terlaporkan saat ini, merupakan kasus yang masih bersifat syndromic, artinya hanya berdasarkan gejala klinis dan belum terkonfirmasi dengan uji laboratorium sehingga jenis penyakit yang terlapor belum jelas berdasarkan agen penyebabnya, misal: listeriosis, salmonellosis. Meskipun beberapa kasus penyakit wajib untuk dilaporkan, tetapi dalam kenyataannya belum terimplementasi dengan baik. Pada umumnya hanya kasus yang bersifat ‘sporadic’ dengan kondisi atau gejala kasus yang parah saja terlaporkan secara lengkap dibandingkan data kasus penyakit akibat pangan dengan gejala ringan, misalnya diare. Sebagai konsekuensinya, banyak kasus tidak terlaporkan dan menjadi masalah utama dalam analisis dan interpretasi data, sehingga informasi yang dihasilkan kurang representatif.

Populasi masyarakat Terlapor Pada Departemen Kesehatan Kasus terkonfirmasi Pengujian laboratorium Pengumpulan spesimen

Penderita yang mendapatkan perawatan medis

Orang yang menderita penyakit akibat pangan

Sumber : Rocourt et al. (2003)

Gambar 2 di atas dapat menunjukkan lemahnya sistem surveilan panyakit akibat pangan di Indonesia. Saat ini Badan POM RI melalui Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan telah mengembangkan sistem penanganan, penanggulangan maupun pelaporan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan, khususnya yang bersifat point sources atau “point sources foodborne disease outbreak”. Data KLB keracunan pangan tersebut hanya menggambarkan sedikit potret keamanan pangan yang ada di Indonesia. Sedangkan kasus penyakit akibat pangan sporadis yang sering terjadi dengan jumlah korban yang jauh lebih besar dan mempunyai potensi KLB belum diketahui dengan pasti. Hal ini terjadi karena lemahnya sistem surveilan penyakit akibat pangan yang ada di Indonesia. Untuk mendukung surveilan kasus penyakit akibat pangan tersebut diperlukan adanya perangkat pendukung yang baik, salah satunya Sumber : Majowicz (2001)

Keterangan : warna putih menunjukkan “tidak ada data” kasus penyakit akibat pangan Gambar 2. Peta angka insiden kasus penyakit akibat pangan

dengan sistem pelaporan kasus penyakit akibat pangan dari rumah sakit, puskesmas, klinik maupun pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat secara terpadu.

Blok putih pada Gambar 2 diatas menunjukkan bahwa data kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease) di Indonesia belum tersedia, sehingga belum dapat diakses oleh masyarakat luas, baik masyarakat internasional maupun regional (ASEAN). Bila dibandingkan dengan negara- negara asia lainnya, surveilan kasus penyakit akibat pangan (foodborne disease case surveillance) di Indonesia masih lemah, sama halnya dengan negara-negara dunia ketiga yang ada di benua Afrika (dengan blok putih). Untuk itu diperlukan usaha yang sangat besar dari pemerintah untuk terus meningkatkan surveilan penyakit akibat pangan di Indonesia.

4. Penyakit Akibat Pangan yang Wajib Dilaporkan

Setiap wilayah/negara mewajibkan pelaporan kasus beberapa jenis penyakit akibat pangan yang berbeda-beda, tergantung jenis kasus penyakit akibat pangan yang paling sering dan paling potensial terjadi di suatu wilayah tertentu berdasarkan studi epidemiologi yang telah dilakukan. Pada Tabel 4 dapat dilihat beberapa jenis penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan (notifiable foodborne disease) di beberapa negara.

Berdasarkan Tabel 4 di bawah, pada negara-negara yang telah maju semakin banyak jenis penyakit akibat pangan (foodborne disease) yang wajib dilaporkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada negara maju, perhatian pemerintahnya terhadap masalah kesehatan sangat besar. Dapat dilihat pada Tabel 4 tersebut, terdapat beberapa jenis penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan pada hampir semua negara, diantaranya: kolera, shigellosis (kecuali Malaysia), typhoid, dan hepatitis A (kecuali Canada). Hal itu menunjukkan bahwa penyakit-penyakit tersebut merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global.

Tabel 4. Penyakit akibat pangan yang wajib dilaporkan di beberapa negara Jenis/syndrome penyakit akibat pangan (penyebab penyakit ) Negara Amerika Serikat 1 Canada

2 Indonesia 3 Australia 4 Malaysia 5 Botulisme (C. botulinum) x x Kolera (Vibrio cholerae) x x x x x Shigellosis x x x x Listeriosis x x x Infeksi E. coli (termasuk E. coli O157:H7) x x HUS x Salmonellosis x x x Typhoid x x x x x Paratyphoid x x Yersiniasis (Yersinia enterocolitica) x Campylobacteriosis x x Brucellosis x Anthrax x Cryptosporidiosis (Cryptosporidium parvum) x x Cyclosporiosis (Cyclospora sp.) x x Giardiasis (Giardia) x x Trichinosis (Trichinella spiralis) x x Chlamydia x x Amubiasis x x Hepatitis A x x x x Dysentery x x Keracunan pangan (food poisoning) x Diare x Sumber : 1. CDC (2003) 2. PHAC (2000) 3. Departemen Kesehatan (2004) 4. OzFoodnet (2003) 5. FAO/WHO (2004)

5. Angka Insiden (Incident Rate), Angka Kematian (Case Fatality Rate) dan Angka Kunjungan (Admission Rate) Kasus Penyakit Akibat Pangan

Untuk mengetahui dan menentukan tingkat keseringan (prevalensi) maupun tingkat keparahan penyakit akibat pangan pada suatu tempat atau propinsi dapat dilakukan dengan penghitungan angka insiden (incident rate). Incident rate adalah nilai perbandingan antara jumlah korban (kasus) per 100.000 penduduk (Imari, 2004). Dengan angka insiden, dapat diketahui juga tingkat keparahan (severity) suatu penyakit akibat pangan dibandingkan dengan penyakit akibat pangan lainnya, ataupun tingkat keparahan penyakit akibat pangan pada suatu tempat/daerah/propinsi dibandingkan pada tempat/ propinsi lainnya. Hal ini berguna untuk menentukan prioritas program keamanan pangan pada wilayah di Indonesia sehingga hasil yang diharapkan akan lebih efektif dan efisien.

Selain incident rate (IR), tingkat keparahan penyakit akibat pangan pada suatu daerah dalam suatu waktu tertentu dapat diketahui dengan menghitung nilai case fatality rate (CFR). Case fatality rate adalah nilai perbandingan antara jumlah korban meninggal (kasus meninggal) dengan total jumlah korban (jumlah kasus yang terjadi) selama kurun waktu tertentu. Propinsi dengan CFR tertinggi berarti kejadian kasus penyakit akibat pangan di wilayah tersebut mengakibatkan korban meninggal terbanyak dibanding daerah (propinsi) yang lain. Apabila CFR pada suatu waktu tertentu (tahun atau bulan) mempunyai nilai tertinggi berarti kejadian kasus penyakit akibat pangan pada waktu tersebut mengakibatkan korban meninggal terbanyak dibandingkan pada waktu-waktu yang lain.

Admission ratedihitung berdasarkan jumlah kunjungan per jumlah kasus baru (pasien rawat jalan) pada rumah sakit. Admission rate hanya berlaku untuk kasus pada rawat jalan. Kasus baru pada pengobatan dengan rawat jalan adalah pasien (kasus) yang berkunjung untuk kali pertama pada suatu rumah sakit atau puskesmas dengan gejala atau penyakit tertentu. Apabila kasus tersebut berkunjung pada rumah sakit/klinik/puskesmas dengan jenis penyakit yang sama, maka pasien tersebut bukan disebut sebagai kasus baru. Admission rate ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kunjungan kasus dengan jenis penyakit akibat pangan tertentu dan

menentukan jenis penyakit akibat pangan yang paling umum (common) terjadi di suatu wilayah/negara tertentu (Erfandi; Djauzi, personal communication. 2005).

6. Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan

Pelaporan kasus penyakit akibat pangan merupakan bagian dari kegiatan surveilan penyakit akibat pangan. Hal tersebut penting dilakukan untuk mengetahui kecenderungan (trend) penyakit akibat pangan pada suatu tempat/daerah/wilayah (negara ataupun propinsi) dalam kurun waktu tertentu. Kecenderungan kejadian kasus penyakit akibat pangan dapat digunakan sebagai kewaspadaan dini (early warning) akan adanya kejadian luar biasa keracunan pangan/penyakit akibat pangan.

Kejadian luar biasa (KLB) menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.560/MENKES/PER/VIII/1989 adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu (Departemen Kesehatan, 2003). Sedangkan menurut WHO (World Health Organization), KLB keracunan pangan (foodborne disease outbreak) didefinisikan sebagai suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit setelah mengkonsumsi pangan yang secara epidemiologis terbukti sebagai sumber penularan (Sparringa, 2002).

Berdasarkan skala kejadiannya, kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu :

a) Protracted foodborne disease outbreak

Protracted foodborne disease outbreak adalah kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan (foodborne disease outbreak) yang terjadi pada masyarakat atau suatu tempat secara terus menerus tanpa diketahui waktu paparannya, misal: KLB diare pada suatu area A yang terjadi pada waktu tertentu dan secara epidemiologis disebabkan oleh air atau pangan yang tercemar oleh bakteri patogen.

b) Point source foodborne disease outbreak

Point source foodborne disease outbreak adalah KLB yang terjadi pada suatu tempat yang diketahui waktu paparannya secara

epidemiologis disebabkan mengkonsumsi pangan yang sama, misal: KLB keracunan pangan pada suatu pesta akibat mengkonsumsi pangan tercemar yang dihidangkan dalam pesta tersebut (Sparringa, 2005). 7. Keparahan (Severity) Penyakit Akibat Pangan

Penyakit akibat pangan merupakan masalah kesehatan yang paling umum terjadi dibandingkan jenis penyakit yang lain. Data pada Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi (kolitis infeksi) merupakan penyakit utama yang diderita oleh pasien (kasus) rawat inap pada rumah sakit di Indonesia (Departemen Kesehatan, 2004). Bahkan menurut Rocourt et al. (2003), salah satu penyakit akibat pangan yang secara klinis paling banyak terjadi di dunia adalah gastroenteritis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri, virus atau parasit. Biasanya penyakit ini mempunyai masa inkubasi yang pendek yaitu antara 1-2 hari sampai 7 hari. Masa atau waktu inkubasi adalah masa atau periode antara konsumsi pangan yang terkontaminasi oleh mikroorganisme dengan terjadinya gejala sakit.

Penyakit akibat pangan dapat menyebabkan tingkat keparahan yang bervariasi, dari gejala penyakit yang ringan, dimana tidak memerlukan perawatan kesehatan sampai dengan terjadinya kematian. Mead et al. (1999) menyatakan bahwa di Amerika Serikat, angka pasien yang masuk rumah sakit (hospitalization rate) untuk kasus penyakit akibat pangan mempunyai kisaran antara 0.6% sampai 29%. Artinya, dari seluruh kasus penyakit akibat pangan terdapat jenis penyakit akibat pangan tertentu dimana dari 1000 kasus yang terjadi, 6 hingga 290 orang/pasien perlu menjalani rawat inap. Hasil paparan penyakit diare akibat mikroorganisme patogen dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya : (1) keadaan imunitas atau kemampuan menghasilkan respon imun, (2) faktor nutrisi, (3) umur dan (4) faktor non spesifik (sebagai contoh, luka atau pasca cangkok organ). Sebagai hasilnya, kejadian, keparahan dan tingkat kematian (lethality) penyakit diare lebih tinggi pada beberapa segmen populasi tertentu, termasuk balita, wanita hamil, manusia dengan tingkat imunitas rendah (immunocompromised), misalnya pasien yang melakukan transplantasi

organ, pasien yang melakukan kemotherapi kanker, pengidap HIV/AIDS serta orang yang telah lanjut usia (Gerba et al., 1996).

Pelaporan kasus penyakit akibat pangan juga penting dilakukan sebagai dasar untuk melakukan kajian berbagai jenis penyakit sebagai implikasi (impact) adanya penyakit akibat pangan. Beberapa penyakit akibat pangan diketahui sebagai penyebab penyakit yang bersifat kronis (menahun). Sebagai contohnya adalah infeksi Vibrio parahaemolyticus septicaemia yang menyebabkan penyakit thalasemia (Hlady et al., 1996; Adam Kiewiciz et al., 1998). Infeksi E. coli O157:H7 dengan gejala diare berdarah dapat menyebabkan komplikasi serius sebagai manifestasi secara sistemik seperti haemolytic uremic syndrome (HUS). Penyakit HUS merupakan salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal dan kerusakan sistem syaraf (neurologi). Infeksi Campylobacter jejuni dapat menyebabkan sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre syndrome) yaitu gejala degenerasi sistem saraf dan ketidakmampuan menawar racun, salmonellosis dapat menyebabkan arthritis dan encephalitis toksoplasma yang bersifat kronis (Griffin et al., 1988; Rees et al., 1995; Thompson et al., 1995). Bahkan 2% sampai 3% dari seluruh kasus penyakit akibat pangan berpotensi menyebabkan penyakit yang bersifat kronis (komplikasi jangka panjang) (Lindsay, 1997).

D. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT AKIBAT PANGAN

Dokumen terkait