• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tafsir Surat al- An’am ayat 74 -79 1.Teks dan Terjemah Ayat

2. Tafsir Mufradat Ayat

ا صا : ashnâm, adalah bentuk jamak dari kata ّ ص (şanam), yaitu sesuatu yang dipahat dari kayu, dan dibentuk dari emas atau logam. Disebutkan dalam hadits bahwasannya aşnâm dan şanam yaitu sesuatu yang dijadikan sembahan selain Allah. Begitu pula diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dari Ibn ‘Arabi

bahwasannya ّ ص (şanam) yaitu gambar yang disembah.1 Dalam bahasa arab, terdapat sinonim kata ّ ص (şanam) yaitu ث (waśan) . Kata ّ ص (şanam)

diartikan sesuatu yang berwujud atau berbentuk, sedangkan ث (waśan) diartikan sebagai sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak berwujud. Sama halnya dengan

pendapat Ibnu ‘Arafah mengartikan ث (waśan) sesuatu yang dijadikan sesembahan yang tidak berbentuk sedangkan ّ ص (şanam) itu yang berbentuk. Ada juga yang berbeda dalam mengartikan kata ّ ص (şanam) dan ث (waśan). Kata ث (waśan) diartikan sebagai sesuatu yang berwujud dari kayu, atau batu, atau emas yang dipahat dan disembah, sedangkan ّ ص (şanam) tidak berbentuk. Terlepas dari perbedaan itu semua, kata yang sering digunakan yaitu kata ّ ص(şanam).

لاء : Âlihah yaitu segala sesuatu yang disembah.2 Bahkan ada yang berpendapat Matahari kadang disebut ilâh, karena ia disembah oleh orang-orang musyrik. Demikian pula dengan benda-benda lain yang menjadi ilâh apabila disembah oleh manusia. Âlihah merupakan bentuk jamak dari kata ilâh, menurut Ibnu Atsîr, lafadz ilâh berasal dari kata aliha-ya`lahu.3 Kata ilâh sendiri merupakan bentuk maşdar dari kata kerja alaha yang berarti menyembah atau

heran. Walaupun ilah berbentuk maşdar, namun ia mengandung arti ism maf’ûl,

1Ibnu Manťûr, Lisânul ‘Arabi, (Beirut: Dar Sader, 1997), Cet. I, h. 79

2Ibrâhîm Muşţafa, Mu’jam Al-Wasîţ, (Kairo: Dar Ad-Da’wa, ), h. 25

sehingga ilâh diartikan sebagai yang disembah atau yang diherankan. Disebut ilâh

karena ia disembah, atau karena ia menimbulkan keheranan pada akal manusia.4 Demikian pula para ulama mengartikan Ilâh dengan yang disembah

dengan menegaskan bahwa Ilâh adalah segala sesuatu yang disembah, baik penyembahan itu tidak dibenarkan oleh agama Islam; seperti terhadap matahari, bintang, bulan, manusia, atau berhala; maupun yang dibenarkan dan diperintahkan oleh Islam, yakni Dzat yang wajib wujud-Nya, Allah swt. Karena itu, jika seorang Muslim mengucapka Lâ Ilâha Illâ Allâh maka dia telah menafikan segala tuhan, kecuali Tuhan yang nama-Nya “Allah”.5

Selain diartikan sebagai sembahan, ada juga yang mengartikan bahwa ilâh

itu mengherankan atau menakjubkan, karena segala perbuatan ciptaan-Nya menakjubkan atau apabila dibahas hakikat-Nya, akan mengherankan akibat ketidak tahuan makhluk tentang hakikat Dzat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas di dalam benak menyangkut Dzat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan, “Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah, dan jangan berpikir tentang Dzat-Nya.”6

ي م لاض : đalâlim mubîn kata đalâl berasal dari kata đalla - yađillu - đalâl wa đalâlatan ( لاض لاض ط لضي ط لض). Kata ini terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf đâ’ (ءاض), lâm ( ا), dan lâm ( ا) – tasydid huruf lâm – yang menurut bahasa bermakna ‘kehilangan jalan’, ‘bingung’, atau ‘tidak mengetahui arah’. Di dalam konteks immaterial, kata đalla (لض) diartikan sebagai

‘sesat dari jalan kebajikan’, ‘meninggalkan jalan kebenara’, atau ‘menyimpang dari tuntunan agama’, atau lawan kata dari kata ‘petunjuk’. Mufasir wanita.

Aisyah bintu Asy-Syati’ merumuskan makna kata đalla (لض) sebagai ‘setiap

tindakan atau ucapan yang tidak menyentuh kepada kebenaran’.7

Kata đalâl dalam ayat ini disifati dengan kata mubîn, kata mubîn ini merupakan bentuk ism fâ’il dari abâna – yubînu – Ibânatan ( ابإ - ي ي ط ابأ),

4Ahsin W. al-Hafiż, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. II, h. 20

5M. Quraish Shihab, dkk, Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 77

6Ibid., h. 76

turunan huruf ba’, ya’ dan nûn, memiliki dua makna denotasi, yaitu ‘jarak’ dan ‘tersingkap’. Dari makna yang pertama, ‘jarak’, lahir bentuk lain, seperti bain ( يب

– pemisah, antara) karena merupakan batas yang jelas antara dua hal atau tempat.

Dari makna yang kedua, ‘tersingkap’, berkembang menjadi, antara lain:

‘menjelaskan’ karena menyingkap hal sesuatu; ‘fasih’ (ucapannya) karena lebih

jelas pengungkapannya, sehingga maksud tersingkap dengan jelas pula; bayân ( ايب - penjelasan) karena hal menyingkapkan makna yang masih samar-samar.8

Secara umum, kata mubîn di dalam al-Qur’an digunakan sebagai sifat

keadaan, baik yang menunjukkan sesuatu yang baik maupun sesuatu yang jelek. Dalam ayat ini, kalimat ( ي م لاض) menunjukkan kepada keadaan yang tidak baik, yaitu menjelaskan tentang kesesatan bapak dan kaum Nabi Ibrâhim as. yang menjadikan berhala sebagai tuhan mereka.

ي ق لا : al-mûqinîn adalah bentuk jamak dari mûqin, dan kata mûqin itu sendiri merupakan bentuk ism al-fâ’il ( لعافلا ّ ا = kata benda yang menunjukkan pelaku) dari kata ayqana – yûqinu – îqânan – mûqin ( ق م- ا اقياط ق يط قيا), dan kata mûqin terambil dari kata yaqîn. Kata yaqîn ini mengandung makna pengetahuan yang tidak disentuh dengan keraguan sedikit pun.

Selain itu, yakin itu sendiri memiliki arti sebagai pengetahuan yang mantap tentang suatu dibarengi dengan tersingkirnya apa yang mengeruhkan pengetahuan itu, baik berupa keraguan maupun dalih-dalih yang dikemukakan lawan. Sebelum tiba keyakinannya, seseorang terlebih dahulu disentuh oleh keraguan, namun ketika seseorang itu sampai pada tahap yakin maka keraguan yang tadinya ada akan menjadi sirna. Karena itu, kaum mûqinîn disifati sebagai

“orang-orang yang menemukan keyakinannya dalam dirinya, atau menemukan keimanannya dengan segenap indranya”.9

Yaqîn merupakan tingkatan ilmu yang lebih tinggi dari ma’rifah

(pengetahuan) dan dirâyah (pengetahuan). Oleh karena itu dikatakan - bukan

ma’rifatul-yaqîn. Yaqîn ada tiga tingkat: ‘ilmul-yaqîn, ‘ainul-yaqîn, dan

8Ibid., h. 1

yaqîn. Menurut orang-orang sufi, yaqîn ialah penglihatan mata kepala dengan kekuatan iman, tanpa dalil dan keterangan.10

ىبر : Rabbî, kata ىبر terbentuk dari dua kata yaitu rabb dan ya’

mutakallim wahdah sehingga kedudukannya menjadi iâfat yaitu terdiri dari

muaf dan muaf ilaih. Kata rabb ( ر) yang secara etimologis berati pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur yang menumbuhkan. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan karena Tuhanlah yang secara hakiki menjadi pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluk-Nya. Oleh sebab itu, kata tersebut biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata Tuhan.11 Al-Maragi mengartikan lafadz Rabbi yaitu Pemilikku dan pengatur usahaku.12

في ح : hanîf biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu. Kebalikan dari hânif adalah az-Zaig, artinya miring dari hak ke arah kebatilan, dari hidâyah kepada đalâlah.13 Dalam kitab tafsir jalalain, kata hanîf diartikan condong kepada agama yang lurus.14Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya kepada telapak pasangannya. Yang kanan condong ke arah kiri, dan kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan manusia dapat berjalan lurus. Kelurusan itu, menjadikan si pejalan tidak mencong ke kiri, tidak pula ke kanan. Ajaran Nabi Ibrâhim as. adalah hanîf, tidak bengkok, tidak memihak kepada pandangan hidup yang hanya memenuhi kebutuhan jasmani, tidak juga semata-mata mengarah kepada kebutuhan ruhani.15

Kata hanîf itu sendiri berasal dari akar kata hanafa. Kata tersebut apabila didefiasikan dari kata kerjanya yaitu hanafa – yahnifu – hanîfan, artinya condong atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Maksud kecenderungan disini yaitu kecenderungan kepada yang benar.

10M. Quraiş Şihab, dkk, Op. Cit., h. 1102

11Ibid., h. 801

12Ahmad Mustafa al-Maragi, TerjemahTafsir al-Maragi Terj. dari Tafsir al-Maragi oleh K. Anshori Umar Sitanggal, dkk, (Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1992), cet. II, h. 288

13Ahsin W. al-Hafiż, Op. Cit., h. 95

14Syaikh Jalâluddin bin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Syaikh Abdul ar-Rahman bin Abi Bakr as-Suyuţi, Tafsir Jalâlain, (tt.p., Haramain: 2007), Cet. VI, h. 120

15Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), Cet. I, h. 517

M. Dawam Rahardjo mengutip pendapat Hadrat Mirza Nâshir Ahmad yang merujuk kepada beberapa sumber bahwa kata hanîf memiliki beberapa makna:

a. Orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengarahkan dirinya kepada petunjuk;

b. Orang yang secara terus menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya;

c. Seseorang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus menerus mempertahankannya secara teguh;

d. Seseorang yang mengikuti agama Ibrâhim as. ; dan e. Orang yang percaya kepada seluruh nabi-nabi.16

يكرشم : Musyrikîn, kata musyrikîn merupakan bentuk jamak dari kata

musyrik. Dan kata musyrik itu sendiri merupakan bentuk ism al-fâ’il ( لعافلا ّ ا = kata benda yang menunjukkan pelaku) dari kata asyraka – yusyriku – isyrâk –

musyrik ( رشم ط ارشإ ط رشي ط رشأ), dan perbuatannya disebut syirk ( رش).

Secara bahasa, Ibnu Manťûr mengartikan kata syirk sebagai persekutuan dan bagian. Sementara al-Aşfahani mengartikan dengan percampuran dua hal atau lebih, baik secara substansi atau secara makna. Karena musyrik merupakan pelaku

syirk maka secara bahasa kata itu berarti orang yang melakukan persekutuan/perserikatan atau membagi bagian tertentu.

Adapun secara istilah, syirk berarti menjadikan sesuatu bersama Allah sebagai tuhan untuk bisa disembah. Sesuatu yang dimaksud bisa berbentuk benda hidup seperti binatang, pohon, atau benda mati seperti patung. Dengan kata lain, di dalam bentuk materi seperti matahari, bangunan, maupun immateri, yaitu ruh, jin, dan sebagainya. Dengan demikian, orang musyrik pada hakikatnya adalah orang yang mengingkari ke-Esaan Tuhan, apakah dari segala zat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Pengingkaran terhadap tiga segi tersebut konsekuensinya membawa kepada pengingkaran terhadap kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta

16M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. II, h. 62

dan pengendali alam semesta; namun, orang musyrik itu tidak mengingkari Allah sebagai Tuhan.17

Dokumen terkait