• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

2. Tahap Berpikir Van Hiele a. Definisi Bepikir

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu; menimbang-nimbang dalam ingatan.7 Menurut Ruggiero (dalam Tatag) mengartikan berpikir adalah suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau memecahkan suatu masalah,

membuat keputusan dan memenuhi hasrat keinginan (fulfit a destre to understand). Pendapat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merumuskan suatu masalah maka ia melakukan suatu aktivitas berpikir. Sedangkan menurut Tatag berpikir adalah merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan.8

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah suatu aktivitas mental yang dialami oleh seseorang dengan menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu dalam menghadapi masalah yang harus dipecahkan. Dalam berpikir, seseorang memerlukan berbagai pertimbangan-pertimbangan untuk memutuskan masalah. Aktivitas berpikir ini bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah dengan akal yang dimilikinya.

b. Sejarah Teori Van Hiele

Van Hiele adalah seorang pengajar matematika Belanda yang telah mengadakan penelitian di lapangan, melalui observasi dan tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam disertasinya pada tahun 1954. Penelitian yang dilakukan Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Van Hiele (dalam Nyimas dkk)

8 Tatag Yuli Eko Siswono, “ Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa” , (Skripsi UNES, Surabaya, 2009), h.11.

menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: Tahap pengenalan, analisis, pengurutan, duduksi, dan keakuratan.9

Teori tentang tahap berpikir kognitif dalam mempelajari geometri dikembangkan oleh Pierre Van Hiele dan istrinya, Dian Van Hiele-Geldof, yang dirumuskan pada tahun 1957 sampai 1959. Model Van Hiele mengidentifikasi lima tingkat berpikir di dalam ilmu geometri. Menurut model ini, pelajar yang dibantu oleh intruksi yang sesuai, melalui tingkatan-tingkatan ini, yaitu mulai dengan pengenalan bentuk-bentuk secara keseluruhan, melangkah maju kepada penemuan sifat-sifat dari figur-figur dan penalaran informal tentang figur-figur dan sifat-sifat mereka, dan memuncak di suatu studi yang ketat dari ilmu geometri yang secara aksioma.10

Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pembelajaran geometri. Teori yang dikemukakan Van Hiele (dalam Nyimas dkk) antara lain adalah sebagai berikut:11

1) Tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.

9 Nyimas Aisyah, et. al. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. (Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas, 2007), h. 4.1.

10 Natodi, “Deskripsi Kemampuan Siswa SMP N 1 Kapahiang tentang Konsep dan Prinsip pada Operasi Hitung Pecahan Campuran Ditinjau Berdasarkan Teori Van Hiele”. (Tesis UB, 2013), h.36.

2) Menurut Van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.

3) Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau disesuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa teori Van Hiele yang lahir pada tahun 1954 adalah suatu teori mengenai proses perkembangan kognitif yang dilalui siswa dalam mempelajari geometri. Teori ini dicetuskan karena menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkat berpikir yang lebih tinggi. Berdasarkan hal itu, diadakanlah penelitian yang menghasilkan teori Van Hiele yang memiliki 5 tahap berpikir dalam geometri.

c. Tingkat Berpikir Menurut Teori Van Hiele

Menurut teori Van Hiele (dalam Ardhi dan Eri), seseorang akan melalui lima tahap perkembangan berpikir dalam belajar geometri. Kelima tahap perkembangan berpikir Van Hiele adalah tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisis), tahap 2 (deduksi formal), tahap 3 (deduksi), dan tahap 4 (rigor). Tahap perkembangan berpikir Van Hiele dapat dijelaskan sebagai berikut :12

1) Tingkat 0: Tingkat Visualisasi (Recognition)

Tingkat ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik, tahap visual, dan disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa baru mengenal nama suatu bangun dan mengenal bentuknya secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah persegi dan persegi panjang tampak berbeda. “The student can learn names of figures and recognizes a shape as a whole. The example is squares and rectangles seem to be different”.

Ciri-ciri tahap visual ini adalah siswa mampu mengidentifikasi, memberi nama, membandingkan, dan mengoperasikan gambar-gambar geometri seperti segitiga, sudut, dan perpotongan garis berdasarkan penampakannya. Siswa memandang sesuatu bangun geometri sekedar karakteristik visual dan penampakannya. Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat objek yang diamati, tetapi memandang objek sebagai suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian,

12 Ardhi Prabowo, Eri Ristiani, “Rancangan Bangun Instrumen Tes Kemampuan Keruangan Pengembangan Tes Kemampuan Keruangan Hubert Maier dan Identifikasi Penskoran Berdasarkan Teori Van Hiele”. Jurnal Kreano, Vol.2 No.2 (Desember 2011), h. 76-77.

meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama suatu bangun, siswa belum dapat memahami dan menentukan sifat geometri serta ciri-ciri atau karakteristik dari bangun yang ditunjukkan. Contoh lain pada tingkat ini adalah siswa tahu bahwa suatu bangun bernama kubus, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri dari bangun yang bernama kubus tersebut.

2) Tingkat 1: Tingkat Analisis (Analysis)

Tingkat ini sering disebut juga tingkat deskriptif. Pada tingkat ini, siswa dapat menyebutkan sifat-sifat yang dimiliki suatu bangun. Sebagai contoh adalah suatu persegi panjang memilki empat sudut siku-siku. “The student can identify properties of figures. The example is rectangles have four right angles”.

Jadi pada tingkat ini, siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah bisa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Contoh lain pada tingkat ini adalah siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan kubus karena bangun itu memiliki enam sisi persegi yang sama.

3) Tingkat 2: Tingkat Abstraksi (Order)

Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, siswa sudah dapat menyusun suatu pemikiran secara logis dan dapat memahami hubungan antara ciri yang satu dengan ciri yang lain pada suatu bangun, tetapi belum bisa mengoperasikannya dalam suatu sistem matematis. Contohnya adalah siswa dapat memahami pengambilan kesimpulan sederhana, tetapi belum memahami

pembuktiannya. “The student can logically order figures and relationships, but does not operate within a mathematical system”.

Contoh lainnya adalah, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tingkat ini siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah persegi panjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegi panjang.

4)Tingkat 3: Tingkat Deduksi Formal (Deduction)

Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian, definisi-definisi, aksioma-aksioma dan teorema-teorema pada geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. “The student understands the significance of deduction and the roles of postulates, theorems, and proof. Proofs can be written with understanding”.

Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif karena pengambilan kesimpulan, pembuktian teorema, dan lain-lain dilakukan secara deduktif. Sebagai contoh, untuk membuktikan bahwa jumlah sudut-sudut jajar genjang adalah 360 derajat secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-memotong sudut-sudut benda

jajar genjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh, namun belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut-sudut dalam jajargenjang tersebut. Untuk itu, pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian dalam matematika.

5) Tingkat 4: Tingkat Rigor

Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides. “Contohnya adalah geometri non-Euclides”.

Temuan baru dalam penelitian yang dilakukan Jackson mengungkapkan bahwa adanya transisi dari tingkat satu ke tingkat yang lebih tinggi. Lebih lanjut dalam penelitiannya ia menunjukkan, ada 26 dari 36 siswa (72,2%) dengan tingkat 0 yang mulai menggunakan sifat-sifat dari bangun tertentu (karakteristik tingkat 1), tetapi sifat-sifat yang digunakannya tidak sesuai. Selain itu, ada 6 dari 36 siswa (16,7%) yang telah menuliskan sifat segiempat dengan benar (karakteristik tingkat 1), tetapi

pemahamannya masih dipengaruhi oleh karakteristik visual bangun tersebut (karakteristik tingkat 0). Ini berarti siswa-siswa tersebut masih ada di tingkat 0, tetapi mereka mulai berpikir di tingkat 1 walaupun belum lengkap. Dengan kata lain, siswa-siswa tersebut berada pada transisi dari tingkat 0 ke 1, atau dengan kata lain tingkat 1 yang belum sempurna/maksimal, yaitu pra-analisis.13

Lebih rinci, Kaswamati Abdullah menunjukkan dalam penelitiannya bahwa peserta didik kemampuan tinggi sekitrar 6,67% berada pada tingkat pra deduksi formal dan pra abstraksi, peserta didik kemampuan sedang sekitar 20% berada pada tingkat pra abstraksi dan pra analisis, serta untuk peserta didik kemampuan rendah sekitar 73,33% berada pada tingkat pra analisis dan pra visualisasi. Sama seperti yang dikatakan oleh Van Hiele, tingkatan dalam berpikir geometri itu akan dilalui oleh peserta didik secara berurutan. Peserta didik akan memasuki tingkatan berpikir yang berikutnya apabila peserta didik tersebut sudah bisa melewati tingkatan yang sebelumnya. Jika materi yang diajarkan kepada peserta didik yang berada diatas tingkatan mereka, maka akan direduksi oleh pengadaan tingkatan tersebut. Setiap peserta didik pun melalui tahapan-tahapan yang berbeda dalam melewati dari satu tingkat ketingkat berikutnya.14

13 Jackson Pasini Mairing, “Tingkat Berpikir Geometri Siswa Kelas VII SMP Berdasarkan Teori Van Hiele”. Jurnal Pendidikan Matematika, Vol. 5 No. 1 (1 Maret 2016), h. 36.

14 Kasmawati Abdullah, Sumarno Ismail, Lailany Yahya, “Identifikasi Tingkat Berpikir Siswa ditinjau dari Teori Van Hiele dalam Menyelesaikan Masalah Geometri Bangun Segiempat”. Jurnal KIM FMIPA, Vol. 3 No.3 (2015), h. 14-15.

Penemuan-penemuan tersebut didukung dengan pendapat Nor Khoiriyah dalam penelitiannya bahwa terjadinya ketidakkonsistenan terhadap karakteristik tingkat berpikir siswa dalam memahami konsep dipengaruhi beberapa alasan. Pertama, adanya miskonsepsi yang dialami subjek terhadap beberapa konsep yang terlibat dalam penyelesaian permasalahan. Kedua, dipengaruhi keterampilan visual yang hifatnya juga hierarkis. Ketiga, meskipun subjek tidak dapat menguasai suatu tingkat berpikir, namun jawaban-jawaban subjek secara verbal menunjukkan jawaban yang logis dan terurut. Keempat, adanya materi penelitian yang melibatkan keterampilan visual, verbal, logical, drawing, dan applied yang kompleks dan bersifat hierarkis sebagaimana rumusan Hoffer.15

Berdasarkan hal tersebut tahap berpikir siswa dalam teori Van Hiele dapat berkembang lebih luas yaitu dengan adanya transisi antar tingkat berpikir, sehingga bukan tidak mungkin jika seorang siswa berapa pada salah satu tingkat berpikir Van Hiele tetapi belum sempurna penguasaannya. Namun demikian, menurut Van Hiele semua anak mempelajari geometri dengan melalui 5 tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Seseorang harus melewati tahapan-tahapan yang ada untuk bisa menuju tahap yang lebih tinggi.

15 Nor Khoiriyah, Sutopo, Dyah Ratri Aryuna, “Analisis Tingkat Berpikir Siswa Berdasarkan Teori Van Hiele pada Materi Dimensi Tiga Ditinjau dari Gaya Kognitif Field Dependent dan Field Independent”. Jurnal Pendidikan Matematika Solusi, Vol.1 No.1 (Maret 2013), h. 246-274

d. Karakteristik Teori Van Hiele

Menurut teori Pierre dan Dina Van Hiele (dalam Nyimas dkk) tingkat-tingkat pemikiran geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang atau maju menurut tingkat-tingkat sebagai berikut: dari tingkat visual Gestalt-like melalui tingkat-tingkat sophisticated dari deskripsi, analisis, abstraksi dan bukti. Teori ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:16

1) Belajar adalah suatu proses yang diskontinu, yaitu ada loncatan-loncatan dalam kurva belajar yang menyatakan adanya tingkat-tingkat pemikiran yang diskrit dan berbeda secara kualitatif.

2) Tingkat-tingkat itu berurutan dan berhirarki. Supaya siswa dapat berperan dengan baik pada suatu tingkat yang lanjut dalam hirarki van Hiele, ia harus menguasai sebagian besar dari tingkat yang lebih rendah. Kenaikan dari tingkat yang satu ke tingkat yang berikutnya lebih banyak tergantung dari pembelajaran daripada umur atau kedewasaan biologis. Seorang guru dapat mengurangi materi pelajaran ke tingkat yang lebih rendah, dapat membimbing untuk mengingat-ingat hafalan, tetapi seorang siswa tidak dapat mengambil jalan pintas ke tingkat tinggi dan berhasil mencapai mencapai pengertian, sebab menghafal bukan ciri yang penting dari tingkat manapun. Untuk mencapai pengertian dibutuhkan kegiatan tertentu dari fase-fase pembelajaran.

3) Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi dipahami secara eksplisit pada tingkat berikutnya. Pada setiap tingkat muncul secara ekstrinsik dari sesuatu yang intrinsik pada tingkat sebelumnya. Pada tingkat dasar, gambar-gambar sebenarnya juga tertentu oleh sifat-sifatnya, tetapi seseorang yang berpikiran pada tingkat ini tidak sadar atau tidak tahu akan sifat-sifat itu.

4) Setiap tingkat mempunyai bahasanya sendiri, mempunyai simbol linguistiknya sendiri dan sistem relasinya sendiri yang menghubungkan simbol-simbol itu. Suatu relasi yang benar pada suatu tingkat, ternyata akan tidak benar pada tingkat yang lain. Misalnya pemikiran tentang persegi dan persegi panjang. Dua orang yang berpikir pada tingkat yang berlainan tidak dapat saling mengerti, dan yang satu tidak dapat mengikuti yang lain. Struktur bahasa adalah suatu faktor yang kritis dalam perpindahan tingkat-tingkat ini.

Adapun sifat-sifat model Van Hiele menurut Chowley (dalam Natodi), adalah sebagai berikut:17

1) Urutan, tingkat-tingkat kemampuan berpikir yang ada bersifat hirarkis (berurutan), dan siswa melangkah maju melalui tingkatan yang satu ke tingkatan tertentu dengan hasil memuaskan, siswa perlu mendapatkan penyiapan yang tepat pada tingkatan yang mendahului.

17 Natodi, Op.Cip. h.63-64.

2) Kemajuan-kemajuan atau peningkatan dari tingkat satu ke tingkat berikutnya lebih tergantung pada isi dan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk melompati suatu tingkatan.

3) Intrinsik dan ekstrinsik. Objek-objek yang dipelajari secara lebih cermat pada tingkat berikutnya sebagai contoh, pada tingkat 0 bentuk gambar-gambar baru dipahami secara keseluruhan (secara global), tidak seperti pada tingkat komponen-komponen dan sifat-sifatnya.

4) Linguistik (ilmu bahasa). Tiap tingkat mempunyai simbol bahasa sendiri dan sistem realisasi sendiri yang berkaitan dengan simbol-simbol tersebut, yang mungkin belum dimengerti pada tingkat sebelumnya, sebagai contoh, siswa pada tingkat 2 (abstraksi) lebih dari satu nama, misalnya persegi yang disebut persegi panjang yang khusus (karena persegi merupakan kejadian khusus dari jajargenjang). Siswa pada tingkat 1 tidak mempunyai pengertian bahwa nama yang berbeda-beda itu dapat digunakan untuk menyebutkan sebuah bangun. 5) Kekeliruan pemasangan. Jika siswa berada pada suatu tingkatan-tingkatan

pembelajaran dan kemajuan mungkin tidak berada, maka hasrat belajar dan kemajuan mungkin tidak terjadi. Ini terjadi apabila strategi pembelajaran yang digunakan guru, materi pembelajaran yang digunakan guru, materi pembelajaran, isi, kosa dan sebagainya berada pada tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah dari pada tingkat siswa.

Jadi Teori Van Hiele memiliki karakteristik yaitu belajar adalah proses yang tidak kontinu, berurutan atau hirarki, peningkatan, intrinsik dan ekstrinsik, linguistik, serta kekeliruan pemasangan. Kelima karakteristik tersebut harus ada ketika seorang guru menerapkan Teori Van Hiele dalam proses pembelajaran. Dengan adanya kelima karakteristik tersebut, pembelajaran dengan Teori Van Hiele diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahami materi geometri sehingga berdampak pada meningkatnya hasil belajar siswa.

3. Indikator Keterampilan Geometri Berdasarkan Tingkat Berpikir Van Hiele

Dokumen terkait