• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGAPAN SUDAN UTARA DAN SUDAN SELATAN TERHADAP KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA SEPANJANG TAHUN 2005 HINGGA

Peran Negara

MENGANCAM STRATEGI MINYAK CINA

III.2 TANGGAPAN SUDAN UTARA DAN SUDAN SELATAN TERHADAP KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA SEPANJANG TAHUN 2005 HINGGA

2011

167 ibid.

57

interfere in Darfur".168 Tetapi sikap ini berubah seiring dengan perubahan pada sikap Cina terhadap situasi di Sudan. Ketika pada tahun 2006 Cina mulai melakukan persuasi terhadap pemerintah Sudan di Khartoum agar menerima pasukan perdamaian gabungan PBB dan Uni Afrika yang diikuti dengan serangkaian pertemuan pemerintah Cina dan Sudan membahas isu Darfur yang harus segera diselesaikan. Bahkan Presiden Hu Jintao sendiri sempat berkunjung ke Khartoum pada Februari 2007 dan menyatakan bahwa, " It is imperative to improve the situation in Darfur and living conditions of the people."169 Di tahun 2007 Sudan pun melunak dan membuka pintu bagi pasukan PBB dan Uni Afrika di Darfur. Selain dari konflik Darfur, pemerintah Sudan juga enggan melakukan dialog damai dengan pemimpin SPLM yang memang ingin memisahkan diri dari Sudan. Terjadi konflik terbuka yang menewaskan jutaan orang atas konflik utara dan selatan ini yang semakin membuat situasi domestik tidak kondusif dan mendapat sorotan internasional. Di tahun 2005 Cina mulai melakukan upaya persuasi dan dorongan terhadap Presiden al – Bashir untuk mau menandatangani CPA dengan SPLM melalui Liu Guijin. Tindakan ini juga mengundang pujian dari perwakilan khusus Amerika Serikat untuk Sudan, Princeton Lyman, karena Cina dinilai mulai bersikap proaktif terhadap isu Sudan Utara dan Sudan Selatan.170

168

Berdasarkan laporan langsung dari reporter radio ABC Australia di Khartoum, Sudan, tanggal 20 September 2004 tentang respon pemerintah Sudan terhadap ancaman sanksi PBB. Diakses dari http://www.abc.net.au/pm/content/2004/s1203299.htm pada 5 Januari 2012

169

Large, China's Sudan Engagement: Changing Northern and Southern Political Trajectories in

Peace and War, loc.cit.

Sikap Presiden al – Bashir yang semula tidak ingin melakukan

170

Pernyataan Princeton Lynman kepada The Daily Star tahun 2011 (US Praises China’s Role in Sudan Crisis), " We have every indication that their (China) message to President Bashir has

58

perjanjian dengan SPLM akhirnya berubah dan CPA yang ditandatangani pada 2005 ini menghasilkan kesepakatan Sudan Selatan akan melakukan referendum, apakah akan tetap menjadi bagian dari Sudan atau menjadi negara merdeka. Sentimen populer di masyarakat Sudan Selatan menunjukkan trend untuk mendukung visi Sudan Selatan menjadi negara merdeka.171

Sikap – sikap melunak pemerintah Sudan di Khartoum ini bisa diindikasikan sebagai sikap yang harus dilakukan oleh Sudan dalam penyelesaian konflik internal di Darfur maupun Sudan Selatan. Bagi Sudan, Cina adalah rekan kerjasama yang sangat penting dan dominan sehingga Sudan sendiri sangat bergantung kepadanya dan pengaruh Cina tidak hanya di bidang ekonomi tetapi juga politik.172

http://www.thedailystar.net/newDesign/news-details.php?nid=192558 us praise china pada 28 Januari 2012

171

Large, China's Role in the Mediation and Resolution of Conflict in Africa, loc.cit. 172

ibid.

Mengingat fakta bahwa tanpa eksplorasi minyak oleh pemerintah Cina di Sudan dan bantuan – bantuan finansial yang selama ini diberikan, Sudan akan menjadi jauh lebih miskin dari sebelumnya, terutama setelah ditinggalkan oleh perusahaan – perusahaan minyak Amerika Serikat dan Kanada di tahun 1990an. Faktor ketergantungan Sudan terhadap Cina membuat pemerintah Sudan tidak memiliki pilihan lain selain harus tetap menjaga hubungan dengan Cina apapun konsekuensinya, termasuk memperbolehkan pasukan asing memasuki teritori Sudan dan penandatanganan CPA yang membuat Sudan Selatan berpisah dari Sudan. Situasi ini sama halnya dengan Cina yang juga tidak memiliki pilihan lain selain secara aktif melakukan persuasi, dorongan, dan tekanan terhadap

59

Sudan meskipun ini sangat bertentangan dengan prinsip non – intervensinya selama ini.

Begitu pula yang terjadi pada Sudan Selatan ketika SPLM mengadakan kontak untuk pertama kalinya dengan Beijing yang diawali pada tahun 2005. Pada awalnya SPLM salah mengartikan prinsip non – intervensi Cina, yakni sebagai dukungan terhadap pemerintah Sudan di Khartoum. Tetapi seiring dengan munculnya pragmatisme, saling membutuhkan, dan prospek akan keuntungan bersama, maka pemerintah Cina dan Sudan Selatan terbuka untuk melakukan hubungan bisnis setelah 2005.173 Sudan Selatan bersikap pragmatis bahwa tidak

ada pilihan lain baginya selain sesegera mungkin mengadakan hubungan dengan Cina. bagi SPLM karena seusai penandatanganan CPA pemimpin SPLM mengetahui bahwa kemungkinan Sudan Selatan berpisah dari Sudan sangat besar dan secepatnya memiliki kawan yang akan bekerjasama dengannya akan menguntungkan bagi Sudan Selatan, terutama karena ladang minyak terbesar yang dikuasai Cina berada di Sudan Selatan. Selain itu, setelah konflik yang berkepanjangan Sudan Selatan membutuhkan masuknya investasi asing untuk membangun wilayahnya.174 Dan ini terbukti ketika Cina menjadi negara pertama

yang dengan cepat mengakui Sudan Selatan sebagai sebuah negara merdeka baru pada 29 April 2011, tiga bulan sebelum peresmiannya pada 9 Juli 2011.175

173

Large,China's Sudan Engagement: Changing Northern and Southern Political Trajectories in

Peace and War, loc.cit

174 ibid. 175

Consulate - General of the People's Republic of China in Juba, loc.cit.

Dengan melihat betapa besar pentingnya minyak bagi Cina untuk menjamin kelangsungan industrialisasinya, dan minyak sebagai pendapatan terbesar Sudan

60

Utara serta Sudan Selatan, ketiga negara ini tidak memiliki banyak alternatif selain untuk bersikap dinamis terhadap segala perubahan – perubahan yang mungkin terjadi dalam kaitannya dengan konflik internal di dalam wilayah Sudan Utara dan Selatan dan kaitannya dengan kemungkinan konflik ini akan memberikan ancaman yang signifikan terhadap kelangsungan produksi minyak itu sendiri.

61

BAB IV KESIMPULAN

Five Principles of Peaceful Coexistence dimana di dalamnya terdapat prinsip non – intervensi telah mengakar dalam pondasi kebijakan luar negeri Cina selama bertahun – tahun. Prinsip – prinsip ini diterapkan dalam hampir seluruh kondisi hubungan internasional Cina sejak pertama kali diperkenalkan pada Konferensi Bandung untuk membuktikan bahwa Cina berkomitmen untuk mengubah pandangan negatif dunia internasional tentang Cina yang tidak bersahabat dan berpotensi menjadi ancaman bagi negara lain. Hal ini terutama ketika kekuatan ekonomi Cina semakin menguat dan terjadi diversifikasi hubungan dengan banyak negara berbeda.

Perekonomian menjadi satu fokus penting bagi negara ini untuk memantapkan posisinya dalam hubungan internasional. Sebuah konsekuensi yang tidak bisa ditolak ketika perekonomian yang kuat membutuhkan pijakan energi yang solid dan terjamin agar terus bisa menyokong pergerakan perekonomian negara. Situasi ini disadari betul oleh Cina sehingga dengan prinsip non – intervensi Cina bisa dengan cukup mudah melakukan kerjasama dengan negara – negara yang dianggap sebagai pariah states oleh negara lain, misalnya yang paling dominan oleh Amerika Serikat, dimana Sudan termasuk di dalam kategori tersebut. Tetapi, ketika konflik kontemporer Sudan terjadi di sepanjang tahun 2000an, yakni konflik antara pemerintah Sudan di Khartoum dengan masyarakat

62

Darfur dan Sudan Selatan, pijakan kebijakan luar negeri non – intervensi ini harus diubah oleh pemerintah Cina.

Perubahan ini bukan tanpa sebab, melainkan untuk mengamankan investasi ekonomi Cina di Sudan, terutama di bidang minyak, yang telah menelan begitu banyak biaya. Dengan keinginan untuk menumbuhkan perekonomian semaksimal mungkin, Cina membutuhkan jaminan pasokan energi yang lebih dari cukup dan kemungkinan kehilangan satu saja negara pemasok, akan merugikan Cina. Ditambah lagi perlu diingat bahwa jumlah investasi Cina, yakni prosentase penguasaan Cina atas ladang minyak di Sudan, sangat signifikan.

Kebijakan non – intervensi atau yang bisa dikatakan membiarkan Sudan menyelesaikan konflik internalnya dengan caranya sendiri dapat menimbulkan resiko yang terlalu besar bagi Cina dimana kepastian akan stabilitas politik Sudan menjadi tidak jelas. Keputusan Cina untuk pada akhirnya ikut campur dalam proses penyelesaian konflik serta melaksanakan sejumlah aktivitas diplomatik terhadap pemerintah Sudan di Khartoum dan di Sudan Selatan adalah untuk sesegera mungkin mendapat kepastian akan keamanan investasi minyak Cina di Sudan. Kebijakan non – intervensi tidak bisa lagi mengakomodasi gejolak politik dan konflik – konflik domestik Sudan yang sangat berpengaruh terhadap fasilitas minyak Cina disana. Dengan demikian, berdasarkan kerangka pemikiran dan seluruh data – data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis penelitian ini dapat diterima.

Senin, 12 Maret 2012

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga

Komisi Penguji Ketua (NIP 1964033119881002001)