SKRIPSI
Disusun oleh:
NIM 070810518
ROSA LONGI FOLIA
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 dengan gelar Sarjana Hubungan Internasional (S.Hub. Int.) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga, Surabaya
Disusun oleh: Rosa Longi Folia
NIM 070810518
PROGRAM STUDI S-1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 : Skema Keterkatian dan Relevansi Komponen – komponen Kebijakan Luar
Negeri
Gambar 1.2 : Skema Konsep Kebijakan Luar Negeri Cina terhadap Sudan
Gambar III.1.1 : Gambar Peta Produksi Minyak Sudan
Halaman Pernyataan Tidak Melakukan Plagiat...
1.5.1 Teori Kebijakan Luar Negeri...
1.5.2 Teori Pembuatan Kebijakan Luar Negeri...
1.5.3 Teori Perubahan Kebijakan Luar Negeri...
1.6Hipotesis...
1.7Definisi Konseptual...
1.7.1 Perubahan Kebijakan Luar Negeri...
1.7.4 Konflik...
1.7.5 Non – intervensi...
1.7.6 Intervensi...
1.8Definisi Operasional...
1.8.1 Perubahan Kebijakan Luar Negeri Cina...
1.8.2 Kepentingan Nasional Cina di Bidang Ekonomi...
1.8.3 Oil Security... 1.8.4 Konflik Sudan...
1.8.5 Prinsip Non – intervensi...
1.8.6 Intervensi Cina terhadap Sudan...
1.9 Tipe Penelitian...
1.10 Teknik Pengumpulan Data...
1.11 Teknik Analisa Data...
1.12 Sistematika Penulisan...
BAB II DINAMIKA KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA SEBAGAI USAHA PENYESUAIAN DIRI TERHADAP GLOBALISASI...
II.1 Kebijakan Luar Negeri Cina di Era Mao (1949 – 1978) : Era Sebelum Reformasi
Ekonomi dan Awal Hubungan Cina dengan Negara – negara Afrika…………...20
Buku
Eisenman, Joshua. 2007. China and the Developing World: Beijing's Strategy for the Twenty - first Century. New York; M.E. Sharpe, Inc.
Liu, Guoli. 2004. Chinese Foreign Policy in Transition. New Jersey, Transaction Publishers. Sutter, Robert. 2008. Chinese Foreign Relations: Power and Policy Since Cold War. Rowman
and Littlefield Publishers, Inc.
Lanteigne, Marc. 2009. Chinese Foreign Policy: an Introduction. New York; Routledge.
Snyder, Richard, Henry Bruck, dan Sapin, Burton. 1962. Foreign Policy Decision - making. Palgrave Macmillan.
Evans, G. 1998. The Penguin Dictionary of International Relations. New York; Penguin Putnam, Inc.
Hudson, Valerie. 2007. Foreign Policy Analysis; Classic and Contemporary Theory. New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Hermann, Charles. 1990. Changing Course: When Governments Choose to Redirect Foreign Policy. The Ohio State University; The International Studies Quaterly.
Neuman, WL. 2000. Social Research Method. Boston; Allyn & Bacon. Effendi, S. (ed). 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta; LP3ES.
Hadi, Syamsul, dan Wibowo. 2009. Merangkul Cina. Jakarta; Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Artikel
Maglad, Nour Eldin. 2008. Scoping Study on Chinese Relations with Sudan [pdf]. Diakses dari http://www.aercafrica.org/documents/china_africa_relations/Sudan.pdf pada 12 Mei 2011.
Unpacking China's Resource Diplomacy in Africa [pdf]. Diakses dari http://www.cctr.ust.hk/materials/working_papers/WorkingPaper19_IanTaylor.pdf pada 19
Oktober 2011.
Australian Strategic Policy Institute [pdf]. Diakses dari http://www.aspi.org.au/publications/publication_details.aspx?ContentID=142&pubtype=5
pada 6 Februari 2012.
MLM Revolutionary Study Group in the US. 2007. Chinese Foreign Policy during the Maoist Era and its Lessons for Today [pdf]. Diakses dari http://www.cddc.vt.edu/marxists/history/erol/ncm-5/cpc-policy.pdf, pada 20 April 2011.
Large, Daniel. 2008. China and the Contradictions of Non - Interference in Sudan: Review of
African Political Economy [pdf]. Department of Politics and International Studies, School
of Oriental and African Studies, Rift Valley Institute's Sudan Open Archive, London.
Large, Daniel. 2008. Sudan's Foreign Relations with Asia (China and the Politics of 'looking east') [pdf]. Institute for Security Studies.Diakses dari http://dspace.cigilibrary.org/jspui/bitstream/123456789/30875/1/PAPER158.pdf?1, pada
12 Januari 2012.
Global Witness on the Democratic Republic of Congo bulan Maret tahun 2011 [pdf]
Zhao, Quansheng. 1996. Chinese Foreign Policy After Cold War [pdf]. Diakses dari http://www.janeluinas.lt/files/Quansheng Zhao Chinese foreign policy after cold war.pdf,
Containment Agreements [pdf]. Asia - Pacidic Trade and Investment Review, Vol.3, No.1. Diakses dari http://www.unescap.org/tid/publication/aptir2456_BandaWhalley.pdf,
pada 11 Januari 2012.
Glaser, Bonnie S., dan Evan Medeiros. 2007. The Changing Ecology of Foreign Policy - making in China: The Ascension and Demise of the Theory of "Peaceful Rise" [pdf]. Diakses dari http://tailieu.tapchithoidai.org/Demise_of_Peaceful_Rise.pdf, pada 6 Januari 2012.
Pinaud, C. 2006. Oil Fact Sheet on Sudan September 2006 [pdf]. Diakses dari http://africa.berkeley.edu/Sudan/Oil/SudanOilFactsheet-Sept06.pdf, pada 6 Januari 2012.
Steinvig, Morten. 2009. China Tries to Solve a Dilemma in Sudan [pdf].Copenhagen, Royal Danish Defence College.
Responsibility to Protect: Informasi tentang Prinsip ini dan Langkah - langkah Implementasi
[pdf], diakses dari http://www.r2pasiapacific.org/documents/R2P_basic_info_Bahasa.pdf
pada 14 Januari 2012.
Brosche, Johan. 2007. CPA - New Sudan, Old Sudan, or Two Sudan? [pdf]. A Review of the Implementation of the Comprehensive Peace Agreement. Journal of African Policy
Studies, vol. 13, no. 1.Uppsala Conflict Data Program. Diakses dari
http://www.ucdp.uu.se/gpdatabase/info/Sud%201.pdf, pada 10 Januari 2012.
Almquist, Katherine. 2010. Contingency Planning Memorandum No. 7: Renewed Conflict in Sudan [pdf]. Council on Foreign Relations, Center for Preventive Action. Diakses dari http://www.gurtong.net/LinkClick.aspx?fileticket=Vx9b1ewcJac%3d&tabid=124, pada
University, Institute of International and Public Affairs. Diakses dari
http://itsctt.ust.hk/itsctt006/production/articles/pdf/WorkingPaper9.pdf pada 19 Januari
2012.
Large, Daniel. 2009. China's Sudan Engagement: Changing Northern and Southern Political Trajectories in Peace and War [pdf]. Diakses dari http://eprints.soas.ac.uk/10905/1/ChinaSudanEngagement.pdf china sudan engagement
pada 28 Januari 2012.
Website
China's Initiation of the Five Principles of Peaceful Co-Existence [online]. Diakses dari http://www.fmprc.gov.cn/eng/ziliao/3602/3604/t18053.htm
United Nations Treaty Collection [online]. Diakses dari http://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%20299/v299.pdf
China GDP Growth Rate [online]. Diakses dari http://www.tradingeconomics.com/china/gdp-growth
Crisis in Darfur [online]. Diakses dari http://www.crisisgroup.org/en/key-issues/~/link.aspx?_id=592f339975654401833c16c83e8c6bd4&_z=z
China: a Force for Peace in Sudan? [online]. Diakses dari http://www.aljazeera.com/indepth/features/2011/01/20111910357773378.html
Events of 1971, diakses dari http://www.upi.com
[online]. Diakses dari Center for Northeast Asian Policy Studies, The Brookings
Institution, http://www.brookings.edu/articles/1999/fall_china_troush.aspx
BBC News 4 Juli 2011 [online]. Diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-12128080
African Online News. 2011. New Oil Installations in Darfur [online]. Diakses dari http://www.afrol.com/articles/21316
Business Report 11 Juli 2011 [online]. Diakses dari
http://www.iol.co.za/business/markets/commodities/china-eyes-oil-cooperation-with-south-sudan-1.1097012
Afrique en Ligne. 2011. Security: China Urges Sudan and South Sudan to Avoid Conflict over Oil [online]. Diakses dari http://www.afriquejet.com/security-china-urges-sudan-and-south-sudan-to-avoid-conflict-over-oil-2011121129360.html
http://www.merriam-webster.com/dictionary/conflict
http://www.merriam-webster.com/dictionary/non-interference
http://www.thefreedictionary.com/interference
http://www.sudanupdate.org/WHOSWHO/NIF.HTM
www.bbc.co.uk /news/world-africa-12128080
http://www.digitaljournal.com/article/308927
http://www.abc.net.au/pm/content/2004/s1203299.htm
PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI NON INTERVENSI CINA
TERHADAP KONFLIK SUDAN
Telah disetujui untuk diujikan di hadapan Komisi Penguji
Surabaya, 12 Maret 2012
Dosen Pembimbing
Anne Francois Guttinger , DEA, PhD candidate
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT
Bagian atau keseluruhan isi Skripsi ini tidak pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademis pada bidang studi dan/atau universitas lain dan tidak pernah dipublikasikan/ditulis oleh individu selain penyusun kecuali bila dituliskan dengan format kutipan dalam isi skripsi.
Surabaya, 3 Maret 2012
Rosa Longi Folia
1
BAB I PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam merumuskan kebijakan luar negeri dan menjalankan hubungan
internasionalnya, Cina dikenal sebagai negara yang mengedepankan prinsip non –
intervensi, yakni, tidak turut campur dalam urusan domestik negara lain.1 Prinsip
ini terangkum dalam Five Principles of Peaceful Coexistence.2 Dengan menggunakan retorika prinsip non – intervensi terhadap urusan internal masing –
masing negara, Cina berhasil merangkul negara – negara yang dianggap sebagai
negara problematik oleh Amerika Serikat dan beberapa negara Barat lain, menjadi
rekan kerjasama ekonomi yang menguntungkan.3 Sebabnya adalah sejak
selesainya Perang Dingin kebijakan luar negeri berbasis ideologi sudah mulai
ditinggalkan oleh Cina dan negara ini beralih orientasi ke arah kerjasama ekonomi
serta berkontribusi menciptakan lingkungan internasional yang damai.4
1
China's Initiation of the Five Principles of Peaceful Co-Existence [online]. Diakses dari
http://www.fmprc.gov.cn/eng/ziliao/3602/3604/t18053.htm pada 12 Mei 2011. 2
Lima prinsip ini adalah: (1) penghargaan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial; (2) non - agresi; (3) non - intervensi dalam urusan internal; (4) persamaan dan saling menguntungkan; (5) penciptaan perdamaian.
Teks asli bisa dibaca di United Nations Treaty Collection [online]. Diakses dari http://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%20299/v299.pdf pada 12 Mei 2011.
3
Eisenman, Joshua. 2007. China and the Developing World: Beijing's Strategy for the Twenty -
first Century. New York; M.E. Sharpe, Inc., hal. 120
4
Liu, Guoli. 2004. Chinese Foreign Policy in Transition. New Jersey, Transaction Publishers,hal.
3.
2
juga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Cina yang sangat cepat sehingga
membutuhkan rekan kerjasama yang luas.5
Beberapa negara yang dianggap bermasalah dalam hal politik oleh negara
– negara Barat yang memiliki hubungan cukup erat dengan Cina adalah negara –
negara di wilayah Afrika, termasuk Sudan.6 Dalam hubungannya dengan negara –
negara di Afrika, pemerintah Cina memberikan dukungan politik sepenuhnya
kepada negara – negara tersebut walaupun pemerintahan negara – negara Afrika
sering dianggap melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyatnya
oleh Amerika Serikat.7 Dukungan ini, misalnya, disampaikan oleh Presiden Hu
Jintao dalam pidatonya di Asia – Africa Business Forum 2005, bahwa Cina sebagai negara berkembang ingin melakukan hubungan kerjasama ekonomi
dengan negara berkembang lainnya. Cina tidak pernah mempermasalahkan urusan
domestik negara lain selama kerjasama ekonomi tetap berjalan.8 Bagi Cina
sendiri setiap negara berhak mendapatkan persamaan status dan penghargaan
terhadap kedaulatan dari negara lain.9 Hubungan Cina dan Sudan sendiri lebih
didasarkan pada kerjasama ekonomi dalam hal minyak dan Sudan merupakan
salah satu pasar terbesar bagi produk – produk Cina di Afrika.10 Cina juga adalah
satu – satunya partner kerjasama ekonomi terbesar bagi Sudan.11
5 China GDP Growth Rate
[online]. Diakses dari http://www.tradingeconomics.com/china/gdp-growth pada 18 November 2011.
6
Sutter, Robert. 2008. Chinese Foreign Relations: Power and Policy Since Cold War. Rowman and Littlefield Publishers, Inc., hal. 376.
7
Eisenman, op.cit., hal. 34. 8
ibid. 9
Lanteigne, Marc. 2009. Chinese Foreign Policy: an Introduction. New York; Routledge, hal. 46. 10
Sutter, op.cit., hal. 377. 11
3
Pertanyaan terhadap konsistensi Cina dalam menjalankan prinsip non –
intervensi terjadi ketika banyak kalangan menilai adanya perubahan sikap Cina
terhadap Sudan ketika negara itu sedang dalam konflik.12 Konflik ini sendiri
sudah berlangsung sejak tahun 1950an, yakni antara masyarakat yang berada di
Sudan bagian utara dan bagian selatan lalu kemudian diakhiri dengan referendum
yang memisahkan Sudan Utara dan Sudan Selatan pada Januari 2011. Selain itu
konflik Darfur juga ikut menjadi perhatian Cina berkaitan dengan kebijakan luar
negerinya.13 Apa yang terjadi di Sudan awalnya dianggap Cina sebagai urusan
internal dari negara tersebut yang tidak boleh dicampuri oleh pihak luar
manapun.14 Deputi Kementerian Luar Negeri Cina, Zhou Wenzhong, pada
tahun 2005 sempat memberikan pernyataan bahwa “Business is business. We try to separate politics from business.. the internal situation in Sudan is an internal affair”.15 Cina bahkan melakukan veto pada sidang Dewan Keamanan PBB tahun 2005 ketika akan dijatuhkan sanksi kepada Sudan atas tuduhan genosida.16
Pemerintah Cina juga mendukung keputusan Presiden Sudan, Omar Al – Bashir,
yang menolak masuknya pasukan asing ke wilayahnya.17
Inkonsistensi Cina dalam mempertahankan prinsip non – intervensi
terhadap Sudan terlihat ketika persuasi yang intensif dilakukan oleh pemerintah
Cina kepada pemerintahan Presiden Omar al Bashir di Khartoum pada tahun 2007
12
Maglad, Nour Eldin. 2008. Scoping Study on Chinese Relations with Sudan [pdf]. Diakses dari http://www.aercafrica.org/documents/china_africa_relations/Sudan.pdf pada 12 Mei 2011.
13
Crisis in Darfur [online]. Diakses dari
http://www.crisisgroup.org/en/key-issues/~/link.aspx?_id=592f339975654401833c16c83e8c6bd4&_z=z pada 12 Mei 2011. 14
Unpacking China's Resource Diplomacy in Africa [pdf]. Diakses dari
http://www.cctr.ust.hk/materials/working_papers/WorkingPaper19_IanTaylor.pdf pada 19 Oktober 2011.
15
ibid. Dikutip dari The New York Times tanggal 22 Agustus 2005. 16
Sutter, loc.cit. 17
4
untuk menerima joint mission dari pasukan perdamaian Uni Afrika serta PBB di Darfur, dan dalam misi ini Cina juga menyertakan 315 tentaranya dari Chinese Army Engineering Division.18 Selain itu, Cina juga mulai membangun hubungan dengan pemerintah tidak resmi di Sudan Selatan, dimulai pada tahun 2005 yang
ditandai dengan berkunjungnya pimpinan kelompok separatis Sudan Selatan
(Sudan’s People Liberation Movement), Salva Kiir, ke Cina. Kunjungan kedua
dari perwakilan Sudan Selatan dilakukan pada 2007.19 Sedangkan di bulan
September 2008 Cina mendirikan kantor konsulat di Juba (ibukota Sudan Selatan
kini). Lebih menarik lagi ketika pada November 2010 kantor konsulat ini
dinaikkan ke level kedutaan besar.20 Sementara itu, pemerintah Cina juga
melakukan kunjungan ke Juba pada Oktober 2010 dan melakukan pertemuan
dengan sekretariat Sudan’s People Liberation Movement dan beberapa pemimpin Sudan Selatan lain.21
Tindakan – tindakan yang dilakukan oleh Cina ini tentu menjadi sebuah
pertanyaan besar terhadap konsistensi Cina dalam implementasi prinsip non –
intervensi terhadap urusan internal negara lain. Perubahan ini juga menarik
terutama ketika Cina melakukan hubungan yang cukup terbuka dengan sebuah
entitas tidak resmi yang ingin memisahkan diri dari sebuah negara merdeka
dimana hal ini bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap kedaulatan
negara dan integritas teritorialnya.
18 ibid. 19
ibid. 20
China: a Force for Peace in Sudan? [online]. Diakses dari
http://www.aljazeera.com/indepth/features/2011/01/20111910357773378.html pada 10 Mei 2011 21
5
I.2 RUMUSAN MASALAH
Mengapa Cina melakukan perubahan terhadap implementasi prinsip non
– intervensi yang selama ini menjadi salah satu kebijakan luar negerinya terhadap
Sudan?
I.3 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini adalah riset empirik untuk menjelaskan kebijakan luar negeri
Cina yang selama ini menggunakan prinsip non – intervensi terhadap urusan
domestik negara lain, namun kemudian Cina melakukan perubahan dalam
implementasi kebijakan tersebut terhadap Sudan. Cina mengalami ganjalan dalam
penerapan prinsip non – intervensi ini ketika berhadapan dengan Sudan yang
sepanjang tahun 2000an mengalami konflik yang sangat panjang dan menarik
perhatian internasional, yakni konflik Darfur dan konflik antara pemerintah Sudan
di Khartoum dan masyarakat Sudan Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk
menelaah faktor – faktor atau alasan apa saja yang melatarbelakangi keputusan
Cina untuk melakukan perubahan dalam kebijakan non – intervensinya khusus
terhadap Sudan.
I.4 JANGKAUAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jangka waktu antara tahun 2005 hingga 2010.
Tahun 2005 merupakan tahun awal indikasi adanya perubahan sikap Cina dalam
menerapkan prinsip non – intervensinya terhadap kasus Sudan. Tahun 2010
adalah puncak dimana sikap tidak konsisten ini ditunjukkan dengan jelas ketika
6
Sudan bagian selatan yang belum menjadi entitas merdeka sebagai balasan atas
kunjungan pemimpin separatis Sudan Selatan ke Beijing pada tahun – tahun
sebelumnya. Di antara tahun – tahun ini perubahan – perubahan Cina dalam
melakukan praktek diplomasi atas konflik Darfur juga terlihat mencolok.
I.5 KERANGKA PEMIKIRAN I.5.1 Teori Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri merupakan sesuatu yang sangat kompleks.
Kebijakan ini dipahami sebagai serangkaian aksi yang dilakukan oleh pemerintah
dengan tujuan baik untuk mempertahankan aspek – aspek yang diinginkan dalam
lingkungan internasional atau untuk merubah aspek – aspek yang tidak
diinginkan dalam lingkungan tersebut.22 Kebijakan luar negeri suatu negara
dipengaruhi oleh kombinasi antara orientasi, peran negara, tujuan – tujuan, dan
aksi.23
Orientasi adalah perilaku dan komitmen secara umum terhadap lingkungan
eksternal, dan ini menggunakan strategi dasar untuk memperoleh tujuan domestik
dan eksternal dari negara tersebut.
24
Strategi dan orientasi ini jarang terlihat dalam
satu keputusan saja, tapi merupakan hasil dari serangkaian keputusan untuk
menyesuaikan tujuan, nilai, dan kepentingan negara dengan kondisi dan
karakteristik dari lingkungan internal dan eksternal.25
22
Dugis, Vinsensio. 2007. Explaining Foreign Policy Change, hal. 101. 23
Holsti, K.J. 1983. International Politics, A Framework for Analysis, dalam Dugis, “Explaining Foreign Policy Change”, hal. 102.
24 ibid. 25
7
Peran negara bisa dimengerti sebagai definisi yang dipakai oleh para
pembuat kebijakan tentang keputusan – keputusan umum, komitmen, aturan, dan
aksi yang sesuai dengan negara mereka dan persepsi tentang bagaimana
seharusnya negaranya bertindak dalam lingkup isu dan greografis yang beraneka
ragam.26 Sedangkan tujuan disini berarti sebuah gambaran atau kondisi yang
diharapkan untuk dicapai di masa depan dengan menggunakan pengaruh ke luar
batas negara dan dengan mengubah atau meneruskan perilaku negara lain.27
Sementara aksi adalah kebijakan aktual dari pemerintah suatu negara yang
dilakukan terhadap negara lain.28
26 ibid. 27
ibid. 28
8
Gambar 1.1 : Keterkaitan dan Relevansi Komponen – komponen Pembentuk Kebijakan Luar Negeri
Sumber: Dugis, 2007 : 102
Kebijakan luar negeri Cina yang mengutamakan kerjasama ekonomi
dengan menggunakan prinsip non – intervensi memudahkan negara ini untuk
bekerjasama dengan negara manapun tanpa negara tersebut khawatir bahwa Cina
akan mencampuri urusan domestik negara tersebut. Sudan merupakan salah satu
negara yang menjadi rekan kerjasama ekonomi Cina yang sangat dekat, maka
kebijakan luar negeri Cina terhadap negara – negara Afrika secara umum lebih
Orientasi
Kebijakan Luar
Negeri
Peran Negara
9
diarahkan kepada kebijakan ekonomi dan bagaimana menciptakan hubungan yang
saling menguntungkan.29
Gambar 1.2 : Konsep Kebijakan Luar Negeri Cina terhadap Sudan
Sumber : analisis pribadi berdasarkan teori kebijakan luar negeri Holsti
Kerjasama ekonomi adalah fokus kebijakan luar negeri yang utama.
Dengan Sudan, kerjasama ekonomi yang mendasari keduanya adalah tentang
minyak, dimana seperti disebutkan sebelumnya bahwa Cina adalah rekan
29
Sutter, op.cit., hal 373.
Pengembangan dan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan
Kebijakan luar negeri Cina dengan prinsip
non - intervensi
Meningkatkan
perekonomiannya dan negara lain, menciptakan perdamaian dunia
Kerjasama ekonomi, anti hegemoni, perdamaian
internasional
Mempromosikan
10
kerjasama ekonomi Sudan nomor satu dalam investasi minyak. Energy security
menjadi salah satu fokus dalam kebijakan ekonomi Cina karena suplai minyak
yang aman sangat dibutuhkan dalam pembangunan perekonomian Cina.
Kebijakan dengan prinsip non – intervensi dianggap tepat untuk menciptakan
kerjasama yang kondusif karena masing – masing negara hanya akan mengurusi
sektor perekonomian tanpa terlibat terlalu jauh dalam sektor politik negara lain
yang biasanya justru akan memicu pergesekan dan mengakibatkan konflik.
Kerjasama ekonomi juga diharapkan Cina bisa memunculkan kesadaran anti –
hegemoni, dimana semua negara adalah berdaulat dan tidak berhak untuk
mencampuri urusan satu sama lain.
I.5.2 Teori Pembuatan Kebijakan Luar Negeri
Pengambilan keputusan adalah proses tentang pemilihan yang terbentuk
secara rasional, serta pemilihan sasaran alternatif yang ingin diterapkan dalam
kebijakan luar negeri.30 Ada dua elemen yang mempengaruhi pembuat kebijakan
untuk membuat kebijakan tertentu yaitu, elemen internal dan eksternal.31 Elemen
internal membentuk konteks latar belakang pembuatan kebijakan. Elemen ini
meliputi keadaan sumber daya, posisi geografis, perkembangan ekonomi, serta
keberadaan aktor – aktor pembuat keputusan yang kerangka berpikirnya
dipengaruhi ideologi dan nilai fundamental.32
30
Snyder, Richard, Henry Bruck, dan Sapin, Burton. 1962. Foreign Policy Decision - making. Palgrave Macmillan, hal. 65.
31
Evans, G. 1998. The Penguin Dictionary of International Relations. New York; Penguin Putnam, Inc., hal. 179.
32 ibid.
11
dimana kebijakan tersebut diterapkan dan kemudian akan menghasilkan umpan
balik.33
Aktor – aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan luar negeri
biasanya adalah individu atau kelompok.34 Aktor individu dan kelompok berperan
signifikan dalam pembuatan keputusan karena posisi mereka yang kuat di dalam
negara. Di Cina sendiri, kelompok merupakan aktor penentu dalam setiap
pembuatan keputusan, termasuk dalam kebijakan luar negeri.35
Perubahan dalam kebijakan luar negeri dari suatu pemerintahan adalah
sesuatu yang biasa.
I.5.3 Teori Perubahan Kebijakan Luar Negeri
36
Secara umum, perubahan kebijakan luar negeri dibagi
menjadi dua yaitu, perubahan akibat perubahan rezim atau transformasi negara,
dan perubahan yang terjadi ketika pemerintahan yang ada memutuskan untuk
memasukkan arah kebijakan luar negeri yang berbeda.37 Sedangkan menurut
Holsti ada empat tipe perubahan kebijakan luar negeri.38
33 ibid. 34
Hudson, Valerie. 2007. Foreign Policy Analysis; Classic and Contemporary Theory. New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., hal.32.
35
Lanteigne, op.cit., hal. 24. 36
Hermann, Charles. 1990. Changing Course: When Governments Choose to Redirect Foreign
Policy. The Ohio State University; The International Studies Quaterly
37 ibid. 38
Holsti, K.J. 1982. “Restructuring Foreign Policy: A Neglected Phenomenon in Foreign Policy Theory”, dalam Dugis Explaining Foreign Policy Change.
Tipe pertama adalah
isolasi, yaitu dikarakterisasi oleh keterlibatan asing pada tingkat paling rendah
yang dikombinasikan dengan kebijakan ekslusi yang komprehensif.
Konsekuensinya adalah komitmen diplomatik dan militer dihindari, transaksi
12
Tipe kedua adalah self – reliance yang ditandai dengan diversifikasi perdagangan, kontak diplomatik, dan kebudayaan. Dalam tipe ini level transaksi
masih rendah dan menghindari komitmen militer. Tipe ketiga yaitu
ketergantungan (dependence) adalah situasi dimana aksi dan transaksi yang
ditujukan terhadap lingkungan di luar batas negara cukup tinggi. Konsentrasi
terhadap negara – negara lain tinggi. Akibatnya, penetrasi dari aktor eksternal
dalam bentuk apapun juga tinggi.
Tipe keempat adalah diversifikasi non –blok (non – alignment
diversification) memiliki karakteristik dimana negara memiliki sejumlah aksi dan
transaksi dengan banyak negara berbeda yang tinggi. Tekanan eksternal yang
cukup tinggi sangat mungkin terjadi, tetapi pemerintah berusaha
menyeimbangkan perbedaan antara jumlah dan tipe agen – agen luar negeri.
Sebagai tambahan, komitmen terhadap militer juga sangat dihindari. Perubahan
dari satu tipe ke tipe yang lain sangat mungkin terjadi.
Cina sendiri memiliki karakter yang terakhir dimana hubungannya tidak
hanya dengan negara – negara demokrasi dan maju seperti Amerika Serikat atau
beberapa negara di Eropa, tetapi juga dengan negara – negara yang dianggap
otoriter dan bermasalah dengan isu HAM tetapi memiliki sumber daya yang
melimpah seperti Sudan. Teori ini digunakan untuk menjelaskan perubahan
kebijakan luar negeri Cina dalam hal prinsip non – intervensi disebabkan oleh
kondisi di Sudan yang menuntut adanya kebijakan luar negeri baru untuk
mengakomodasi situasi politik di Sudan yang berpengaruh langsung terhadap
13
I.6 HIPOTESIS
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran, hipotesis dari penelitian ini
adalah bahwa perubahan sikap Cina akan implementasi kebijakan luar negeri non
– intervensi terhadap Sudan diakibatkan oleh kepentingan – kepentingan Cina
dalam hal kerjasama ekonomi, lebih spesifik mengenai kerjasama minyak yang
melatarbelakangi hubungan Cina dengan Sudan dimana kondisi politik di Sudan
tidak bisa diakomodasi dengan kebijakan luar negeri yang sebelumnya, yakni
kebijakan non – intervensi. Konflik Sudan membahayakan keberlangsungan
kepentingan Cina di negara itu, secara khusus, dan di lingkungan internasional,
secara umum, bila tidak ditangani dengan kebijakan luar negeri yang baru.
I.7. DEFINISI KONSEPTUAL
• Perubahan kebijakan luar negeri : Pengarahan kembali dari kebijakan
luar negeri suatu negara.39 Kebijakan luar negeri sendiri adalah sebuah
aksi yang berorientasi pada tujuan, yang diambil oleh otoritas
pemerintah terhadap lingkungan di luar batas – batas negara itu (baik
terhadap negara lain maupun aktor non – negara).40
• Kepentingan nasional : Konsep kunci dalam kebijakan luar negeri.
Konsep tersebut diorientasikan pada ideologi suatu negara atau pada
sistem nilai sebagai pedoman perilaku negara tersebut. Artinya
keputusan dan tindakan politik luar negeri bisa didasarkan pada
pertimbangan - pertimbangan ideologis ataupun dapat terjadi atas dasar
39
Dugis, hal. 103. 40
14
pertimbangan kepentingan. Namun bisa juga terjadi campuran antara
ideologi dengan kepentingan sehingga terjalin hubungan timbal balik
dan saling mempengaruhi antara pertimbangan - pertimbangan
ideologis dengan pertimbangan - pertimbangan kepentingan yang tidak
menutup kepentingan terciptanya formulasi kebijakan luar negeri yang
lain atau baru.41
• Energy security : istilah yang diasosiasikan dengan kepentingan nasional dan ketersediaan sumber daya alam untuk konsumsi
energi.Akses terhadap energi yang murah menjadi esensial untuk
perekonomian modern. Ancaman terhadap energy security termasuk instabilitas politik dari negara produsen energi, manipulasi suplai
energi, kompetisi atas sumber energi, serangan terhadap infrastruktur
energi seperti bencana alam, terorisme, serta ketergantungan negara -
negara dominan terhadap suplai minyak luar negeri.42
• Konflik : tindakan menentang sesuatu yang tidak diinginkan oleh
negara atau orang.43
• Non – intervensi : sebuah kebijakan luar negeri dimana suatu negara
tidak ikut campur akan perkara negara lain.44
41
Saputra, Sumpena Prawira. 1985. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta, Remaja Karya Offset, hal. 24.
42
Australian Strategic Policy Institute [pdf]. Diakses dari http://www.aspi.org.au/publications/publication_details.aspx?ContentID=142&pubtype=5 pada 6 Februari 2012.
43
Diakses dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/conflict pada 12 Oktober 2011. 44
15 • Intervensi : sebuah kebijakan yang dibuat untuk mencampuri urusan
negara lain.45
I.8 DEFINISI OPERASIONAL
• Perubahan kebijakan luar negeri Cina : Pengarahan kembali
kebijakan luar negeri Cina untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu.
Perubahan ini sendiri berada pada konsistensi pengimplementasian
prinsip non – intervensi yang selama ini menjadi bagian dari
kebijakan luar negeri Cina dalam melakukan hubungan dengan
negara lain. Perubahan terjadi khusus pada Sudan yang mengalami
konflik yang memisahkan negara itu menjadi Sudan Utara dan
Sudan Selatan. Tujuan Cina yang terangkum dalam kepentingan
nasionalnya tidak berubah, namun bagaimana cara Cina dalam
mendapatkannya yang kemudian mengalami perubahan.
• Kepentingan nasional Cina di bidang ekonomi : Cina memiliki
kepentingan nasional yang sangat besar di bidang ekonomi. Hal ini
ditunjukkan dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi
Cina dari tahun ke tahun dan kerjasama Cina dengan Sudan sebagian
besar berpusat pada kerjasama dalam investasi sumber daya alam
berupa minyak dan ekspor produk – produk Cina ke Sudan juga
besar.
45
16 • Oil security : bagian dari energy security dan merupakan salah satu fokus dalam kebijakan nasional sebuah negara dengan tujuan untuk
melindungi negara dari kehancuran ekonomi yang disebabkan oleh
perang, terorisme, kecelakaaan, bencana alam, keputusan -
keputusan politik yang merugikan kepentingan nasional di bidang
minyak, dan sebagainya, dengan cara kerjasama dengan negara -
negara penghasil minyak.
• Konflik Sudan : pertentangan yang terjadi antara masyarakat di
Sudan bagian utara dan selatan karena masyarakat Sudan di bagian
selatan merasa diperlakukan tidak selayaknya oleh pemerintah
Sudan yang dianggap lebih mementingkan mereka yang berada di
Sudan bagian utara. Selain konflik yang terjadi antara pemerintah
Sudan di Khartoum (Sudan Utara) dan masyarakat di Sudan bagian
selatan, konflik Sudan juga meliputi konflik yang terjadi di wilayah
Darfur.
• Prinsip non – intervensi Cina : salah satu prinsip mendasar dalam
Five Principles of Peaceful Coexistence yang telah menjadi fondasi kebijakan luar negeri Cina sejak era 1980an. Prinsip ini membatasi
Cina dalam melakukan campur tangan terhadap urusan domestik
negara lain sehingga menjauhkan Cina dari potensi terlibat konflik
seperti perang dengan negara tersebut. Indikatornya adalah netralitas
Cina atas setiap keputusan maupun tindakan Sudan menyangkut
17
dasar prinsip ini. Diplomasi dan persuasi juga tidak dilakukan untuk
mempengaruhi kebijakan negara lain. Cina tidak menghukum berupa
pemberian sanksi dalam bentuk apapun (embargo ekonomi atau
pemutusan hubungan kerjasama). Prinsip non – intervensi ini
memudahkan Cina dalam melakukan kerjasama dengan negara
manapun selama negara itu bisa memberi keuntungan ekonomi dan
politik bagi Cina.
• Intervensi Cina terhadap Sudan : Cina menunjukkan perubahan
sikap yang sebelumnya mendukung pemerintah Sudan dalam setiap
keputusan politiknya yang berkaitan dengan keadaan domestik
negaranya. Cina mendukung Sudan dengan melakukan veto ketika
sidang Dewan Keamanan PBB yang akan memberi sanksi pada
negara itu dengan alasan prinsip non - intervensi. Tetapi kemudian
Cina bersikap tidak konsisten pada prinsip ini dengan pertemuan
langsung antara Presiden Hu Jintao dengan Presiden al – Bashir
untuk mempersuasi pemerintah Sudan agar mau menerima pasukan
gabungan dari PBB dan Uni Afrika untuk membantu menyelesaikan
konflik di Sudan. Cina juga melakukan komunikasi intens dengan
otoritas Sudan Selatan yang belum resmi. Perubahan ini dilakukan
18
I.9 TIPE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian eksplanatif, sesuai dengan
rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, untuk menjelaskan
mengenai mengapa Cina melakukan perubahan dalam mengimplementasikan
kebijakan luar negerinya yaitu,kebijakan non – intervensi terhadap Sudan.
I.10 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
melalui studi pustaka.46
Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
penjelasan berupa kata – kata untuk menganalisa data – data yang sudah
diperoleh. Tujuannya adalah untuk memperoleh sejumlah kecenderungan yang
disimpulkan sebagai hasil penelitian. Teknik ini dikenal dengan teknik analisa
data bersifat kualitatif.
Teknik ini memungkinkan peneliti untuk menelusuri dan
mencari informasi yang relevan dengan cara meneliti artikel – artikel yang
terdapat dalam jurnal penelitian sosial, buku – buku, disertasi maupun penelitian
yang telah ada sebelumnya, dokumen dari website pemerintah, koran dan majalah baik cetak maupun internet.
I.11 TEKNIK ANALISA DATA
47
46
Neuman, WL. 2000. Social Research Method. Boston; Allyn & Bacon. Hal. 448 – 454. 47
Effendi, S. (ed). 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta; LP3ES.
Dengan menggunakan teknik ini maka peneliti bisa
menganalisa data baik kualitatif maupun kuantitatif. Terhadap data kualitatif,
19
terhadap data kuantitatif, analisa dilakukan untuk menerangkan kejelasan angka
atau membandingkan beberapa gambaran sehingga diperoleh gambaran baru.
I.12 SISTEMATIKA PENULISAN
Secara keseluruhan, penelitian ini terbagi menjadi empat bab, yaitu :
- Bab I adalah bab pendahuluan yang memiliki 12 sub – bab. Bab ini digunakan
sebagai petunjuk metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Isi dari bab
pendahuluan adalah latar belakang masalah yang menjadi permasalahan
penelitian, rumusan masalah yang akan dijawab, tujuan penelitian, jangkauan
penelitian yang membatasi waktu permasalahan yang diteliti, kerangka pemikiran,
hipotesis, konseptualisasi variabel, operasionalisasi variabel, teknik pengumpulan
data, teknik analisis data, terakhir adalah sistematika penulisan. Bagian awal ini
adalah sangat penting untuk melanjutkan penelitian.
-Bab II dalam penelitian ini berisi pemaparan tentang evolusi dan dinamika
kebijakan luar negeri Cina sejak merdeka di bawah pemerintahan Mao hingga saat
ini di bawah pemerintahan Hu Jintao. Di bab ini juga dipaparkan mengenai
kebijakan luar negeri Cina terhadap Sudan yang memperlihatkan bagaimana
hubungan antar kedua negara.
-Bab III adalah bab yang menjelaskan tentang perubahan kebijakan non –
intervensi Cina sebagai bagian dari strategi minyak Cina di Sudan karena konflik
Sudan bisa mengancam investasi minyak Cina di negara tersebut.
20
BAB II
DINAMIKA KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA SEBAGAI USAHA PENYESUAIAN DIRI TERHADAP GLOBALISASI
Kebijakan luar negeri Cina di era kontemporer tidak bisa dipisahkan
begitu saja dari sejarahnya di masa lalu. Sejarah memainkan peran yang sangat
penting bagi Cina dalam membentuk setiap kebijakan luar negerinya di masa kini
dan bagaimana negara ini merespon kebijakan luar negeri negara lain, serta sistem
yang berlaku. Bab ini memaparkan bagaimana kompleksitas dinamika kebijakan
luar negeri Cina sejak era Mao hingga abad 21 sebagai usaha akan penyesuaian
terhadap tuntutan globalisasi dan perekonomian, serta bagaimana kebijakan luar
negeri Cina terhadap Sudan.
II.1 Kebijakan Luar Negeri Cina di Era Mao (1949 – 1978): Era Sebelum Reformasi Ekonomi dan Awal Hubungan Cina dengan Negara – negara Afrika
Mao Zedong merupakan tokoh sentral yang memiliki peran sangat penting
dalam awal pembentukan kebijakan luar negeri bagi Cina. Dimulai pada tahun
1945 ketika Mao memimpin Partai Komunis Cina dan sejak Oktober 1949 partai
ini mendominasi Cina.48
48 ibid.
Pada dekade pertama Mao memperlihatkan
kecenderungan kebijakan luar negeri yang kuat, yakni kedekatan dengan Uni
21
negara lain.49 Di saat yang sama, hubungan internasional Cina merefleksikan
kecurigaan yang mendalam terhadap negara - negara Barat, terutama Amerika
Serikat, karena negara ini mendukung pemimpin Partai Nasional, Chiang Kai-Sek,
yang ingin mendirikan pemerintahan baru di Taiwan setelah diasingkan dari Cina
daratan.50
Persepsi kebijakan luar negeri Cina di masa awal berdirinya negara ini
terhadap sistem internasional dibentuk oleh dua peristiwa yang menciptakan
sebuah skeptisme mendalam mengenai keuntungan organisasi untuk negara ini.51
Peristiwa pertama adalah kegagalan usaha Cina di tahun 1949 untuk mendapat
posisi di PBB. Kegagalan ini karena Amerika Serikat menolak mengakui Partai
Komunis Cina dan pemerintahan Mao sebagai entitas berdaulat yang memimpin
Cina, tetapi justru menganggap bahwa pemerintahan Chiang Kai-Sek sebagai
pemerintahan yang sah.52 Peristiwa kedua merupakan serangan tentara
komunis Korea Utara ke Korea Selatan pada Perang Korea di tahun 1950 -
1953.53 Amerika Serikat memimpin pembentukan pasukan perdamaian PBB,
sementara Uni Soviet keluar dari Dewan Keamanan PBB.54
Taiwan diberi posisi sebagai perwakilan sah oleh PBB yang mewakili negara tersebut dan Cina
(Events of 1971, diakses dari http://www.upi.com, pada 5 Januari 2012)
53 ibid. 54
ibid.
Karena pasukan yang
dipimpin Amerika Serikat semakin mendekat ke Korea dan perbatasan Cina, Mao
memutuskan untuk mengirim pasukan ke Korea Utara untuk membantu pasukan
22
diluncurkan dengan tajuk "Lawan Amerika dan Bantu Korea".55 Di tahun 1950,
lebih dari 30% anggaran nasional Cina didedikasikan untuk membantu perang
melawan agresi Amerika Serikat di Korea.56 Mao menentang keras imperialisme
Amerika Serikat dengan menyatakan bahwa jika Amerika Serikat bisa melakukan
agresi di Korea, maka Cina juga akan melakukan serangan ke seluruh wilayah
Asia.57 Karena sikap – sikap ini maka banyak negara Barat yang mengisolasi Cina
dari pergaulan internasional yang didominasi oleh Amerika dan sekutunya.58
Di tahun 1955, Cina ikut dalam Konferensi Bandung (Konferensi Asia
Afrika) yang diadakan di Bandung, Indonesia.59 Konferensi ini penting bagi
kebijakan luar negeri Cina saat itu karena di awal tahun 1950an banyak negara
bangkit dari kolonialisme dan terlibat serangkaian konflik dengan imperialisme
Amerika Serikat. Cina ingin bersatu dengan negara - negara ini dengan sebuah
program pengembangan mutual support dan perlindungan bersama melawan Amerika Serikat serta negara imperialis lainnya, dan di konferensi inilah negara -
negara tersebut bersatu dengan salah satu tujuan untuk mempersatukan kerjasama
ekonomi dan budaya kawasan Asia dan Afrika.60
55
MLM Revolutionary Study Group in the US. 2007. Chinese Foreign Policy during the Maoist
Era and its Lessons for Today [pdf]. Diakses dari
http://www.cddc.vt.edu/marxists/history/erol/ncm-5/cpc-policy.pdf, pada 20 April 2011. 56
MLM Revolutionary Study Group in the US, loc.cit. 60
ibid.
Dalam konferensi ini pula
23
"colonialism of a new type".61 Zhou Enlai menegaskan bahwa Cina menggunakan prinsip - prinsip tersebut untuk menjamin bahwa negaranya tidak akan
mencampuri urusan domestik negara - negara anggota Konferensi Bandung atau
mendukung kelompok gerakan revolusi di negara - negara tersebut, seperti yang
sebelumnya dilakukan terhadap beberapa negara di Afrika atau Vietnam.62
Hubungan antara pemerintah Cina dan Sudan sendiri dimulai sejak tahun
1959.63 Sudan adalah negara keempat yang mengakui kemerdekaan Cina pada 4
Februari 1959.64 Perdana Menteri Zhou Enlai sempat mengunjungi Khartoum
pada Januari 1964. Sudan memberikan dukungan kepada Cina untuk masuk
menjadi anggota PBB di bawah pemerintahan Presiden Abboud. Selain
memberikan suplai peralatan militer ke Sudan, pemerintah Cina juga membantu
Sudan dengan memberi bantuan ekonomi, pinjaman bunga lunak, dan bantuan -
bantuan teknis lainnya. Di tahun 1970 Cina membangun Friendship Hall di
Khartoum sebagai simbol hubungan kedua negara yang semakin baik.65
Large, Daniel. 2008. China and the Contradictions of Non - Interference in Sudan: Review of
African Political Economy [pdf]. Department of Politics and International Studies, School of
Oriental and African Studies, Rift Valley Institute's Sudan Open Archive, London. 64
Large, Daniel. 2008. Sudan's Foreign Relations with Asia (China and the Politics of 'looking
east') [pdf]. Institute for Security Studies.Diakses dari
http://dspace.cigilibrary.org/jspui/bitstream/123456789/30875/1/PAPER158.pdf?1, pada 12 Januari 2012
65 ibid.
Pada
tahun - tahun awal hubungan kedua negara lebih disebabkan karena Cina ingin
membentuk aliansi dengan negara - negara Afrika untuk mencapai tujuan Cina
ketika mengikuti Konferensi Bandung. Advokasi Cina dalam Konferensi
Bandung membantu negara itu keluar dari isolasi dan memperlihatkan kebijakan
24
merdeka dipandang sebagai aliansi paling dasar dari usaha Cina melawan
kekuatan negara Barat yang menganut imperialisme.66 Prinsip - prinsip kebijakan
luar negeri ini ditujukan khusus untuk hubungan Cina dengan negara - negara
sosialis karena doktrin Mao bahwa Cina tidak akan berhubungan dengan negara -
negara non - sosialis. Di era ini sangat jelas bahwa kebijakan luar negeri Cina
lebih diarahkan kepada penentangan akan dominasi Amerika Serikat dalam sistem
internasional, serta memperkuat aliansi dengan negara – negara sosialis yang
dijajah oleh negara Barat dalam Konferensi Bandung.67 Namun, di tahun 1970an
paradoks terjadi pada kebijakan luar negeri Cina. Mao dan Zhou Enlai menjadi
arsitek utama dalam pembuatan kebijakan luar negeri Cina dan memutuskan
bahwa negara ini harus memperoleh posisi dalam PBB dan menggeser Taiwan.
Salah satu strateginya adalah dengan menormalisasi hubungan dengan 100 negara,
termasuk negara – negara Barat.68 Cina kemudian memperoleh keanggotaan PBB
di tahun 1971 yang merupakan hasil voting lebih dari dua pertiga anggota PBB.69
Dengan menjadi anggota PBB posisi Cina mengalami kenaikan yang cukup
penting dalam hubungannya dengan negara lain. Selama Perang Dingin
berlangsung beberapa negara di Afrika melihat Cina sebagai penyeimbang antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet.70
66
Large, China and the Contradictions of Non - Interference in Sudan: Review of African Political
Economy, loc.cit.
67
Cina ikut serta memperkenalkan Five Principles of Peaceful Coexistence dalam Gerakan Non – Blok tahun 1955, yakni aliansi negara – negara di kawasan Asia dan Afrika, yang dihasilkan Konferensi Bandung, yang menginginkan pengakuan atas kedaulatan dan integritas teritori mereka serta menentang imperialisme, kolonialisme, dan rasisme. (MLM Revolutionary Study Group in the U.S, loc.cit.)
68 ibid. 69
Events of 1971, loc.cit.
70
Laporan dari Global Witness on the Democratic Republic of Congo bulan Maret tahun 2011 [pdf].
25
yang dekat dengan Cina. Sejak tahun 1971, setahun setelah masuknya Cina dalam
PBB, Presiden Mobutu mengunjungi Cina sebanyak lima kali selama masa
pemerintahannya. Pemerintah Cina memberikan beberapa donasi kepada Kongo,
termasuk dua bangunan elit di ibukota Kongo yakni, bangunan National
Assembly dan Martyrs' Stadium. Cina juga memberikan bantuan - bantuan
ekonomi sebagai imbalan bagi Kongo dan beberapa negara Afrika lain karena
mendukung kebijakan ‘Satu Cina’, bahwa Taiwan adalah bagian dari Cina.71
Era ini juga disebut era reformasi dan dimulai pada tahun 1978 setelah
kematian Mao.
Di
bawah pemerintahan Mao, kebijakan luar negeri Cina diarahkan kepada
penegasan status Cina secara politik termasuk atas isu Taiwan dan posisinya di
PBB, serta perlawanan terhadap imperialisme negara – negara Barat dengan
diplomasi yang dilakukan terhadap negara – negara dunia ketiga termasuk Asia
dan Afrika.
II.2 Kebijakan Luar Negeri di Era Deng Xiaoping (1978 – 1990): Era Reformasi Ekonomi dan Pengembangan Strategi
72
Deng Xiaoping meneruskan pemerintahan dengan
mempertanyakan kebijakan luar negeri yang dibuat Mao. Deng mengusulkan
perubahan total arah kebijakan luar negeri Cina dengan memprioritaskan
perekonomian Cina.73
71 ibid. 72
Lanteigne, op.cit., hal. 6. 73
ibid.
Setelah Perang Korea, Cina belajar bahwa dalam hal
26
internasional, perang itu terbukti sangat buruk bagi Cina.74 Deng terus - menerus
menggaungkan perlunya perubahan prioritas oleh Cina dari revolusi menjadi
modernisasi. Sejak awal 1980an, Deng menyebutkan tiga tugas bagi Cina dalam
tiga dekade berikutnya: untuk melawan hegemonisme dan menjaga perdamaian
dunia, mengusahakan reunifikasi Cina dengan Taiwan, serta memajukan
modernisasi Cina.75
Di era ini kebijakan luar negeri Cina fokus pada usaha membentuk
lingkungan internasional yang damai.76 Salah satu cara yang digunakan adalah
dengan mempromosikan strategi ekonomi, yakni bahwa Cina ingin bekerjasama
dengan negara lain dalam mengembangkan perekonomian dan modernisasinya.
Dengan perekonomian yang lebih terbuka ini menandakan usaha Cina untuk
berintegrasi dengan dunia internasional sehingga peran Cina akan lebih diakui dan
hal tersebut sudah pasti akan menguntungkan bagi Cina sendiri. Eksekusi pertama
dari kebijakan ini adalah ketika pada tahun 1980 Cina mulai memfasilitasi
pembentukan Special Economic Zones (SEZs) di Cina bagian selatan dan mengundang berbagai investor asing untuk berinvestasi di zona ini.77 Di tahun
yang sama pula Cina mulai mendekat pada dua organisasi, yakni IMF dan Bank
Dunia, dan mendapatkan banyak pinjaman modal untuk meningkatkan industri
tekstilnya yang menjadi komponen utama dalam perekonomian Cina ketika itu.78
74
Zhao, Quansheng. 1996. Chinese Foreign Policy After Cold War [pdf]. Diakses dari http://www.janeluinas.lt/files/Quansheng Zhao Chinese foreign policy after cold war.pdf, pada 26 Desember 2011.
Lanteigne, op.cit., hal. 7. 78
ibid.
27
berhubungan dengan negara – negara Barat, dalam hal ini sebagai bagian dari
investasi ekonomi. Pemerintah Cina juga menandatangani Multi Fibre Agreement
(MFA) di tahun 1983 dengan tujuan agar Cina mendapat tempat dalam
perdagangan tekstil internasional.79 Salah satu tujuan dari ekspor tekstil Cina
adalah negara – negara Sub – Sahara Afrika. Namun, kontribusi pasti akan jumlah
ekspornya sendiri tidak terdokumentasi secara jelas, tetapi diyakini dalam jumlah
yang substansial.80 Di Sudan, Cina juga membangun pabrik tekstil dan tenun di
kawasan Hassa – Heissa.81 Perekonomian Cina mengalami banyak perubahan
ketika kebijakan industrialisasi dengan menarik modal dan teknologi asing
diimplementasikan. Hal ini berdampak pada naiknya ekspor Cina, termasuk
ekspor ke Afrika, dari $300 juta pada 1976 meningkat jadi $2,2 juta di tahun
1988, meskipun ini bisa dikatakan hanya sebagai bagian kecil dari ekspor Cina
secara keseluruhan.82 Maka salah satu upaya untuk mendorong perekonomiannya
adalah dengan investasi di bidang minyak sebagai sumber energi.83 Sejak tahun
tahun 1950an hingga awal 1990an Cina telah mengembangkan lebih dari 18
ladang minyak dan gas onshore dan tujuh ladang minyak offshore yang menghasilkan 140 juta ton minyak per tahun. Selain mulai mengekspor barang –
barang murah ke luar negeri, Cina juga mengekspor minyak, diawali tahun 1985
ketika 25% dari produksi minyaknya diekspor keluar negeri.84
79 ibid. 80
Dayaratna - Banda dan John Whalley. 2007. After The Multifibre Arrangement, The China
Containment Agreements [pdf]. Asia - Pacidic Trade and Investment Review, Vol.3, No.1. Diakses
dari http://www.unescap.org/tid/publication/aptir2456_BandaWhalley.pdf, pada 11 Januari 2012. 81
Maglad, loc.cit. 82
Sutter, op.cit., hal. 369. 83
Hadi, Syamsul, dan Wibowo. 2009. Merangkul Cina. Jakarta; Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 170.
84
28
Sementara itu prinsip non – intervensi Cina dalam kebijakan luar
negerinya terlihat ketika Cina secara vokal dan terbuka meminta Uni Soviet untuk
menarik pasukannya yang menyerang Afghanistan dan Mongolia pada tahun
1980an.85 Hubungan Cina dan Uni Soviet sedikit merenggang karena pasukan
militer Uni Soviet mendekati perbatasan Cina di bagian utara ketika menginvasi
Mongolia. Cina juga mulai memikirkan kembali hubungannya dengan Amerika
Serikat yang sempat membaik karena usaha reformasi kebijakan luar negeri Cina.
Hal ini dikarenakan Presiden Amerika Serikat ketika itu, Ronald Reagan,
menyatakan dukungannya yang kuat terhadap Taiwan.86 Sementara hubungan
Cina dengan Amerika Serikat kembali dingin, Cina semakin memperkuat
hubungan dengan negara – negara dunia ketiga.87 Hubungan Cina dengan negara
– negara Afrika juga semakin kuat ketika Insiden Tiananmen terjadi pada 1989.
Negara – negara Barat, terutama Amerika Serikat, semakin mengisolasi Cina
karena peristiwa ini dianggap penodaan Cina terhadap praktek perlindungan atas
hak asasi manusia. Menteri Luar Negeri Cina ketika itu, Qian Qichen,
mengunjungi sebelas negara Afrika sebulan setelah insiden tersebut terjadi. Cina
menyadari bahwa negara – negara Afrika, yang termarjinalkan seiring dengan
beralihnya investor – investor Barat dan Asia ke wilayah lain, tetap mendukung
Cina dan menyambut gembira adanya komitmen yang lebih kuat dari Cina untuk
berhubungan dengan Afrika.88
Dalam kurun waktu 1981 hingga 1989 sendiri
29
beberapa proyek yang dibangun Cina di negara itu, seperti pabrik pakaian, rumah
sakit, pusat pelatihan tenaga kerja, dan beberapa jembatan di Khartoum.89
Insiden Tiananmen dan sanksi ekonomi dari negara - negara Barat
(termasuk penolakan terhadap Cina dari GATT), disintegrasi dengan Uni Soviet,
serta runtuhnya komunisme di Eropa Timur menyadarkan Deng bahwa Cina
butuh pembangunan strategi baru.90 Strategi - strategi yang diarahkan oleh Deng
antara lain: perhatikan dan analisa perkembangan Cina dan dunia dengan hati -
hati, amankan posisi Cina, atasi perubahan - perubahan dengan percaya diri,
sembunyikan kemampuan, selalu rendah diri, jangan memimpin, dilarang
berkonfrontasi langsung dengan negara - negara Barat, jangan membuat musuh
(termasuk dilarang mengintervensi urusan internal negara lain baik mereka negara
sosialis atau bukan), serta melangkah melebihi pertimbangan ideologi.91
Perubahan kebijakan luar negeri yang mendasar seperti mulai bersikap terbuka
terhadap dunia internasional dianggap Deng bisa membantu mengurangi persepsi
negatif negara – negara lain tentang Cina yang ketika itu diisolasi dari dunia
internasional.92 Banyak kalangan intelektual Cina yang melihat sikap – sikap Cina
ini adalah bentuk perubahan kebijakan luar negeri dari yang berorientasi ideologi
pada era Mao menjadi pragmatisme yang diperkenalkan oleh Deng Xiaoping.93
Kebijakan luar negeri di era ini memberikan fondasi yang kuat kepada kebijakan
luar negeri Cina setelah Perang Dingin, terutama dalam pemantapan orientasi
30
II.3 Kebijakan Luar Negeri di Era Jiang Zemin (1990 – 2002): Kebijakan Membuka Diri melalui Kerjasama Ekonomi dan Peningkatan Hubungan dengan Sudan
Pada akhir Perang Dingin, Cina meneruskan reformasi yang dijalankan
oleh Deng Xiaoping. Namun tugas berat bagi pemimpin selanjutnya, Jiang Zemin,
adalah melepaskan Cina dari isolasi, terutama embargo ekonomi, negara – negara
Barat paska Insiden Tiananmen 1989.94 Amerika Serikat dan negara – negara
Barat merupakan kelompok negara yang mendominasi hubungan internasional
paska Perang Dingin hingga konsekuensinya adalah sistem yang berlaku
mengikuti standar dari negara – negara tersebut. Misalnya kerjasama ekonomi
global atau perdagangan bebas. Hal ini menuntut Cina untuk semakin fokus pada
pemenuhan kebutuhan ekonominya. Jika kebijakan luar negeri era Mao digunakan
untuk mencari aliansi dengan negara – negara bekas kolonial dan menentang
dominasi Barat, maka kebijakan luar negeri Cina setelah Perang Dingin adalah
untuk terus meningkatkan perekonomiannya.95
Kerjasama menjadi kata kunci penting dalam setiap keputusan Cina
terhadap hubungan internasional.96
94
Lanteigne, op.cit., hal. 62. 95
ibid.
96
Liu, hal. 3.
Hal ini terutama karena pengalaman di masa
lalu Cina bahwa dengan kebijakan luar negeri yang berbasis ideologi semata, Cina
menjadi terpuruk.Tingkat pertumbuhan ekonomi paska Perang Dingin cukup
31
kepercayaan diri Cina dalam aktivitas internasionalnya.97 Peristiwa Tiananmen
tidak menyurutkan keinginan negara ini untuk menjadi anggota GATT. Hal ini
terutama karena komitmen Cina untuk terbuka dan mengutamakan perkembangan
ekonominya, sehingga masuk menjadi anggota GATT menjadi salah satu prioritas
kebijakan luar negerinya.98 Meskipun banyak politisi dan akademisi lokal yang
mengkhawatirkan masuknya Cina ke dalam globalisasi, pemerintahan Jiang
menegaskan bahwa keanggotaan dalam organisasi – organisasi internasional
mutlak diperlukan demi perkembangan Cina sendiri.99 Konsekuensi keseriusan
Cina terhadap perkembangan ekonomi dan keinginannya masuk ke dalam GATT
ditunjukkan dengan meliberalisasi perekonomiannya dan pada Desember 2001
akhirnya Cina bisa menjadi anggota GATT (menjadi WTO dalam Uruguay Round
1994).100 Perekonomian Cina memang mengalami kenaikan sejak reformasi
ekonomi yang dijalankan oleh Deng, dan terutama sejak masuknya ke dalam
WTO di tahun 2001.101
Sejak reformasi ekonomi yang dimulai pada era Deng Xiaoping hingga
kini, GDP Cina secara konsisten berada di angka sembilan persen dan menjadikan
negara ini yang paling cepat tumbuh.102
Oleh karena itu, dalam pemerintahan
Jiang Zemin, memasuki berbagai organisasi internasional yang fokus pada
32
menjadi anggota APEC.103 Tahun 1991, Cina masuk menjadi bagian dari
organisasi ini dan di tahun awal 1990an Cina memanfaatkan keanggotaannya
dalam organisasi ini untuk menguji kebijakan liberalisasi perdagangannya sendiri
sebelum membawanya ke level internasional.104 Masih menggunakan prinsip non
– intervensi, Cina bisa merangkul negara mana saja untuk diajak kerjasama tanpa
takut bahwa kekuatan Cina yang semakin meningkat akan membahayakan negara
tersebut. Pada paska Perang Dingin negara ini juga tidak melihat adanya
keuntungan yang besar dengan meningkatkan aliansi Cina – Rusia, justru Cina
lebih memilih mendalami kerjasama dengan negara dimana tidak ada kepentingan
Amerika Serikat disana agar bisa memenuhi tujuan - tujuan Cina itu sendiri.105
Setelah hubungan kedua negara pada masa Mao Zedong hanya sebatas
hubungan berbasis ideologi dan mengalami pasang surut di era Deng Xiaoping, di
bawah pemerintahan Jiang Zemin Cina dan Sudan memulai hubungan yang lebih
intensif. Diawali ketika The National Islamic Front (NIF) mengambil alih Sudan melalui kudeta militer pada bulan Juni 1989, kemudian Omar al - Bashir ke
Beijing pada November 1990 untuk menemui Jiang Zemin. Salah satunya adalah Sudan.
106
103
Lanteigne, op.cit., hal. 63. 104
ibid, hal. 64. 105
Sutter, op.cit., hal. 46. 106
The National Islamic Front (NIF) adalah organisasi islam yang mengusung penegakan hukum syariah Islam, berisi mahasiswa - mahasiswa politik yang berdiri pada tahun 1970an dan Presiden Sudan, Omar al – Bashir, adalah pemimpin organisasi ini ketika melakukan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri terpilih Sudan, Sadiq al - Mahdi, pada Juni 1989, yang kemudian
menjadikan al - Bashir sebagai Presiden Sudan hingga kini. (Diakses dari
http://www.sudanupdate.org/WHOSWHO/NIF.HTM, pada 8 Januari 2012).
Semenjak itu,
hubungan Cina dengan Sudan merupakan hubungan berbasis perdagangan dengan
33
helikopter, satu juta bom berdaya ledak tinggi masing - masing seberat 1000 pon,
sebuah amunisi besar, dan diikuti dengan ekspor Cina berikutnya berupa pesawat
militer dan senjata - senjata ringan lainnya kepada pemerintah Sudan.107 Beberapa
usaha dilakukan untuk memperluas ikatan ekonomi antara keduanya dengan
Khartoum menggelar sebuah pameran perdagangan produk - produk Cina pada
1993. Pemerintah Sudan juga memperlihatkan ketertarikan terhadap keterlibatan
Cina dalam mengembangkan sektor minyak Sudan yang dimulai pada tahun
1994.108 Larangan impor minyak yang dulu benar – benar dilarang kemudian
dicabut karena perkembangan industrialisasi Cina sudah tidak memungkinkan
untuk dipenuhi sendiri oleh pasokan energi domestik atau bahkan untuk
diekspor.109 Sudan memanfaatkan perginya perusahaan – perusahaan minyak milik
Barat yang sebelumnya berinvestasi di negara ini.110
Tahun 1990 impor minyak mentah Cina baru sekitar 2,1 juta barel/hari,
tetapi dalam kurun waktu satu tahun impor ini meningkat menjadi 3,5 juta
barel/hari.
111
Mulai tahun 1993 Cina telah menjadi net importer minyak sepenuhnya dan tidak lagi mengekspor minyak.112
Hadi, Syamsul, dan Wibowo, op.cit., hal. 172. 110
Sutter, op.cit., hal. 376.Sebelumnya perusahaan minyak milik Amerika Serikat, Chevron, yang berinvestasi di ladang minyak Sudan, namun kemudian meninggalkan negara ini karena kekhawatiran akan terorisme dan praktek pelanggaran hak asasi manusia di Sudan dan beberapa negara Afrika lainnya. Perusahaan minyak Kanada juga menjual kembali investasinya kepada pemerintah Sudan setelah mendapat tekanan dari Amerika Serikat dan beberapa negara Barat lainnya.
kerjasama energi Cina dengan Sudan meraih momentum ketika Presiden al -
34
rendah dari Cina dengan sebuah perjanjian antara China Exim Bank dan Bank of Sudan untuk mendanai pengembangan minyak di Sudan. Pada awal Maret 1997, setelah memulai pengerjaan proyek minyak di Sudan bagian selatan, CNPC
menandatangani perjanjian kerjasama dengan Petronas, Talisman, dan Sudapet
(perusahaan minyak milik Malaysia, India, dan Sudan) yang tergabung dalam
Greater Nile Petroleum Operating Company (GNPOC) untuk mengerjakan tiga blok ladang minyak dengan model sharing investment risk.113
Produksi minyak di Sudan Selatan terhalang oleh kurangnya infrastruktur
yang memadai sehingga diperlukan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan
untuk mengekstraksi, membawa, memproses, dan mengekspor minyak dari Sudan
Selatan, termasuk fasilitas keamanan produksi, lapangan udara, dan sistem aliran
air. Anak perusahaan CNPC, China Petroleum Engineering and Construction Corporation, terlibat dalam pembangungan pipa minyak ini sepanjang 1600 km untuk menghubungkan produksi minyak menuju Laut Merah.114 Kilang minyak di
Khartoum juga dibangun oleh CNPC dan Kementerian Energi Sudan sebagai joint venture dengan investasi senilai $638 juta, yang mulai beroperasi pada Februari tahun 2000. Tahun 2001 CNPC membeli 41% saham dan perusahaan minyak
Cina lainnya, Sinopec, membeli 6% untuk mengembangkan dua konsesi minyak
di Melut Basin. Infrastrukur minyak lain dikembangkan oleh Cina termasuk pipa
dari ladang minyak di Sudan Selatan menuju Port Sudan sepanjang 1.392 km
yang mulai beroperasi pada April 2006.115
113
Large, loc.cit. Cina membeli 40% saham kepemilikan GNPOC, India 25%, Malaysia 30%, 5% dimiliki Sudapet, perusahaan minyak Sudan.
114
Large, loc.cit. 115
ibid.
35
Zemin, kebijakan luar negeri Cina memang tertuju pada bagaimana caranya
mengembangkan perekonomian dengan juga menetapkan kerjasama dengan
negara penghasil minyak seperti Sudan. Bisa dikatakan bahwa di bawah Jiang
Zemin ini Cina baru benar – benar terbuka secara ekonomi dan peningkatan
perekonomiannya yang semakin pesat menuntut adanya hubungan yang lebih baik
dengan Sudan selain sebagai salah satu negara yang menyuplai energi bagi Cina,
juga sebagai pasar produk – produk Cina.
II.4. Kebijakan Luar Negeri di Era Hu Jintao ( 2003 – sekarang ): Respon Cina atas Tuntutan Globalisasi dan Ujian terhadap Prinsip Non - Intervensi
Memasuki abad 21 peran Cina semakin naik, terutama dengan semakin
meningkatnya perekonomian Cina dan negara ini juga dengan cukup baik
mengontrol posisinya di dunia internasional sejak 1990an. Di bawah
pemerintahan Hu Jintao, Cina menekankan kebijakan luar negeri dengan
menunjukkan bahwa Cina terbuka untuk bekerjasama dengan negara manapun
karena hanya dengan kerjasama setiap negara bisa menciptakan perdamaian.116
116
Glaser, Bonnie S., dan Evan Medeiros. 2007. The Changing Ecology of Foreign Policy -
making in China: The Ascension and Demise of the Theory of "Peaceful Rise" [pdf]. Diakses dari
http://tailieu.tapchithoidai.org/Demise_of_Peaceful_Rise.pdf, pada 6 Januari 2012.
Ide ini dilatarbelakangi oleh citra di masa lalu, yaitu kecurigaan negara – negara
lain akan kebangkitan Cina akan menjadi sebuah ancaman bagi negara lain.
Dengan kebijakan yang berpijak pada perdamaian, ini bukan berarti Cina akan
menjauh dari tujuan pengembangan perekonomian, terutama karena Cina telah
terintegrasi ke dalam proses globalisasi, tetapi perdamaian yang diangkat Cina
36
standar hidup masyarakat Cina selama beberapa dekade ke depan, dan untuk
mencapai tujuan - tujuan ini Cina tidak akan mengganggu stabilitas internasional
atau menekan negara manapun.117 Setahun sebelumnya, Wakil Menteri dari
Kementerian Luar Negeri Cina menyatakan bahwa kemajuan yang dicapai Cina
tidak akan merusak keseimbangan global atau bahkan memicu sebuah perang.118
Dibandingkan menantang atau menggantikan kekuatan - kekuatan yang kini ada,
Cina memilih equal status sebagai negara negara besar dalam komunitas internasional yang bisa berkontribusi lebih besar terhadap perdamaian dunia.119
“A rising power dedicated to peace . . . While opening still
wider to the outside world, we must more fully and more
consciously depend on our own structural innovation, on
constantly expanding the domestic market, on converting the
huge savings of our citizens into investment, and on improving
the quality of the population and scientific and technological
progress to solve the problems of resources and the
environment. Here lies the essence of China's relative peaceful
rise and development.”
Di tahun 2003 juga Perdana Menteri Cina, Wen Jiabao sempat
menyebutkan tentang ide dari peaceful rise ini ketika berpidato di Universitas Harvard, Amerika Serikat:
120
117
Large, loc.cit. 118
ibid. 119
ibid. 120
37
Pidato Wen di Amerika Serikat ini ingin menandakan bahwa Cina
bukanlah merupakan ancaman seperti yang ditakutkan oleh negara – negara Barat
seperti pada era – era sebelumnya. Selain itu, Hu Jintao juga menegaskan bahwa
Cina harus berpegang teguh pada jalan perdamaian, bekerjasama dengan semua
negara dengan berdasarkan Five Principles of Peaceful Coexistence, secara aktif bekerjasama dengan negara lain dengan tetap menjalankan prinsip persamaan dan
saling menguntungkan, serta berkontribusi kepada hal - hal yang bertujuan pada
perdamaian dan kemajuan - kemajuan.121 Namun, kritik berdatangan terhadap ide
peaceful rise ini oleh sebagian kalangan asing maupun domestik Cina sendiri. Hal ini dikarenakan, pertama, kata “rise” bisa dianggap bahwa Cina sedang menantang dominasi Amerika Serikat dan kekuatan lainnya, sehingga harus
dihindari dan lebih disarankan menggunakan kalimat peaceful development. Kedua, para analis mengatakan bahwa kata “peaceful” ini kontroversial karena Cina perlu untuk mengamankan haknya yang bisa menggunakan kekuatan dan
militer terhadap Taiwan serta isu – isu sensitif lain seperti Tibet.122
121 ibid. 122
Sutter, op.cit., hal. 176.
Sejak era Mao
hingga Hu, kebijakan luar negeri Cina salah satunya terfokus pada Taiwan dan ini
salah satu yang menyebabkan hubungan Cina dengan Amerika Serikat sering
bergejolak. Cina tidak ingin ada kekuatan asing, termasuk Amerika Serikat,
mencampuri urusan Taiwan. Cina bersedia menurunkan tensi kritik akan