• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai tingkat kelangsungan hidup (SR) larva dari induk yang divaksinasi lebih tinggi dibanding kontrol dengan nilai peluang 0,02 < 0,05 atau sama dengan 20% dari seluruh perlakuan yang mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup larva pasca uji tantang yang merujuk pada perbedaan sangat nyata antara perlakuan terhadap kontrol untuk uji tantang pada hari ke-5 (Lampiran 11). Sedangkan pada uji tantang hari ke 13 tidak berbeda nyata, namun jika dilihat berdasarkan rataan presentasenya menunjukan bahwa vaksinasi pada indukan mampu melindungi larva dari paparan bakteri A. salmonicida (Mor & Avtalion, 1990) (Gambar 6 dan Lampiran 10).

Nilai rerata tingkat kelangsungan hidup relatif (RPS) tertinggi terdapat pada larva dari indukan yang divaksinasi dengan dosis 0,4 ml, berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa nilai RPS antar perlakuan yang divaksinasi tidak berbeda nyata (Gambar 7 dan Lampiran 11; Lampiran 12).

19

Gambar 6. Rata-Rata Kelangsungan Hidup Larva yang Diuji setelah 5 Hari dan 13 Hari Pasca Menetas Keterangan : “Sunperskrip Huruf yang Berbeda pada Warna Kolom Grafik yang Sama Menunjukan

Perbedaan yang Sangat Nyata P (0,02 < 0,05)”

“Perlakuan (A) Kontrol/Tanpa vaksin ; (B) Pemberian Vaksinasi Induk 0,3ml/kg ikan; (C) Pemberian Vaksinasi Induk 0,4ml/kg ikan; (D) Pemberian Vaksinasi Induk 0,5ml/kg ikan”

Gambar 7. Rata-Rata Kelangsungan Hidup Relatif Larva yang Diuji setelah 5 Hari dan 13 Hari Pasca Menetas

Keterangan : “ (B) pemberian vaksinasi induk 0,3ml/kg ikan; (C) pemberian vaksinasi induk 0,4ml/kg ikan; (D) pemberian vaksinasi induk 0,5ml/kg ikan”

73,77 ± 14,18 91,26 ± 3,13 92,29 ± 3,53 91,58±2,96 79,26±12,01 90,11±9,68 96,11±1,50 93,01±5,76 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 (% ) A B C D Kelangsungan Hidup (%) Hari ke 5 Kelangsungan Hidup (%) Hari ke 13 66,68±11,92 70,58±13,48 67,89±11,28 53,30±46,70 81,25±7,21 66,27±27,76 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 B (% ) B C D Tingkat kelangsungan hidup relatif (%) hari ke 5 Tingkat Kelangsungan Hidup Relatif (%) hari ke 13 Perlakuan Perlakuan b b b a

Hasil Uji pada Larva Berumur 5 Hari

Hasil Uji pada Larva Berumur 13 Hari

Hasil Uji pada Larva Berumur 5 Hari

Hasil Uji pada Larva Berumur 13 Hari

20 Nilai SR dan RPS menunjukan bahwa antibodi cukup berperan pada pertahanan larva dalam melawan serangan bakteri uji tantang. Perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan terhadap kontrol pada uji tantang hari ke-5 disebabkan karena pada awal pasca penetasan larva masih rentan terhadap paparan sehingga larva kontrol yang tidak memiliki sistem imun bawaan dari induknya lebih banyak mengalami kematian dibanding perlakuan, sedangkan antar perlakuan tidak terjadi perbedaan nyata yang signifikan. Jika dilihat dari pengamatan pasca uji tantang, larva kontrol dan larva dengan pemberian dosis vaksin induk 0,5 ml/kg ikan lebih cepat menunjukan gejala klinis berupa kemerahan pada perut dan sirip ekor pada hari ke-3, kemerahan yang menyebar keseluruh tubuh, dan sudah mulai terjadi kematian, hal ini sejalan dengan titer antibodi larva yang menunjukan bahwa reaksi kontrol sama dengan larva dari pemberian vaksin 0,5ml/kg ikan. Sedangkan pada perlakuan 0,3 dan 0,4 ml/kg ikan luka umumnya terjadi tidak menyebar hanya di bagian tubuh tertentu (lokalisasi) (Tabel 5). Ghenghesh et al., (2008) menyatakan bahwa infeksi A. salmonicida akan mulai muncul gejala klinis hingga kematian berawal dari hari ke-3 pasca menginfeksi inang. Hal ini membuktikan bahwa vaksinasi induk memberikan tingkat perlindungan yang bervariasi pada larva (Nur, 2006). Hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kualitas air, karena saat pengukuran kualitas air menunjukan hasil yang cukup baik untuk kelangsungan hidup larva (Tabel 6 dan Lampiran 6).

Keadaan larva dari hasil indukan yang divaksinasi dengan dosis 0,5 ml/kg ikan memiliki nilai SR tinggi dibandingkan dengan kontrol, hal ini diduga karena adanya pengaruh berupa respon imun selular (non spesifik) yang tidak di teliti. Limfosit T berasal dari sel pluripotensial embrio pada yolk sac (Davis et al., 2007). Antigen berupa vaksin yang masuk ke dalam tubuh tergantung pada sel T

dependent antigen, antigen akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel mendapat bantuan dari sel T helper yang aktif (Sigel et al., 1978). Limfosit T

helper baru mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC II (major histocompatibility complex) yaitu molekul terdapat pada membran sel makrofag. Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama

21 molekul MHC II kepada sel T helper sehingga terjadi ikatan antara TCR (citoxin reseptor) dengan antigen (Nakanishi et al., 2015). Ikatan tersebut terjadi menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel T helper aktif dan sel T citotoxic

memori (Castro et al., 2011). Namun pada perlakuan ini reaksi respon imun tubuh larva tidak sampai pada fase pembentukan antibodi, hal ini diduga karena adanya reaksi imunosupresan (menekan timbulnya respon imun) yang diakibatkan karena berlebihnya dosis vaksin yang diberikan pada indukan ikan mas (Pasaribu et al.,

1990).

Pada uji tantang hari ke-13 tidak terdapat perbedaan yang nyata baik SR maupun RPS, hal ini karena fase larva sudah mulai berkembang menjadi fase benih dan organ-organ yang membantu terbentuknya antibodi sudah mulai berkembang, sehingga pada perlakuan kontrol (tanpa vaksinasi) sudah dapat mengurangi kematian akibat paparan bakteri A. salmonicida (Tatang, 2014).

Pemeliharaan larva pasca uji tantang tidak dipengaruhi oleh kualitas air, karena pada saat pemeliharaan kualitas air cukup baik dengan kisaran kualitas air memenuhi baku mutu, baik suhu, pH maupun DO (Tabel 6).

Tabel 6. Kualitas Air selama Pemeliharaan Induk dan Larva

Pemeliharan Induk/Larva Suhu (ºC) pH DO (ppm)

Awal 27 – 28 7,0 – 7,2 3,79 – 4,24

Tengah 27 – 29 7,0 – 7,2 3,75 – 5,45 Akhir 27 – 28 7,0 – 7,2 3,79 – 5,56

Baku mutu 25-30* 6,5-9** >3***

*Suseno, 1996

** Afriyanto dan Liviawaty, 1992 *** Cholik, 1986; Cahyono, 2000

Secara keseluruhan nilai kisaran kualitas air masih mendukung untuk kehidupan larva ikan mas, selain itu kualitas air yang baik tidak mendukung untuk kontaminasi bakteri A. salmonicida atau bakteri patogen yang ada di wadah pemeliharaan larva. Buller (2004) menyatakan bahwa bakteri patogen akan tumbuh optimal pada suhu 22 ºC, Ghenghesh (2008) menambahkan bahwa, bakteri tersebut juga dapat tumbuh optimal pada keadaan perairan cenderung asam (pH > 5,5) dan menurut Setyawan et al., (2012) bakteri tersebut hanya dapat

22 menginfeksi dalam keadaan kepadatan bakteri minimal 106 CFU/ml diperairan untuk memunculkan luka. Dengan demikian kualitas air tidak menjadi faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup larva, serta tidak meningkatkan kinerja bakteri patogen di kolom air, sehingga ikan yang mati dapat dipastikan diakibatkan oleh paparan bakteri pada uji tantang.

23 Tabel 6. Gejala Klinis Pasca Uji Tantang

Perlakuan H-1 H -2 H -3 H -4 H -5 H-6 H-7 A Belum ada reaksi Belum ada reaksi Kemerahan dibagian perut, dan sirip ekor, ada yang mati

Luka dibagian overculum, dan ada yang mati

Kemerahan dibagian kepala, badan, dan sirip ekor, dan ada yang mati

Luka dibagian overculum dan ekor, dan ada yang mati

Kulit terkikis dibagian overculum, dan ada yang mati

B Belum ada reaksi Belum ada reaksi Belum ada reaksi Bercak merah disekitar badan dan ekor, dan ada yang mati

Kulit terkikis dibagian

overculum, dan ada yang mati

Luka dibagian overculum, dan ada yang mati

Kulit terkikis dibagian overculum, dan ada yang mati

C Belum ada reaksi Belum ada reaksi Belum ada reaksi Luka dibagian ekor, dan ada yang mati

Luka dibagian overculum, dan ada yang mati

Bercak merah disekitar badan dan ekor, dan ada yang mati

Kulit terkikis dibagian overculum, dan ada yang mati

D Belum ada reaksi Belum ada reaksi Kulit terkikis dibagian overculum, ada yang mati Luka dibagian overculum, dan ada yang mati

Bercak merah disekitar badan dan ekor, dan ada yang mati

Luka dibagian ekor, dan ada yang mati

Kulit terkikis dibagian overculum, dan ada yang mati

Keterangan: A (kontrol); B (0,3 ml/kg ikan); C (0,4 ml/kg ikan); D (0,5 ml/kg ikan) H (Hari ; 1-7) : Hari pengamatan pasca uji tantang

24 IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah, pemberian vaksin inaktif A. salmonicida pada indukan dengan dosis yang berbeda, berpengaruh terhadap titer antibodi induk maupun larva, dengan hasil terbaik secara kualitatif ditunjukan oleh dosis vaksin induk 0,3 ml/kg ikan pada indukan, dan pemberian vaksin induk 0,4 ml/kg ikan terhadap titer antibodi larva sedangkan pemberian vaksin induk 0,5 ml/kg ikan tidak memberikan pengaruh terhadap titer antibodi induk dan larva.

Pemberian vaksin inaktif A. salmonicida pada indukan dengan dosis yang berbeda, berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup larva dengan hasil tertinggi diperoleh dari larva hasil induk yang divaksinasi dengan dosis 0,4 ml/kg ikan dengan SR 96,11% dan RPS 81,25%.

Dengan ini pemberian vaksin yang efektif pada indukan ikan mas, dapat diberikan dengan kisaran dosis vaksin 0,3 – 0,4 ml/kg ikan.

4.2 Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana kerja antibodi terbentuk saat vaksin masuk ke dalam tubuh induk maupun larva untuk melihat respon imun spesifik secara keseluruhan.

25 DAFTAR PUSTAKA

Afriyanto, E. & E. Liviawaty. 1992. Pengendalian Hama dan penyakit.

Yogyakarta: Kanisius.

Alifuddin, M. 2002. Imunostimulasi pada Hewan Akuatik. Jurnal Akuakultur Indonesia , 1(2): 87-92.

Anderson, D. P. 1974. Immunology of Fish Disease: Disease of Fish. Sniesko JF, Axelrod HR (eds) Book 4. New York: TFH publ. Neptune.

Astuti, S. P. 2015. Aplikasi Vaksin. Balai Pengembangan Teknologi Perikanan dan Kelautan. Jakarta: Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Austin, A. & D. A. Austin. 2007. Bacterial Fish pathogen, Disease of Farm and

Wild Fish Fourt Edition. UK: Spinger-Praxis Publising.

Bachtiar, Y. 2002. Pembesaran Ikan di dalam Kolam Pekarangan. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Bernoth, M. E, A. E. Ellis, P. J. Midtlyn., O. Giller, & P, Smith. 1997.

Furunculosis Mutidisciplinary Fish Disease Research. San Diego: Academic Press.

Bly, J. E, A. S. Grimm, & I. G. Morris. 1986. Transfer of Passive Immunity from Mother to Young in A Teleost Fish: Haemagglutinating Activity in the Serum and Eggs of Plaice, Pleuronectes platessa L. Comparative Biochemistry and Physiology Part A (84): 309-313.

Buller, N. B. 2004. Bacteria from Fish and Other Aquatic Animals: A paractical Identification Manual. Western Australia: CABI Publishing.

Cahyono, B. 2000. Budidaya Air Tawar. Yogyakarta: Kanisius.

Castro, R, D. Bernard, M. P. Lefranc, A. Six, A. Benmansour, P. Boudinot. 2011. T Cell Diversity in Teleost Fish. Fish & Sellfish Immunology, (31): 644-654. Cholik, F, Artanty, & Arifudin. 1986. Pengelolahan Kualitas Air Kolam. Jakarta:

Direktorat Jendral Perikanan.

Davis, K. L, N. Hiramatsu, K. Hiramatsu, B. J. Reading, T. Matsubara, & A. Hara, 2007. Induction of Three Vitellogenins by 17Beta-Estradiol with Concurrent Inhibition of the Growth Hormone-Insulin-Like Growth Factor

26 1 Axis in a Euryhaline Teleost, the Tilapia (Oroechomis mossambicus).

Biology of Reproduction (77): 614-625.

Effendi, I, N. J. Bugri, Wirdani. 2006. Pengaruh pada Penebaran terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Gurami Osphronemus guramy Ukuran 2 cm. Jurnal Akuakultur Indonesia, 5 (2): 127-135.

Fujaya, Y. 1999. Bahan Pengajaran Fisiologis Ikan. Ujung Pandang: Universitas Hasanudin.

Ghenghesh, S. K., F. Ahmed, A. El- Khalek, A. Al - Gendy, & J. Klena. 2008. Aeromonas - Associated Infections in Developing Countries. J. Infect Developing Countries , 81-98.

Gudkovs, N. 1988. Fish Immunology. Fish Disease Veterinarians , 531-544. Hadie, W., L. M. Angela, Sularto, & T. Evi. 2010. Imunitas Maternal Terhadap

Aeromonas hidrophila: Pengaruhnya Terhadap Fekunditas dan Daya Tetas Ikan Patin Siam (Pangasionodon hypothalamus). Jurnal Ris. Akuakultur , 5 (2): 229-235.

Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Kamiso. 1999. Vaksinasi Induk Untuk Meningkatkan Bibit Lele Dumbo (Clarias

garepinus) Terhadap Serangan Aeromonas hydrophila. Jakarta: P4M Dirjen Dikti.

Matjjik, A. A, M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan. Bogor: IPB Press. Mor, A, & R. R. Avtalion. 1990. Transfer of Antibody Activity from Immunized

Mother to Embryo in Tilapias. Journal Fish Biology (37): 249-255. Nakanishi, T, S. Yasuhiro, M. Yuta. 2015. T Cell in Fish. Biology, (4): 640-663. Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia indonesia.

Nur, Sukenda, & D. Dana. 2004. Ketahanan Benih Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus Linn) dari Hasil Induk yang Diberi Vaksin Terhadap Infeksi Buatan Streptococus iniae. Jurnal Akuakultur Indonesia , 3(1): 37-43. Nur, I. 2006. Respon Humoral Ikan Nila (Oreochromis niloticus Linne) yang

Divakasinasi dengan Konsentrasi Bakterin Aeromonas hydrophila yang Berbeda. WARTA-WIPTEK , 14(2): 60-66.

27 Nur, I, Halipa, & Yusnaini. 2006. Peningkatan Imunitas Benih Ikan Nila

(Oreochromis niloticus) Melalui Vaksinasi Induk. Warta-wiptek , 14(2): 60-66.

Olga, K. R. Rini, J. Akbar, A. Isnansetyo, & L. Sembiring. 2007. Protein

Aeromonas hydrophila Sebagai Vaksin untuk Pengendalian MAS (Motile Aeromonas Septicemia) pada Jambal Siam (Pangasius hypophthalamus).

Jurnal Perikanan , 9(1): 17-25.

Pasaribu, F. H., N. Dalimunthe. & M. Poeloengan. 1990. Pengobatan dan Pencegahan Penyakit Bercak Merah. Bogor: Balai Penelitian Perikanan Air Tawar.

Roberson, B. S. 1990. Bacterial Aglutination, In: Techniques in Fish Immunology 1st Ed. New York: SOS Publication, Fair Haven.

Sigel, M. M, J. C. Lee, E. C. McKinney, D. M. Lopez. 1978. Cellular Immunity in fish as Measured by Lympocyte Stimulation. Marine Fisheries Review. Miami: University of Miami School of Medicine

Setyawan, A., S. Hudaidah, Z. Z. Ranopati, & Sumino. 2012. Imunogenesitas Vaksin Inaktif Wholecell Aeromonas salmonicida pada Ikan Mas (Cyprinus carpio). Aquasains , 1: 17-21.

Soeripto. 2002. Pendekatan Konsep Kesehatan Hewan Melalui Vaksinasi. Jurnal Litbang Pertanian , 48-55.

Supriyadi, H. 2011. Sistem Pertahanan Tubuh pada Ikan. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Jakarta: Laboratorium Penyakit Ikan Pasar Minggu. Susanto. 2007. Pembenihan Ikan Mas. Yogyakarta: Kanisius.

Suseno, D. 1996. Pengelolahan Usaha Pembenihan Ikan Mas. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tang, U. M. & R. Affandi. 2000. Biologi Reproduksi Ikan. Riau: UNRI PRESS. Tatang. 2014. Modul Praktek Vaksinasi Pada Ikan. Jakarta: Loka pemeriksaan

penyakit ikan dan lingkungan.

Wintoko, F., A. Setyawan, S. Hudaidah, & M. Ali. 2012. Imunogenitas Heat Killed Vaksin Inaktif Aeromonas hydrophila pada Ikan Mas (Cyprinus carpio). e-Jurnal Rekayasa Dan Teknologi Budidaya Perairan , 2(1): 205-210

RESPON IMUN SPESIFIK LARVA IKAN MAS (Cyprinus carpio) MELALUI IMUNITAS MATERNAL YANG DIBERI VAKSIN INAKTIF

WHOLE CELL Aeromonas salmonicida

Skripsi

Oleh

Dokumen terkait