• Tidak ada hasil yang ditemukan

tantangan PengeLOLaan HUtan BerBaSIS nagarI

Dalam dokumen Dinamika Hutan Nagari di Tengah Jaring J (Halaman 88-96)

a. tantangan

Secara umum, tantangan utama pengelolaan hutan berbass nagar dsebabkan karena lemah atau keclnya pengakuan terhadap hak-hak adat bak dalam pemlkan, penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan dalam kebjakan kehutanan nasonal. Lemahnya pengakuan hukum n terlhat dar s Pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berbuny:

Pasal 5

(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari;

a. hutan negara, dan b. hutan hak

(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.

Ketentuan pasal n telah mencaplok dan mendstors keberadaan hutan adat dengan hanya mengaku 2 (dua) jens status hutan, yatu hutan negara dan hutan hak, dmana hutan adat dkategorkan ke dalam hutan negara. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) menegaskan lebh lanjut tentang kooptas hutan adat oleh hutan negara, dengan mendefinitifkan hutan adat sebagai hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemenschap). Pasal n telah mereduks makna hutan adat sekedar hak mengelola, bukan lag pemlkan dan penguasaan. Karena mereduksnya menjad sekedar hak pemanfaatan, maka perolehan hak hutan adat n ddasarkan pada mekansme perznan. Artnya, hutan adat tdak lag

80

menjad hak bawaan berdasarkan asal-usul, tetap sebaga kewenangan yang berasal dar pemberan pemerntah. Setelah mereduks dan mendstors makna hutan adat, UU n juga tdak member kemudahan untuk secara otomats memberkan kewenangan pengelolaan kepada masyarakat adat. UU ini memberikan syarat yang tidak definitif bagi perolehan hak pengelolaan bag masyarakat adat, melalu klausul “... dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataanya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.” Jka syarat n tdak terpenuh, maka hak pengelolaan tdak bsa dberkan atau - hak tersebut kembal kepada pemerntah, jka hak pengelolaan telah pernah dberkan. Pengaturan sepert d atas memperlhatkan keberadaan dan poss hutan adat pada poss yang berada d bawah keberadaan dan poss hutan negara, dalam kacamata perundang-undangan nasonal.

Illegal logging juga menjad tantangan tersendr terhadap pengelolaan hutan berbass nagar. Ketadaan pengakuan hutan adat akan berkonsekuens pada pandangan bahwa pola-pola pengelolaan berdasarkan adat yang dterapkan oleh masyarakat, dpandang sebaga pengelolaan yang tanpa izin dari pemerintah, sehingga terkualifikasi sebagai pengelolaan yang llegal. Konstruks illegal logging yang tdak melhat akar pemlkan dan penguasaan sebaga sumber hak masyarakat atas hutan, tetap hanya membatas dr pada syarat formal berupa zn dar negara, menyebabkan pola-pola pengelolaan hutan yang berdasarkan adat sekalpun, akan tetap bsa dkategorkan sebaga pengelolaan tanpa hak/llegal. Hal n akan membuat masyarakat tdak lag

punya keberanian mengelola hutan adatnya. Dss lan, d nagar-nagar mash dtemukan konds hutan yang bak, dengan potens kayu yang sangat besar, bak dar seg

jumlah maupun dar seg jensnya yang bernla tngg. Besarnya potens kayu n, membuka ruang bag hadrnya petualang-petualang bsns yang mengmmg-mng dan memodal masyarakat untuk melakukan penebangan kayu. Imng-mng n bsa jad akan djadkan oleh masyarakat sebaga sarana untuk memperoleh manfaat dar hutan, dan pemodal yang menjad petualang bsns kayu, dpandang sebaga phak yang bsa mengalhkan resko dar illegal logging.

Dluar produk hukum nasonal yang secara normatf berupaya mengngkar eksstens hutan adat, d nagar-nagar juga dtemukan tantangan yang lebh bersfat lokalstk nagar. Namun tantangan-tangan yang bersfat lokal n, bukanlah sesuatu yang berdr sendr, tetap berkat langsung dengan tantangan umum, berupa kelemahan pengakuan yang dsebutkan d atas. Tantangan-tantangan yang besfat lokal n, bsa dsebutkan sebaga dampak yang dturunkan atau dsebabkan karena lemahnya pengakuan eksstens hutan adat.

Pengelolaan hutan berbass nagar d Nagar Kambang memperoleh tantangan dar dmasukkannya hutan d Nagar Kambang menjad bagan dar kawasan Taman Nasonal Kernc Sebelat (TNKS) sejak tahun 1982. Masuknya wlayah nagar mereka kedalam TNKS, telah menghlangkan hak dan akses mereka untuk mengurus dan mengelola hutan-hutan yang tumbuh pada tanah-tanah ulayat, karena telah beralh ke dalam penguasaan langsung negara. Sebab menurut UU Kehutanan, kawasan taman nasonal termasuk ke dalam kawasan hutan negara.

Selan tak lag bsa mengakses wlayah nagar yang masuk dalam kawasan TNKS, pola-pola pengelolaan hutan yang berdasarkan hukum dan ketentuan-ketentuan adat tdak lag

82

bsa dterapkan. Sebab d dalam kawasan taman nasonal, berlaku pola-pola pengelolaan yang dtetapkan oleh negara. Sehngga pola-pola pengelolaan yang berdasarkan adat tdak lag punya meda untuk dberlakukan. Secara perlahan, ketadaan ruang untuk mempraktekkan pola-pola adat dalam pengelolaan hutan, akan juga menghlangkan pengetahuan masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan adat, karena tdak lag drawat dan dkembangkan pada ruang yang tepat.

D Nagar Malalo, pengelolaan hutan berbass nagar datang melalu Perda No. 18 Tahun 2003 Tentang Pengaturan Pengamblan Hasl Hutan Kayu dan Non-Kayu. Dalam BAB II Pasal 1 ayat (1) yang mengatur tentang perznan menyatakan “Setap orang atau badan usaha yang ngn mengambl hasl hutan kayu dwajbkan mendapat zn dar bupat.” Sedangkan ayat (2)–nya menyatakan “setap orang atau badan yang ngn mengambl hasl hutan non-kayu dwajbkan mendapatkan zn dar pemerntah daerah.” Perda n memposskan setap orang dan badan hukum pada poss yang sama untuk dapat memanfaatkan hasl hutan d seluruh wlayah kabupaten. In sama perss dengan perundang-undangan yang lan, yang tdak menjadkan masyarakat adat pada lokas hutan sebaga prortas utama. Konstruks sepert n muncul tdak lan karena dalam pkran pembuat perda n, hutan yang terdapat dseluruh wlayah kabupaten merupakan hutan negara, yang bsa dmanfaatkan oleh sapapun setelah memperoleh zn dar pemerntah. Sebuah kontruks berpkr yang bertentangan dengan konstruks hutan adat, dmana perznan untuk pengelolaannya justru berada pada kelembagaan adat sesua dengan status hak adatnya. Selan memperlhatkan tdak dakunya hutan adat, perda n juga akan menjad jalan bag dterapkan dan berkembangnya pola-pola pengelolaan

selan pola-pola pengelolaan yang berdasarkan adat pada lahan-lahan hutan yang oleh masyarakat dpandang sebaga hutan adat.

D Nagar Smanau, pengelolaan hutan berbass nagar beroleh tantangan melalu penetapan kawasan hutan secara sephak, tanpa persetujuan dar masyarakat. Penetapan sephak n melahrkan tumpang tndh status hutan. Saat n, d dalam hutan ulayat nagar dan hutan ulayat suku, terdapat pancang-pancang Hutan Produks Terbatas (HPT). Penentuan letak pancang tersebut dlakukan tanpa sepengetahuan nsttus yang ada d nagar, bak pemerntah nagar, BPN dan KAN. Penentuan batas sephak n menunjukan secara tdak langsung superortas hutan negara atas hutan nagar. Konds n meresahkan masyarakat nagari, walaupun pada saat ini kondisi konflik penguasaan mash bersfat laten.

Penentuan kawasan hutan oleh pemerntah, tanpa mengkut sertakan masyarakat nagar, akan berkonsekuens pada tdak adanya pengakuan pengelolahan hutan adat (nagar). Walaupun pengelolahan hutan nagar yang dlakukan masyarakat adalah warsan dar sstem ulayat dan pengetahuan tradsonal (kearfan lokal) yang dnkmat generas sekarang dan yang akan datang.

Tantangan lan hadr dalam bentuk tdak memadanya nfrastruktur jalan yang mempersult transportas, sehngga melahrkan baya ekonom tngg. Dampaknya adalah berupa mahalnya harga-harga barang yang dbawa dar luar nagar, dan murahnya harga-harga komodt yang dhaslkan oleh masyarakat d nagar. Ketadaan komodt unggulan yang menjad andalan pendapatan ekonom, dkhawatrkan akan mempertngg peluang terjadnya penebangan kayu.

84

B. reSPOnS MaSyaraKat terHaDaP

tantangan

Menyadar bahwa berbaga bentuk tantangan yang mereka hadap, pada glrannya akan bsa mengurang eksstens hutan adat, masyarakat d nagar-nagar sesungguhnya tdak pernah dam menghadap tantangan tersebut. Ada berbaga bentuk respons yang mereka berkan bak pasf maupun dalam bentuk tndakan aktf. Respons tersebut bertujuan untuk terus mempertahankan eksstens hak-hak mereka atas hutan adat.

Kehadran TNKS berkut pola pengelolaan dan pengurusannya, oleh Nagar Kambang dskap oleh Kerapatan Adat Nagar (KAN) melalu kesepakatan yang tdak lag mengaku kebjakan pemerntah pusat yang memasukkan hutan d Nagar Kambang ke dalam Kawasan Taman Nasonal Kernc Sebelat (TNKS). Kesepakatan tersebut dtuangkan dalam SK KAN No. 09 Tahun 2006 tentang Ketentuan Penetapan Hutan Ulayat Kaum, Suku dan Nagar. Dengan SK n Nagar Kambang merebut kembal ulayat mereka dan menfungskannya kembal sesua kesepakatan penghulu suku dan kaum yang ada d nagar. Tndakan yang dlakukan oleh KAN n memperlhatkan penolakan mereka terhadap UU Kehutanan No. 41 Tahun dan Taman Nasonal Kernc Seblat (TNKS), d ruang nagar mereka.

Masyarakat d Nagar Malalo memberkan respons berupa pencabutan patok-patok batas hutan negara yang dpasang oleh nstans kehutanan. Respons n dtujukan terhadap kebjakan d tngkat nasonal yang memerntahkan penatabatasan kawasan hutan. Terhadap Perda Perda No. 18 Tahun 2003 Tentang Pengaturan Pengamblan Hasl Hutan Non-Kayu, masyarakat memberkan respons dengan

cara tdak mengndahkan ketentuan yang mengharuskan adanya zn dar pemerntah daerah terhadap pengamblan hasl hutan sepert datur dalam Pasal 18. Dalam memanfaatkan hasl hutan kayu dan non kayu, masyarakat tdak terlebh dahulu mengajukan permohonan zn,99 tetap langsung memanfaatkannya. Respons lan yang dberkan oleh masyarakat d Nagar Malalo adalah berusaha untuk memperoleh pengakuan pemda atas hutan adat mereka. Pada tahun 2002 dbuatlah kesepakatan antara pemerntah daerah dan masyarakat yang dtuangkan dalam surat. Is yang palng pokok dar kesepakatan tersebut adalah pemerntah daerah dalam hal n Dnas Kehutanan mengaku hutan d Nagar Guguak Malalo sebaga hutan mlk masyarakatnya.

D Nagar Smanau respons masyarakatnya muncul dalam bentuk penolakan terhadap batas hutan produks terbatas yang dtetapkan oleh pemerntah. Bentuk penolakan tersebut muncul melalu statement-statement penolakan yang dberkan oleh tokoh adat, alm ulama, cadak panda, pemuda maupun perangkat nagar. Statement n ddasarkan pada alasan bahwa penguasaan hutan adat tdak bsa dpsahkan dar penguasaan ulayat mereka. Selan penolakan dalam bentuk pernyataan, masyarakat juga melakukan tndakan-tndakan sebaga manfestas dar penolakan status hutan negara. Tndakan tersebut adalah dengan mengelola hutan berdasarkan hukum adat yang hdup d Nagar Smanau. Dengan mengabakan patok-patok batas, masyarakat nagar terus mengelola hutan yang terdapat d wlayah nagarnya dengan pola-pola adat.

99 Wawancara dengan Can Malalo Ketua Pemuda dan Pengelola Hutan nagar Guguak Malalo, tanggal 20 Oktober 2006

BaB IV

Dalam dokumen Dinamika Hutan Nagari di Tengah Jaring J (Halaman 88-96)

Dokumen terkait