• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Cara Perang Menurut Konvensi Den Haag Sebaga

BAB II LARANGAN PENGGUNAAN SENJATA KIMIA DALAM

B. Tata Cara Perang Menurut Konvensi Den Haag Sebaga

Hukum humaniter, khususnya sumber hukum humaniter, apabila dikaitkan dengan penelitian ini maka akan lebih difokuskan pada Hukum Den Haag, karena penelitian ini menitikberatkan pada jenis senjata yang digunakan oleh Suriah di dalam konflik bersenjata yang mana termasuk dalam kajian Hukum Den Haag.

Seperti yang telah dinyatakan pada sub-bab sebelumnya, Konvensi Den Haag adalah salah satu sumber utama daripada Hukum Humaniter. Konvensi Den Haag ini dihasilkan dari Konferensi Perdamaian Pertama di Den Haag pada tahun 1899, yang disempurnakan dalam Konferensi Kedua yang dilaksanakan pada tahun 1907 33

32 Dapat terlihat pada “The Law of Geneva, i.e. a body of rules which protect victims of war”

yang termuat pada “What Is International Humanitarian Law?”

.

pada 5 Januari 2014, pukul 11.55 WIB.

Konferensi Den Haag tahun 1907 menghasilkan 13 (tiga belas) konvensi dan 1 (satu) deklarasi, diantaranya sebagai berikut:34

1. Convention I for the Pacific Settlement of Disputes;

2. Convention II Respecting the Limitations of the Employment of Force for the Recovery of Contract Debts;

3. Convention III Relative to the Opening of Hostilities;

4. Convention IV Respecting the Laws and Customs of War on Land;

5. Convention V Respecting the Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in case of War on Land;

6. Convention VI Relating to the Status of Enemy Merchant Ships at the Outbreak of Hostilities;

7. Convention VII Relating to the Convention of Merchant Ships into War Ships; 8. Convention VIII Relating to the Laying of Automatic Submarine Contact

Mines;

9. Convention IX Concerning Bombardment by Naval Forces in Time of War; 10. Convention X for the Adoption to Maritime Warfare of the Principles of the

Geneva Convention;

11. Convention XI Relative to Certain Restrictions with Regard to the Exercise of the Right of Capture in Naval War;

12. Convention XII Relative to the Creation of an International Prize Court; 13. Convention XIII Concertning the Rights and Duties of Neutral Powers in

Naval War.

14. Declaration XIV Prohibiting the Discharge of Projectiles and Explosives from Balloons.

Convention I for the Pacific Settlement of Disputes mengatur mengenai tata cara penyelesaian damai suatu persengketaan internasional. Adapun konvensi ini merupakan hasil daripada Konferensi Perdamaian Pertama di Den Haag tahun 1899. Konvensi ini diterima dan diperluas oleh Konvensi Den Haag 1907. Konvensi ini menghendaki terbentuknya Permanent Court of Arbitration (Pengadilan Tetap

Arbitrase)35. Konvensi yang mendasari pembentukan Permanent Court of Arbitration hingga saat ini telah diratifikasi oleh 115 negara, baik yang meratifikasi salah satu ataupun kedua konvensi.36

“…Drago Doctrine, which was incorporated into the Hague Convention II of 1907 Respecting the Limitations of the Employment of Force for the Recovery of Contract Debts (Drago-Porter Convention).Under the Drago-Porter Convention, states agreed not to use armed force for the recovery of state debts unless there was a refusal to submit the claim to arbitration.”

Konvensi yang dimaksud ialah konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907.

Convention II Respecting the Limitations of the Employment of Force for the Recovery of Contract Debts menekankan bahwa dalam hal pelunasan hutang, kekerasan bersenjata tidak dapat dilaksanakan oleh suatu negara terhadap negara lainnya, kecuali dalam hal terdapat negara yang menolak untuk menyerahkan klaim ke lembaga arbitrase, seperti yang terlihat pada:

37

Convention III Relative to the Opening of Hostilities mengatur tentang tata cara dimulainya suatu perang. Perang yang dimaksud ialah perang dalam arti hukum, yakni apabila perang itu dimulai sesuai dengan cara yang ditentukan dalam konvensi

35 Permanent Court of Arbitration terbentuk pada tahun 1899 dan berkedudukan di Den Haag,

Belanda. Permanent Court of Arbitration terbentuk sebagai salah satu kebijakan dari Konferensi Perdamaian Pertama Den Haag tahun 1899, yang menjadikannya institusi tertua berkenaan dengan penyelesaiaan sengketa internasional. Dapat dilihat pada “Permanent Court of Arbitration”, 20.16 WIB.

36

“Member States”, Januari 2014, pukul 20.21 WIB.

37 Andrew Newcombe, Lluís Paradell, Law and Practice of Investment Treaties: Standards of

ini.38

“The contracting Powers recognize that hostilities between themselves must not commence without previous and explicit warning, in the form either of a declaration of war, giving reasons, or of an ultimatum with a conditional declaration of war.”

Adapun tata cara yang ditentukan dalam konvensi yang dimaksud tersebut terdapat pada Pasal 1 konvensi yang bersangkutan tersebut, yang berbunyi :

39

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 tersebut, terlihat bahwa telah diakui bahwa perang tidak akan dimulai tanpa adanya peringatan yang tegas sebelumnya, yang mana harus dilakukan dalam bentuk deklarasi perang40, memberikan alasan-alasan, atau suatu ultimatum41

Convention IV Respecting the Laws and Customs of War on Land memuat tentang hukum dan kebiasaan berperang di daratan. Konvensi ini merupakan salah satu hasil dari Konferensi Perdamaian Pertama di Den Haag 1899, namun mengalami sedikit perubahan sebelum akhirnya diterima sebagai bagian dari Konvensi Den Haag dengan pernyataan perang dalam hal ultimatum tersebut tidak dipenuhi.

38

Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 26.

39 Pasal 1 Konvensi III Den Haag 1907

40 Haryomataram menyebutkan bahwa deklarasi perang, sekalipun mengenai hal ini tidak ada

ketentuannya, namun seyogyanya disampaikan secara tertulis karena pentingnya arti deklarasi perang tersebut. Dengan adanya deklarasi ini, maka kedua belah pihak berada dalam keadaan perang. Adanya keadaan perang ini harus segera diberitahukan kepada negara-negara netral. Haryomataram, Bunga

Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Penerbit Bumi Nusantara Jaya Jakarta, Jakarta, 1988, hal.

36.

41

Penjelasan mengenai ultimatum diambil dari penjelasan Haryomataram bahwa suatu ultimatum memuat beberapa persyaratan yang harus dijawab oleh penerima ultimatum dalam waktu tertentu. Dalam hal tidak ada jawaban, atau jawaban itu kurang tegas, atau apabila jawaban itu kurang memuaskan, maka semua itu dianggap sebagai suatu penolakan. Ibid., hal 37.

1907. Konvensi IV Den Haag 1907 ini hanya memuat 9 Pasal, namun dilengkapi pula dengan lampiran yang disebut dengan Hague Regulations42

1. Klausula Si Omnes

.

Beberapa pengaturan penting mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat yang terdapat pada Konvensi IV Den Haag 1907 dan Hague Regulations, diantaranya :

Klausula ini tercermin dari Pasal 2 Konvensi IV Den Haag 1907, yang berbunyi, “The Provision contained in the regulation referred to in art.1, as well as in the Present Convention, are only binding between Contracting Powers, and only if all the Belligerents are parties to the Conventions”. Adapun dari ketentuan Pasal 2 tersebut, dapat diketahui bahwa Klausula Si Omnes ialah suatu klausula yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang ada pada Konvensi IV Den Haag 1907 ataupun Hague Regulations hanya berlaku jika pihak-pihak yang terlibat dalam perang adalah pihak dari Konvensi ini. Dalam hal terdapat salah satu pihak yang bukan merupakan peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku.43 Namun demikian, ketentuan yang ada pada Konvensi IV Den Haag 1907 dan Hague Regulations telah dianggap sebagai bagian daripada hukum kebiasaan internasional44

42 Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit. 43 Ibid., hal 27.

44

Berdasarkan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, salah satu sumber Hukum Internasional adalah kebiasaan internasional (International Customs). Statuta Mahkamah Internasional dapat dilihat pada http://www.icj-cij.org/documents/index.php?p1=4&p2=2&p3=0#CHAPTER_II , diakses pada 25 Januari 2014, pukul 19.38 WIB.

sehingga dengan demikian, pada dasarnya Konvensi IV Den Haag 1907 dan Hague Regulations juga mengikat negara-negara bukan peserta konvensi.45 2. Pasal 1 Hague Regulations

Pasal 1 Hague Regulations ini menentukan siapa saja yang termasuk belligerents46, yaitu tentara. Selain menentukan siapa saja yang termasuk sebagai belligerents, Pasal ini juga menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kelompok milisi (militia) dan korps sukarela sehingga dapat dikategorikan sebagai kombatan.47 Adapun syarat-syarat agar kelompok milisi dan korps sukarela agar disebut sebagai kombatan, diantaranya:48

a. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; b. Memakai tanda/emblem yang dapat dilihat dari jauh;

c. Membawa senjata secara terbuka

d. Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.

45 Dapat dilihat pada bagian “The provisions of the two Conventions on land warfare,…are

considered as embodying rules of customary international law. As such they are also binding on States which are not formally parties to them.” yang terdapat pada “Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex: Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907.”

2014, pukul 19.40 WIB.

46 Belligerent menurut Kamus Oxford memiliki makna “a nation or person engaged in war

or conflict, as recognized by international law” yang diterjemahkan suatu negara atau orang yang

terlibat dalam perang atau konflik, yang diakui oleh hukum internasional. Dapat dilihat pada 20.10 WIB.

47 Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Loc. Cit. 48 Ibid.

3. Pasal 2 Hague Regulations

Pasal 2 Hague Regulations mengatur mengenai Levee en Masse49 yang dikategorikan sebagai belligerent. Adapun syarat-syarat agar Levee en Masse dikategorikan sebagai belligerent, diantaranya :50

a. Penduduk dari wilayah yang belum diduduki; b. Secara spontan mengangkat senjaga;

c. Tidak ada waktu untuk mengatur diri d. Membawa senjaga secara terbuka; e. Mengindahkan hukum perang.

Hal penting yang harus diingat adalah bahwa Levee en Masse berbeda dengan masyarakat sipil (civilians). Hal yang membedakannya adalah bahwa Levee en Masse terlibat secara dalam perang atau konflik bersenjata, sedangkan civilians tidak. Hal ini akan mempengaruhi perlakuan yang akan diberikan kepada mereka dalam hal mereka jatuh ke tangan musuh.

4. Pasal 3 Hague Regulations

Pasal 3 Hague Regulations menetapkan menyatakan bahwa pasukan bersenjata dari belligerent dapat terdiri dari kombatan dan non-kombatan. Dalam hal mereka tertangkap oleh musuh, maka mereka mempunyai hak

49 Levee en Masse oleh International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam websitenya

dijelaskan sebagai “inhabitants of a country which has not yet been occupied, on the approach of the

enemy, spontaneously take up arms to resist the invading troops without having time to form themselves into an armed force. Such persons are considered combatants if they carry arms openly and respect the laws and customs of war”. “Definition of Civilians”,

untuk diperlakukan sebagai tawanan perang. Pasal 3 Hague Regulations berbunyi “The armed forces of the belligerent parties may consist of combatants and non-combatants. In the case of capture by the enemy, both have a right to be treated as prisoners of war.” Perlu dicatat bahwa non- kombatan yang dimaksudkan dalam Pasal 3 bukanlah penduduk sipil, tetapi bagian dari angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur.51

5. Pasal-Pasal Hague Regulations yang mengatur cara dan alat berperang

Pasal yang berkenaan dengan cara berperang terdapat pada Pasal 22 Hague Regulations yang berbunyi “The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not unlimited”52, yang memiliki makna bahwa hak pihak yang terlibat perang untuk melukai musuh tidaklah tidak terbatas. Prinsip ini ditegaskan kembali dalam Resolusi XXVIII pada Konferensi Internasional Palang Merah ke XX di Wina (1965); dan juga dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2444 (XXIII).53

51 Ibid.

52 “Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex :

Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907”,

pukul 18.53 WIB.

53 Arlina Permanasari, dkk., Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 63 yang mengutip

Pasal 23 Hague Regulations mengatur mengenai alat berperang. Adapun Pasal 23 Hague Regulations berbunyi :54

(a) To employ poison or poisoned weapons;

In addition to the prohibitions provided by special Conventions, it is especially forbidden

(b) To kill or wound treacherously individuals belonging to the hostile nation or army;

(c) To kill or wound an enemy who, having laid down his arms, or having no longer means of defence, has surrendered at discretion;

(d) To declare that no quarter will be given;

(e) To employ arms, projectiles, or material calculated to cause unnecessary suffering;

(f) To make improper use of a flag of truce, of the national flag or of the military insignia and uniform of the enemy, as well as the distinctive badges of the Geneva Convention

(g) To destroy or seize the enemy’s property, unless such destruction or seizure be imperatively demanded by the necessities of war;

(h) To declare abolished, suspended, or inadmissible in a court of law the rights and actions of the nationals of the hostile party. A belligerent is likewise forbidden to compel the nationals of the hostile party to take part in the operations of war directed against their own country, even if they were in the belligerent’s service before the commencement of the war.

Pasal 23 Hague Regulations tersebut khususnya melarang: (a) menggunakan racun atau senjata beracun; (b) membunuh atau melukai individu setia yang merupakan bagian dari negara musuh atau pasukan musuh; (c) membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah; (d) mendeklarasikan untuk tidak akan mengampuni; (e) menggunakan senjata, proyektil, ataupun bahan yang dikalkulasikan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu; (f) penggunaan yang tidak perlu atas

54

“Convention (IV) respecting the Laws and Customs of War on Land and its annex :

Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 18 October 1907”,

pukul 19.03 WIB.

bendera perdamaian yang digunakan dalam genjatan senjata, baik bendera kebangsaan atau lencana dan seragam militer musuh, termasuk pula tanda-tanba pembeda yang telah diatur dalam Konvensi Jenewa; (g) Memusnahkan atau merampas harta musuh, terkecuali apabila pemusnahan atau perampasan demikian sangat diperlukan dalam kepentingan perang; (h) Mendeklarasikan penghapusan, penundaan, atau tidak dapat diterimanya hak dan tindakan daripada warga negara pihak musuh di dalam pengadilan. Pihak yang terlibat perang dilarang untuk memaksa warga negara daripada negara musuh untuk mengambil bagian di dalam perang yang ditujukan untuk melawan negaranya sendiri, termasuk apabila mereka telah merupakan bagian dari tentara sebelum dimulainya perang.

Convention V Respecting the Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in case of War on Land mengatur mengenai penghormatan terhadap hak dan kewajiban daripada Neutral Powers (Negara Netral) dan Neutral Person (Orang Netral).

Negara Netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung.55

55 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, Op. Cit., hal. 29.

J.G.Starke dalam bukunya yang berjudul “Introduction to International Law” menyatakan bahwa hak dan kewajiban daripada negara netral bersifat timbal balik dengan hak dan kewajiban negara peserta

perang. Adapun kewajiban-kewajiban dari negara-negara, baik negara netral maupun negara peserta perang, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:56

1. Duties of abstention; 2. Duties of prevention; 3. Duties of acquiescence.

Duties of abstention (kewajiban untuk tidak berpartisipasi) menurut J.G.Starke apabila dilihat dari sudut pandang negara netral, maka suatu negara yang menyatakan diri sebagai negara netral tersebut tidak boleh memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk pihak manapun yang terlibat perang. Sebagai contohnya, negara netral tidak boleh menyediakan pasukan, menjadi penjamin dalam pinjaman dana, ataupun menyediakan tempat berteduh untuk pasukan bersenjata negara yang terlibat perang.57

Jika dilihat dari sudut pandang negara yang terlibat perang tersebut, maka duties of abstention memiliki makna bahwa negara yang terlibat perang tidak boleh melakukan tindakan menyerupai perang di dalam wilayah teritorial negara netral atau memasuki wilayah teritorial perairan ataupun udara negara netral dengan kekerasan. Suatu negara yang terlibat perang juga tidak mencampuri hubungan yang sah antara negara netral dengan musuh, ataupun menggunakan wilayah negara netral, termasuk

56 J.G.Starke, Introduction to International Law, Ninth Edition, Butterworths, London, 1984,

hal. 555.

57 Dijelaskan di dalam bukunya bahwa “The neutral state must give no assistance–direct or

indirect–to either belligerent side; for example, it must not supply troops, or furnish or guarantee loans, or provide shelter for a belligerent’s armed forces.” Ibid.

di dalamnya perairan negara netral, sebagai markas untuk operasi perang, ataupun sebagai titik awal suatu ekspedisi.58

Duties of Prevention (kewajiban untuk mencegah) menurut J.G.Starke apabila dilihat dari sudut pandang negara netral maka memiliki makna bahwa negara netral berkewajiban untuk mencegah adanya aktivitas-aktivitas seperti pendaftaran pasukan perang untuk negara yang terlibat perang, persiapan-persiapan untuk kekerasan oleh pihak manapun yang terlibat perang, atau kegiatan yang menyerupai perang di teritorial ataupun perairan territorialnya terjadi di wilayah teritorial ataupun yuridsiksi mereka.59

Jika dilihat dari sudut pandang negara yang terlibat perang, maka Duties of Prevention ini menyatakan bahwa negara yang terlibat perang terikat untuk mencegah perlakuan buruk terhadap utusan negara netral atau subjek-subjek negara netral atau kerusakan terhadap properti negara netral di atas wilayah musuh yang diduduki oleh negara netral tersebut.60

Duty to Acquiescence (kewajiban untuk menyetujui tanpa protes) menurut J.G.Starke dalam bukunya, dilihat dari sudut pandang negara netral memiliki makna bahwa negara netral harus menyetujui tanpa protes mengenai perdagangan yang

58 “A belligerent state must not commit warlike acts on neutral territory or enter into

hostilities in neutral waters or in the airspace above neutral territory, nor may it interfere with the legitimate intercourse of neutral with the enemy, nor may it use neutral territory or waters as a base for belligerent operations, or as a starting point for an expedition.” Ibid.

59 “The neutral state is under a duty to prevent within its territory or jurisdiction such

activities as the enlistment of troops for belligerent armies, preparations for hostilities by any belligerent, or warlike measures in its territory or territorial waters.” Ibid.

60 “A belligerent state is duty to bound to prevent the ill-treatment of neutral envoys or

dilakukan oleh warga negara dari negara yang terlibat perang apabila perdagangan tersebut sepatutnya dibenarkan oleh hukum perang.61

Jika dilihat dari sudut pandang negara yang terlibat perang, maka Duty of Acquiescence memiliki makna bahwa negara yang terlibat perang harus misalnya menyetujui penawanan pasukan bersenjata oleh negara netral misalnya seperti berlindung di teritorial negara netral, atau dalam pemberian suaka sementara oleh pelabuhan negara netral terhadap kapal perang lawan agar perbaikan-perbaikan penting dapat dilaksankan.

62

J.G.Starke di dalam bukunya menambahkan bahwa dalam hal negara yang terlibat perang ataupun negara netral melanggar kewajiban manapun yang mana pelanggaran tersebut mengakibatkan kerusakan terhadap pihak lainnya, maka telah menjadi suatu general liability63 bagi negara tersebut untuk ganti rugi terhadap kerusakan yang diakibatkan dan negara tersebut diwajibkan untuk menyediakan sejumlah uang untuk kepuasan negara tersebut.64

61

“The neutral state must acquiesce in the acts of belligerent states with respect to the

commerce of its nationals if they are duly warranted by the laws of war.” Ibid.

62 “A belligerent state must, for instance, acquiesce in internment by a neutral state of such

members of its armed forces as take refuge in neutral territory, or in the granting of temporary asylum by neutral ports to hostile warships so that necessary repairs may be effected.” Ibid.

63 Pengertian daripada “general liability” ialah suatu istilah untuk bertindak atau tidak

bertindak layaknya seorang yang bijaksana. Pertanggungjawaban tersebut dapat diberikan terhadap luka-luka, kerusakan terhadap benda, ataupun kerugian keuangan. (The legal exposure under common

law, Statute or Civil law, to act as a reasonably prudent person would, or would not, under the circumstances. Liability may be for bodily injury, property damage, or monetary loss. The standard of care is lower than that of a professional). “Glossary of Commonly Used Insurance Terms”, diakses di

pukul 19.20 WIB.

64 “If a belligerent or a neutral state violates any of such duties and the breach results in

damage to the other, it is in general liable for the damage caused and must furnish pecuniary satisfaction to that state.” J.G.Starke, Introduction to International Law, Loc. Cit.

Pengaturan Konvensi V Den Haag 1907 berkaitan dengan penyerangan terhadap negara netral dapat ditemukan pada Pasal 10 Konvensi ini. Pasal 10 Konvensi V Den Haag 1907 berbunyi “The fact of a Neutral Power resisting, even by force; attempts to violate its neutrality cannot be regarded as a hostile act”65.

Dokumen terkait