• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tatalaksna Dispepsia

Dalam dokumen PT. Multimedika Digital Indonesia (Halaman 52-59)

MANAJEMEN DISPEPSIA SAAT PUASA

E. Tatalaksna Dispepsia

Sebelum memulai tatalaksana perlu ditegakkan diagnosis dari dyspepsia tersebut. Pikirkan tidak hanya proses patologis di saluran gastrointestinal bagian atas tapi pikirkan juga proses patologis lain seperti dari jantung, hepar, paru-paru saluran kemih, hingga saluran cerna bagian bawah. Terutama untuk pasien-pasien lansia dengan faktor risiko kardiovaskular.

51

pasien lansia dengan penyakit kardiovaskular terkadang juga datang dengan gejala abdominal dyscomfort, yang ternyata merupakan manifestasi dari miokard infark inferior. Evaluasi juga jenis obat-obatan yang bersifat iratitif pada lambung yang dapat menyebabkan dyspepsia. Kemudian pertimbangkan untuk pengehentian atau diganti dengan obat lain yang memiliki manfaat serupa. Beberapa jenis obat-obat yang bersifat iritatif pada lambung, yakni aspirin/NSAID, kalsium antagonis, nitrat, teofilin, bifosfonat, dan steroid. Pada beberapa kasus dispepsia dengan “alarm sign” membutuhkan investigasi lebih lanjut. Berikut “alarm sign” pada dispepsia:

 Pendarahan gastrointestinal (dirujuk pada hari yang sama)

 Mual muntah presisten

 Penurunan berat badan yang progresif (tidak direncanakan)

 Disfagia

 Massa pada daerah epigastrik

 Anemia akibat adanya pendarahan gastrointestinal

52

 Dispepsia yang tidak membaik/tidak respon dengan terapi standar

Setelah dilakukan investigasi maka dapat ditentukan tatalaksana farmakologisnya. Bebe-rapa terapi farmakologis yang bermanfaat pada sindroma dispepsia, yakni:

Obat-obat antisekretorik Penyekat H2 reseptor

Terapi supresi asam dengan H2 boloker (PRH-2) maupun penghambat pompa proton (PPP) biasa diberikan pada penderita dengan dispepsia fungsional. Secara meta-analisis penggunaan PRH-2 memiliki manfaat terapi sekitar 20% di atas placebo.

Proton Pump Inhibitors (PPI)

PPI merupakan prodrug. Berikatan pada reseptor H+K+ATPase sel parietal lambung sehingga menghambat produksi HCL lambung. PPI bekerja efektif saat proton pump aktif, yakni ketika ada makanan masuk ke saluran pencernaa. Sehingga pemberian 30 menit sebelum makan optimal untuk mencapai konsentrasi maksimal obat. Walaupun waktu paruh PPI ini sangat cepat,

53

tetapi dari penelitian menunjukkan efektifitas PPI dalam menekan produksi HCL tidak linier dengan kadar plasma PPI. Semua jenis PPI memiliki waktu paruh eliminasi sekitar 1 jam, maksimum konsentrasi plasma (tmax) dengan rentang 1-5 jam. Omeprazole merupakan jenis PPI yang pertama kali digunakan secara klinis dan telah banyak penelitian yang mengevaluasi efektifitas dalam terapi dispepsia, tukak peptik, GERD, dan perdarahan saluran cerna atas. Pada kasus tukak lambung, pH lambung dipertahankan nilai >3 untuk proses penyembuhan dan eradikasi H.pylori. Selain itu keberhasilan terapi GERD juga bergantung dengan durasi tinggi dari intragastrik pH >4.

Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada rentang tahun 2017-2018 pada 8453 kasus dispepsia, menunjukkan PPI lebih efektif memperbaiki keluhan simptomatik dan kualitas hidup pasien dibanding dengan plasebo, prokinetik, dan H2 bloker. Didukung pula oleh penelitian yang dilakukan di Jepang pada tahun 2013 terhadap pasien-pasien dengan kronik abdominal symptom yang berobat ke fasilitas

54

kesehatan primer, pemberian omeprazole 20 mg secaar efektif menurunkan gejala gangguan abdominal.

Obat-obat prokinetik

Pemakaian obat prokinetik merupakan salah satu pilihan pengobatan yang cukup diminati untuk penderita dengan non ulkus dispepsia. Sayang pemakaiannya terbatas karena jumlah obat yang terbatas macamnya.

Cisapride

Merupakan obat prokinetik yang merang-sang gerakan (motilitas) saluran cerna dengan cara memacu secara selektif pelepasan acethylcholine dalam pleksus mienterik dalam usus, diduga lewat agonis parsial terhadap serotonin (5-HT4) . Cisapride terbukti dapat merangsang gerakan antroduodenal dan mempercepat pengosongan lambung pada penderita dengan pengosongan lambung yang lambat (”delay gastric emptying”). Namun penggunaannya saat ini dibatasi karena terjadinya efek samping berupa aritmia jantung.

55 Domperidon

Merupakan golongan antagonis dopamin D2 yang tidak melewati sawar otak sehingga tidak ada efek ekstrapiramidal. Mempunyai efek antagonis dopamine di perifer dan dapat meningkatkan tekanan LES ”lower oesophageal sphincter”, mempercepat pengosongan lambung dan meningkatkan gerakan (motilitas) antropy-loric. Untuk pengobatan penderita dispepsia, tampaknya efektifitasnya sama.

Metoclopramide

Merupakan antagonis reseptor dopamin D2 dan antagonis reseptor serotonin (5-HT3) yang menghambat reseptor dopaminergic dalam saluran gastrointestinal, dan merangsang gera-kan saluran cerna bagian atas. Namun penggunaannya terbatas, karena tingginya insidensi efek samping pada ekstra piramidal, yang kadang-kadang irreversibel, seperti ”Tardive dyskinesia”.

Antidepresan

Manfaat antidepresan dalam pengobatan kelainan fungsional saluran cerna (“functional gastrointestinal disorders”) telah dibuktikan dalam

56

penelitian meta-analisis terbaru. Ini menimbulkan dugaan bahwa penderita dengan non-ulcer dyspepsia mungkin dapat menunjukkan respon yang baik pula dengan pengobatan antidepresan. Amitriptilin dosis rendah memperlihatkan per-baikan keluhan dispepsia fungsional. Dibutuhkan penelitian yang lebih banyak lagi untuk memastikan temuan ini.

Eradikasi kuman H pylori

Pengaruh eradikasi kuman H pylori dalam pengobatan dispepsia fungsional merupakan masalah yang paling banyak diperdebatkan. Ada 4 penelitian secara acak ganda, buta ganda, telah dilakukan selama ini, tiga penelitian melaporkan tidak ada perbaikan keluhan setelah eradikasi kuman H pylori tetapi satu penelitian me-nunjukkan perbaikan keluhan. Perbedaan ini diduga akibat perbedaan latar belakang prevalensi ”h.pylori-related ulcer disease” yang ada dimasyarakat yang di teliti. Pada study di Scotlandia oleh McCll dan kawan-kawan, keluhan dispepsia berkurang hanya 7% dari pasien yang mendapat terapi omeperazol, dibandingkan dengan pasien yang mendapat terapi omeperazol

57

dengan antibiotika keluhan berkurang 21%. Kesimpulan yang diambil peneliti bahwa terapi kombinasi antibiotika dan omeprazol lebih baik dari pada terapi tunggal omeperazol dalam menurunkan keluhan dispepsia.

Dalam dokumen PT. Multimedika Digital Indonesia (Halaman 52-59)

Dokumen terkait