• Tidak ada hasil yang ditemukan

PT. Multimedika Digital Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PT. Multimedika Digital Indonesia"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

Halaman DAFTAR ISI

1. Tatalaksana Diabetes Melitus 1

Saat Puasa

2. Efek Puasa pada Profil Lipid 15

3. Puasa dan Penyakit Kardiovaskular 21

4. Tatalaksana CKD di Bulan Puasa 30

5. Pasien Batu Saluran Kemih dan

Puasa Ramadhan 39

6. Manajemen Dispepsia Saat Puasa 44

A. Pendahuluan 44

B. Perubahan Fisiologi Tubuh

Saat Berpuasa 45

C. Apakah Dispepsia 47

D. Pembagian Dispepsia 48

E. Tatalaksana Dispepsia 50

F. Tatalaksana Dispepsia saat Puasa 57

7. Puasa dan Ibu Hamil 61

8. Puasa pada Ibu Menyusui 68

9. Pemilihan Antibiotik pada

Pasien Puasa 74

10. Efek Puasa pada Parameter

Hematologis 78

(3)

1

Tatalaksana Diabetes Melitus

Saat Puasa

Oleh

Dr. Renny Anggraeni Pusputasari, SpPD Dr. Rizki Nur Rachman Putra Gofur

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, namun juga selalu menjadi tantangan bagi dokter umum karena puasa mengatur ulang aktivitas fisiologis dari tubuh. Karena puasa saat Bulan Ramadhan, masyarakat Indonesia men-jalankan puasa dan hanya makan di saat sahur yaitu sebelum matahari terbit dan berbuka puasa yaitu setelah matahari terbenam. Hal ini me-nyebabkan konsumsi obat pun menjadi berubah, dan berpotensi mengurangi kepatuhan pasien karena perubahan pola makan dan pola ke-hidupan. Selain itu puasa sendiri juga memberikan dampak kesehatan bagi pasien, dan tidak semua pasien diperbolehkan untuk melakukan puasa Ramadhan. Masalah-masalah ini umumnya dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit kronis, dan salah satu penyakit kronis tersebut adalah penyakit yang berhubungan dengan metabolik seperti diabetes mellitus.

(4)

2

Sebelum memasuki materi, mari sedikit mengingat kembali patofisiologi dari diabetes mellitus dan apa hubungannya dengan puasa. Sekresi insulin menyebabkan penyimpanan glukosa di liver dan otot sebagai glikogen. Pada orang sehat aktivitas ini dirangsang dengan makan. Saat puasa, glukosa darah cenderung rendah, menyebabkan penurunan sekresi insulin, yang akhirnya menyebabkan pembongkaran glikogen dan meningkatkan gluconeogenesis. Karena puasa terus berlanjut, maka glikogen akan semakin sedikit, dan level insulin yang rendah pada darah menyebabkan asam lemak terlepas dari jaringan adipose. Oksidasi dari asamlemak dapat menjadi keton yang dapat digunakan sebagai bahan bakar otot, jantung, hepar, ginjal, dan jaringan lain. Hal ini menyisakan glukosa untuk dipakai otak dan eritorsit.

Pada individu tanpa diabetes, proses di atas direulgasi oleh keseimbangan insulin dan hormone kontrarulgator untuk mempertahankan konsentrasi glukosapada level yang fisiologis. Pada pasien dengan diabetes, homeotstasis glukosa diganggu oleh patofisiologi dari diabetes

(5)

3

mellitus. Pada pasien dengan insulin defisiensi yang berat, puasa yang panjang tanpa adanya insulin dapat menyebabkan pembongkaran glikogen yang berelebihan serta gluconeogenesis dan ketogenesis yang meningkat, menyebabkan hiperglikemia dan ketoasidosis. Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 dapat menderita gangguan yang sama jika puasa berlangsung dalam waktu lama. Ketoaasidosis jarang ditemukan walau tetap mungkin terjadi, dan keparahan hiperglikemia tergantung dari ke-parahan resistensi insulin.

Pasien yang melakukan puasa dalam bulan Ramadhan memiliki risiko untuk terkena komplikasi dari diabetes mellitus. Beberapa komplikasi tersebut adalah hipoglikemia, hiper-glikemia, dan ketoasidosis diabetikum. Komplikasi tersebut akan dijabarkan di bawah ini.

Hipoglikemia

Penurunan konsumsi makanan merupakan faktor risiko yang sudah banyak dikenal saat bulan puasa. Hipoglikemia menyebabkan 2-4 % mortalitas pada pasien DM tipe 1. Tidak ada

(6)

4

perkiraan pasti angka mortalitas akibat hipoglikemia pada DM tipe 2, namun hipoglikemia ini dirasa jarang ditemukan pada diabetes tipe 2. Pasien DM tipe 2 lebih jarang menderita hipoglikemia dibandingkan dengan DM tipe 1, dan risiko ini jauh lebih rendah lagi pada pasien DM tipe 2 yang mendapat terapi oral saja.

Hiperglikemia

Kontrol glikemia pada pasien DM pada bulan Ramadhan dilaporkan memburuk, baik, atau tetap. Pasien yang berpuasa pada bulan Ramadhan memiliki faktor risiko lima kali peningkatan insiden hiperglikemia dan mem-butuhkan perawatan di rumah sakit saat bulan Ramadhan. Hal ini ditemukan pada pasien diabetes mellitus tipe dua. Sedangkan pada DM tipe 1 ditemukan risiko tiga kali lipat menderita hiperglikemia berat dengan atau tanpa ketoasidosis diabetikum. Hiperglikemia dapat terjadi akibat penurunan dosis dari obat yang mencegah hipoglikemia. Pasien yang juga melaporkan peningkatan konsumsi makanan dan gula memiliki risiko tinggi untuk menderita hiperglikemia.

(7)

5

Ketoasidosis Diabetikum

Pasien dengan ketoasidosis diabetikum umumnya yang menderita DM tipe 1. Pasien yang berpuasa Ramadhan, memiliki risiko besar untuk mengalami komplikasi ini. Apalagi yang se-belumnya memiliki kepatuhan rendah soal diet dan pengobatan. Ketoasidosis diabetikum juga dapat muncul akibat penurunan dosis insulin yang dilakukan sebab terdapat asumsi konsumsi makanan juga menurun saat bulan puasa.

Tatalaksana

Untuk pasien DM yang berpuasa dalam bulan Ramadhan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama adalah tentu saja memeriksakan diri ke dokter sebelum melakukan puasa untuk menilai kondisi tubuh serta menentukan apakah sang pasien bisa melakukan puasa Ramadhan. Beberapa tatalaksana yang bisa dilakukan adalah :

 Monitor gula darah secara mandiri, tergantung dari jenis dan regimen terapi yang diberikan. Monitor gula darah dapat dilakukan beberapa kali sehari, terutama "Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia

(8)

6

untuk pasien yang diobati menggunakan insulin dan insulin sekretagog. Monitor gula darah dilakukan 2-4 kali sehari, terutama sebelum sahur, saat puasa, dan sesudah berpuasa.

 Minta pasien periksa ke dokter minimal 1 bulan sebelum melakukan puasa untuk edukasi, modifikasi regimen terapi, serta menilai kondisi pasien.

 Minta pasien untuk tidak melewatkan sahur karena dapat menyebabkan risiko hipo-glikemia.

 Hindari aktivitas fisik yang berlebihan karena dapat menyebabkan dehidrasi.

 Jika terjadi hipoglikemia, sarankan pasien untuk buka puasa dan konsumsi makanan manis.

 Untuk modifikasi regimen terapi pasien, umumnya dapat dilakukan seperti di bawah ini :

(9)

7

Sebelum

Ramadhan Saat Ramadhan

Pasien yang sedang melakukan diet dan olahraga

Modifikasi durasi dan

intensitas dari aktivitas fisik, pastikan pasien

mengkonsumsi cairan yang cukup

Pasien dengan pengobatan oral anti diaebets

Berikan pemberian cairan yang cukup

Biguanid, Tidak perlu perubahan

Metformin

 1x sehari diberikan saat buka

 2x sehari diberikan saat sahur dan buka

 3x sehari diberikan 1x saat sahur dan 2x saat buka Sulfonilurea sekali

sehari

 Berikan dosis saat buka  Pada pasien dengan gula

darah baik, dosis dapat diturunkan

Sulfonilurea dua kali sehari

 Dosis buka tetap

(10)

8

 Pada pasien dengan gula darah baik dosis sahur dapat diturunkan Pasien yang sedang

menjalakan terapi insulin long/intermediate acting NPH / determir / glargine / degludec 1 x sehari Turunkan dosis 15-30%, berikan saat buka

Pasien yang sedang menjalakan terapi insulin short acting

Dosis normal saat buka

Hilangkan dosis makan siang Turunkan dosis sahur

sebanyak 25-50% Pasien yang sedang

menjalankan terapi insulin premix satu kali sehari

Dosis normal saat buka Pasien yang sedang

menjalankan terapi insulin premix dua kali sehari

Dosis normal saat buka Turunkan dosis sahur sebanya 25-50% Pasien yang sedang

menjalankan terapi insulin premix tiga kali sehari

Hilangkan dosis maan siang Atur ulang dosis sahur dan berbua

(11)

9

Lakukan titrasi dosis setiap 3 hari dengan cara

GDA pre sahur/pre buka < 70 mg/dl  Turunkan 4 unit GDA pre sahur/pre buka 70-90 mg/dl  Turunkan 2 unit GDA pre sahur/pre buka 90-126 mg/dl  Tidak perlu perubahan

GDA pre sahur/pre buka 126-200 mg/dl  Naikkan 2 unit GDA pre sahur/pre buka > 200 mg/dl  Naikkan 4 unit Sedangkan untuk beberapa OAD yang dapat diberikan pada pasien DM, akan di-review di bawah ini sekaligus catatan-catatan penting yang perlu diperhatikan. Nama Generik Dosis harian (mg) Keunggulan Catatan Sulfonilurea Glipizid 2,5-20 Menurunkan HbA1c sebanyak 1-2 %, respon Hipoglikemia, kenaikan berat badan, perlu hati-hati pada Glyburide 1,25 – 20 Glimepiride 1-4 Glicazide 40 – 320

(12)

10

awal bagus, tidak ada lag time sebelum respon, dosis sekali sehari, harga murah pasien dengan disfungsi renal/hati, dan alergi sulfa Meglitinides Repaglinide 0,5 -8 Mennurunkan HbA1c sebanyak 1-1,15 % dan memilii waktu paruh yang lebih sedikit dibandigkan sulfonylurea Hipoglikemia, menaikkan berat badan, dosis yang berulang, dan lebih mahal dibandingkan sulfonylurea Nateglinide 60-120 Alpha glukosidase inhibitor Acarbose 25-150 Menurunkan HbA1c sebanyak 0,5 – 0,8%, menurunkan glukosa post prandial tanpa menyebaban Tidak lebih efektif dibanddingkan sulfonylurea dan metformin dalam menurunkan glikemia, dapat menyebabkan

(13)

11 hipoglikemia, tidak menyebabkan peningkatan berat badan produksi gas dan gejala gastrointestinal Insulin sensitizer Metformin 500-2000 Menurunkan HbA1c sebanyak 1 – 2 %, tidak mengubah berat badan, respon awal yang baik, pemakaian jangka panjang yang aman, risiko hipoglikemia kecil, dapat memperbaiki profil lipid, dapat menurunkan kejadian makrovaskula, harga murah Efek samping gastrointestinal, risiko asidosis laktat, tidak adapat digunakan pada pasien dengan disfungsi hati dan hepar

(14)

12

Sedangkan untu menjawab, pasien DM dalam keadaan apa yang boleh melakukan puasa Ramadhan, berikut adalah stratifikasi risiko dari kondisi-kondisi umum. Kategori Risiko Kondisi Risiko sangat tinggi

 Pasien dengan hipoglikemia berat selama 3 bulan terakhir  Riwayat hipoglikemia

berulang

 Kontrol glikemik yang buruk  Memilki riwayat KAD 3 bulan

terkahir  DM tipe 11

 Menderita keadaan koma hyperosmolar hiperglikemiak dalam 3 bulan terakhir

 Memilki pekerjaan dengan aktivitas fisik berat

 Hamil

 Menjalani cuci darah Risiko

tinggi

 Glikemia moderat dengan gulada darah 150-300 mg/dl atau A1c 7,5% - 9,0 % "Dokter Post" Media Informasi dan Komunikasi Dokter Indonesia

(15)

13

 Insufiesiensi renal  Memiliki komplikasi

makorvaskular lanjut  Hidup sendiri dan diobati

dengan insulin atau sulfonylurea

 Pasien dengan kondisi komorbid yang dapat menyebabkan faktor risiko tambahan

 Usia tua dengan kesehatan yang tida bai

Risiko Sedang

 Diabetes terkontrol yang diobati dengan short acting insulin secretagogues

Risiko rendah

 Diabetes terkontrol dengan terapi gaya hidup,

metformin, akarbose,

thizolindinediones, dan atau terapi berbasis incretin, dan pasien secara umum sehat.

(16)

14

Daftar pustaka

Al-Arouj, M. et al. (2010) ‘Recommendations for management of diabetes during Ramadan: Update 2010’, Diabetes Care, 33(8), pp. 1895–1902. doi: 10.2337/dc10-0896. Ibrahim, M. et al. (2015) ‘Recommendations for

management of diabetes during Ramadan: Update 2015’, BMJ Open Diabetes

Research and Care, 3(1), pp. 1–9. doi: 10.1136/bmjdrc-2015-000108.

(17)

15

Efek Puasa pada Profil Lipid

Oleh

Dr. Rizki Nur Rachman Putra Gofur

Sudah banyak studi, teori, maupun hipotesis yang memberi penjelasan mengenai dampak positif puasa bagi manusia. Hal ini sangat nampak, terutama pada variable metabolik tubuh. Tidak semua pasien yang beragama Islam dalam keadaan yang buruk sehingga memperbolehkan mereka untuk berpuasa dalam bulan Ramadhan. Sebagian besar cukup sehat, atau hanya menderita sakit ringan. Pasien dengan penyakit metabolik dapat mengambil manfaat dari puasa Ramadhan.

Salah satu efek yang prominen dari puasa Ramadhan adalah efeknya pada profil lipid. Artikel ini akan membahas beberapa penelitian agar dapat dijadikan oleh dokter umum sebagai bahan edukasi, maupun sebagai pembantu dalam membuat keputusan klinis.

Studi pertama dilakukan di Jordania oleh Mansi dengan subyek 70 pelajar yang sehat dan tanpa penyakit. Kedua jenis kelamin masuk dalam

(18)

16

kelompok ini dengan usia rata-rata sejutar 21 tahun plus minus 1,6 tahun. Studi ini berbentuk kohort dan dilakukan pada bulan Oktober 2006. Variabel yang dievaluasi pada penelitian ini adalah pemeriksaan anteropometri seperti berat badan, tekanan darah, dan nadi. Ditemukan bahwa semua parameter ini ditemukan lebih rendah dibandingkan nilai sebelum Ramadhan. Namun cenderung kembali lagi ke tingkat sebelum Ramadhan sewaktu dua minggu setelah Ramadhan berakhir.

Pemeriksaan selanjutnya adalah gula darah, trigliserida, LDL, dan HDL. Pemeriksaan ini dilakukan beberapa kali sebelum Ramadhan, dan minggu ke 1, 2, dan 4 saat Ramadhan. Ditemukan bahwa HDL meningkat secara signifikan saat bulan Ramadhan, yang memiliki asosiasi positif dengan nadi dan konsumsi makanan berlemak, dan asosiasi positif dengan tekanan darah dan berat badan. LDL juga ditemukan menurun secara signifikan. Namun tidak ditemukan perbedaan statistik pada variabel trigliserida dan gula darah.

(19)

17

Studi kedua dilakukan oleh Saleh et al. di Kuwait. Untuk studi ini kelompok usia lebih beragam dengan range usia 24 sampai 56 tahun. Setiap subyek berpuasa sekitar 12 jam sehari selama 21 hari termasuk wanita yang mensturasi. Pada kelompok pria ditemukan perbaikan yang signifikan untuk berbagai variable seperti lingkar pinggang, gula darah, kolesterol total, HDL, VLDL, trigliserida dibandingkan dari minggu pertama dan minggu ke empat Ramadhan. Sedangkan pada wanita, HDL memiliki tren peningkatan namun tidak signifikan secara statistic. Selain itu indeks aterogenik (total kolesterol-HDL/HDL) juga mengalami penurunan. Penurunan dari lingkar pinggang dan indeks aterogenik ini dipercaya oleh penulis sebagai efek positif dari puasa Ramadhan. Penulis kemudian menyimpulkan bahwa puasa Ramadhan dapat memberikan dampak positif pada profil lipid dan juga pada lingkar pinggang.

Studi selanjutnya dilakukan oleh Hagdoost. Studi ini lebih unik karena mengkombinasikan antara puasa Ramadhan dan aktivitas fisik. Subyek untuk penelitian ini adalah 93 orang pelajar yang dibagi menjadi dua kelompok, satu

(20)

18

kelompok dengan aktivitas fisik saat Ramadhan, satu kelompok dengan aktivitas fisik setelah Ramadhan. Kemudian sampel darah diambil sebelum, akhir, dan 40 hari setelah Ramadhan untuk diukur kadar gula darah dan profil lipid. Berpuasa ditambah dengan aktivitas fisik me-nurunkan berat badan sebanyak 1,2 kg. Gula darah puasa juga menurun 7 mg/dL saat Ramadhan, dan muncul pada kedua kelompok. Trigliserida juga menurun pada kedua kelompok pada saat Ramadhan, dan setelah Ramadhan, tetap bertahan setelah Ramadhan pada kelompok yang tetap melakukan aktivtas fisik. Penulis berkesimpulan bahwa variasi profil lipid pada saat bulan Ramadhan di kedua kelompok belum bisa dijelaskan secara ilmiah.

Studi terakhir di Uni Emirat Arab memiliki 102 subyek dengan rata-rata usia 38,7 tahun dan direkrut secara acak. Pemeriksaan profil lipid berupa kolesterol total, trigliserida, HDL, dan LDL diukur sebelum Ramadhan, di akhir Ramadhan, dan empat hari setelah Ramadhan. Dari hasil penelitian ditemukan adanya perbaikan siginfikan pada variable tekanan darha sistolik, berat badan,

(21)

19

lingkar pinggnan, HDL, LDL, pada saat akhir Ramadhan. Namun tidak ditemukan penurunan yang signifikan pada kolesterol total. Selanjutnya tetap ditemukan penurunan yang progresif pada LDL, dan peningkatan yang progresif pada HDL, empat minggu setelah Ramadhan. Penulis berkesimpulan bahwa puasa Ramadhan dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengontrol pada profil lipid dan lipoprotein.

Semua studi di atas menjabarkan dampak yang positif antara puasa Ramadhan dan profil lipid. Jika tidak ada kontraindikasi absolut, tentu tidak ada salahnya memperbolehkan pasien dengan dislipidemia untuk melakukan puasa Ramadhan karena dapat memperbaiki profil lipid mereka. Namun tetap perlu diperhatikan bahwa gangguan lipid umumnya terkait dengan gangguan metabolic lain. Hal ini perlu diperiksa sebelum memperbolehkan pasien untuk puasa. Sebagian gangguan metabolik lain dapat menghalangi seseorang untuk berpuasa.

(22)

20

Sumber

Haghdoost, A.A. and Poorranjbar, M., 2009. The interaction between physical activity and fasting on the serum lipid profile during Ramadan.

Mansi, K.M.S., 2007. Study the effects of Ramadan fasting on the serum glucose and lipid profile among healthy Jordanian students. Am J Appl Sci, 4(8), pp.565-9. Saleh, S.A., Elsharouni, S.A., Cherian, B. and

Mourou, M., 2005. Effects of Ramadan fasting on waist circumference, blood pressure, lipid profile, and blood sugar on a sample of healthy Kuwaiti men and women. Malaysian Journal of

Nutrition, 11(2), pp.143-150.

Shehab, A., Abdulle, A., El Issa, A., Al Suwaidi, J. and Nagelkerke, N., 2012. Favorable changes in lipid profile: the effects of fasting after Ramadan. PloS one, 7(10), p.e4761

(23)

21

Puasa dan Penyakit Kardiovaskular

Oleh

Dr. Ragil Nur Rosyadi, SpJP Dr. Rizki Nur Rachman Putra Gofur

Bulan Ramadhan selalu menjadi tantangan bagi dokter umum karena puasa mengatur ulang aktivitas fisiologis dari tubuh. Karena puasa saat Bulan Ramadhan, masyarakat Indonesia men-jalankan puasa dan hanya makan di saat sahur dan berbuka puasa. Hal ini menyebabkan konsumsi obat pun menjadi berubah, dan berpotensi mengurangi kepatuhan pasien karena perubahan pola makan dan pola kehidupan. Selain itu puasa sendiri juga memberikan dampak kesehatan bagi pasien, dan tidak semua pasien diperbolehkan untuk melakukan puasa Rama-dhan. Masalah-masalah ini umumnya dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit kronis, dan salah satu penyakit kronis tersebut adalah penyakit yang berhubungan dengan kardio-vaskular. Artikel ini akan membahas mengenai efek puasa terhadap kardiovaskular. Tips pe-ngaturan dosis obat selama puasa.

(24)

22

Sebelum memulai puasa Ramadhan sebaiknya semua pasien dihimbau untuk kontrol sehingga dokter dapat melakukan penilaian mengenai kondisi kardiovaskular pasien, mem-berikan edukasi mengenai puasa, melakukan pengaturan ulang pada tatalaksana pasien, serta menentukan apakah pasien dapat melakukan puasa Ramadhan atau tidak.

Secara umum terdapat miliaran muslim di dunia yang melakukan puasa Ramadhan. Sebagian besar dari mereka, menurut studi literature, dapat menjalankan puasa dengan baik. Menurut studi oleh Chamsi-Pasha dan Ahmed, dari 86 pasien poliklinik yang mereka tangani dengan berbagai kondisi penyakit kardiovaskular, sekitar 74% aspei sukses melakukan puasa Ramadhan secara penuh. Sedangkan sekitar 10,4% pasien tidak berpuasa selama 1-7 hari, dan hanya 3,5% yang tidak melakukan puasa sama sekali. Tidak ada perubahan berarti pada pasien-pasien dalam studi ini. Studi ini kemudian menyimpulkan bahwa mayoritas pasien dengan penyakit jantung yang stabil dapat berpuasa tanpa ada dampak negative.

(25)

23

Studi lain oleh Al Suwaidi et al., melihat kondisi 465 pasien penyakit kardiovaskular stabil yang berpuasa saat ramadhan. Penyakit kar-diovaskular yang diobservasi pada penyakit ini bermacam-macam mulai dari gagal jantung, fibrilasi atrial, hingga angina. Sebanya 91,2% pasien berpuasa tanpa ada dampak negative. Hanya sekitar 6,7% yang merasa keadaannya semakin buruk saat puasa Ramadhan.

Studi ini juga menemukan bahwa 82,8% pasien patuh terhadap pengobatan penyakit kardiovaskular dan seitar 68,8% pasien patuh dengan aturan diet. Hanya 19 orang pasien yang membutuhkan perawatan di rumah sakit akibat masalah kardiovaskular. Studi ini menyimpulkan pasien dengan penyakit kardiovaskular stabil dapat berpuasa, dan efek yang ditimbulkan puasa untuk penyakit jantung hanya minimal. Beberapa studi yang menginvestigasi efek yang ditimbulkan puasa ramadhan terrhadap insiden sindroma korona akut, infark miokard akut, dan unstable angina. puasa Ramadhan tidak meningkatkan angka kejadian penyakit–penyakit kardiak akut. Angka kejadian penyakit penyakit seperti

(26)

24

sindroma koroner akut, dekompensasio kordis, dan stroke memiliki angka yang sama pada bulan –bulan tanpa puasa, dan juga pada bulan Ramadhan. Sebuah studi yang dilakukan Temizhan menginvestigasi efek puasa Ramadhan pada penyakit jantung koroner. Mereka mem-bandingkan kejadian infark miokard akut datn unstable angina saat bulan Ramadhan dan sebelum bulan Ramadhan pada tahun 1991-1997. Studi ini kemudian mengumpulkan subye sebanyak 1655 pasien, kemudian studi ini menemukan bahwa angka kejadian penyakit jantung akut lebih sediit pada bulan Ramadhan dibandingkan sebelum satau sesudah bulan Ramadhan. Justru angka kejadian-kejadian penyakit ini lebih sedikit pada bulan Ramadhan. Studi ini kemudian menarik kesimpulan bahwa puasa Ramadhan tidak meningkatkan penyakit jantung akut.

Menurut literature yang ditulis Perk et al. pasien yang memiliki hipertensi ringan dapat menjalankan puasa Ramadhan dengan baik setelah sebelumnya dilakukan pemerisaan fisik, edukasi, dan pengaturan dosis obat. Untuk

(27)

25

hipertensi grade 2-3 sering dikatikan dengan risiko sedang hingga tinggi kardiovaskular. Pasien-pasien yang masuk ke dalam kelompok ini perlu dilakukan terapi kombinasi untuk kontrol tekanan darah yang efektif. Menurut studi lain oleh Ural et al. pasien yang mengalami hipertensi grade 2 hingga 3 terkontrol tidak mengalami perubahan tekanan darah saat puasa Ramadhan. Konsumsi obat penurun tekanan darah dua kali sehari sebelum sahur dan sesudah buka merupakan regimen yang tepat untuk kontrol tekanan darah dan diaplikasikan saat bulan Ramadhan.

Namun hal ini berbeda untuk beberapa pasien dengan kepatuhan rendah dan tekanan darah tidak terkontrol. Dilaporkan angka kunjungan ke unit gawat darurat dengan kondisi terkait hipertensi pada bulan Ramadhan meningkat. Kepatuhan yang buruk ditambah dengan perubahan fisiologis pada saat puasa termasuk rasa lapar di saat tertentu dapat menyebabkan temuan ini. Diuretik sebaiknya dihindari saat puasa, terutama pada tempat-tempat yang panas, atau jika harus diberikan

(28)

26

sebaiknya diberikan setelah buka puasa. Pasien dengan tekanan darah yang tidak terkontrol sebaiknya tidak berpuasa sebelum tekanan darah merea stabil. Pasien dengan kegawatdaruratan kardiovasular harus ditangani sebagaimana mestinya dengan protokol standard.

Sementara untuk kasus gagal jantung atau heart failure. Al Suwaidi et al., mencoba menginvestigasi hubungan puasa Ramadhan dengan gagal jantung kongestif. 2160 pasien menjadi subyek pada studi ini. Studi ini menemukan bahwa angka masuk rumah sakit pada gagal jantung kongestif tidak berbeda pada bulan Ramadhan jika dibandingkan pada bulan-bulan lain. Tidak terdapat perbedaan dari gejala penyakit, maupun dilihat dari parameter hematologis dan biokimiawi. Namun studi ini juga menyarankan bahwa pasien yang diobati menggunakan diuretic sebaiknya tidak berpuasa terutama dalam kondisi cuaca yang panas.

Sebelum melakuan puasa sebaiknya pasien yang menderita penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular mengunjungi dokter unutk kontrol 1 atau 2 bulan sebelum puasa. Kunjungan ini

(29)

27

diperlukan untuk melakukan pemeriksaan fisik, edukasi mengenai puasa, serta pengaturan dosis obat. Dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit perlu dihindari untuk pasien dengan diuretic, sebaiknya diuretic tidak diberikan karena dapat menyebabkan disritmia berat saat puasa. Untuk pasien puasa, diuretik bukan pilihan utama untuk pasien hipertensi. Sedangkan untuk pasien gagal jantung kongestif diuretic dapat diberikan dengan pengaturan dosis berupa dosis yang lebih rendah terutama untuk golongan loop diuretic apalagi jika puasa dilakukan pada musim kemarau. Ubahlah dosis obat menjadi sekali sehari jika me-mungkinkan untuk membantu memperbaiki kepatuhan pasien.

Untuk merangkum semua materi di atas, berikut ini ada beberapa tips menangani pasien kardiovaskular selama puasa. Berikut adalah tips dari dr. Ragil Sp.JP:

 Puasa Ramadhan umumnya aman dilakukan untuk pasien gagal jantung kronis pada kondisi stabil NYHA class 1 atau 2

(30)

28

 Tetap lakukan pembatasan cairan dan garam (jika memang sebelum puasa hal ini dilakukan), dan jangan kurangi dosis obat  Beberapa pasien tidak dapat melakukan

puasa, yang termasuk pada golongan tersebut adala pasien

 Sakit Kritis

 Gagal jantung NYHA kelas 3-4

 Krisis hipertensi atau hipertensi tidak terkontrol

 Sindroma koroner akut

 Jika memungkinan ubah dosis menjadi dosis tunggal. Hal ini mungkin dilakukan untuk pengobatan pasien gagal jantung

 Untuk obat dengan dua dosis, berikan dengan jeda selama mungkin saat jam-jam pasien tidak melakukan puasa.

(31)

29

Daftar Pustaka

Chamsi-Pasha, H., Ahmed, W. H. and Al-Shaibi, K. F. (2014) ‘The cardiac patient during Ramadan and Hajj’, Journal of the Saudi Heart Association. King Saud University, 26(4), pp. 212–215. doi:

10.1016/j.jsha.2014.04.002.

Chamsi-Pasha, M. and Chamsi-Pasha, H. (2016) ‘The cardiac patient in Ramadan’, Avicenna Journal of Medicine, 6(2), p. 33. doi:

10.4103/2231-0770.179547.

(32)

30

Tatalaksana CKD di Bulan Puasa

Oleh

Dr. Rizki Nur Rachman Putra Gofur

Puasa telah banyak diteliti oleh banyak ilmuan dari seluruh dunia. Secara umum puasa memberikan efek yang baik untuk kesehatan. Puasa dilakukan oleh masyarakat seluruh dunia dengan berbagai latar belakang mulai dari sebagai tren, ajaran agama, maupun karena alasan sosial budaya. Tidak terkecuali bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia mayoritas terdiri dari pemeluk agama Islam.

Agama Islam mengajarkan untuk berpuasa selama bulan Ramadhan dari terbit hingga tenggelamnya matahari. Muslim yang berpuasa dalam bulan Ramadhan tidak hanya muslim yang sehat saja, namun juga para pengidap penyakit kronis. Para pengidap penyakit kronis ini salah satunya adalah pasien dengan chronic kidney disease (CKD) atau gagal ginjal kronis. Lalu bagaimana dampak puasa terhadap CKD? Bagaimana tatalaksana pasien CKD selama puasa? Bolehkah pasien CKD berpuasa? Artikel ini

(33)

31

berusaha menjawab pertanyaan pertanyaan di atas.

Chronic Kidney Disease

Sebelumnya mari sedikit membahas mengenai CKD untuk me-refresh pengetahuan tentang CKD. Sub bab ini disarikan dari buku Kapita Selekta Kedokteran (Tim Kapita Selekta Kedokteran, 2014).

Definisi dari CKD adalah adanya kelainan structural dan fungsional pada ginjal. Kerusakan ini tidak boleh bersifat sementara dan harus bertahan minimal tiga bulan. Kelainan struktur yang dimaksud adalah kelainan struktural yang dapat dilihat dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium. Kelainan tersebut adalah albuminuria, sedimen urin, kelainan elektrolit. Namun juga dapat melalui pemeriksaan histologi, imaging, dan riwayat transplantasi ginjal. Kelainan tersebut juga dapat dilihat dari adanya penurunan laju filtrasi glomeroulus < 60 ml/menit/1,73 m persegi.

Etiologi yang menyebabkan CKD ber-macam-macam. Mulai dari infeksi yang

(34)

32

babkan glomerulonefirtis, diabetes mellitus yang menyebabkan nefropati diabetikum, hipertensi, obstruksi pada saluran kemih diakibatkan oleh batu atau tumor, lupus sistemik, dan penggunaan obat-obatan yang berlebihan. Prevalensi penyakit ini di negara maju mencapai 10-13% sedangkan di Indonesia didapatkan sektiar 12,5% mengalami penurunan fungsi gijal.

Manifestasi klinis dari CKD tidak spesifik. Pada fase awal-awal penyakit ini umumnya tidak menunjukkan gejala. Gejala muncul pada fase akhir. Tanda dan gejala yang umumnya dapat muncul akibat CKD adalah :

 Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa : dicirikan oleh tanda gejala hyperkalemia, asidosis metabolic, serta hiperfosfatemia

 Ketidakseimbangan cairan yang ditandai dengan edema pada ekstremitas, efusi pleura, asites, peningkatan JVP, asites  Gejala-gejala gastrointestinal seperti

metallic taste, vomiting gastritis, ulkus peptikum, dan malnutrisi

(35)

33

 Gangguan kulit seperti kulit kering, pruritus, dan perubahan warna kulit

 Gangguan saraf seperti adanya kelemahan otot, kelainan memori, penurunan kesadaran

 Anemia dan gangguan hemostasis

 Penyakit-penyakit metabolic seperti dyslipidemia, diabetes mellitus, dan gangguan hormone seks.

Untuk mendiagnosis CKD selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, perlu pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap perlu dilakukan untuk mendeteksi anemia. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan profil ginjal untuk menilai kenaikan ureum atau serum kreatinin. Peningkatan profil ginjal mengindikasikan adanya kerusakan ginjal. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan elektrolit, CKD dicirikan dengan adanya hyperkalemia, hipokalsemia, hiper-fofatemia, hipermagesemia.

Secara umum pasien baru CKD atau dengan kecurigaan CKD (yang sebelumnya belum didiagnosis CKD) perlu dirujuk ke fasilitas

(36)

34

kesehatan tingkat lanjut. Namun ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa perujukan harus dilakukan segera, beberapa di antaranya adalah :

 Pasien CKD baru yang perlu dicari penyebab dari CKD tersebut

 Pasien gagal ginjal akut yang tidak respon dengan terapi awal dan tidak ada perbaikan fungsi ginjal

 Anemia dan CKD

 Pasien kecurigaan CKD dengan riwayat penyakit ginjal di keluarga

 Terdapat hematuria

 CKD yang semakin memburuk

 CKD dengan hipertensi tidak terkontrol atau tidak membaik dengan pemberian obat  CKD dengan gangguan tulang

 Level kalium yang sulit terkontrol  Albuminuria refrakter

 CKD yang akan dilakukan transplantasi gijal

CKD dan Puasa

Puasa memiliki dampak tertentu pada kondisi fisiologis tubuh diakibatkan tidak ada konsumsi kalori dan cairan dari terbit matahari

(37)

35

hingga terbenam. Beberapa studi sudah mencoba menjelaskan hubungan antara keduanya. Studi oleh Al-Muhanna pada 140 pasien dengan CKD dengan rincian 40 pasien hemodialysis rutin, 18 pasien peritoneal dialisis, 15 pasien predialis, dan 67 dengan terapi obat. Pada studi ini ditemuan tidak ada efek samping puasa terhadap CKD. Namun studi ini terbatas karena tidak mengeksklusi pasien dengan gagal ginjal kronik stadium akhir.

Studi lain dilakukan oleh Bakhit et al. pada tahun 2017. Studi ini bersifar prospektif observasional yang mengamati 65 pasien dengan CKD stage 3-5. Observasi dilakukan selama Ramadhan dan 3 bulan setelah Ramadhan. Studi ini menemukan bahwa 33% mengalami perburukan fungsi ginjal. Studi ini kemudian menarik kesimpulan bahwa pasien dengan CKD stage 3 atau lebih mengalami perburukan fungsi ginjal saat melakukan puasa Ramadhan.

Sebelum melakuan puasa sebaiknya pasien yang menderita penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular mengunjungi dokter untuk kontrol 1 atau 2 bulan sebelum puasa. Kunjungan ini

(38)

36

diperlukan untuk melakukan pemeriksaan fisik, edukasi mengenai puasa, serta pengaturan dosis obat. Pasien yang diberikan diuretic perlu hati hati karena dapat menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit. Untuk pasien puasa, diuretik bukan pilihan utama untuk pasien hipertensi. Walupun diuretic tidak rutin diberikan untuk pasien CKD, namun kadang juga dapat disertai dengan gangguan kardiovaskular dan hipertensi dan mendapatkan obat ini.

Sekarang keputusan yang perlu diberikan adalah apakah seorang pasien dengan CKD dapat berpuasa atau tidak. Jika ragu, sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter spesialis penyakit dalam. Namun terdapat beberapa kriteria seorang pasien CKD yang tidak diperbolehkan untuk puasa:

 Poliuria, pasien dengan volume urin yang lebih besar dari 2,5 liter per hari

 Pasien dengan diabetes insipidus atau diabetes mellitus yang tidak terkontrol  Pasien dengan segala jenis angina  Pasien dengan postural hipotensi  Pasien dengan infeksi akut

(39)

37

 Pasien dengan ulkus peptic akut

 Pasien dengan komorbid signfikan seperti kardivaskular

 Pasien yang tidak patuh dengan modifikasi diet, obat, dan terapi.

Sedangkan untuk pasien CKD yang tidak masuk kriteria di atas, ada beberapa tips yang dapat diberikan selama puasa untuk menjaga kondisi dan stabilitas penyakit. Tips tersebut adalah :

 Dosis obat dapat diatur dan diganti menjadi dua kali sehari dan dikonsumsi saat sahur dan berbuka

 Hentikan puasa jika terjadi gejala ketidakseimbangan elektrolit atau pening-katan plasma kreatinin > 30%

 Hentikan puasa jika terjadi gejala - gejala tersebut : edema, sesak, pusing berputar, anoreksi, lemas, dan kelemahan

 Follow up pemeriksaan ke dokter setiap 1 atau 2 minggu. Pemeriksaan dilakukan sebelum, saat, dan sesudah Ramadhan.

(40)

38

 Saat buka hindari makanan tinggi potassium dan pospor seperti kurma, kismis, kacang, keju, jus, teh, dan kopi

• Konsumsi air sekitar 1 – 2,5 liter, namun jangan berlebihan. Konsumsi ini juga bisa menyesuaian planning terapi.

Daftar pustaka

Ahmad S & Chowdhury TA, 2019. Ther Adv Endocrinol Metab 2019, Vol. 10: 1–11

Am Fam Physician. 2017 Dec 15;96(12):776-783 Bakhit et al., 2017. Saudi Med J. 2017 Jan; 38(1):

48–52

Bragazi, 2014. J Res Med Sci. 2014 Jul; 19(7): 665–676.

Tim Kapita Selekta Kedokteran. 2014.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesklapius

(41)

39

Pasien Batu Saluran Kemih dan

Puasa Ramadhan

Oleh

Dr. Rizki Nur Rachman Putra Gofur

Kolik renalis adalah salah satu masalah yang sering terjadi di berbagai latar belakang medis baik di latar belakang UGD maupun poliklinik. Masalah kolik renalis dapat menyebabkan penurunan yang signifikan untuk kualitas hidup pasien. Masalah ini kemudian menjadi berlipat ganda ketika pasien melakukan puasa, khusunya berpuasa di bulan Ramadhan bagi Muslim. Sebagian ahli percaya bahwa berpuasa dapat menurunkan keluaran urin. Urin yang sedikit merupakan faktor risiko untuk terjadinya batuk saluran kemih. Artikel ini akan membahas mengenai dampak puasa pada pasien yang menderita batu saluran kemih.

Studi pertama dilakukan oleh Basiri et al. di Tehran, Iran. Studi ini menyelidiki mengenai angka kejadian batu saluran kemih antara bulan Ramadhan dan bukan bulan Ramadhan. Subyek penelitian ini adalah 574 pasien, dengan 398 pasien berjenis kelamin laki-laki sedangkan 176

(42)

40

pasien berjenis kelamin perempuan. Ditemukan 27 pasien laki-laki dan 15 pasien wanita yang datang dengan kolik renal dan 371 pasien laki-laki dan 160 pasien wanita yang datang di bulan selain Ramadhan. Menurut analisis statistika tidak didapatka perbedaan yang siginfikan antara jumlah pasien yang datang di bulan Ramadhan dengan bulan-bulan lainnya dalam satu tahun. Namun perlu dicatat memang terdapat perbedaan antara jumlah pasien pada musim hangat dibandingkan musim dingin. Pada musim hangat ditemukan lebih banyak pasien yang datang akibat kolik renalis.

Studi kedua mirip dengan studi pertama namun kalin ini ditlakukan di Turki. Studi ini berusaha mencari hubungan antara kunjungan pasien akibat kolik renalis dengan puasa pada bulan Ramadhan. Terdapat 176 pasien pada penelitian ini dan ditemukan 73% pasien masuk pada 2 minggu pertama bulan Ramadhan dan 26,9% pasien masuk pada 2 minggu kedua bulan Ramadhan. Pada penelitian ini para penulis berkesimpulan bahwa puasa tidak menyebabkan perubahan pada jumlah pasien yang datang

(43)

41

dengan kolik renalis, namun memang terdapat peningkatan dari metabolin urin. Namun peningkatan metabolit urin ini, menurut para penulis, tidak cukup kuat untuk mendukung hipotesis bahwa kejadiannya dapat menyebabkan kolik renalis.

Studi ketiga dilakukan Miladipour di Tehrah, Iran. Studi ini berusaha mengecek ulang pendapat yang menyatakan bahwa dehidrasi dapat memperparah/menyebabkan terbentuknya batu saluran kemih, dan apakah restriksi cairan dan makanan dapat menyebabkan pembentukan kalkulus. Sebanyak 57 pasien laki-laki dengan usia 30 sampai 55 tahun termasuk 37 orang dengan riwayat batu saluran kemih dan 20 orang tanpa riwayat saluran kemih direkrut untuk penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan urinalisis, kultur urin, dan ultrasonografi. Berbagai metabolin urnin seperti kalisum, oksalat, asam sitrat, magnesium, fosfat, sodium, dan kreatinin diperiksa sebleum dan sesudah Ramadhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total eksresi kalsium, fosfat, magnesium dalam pemeriksaan urin 24 jam beserta dengan volume urin

(44)

42

ditemukan lebih rendah saat puasa dibandingkan saat tidak puasa. Kosnentrasi kalisum urin lebih rendah pada saat puasa dibandingkan pada saat tidak puasa.. Konsentrasi asma urat, sitrat, fosfat, sodium, dan potassium pada saat puasa tinggi pada saat puasa dibandingkan saat tidak berpuasa. Supersaturasi asam urat meningkat dan supersaturasi kalsium fosfat menurun. Kesim-pulan dari penulis ditemukan adanya peningkatan presipitat urin pada pasien yang berpuasa, dan faktor lain yang menghambat pembentukan kalkulus. Tidak ditemukan adanya bukti bahwa pembentukan batu saluran kemih lebih tinggi pada saat seseorang melakukan puasa.

Secara umum tidak ada hubngan antara kolik renalis dengan puasa. Pasien dengan riwayat kolik renalis tetap dapat berpuasa jika tidak ada kontraindikasi yang absolut. Pasien tetap disarankan untuk mengkonsumsi cairan yang cukup saat sahur maupun berbuka.

(45)

43

Sumber

Al Mahayni, A. O., Alkhateeb, S. S., Abusaq, I. H., Al Mufarrih, A. A., Jaafari, M. I., & Bawazir, A. A. (2018). Does fasting in Ramadan increase the risk of developing urinary stones?. Saudi medical journal, 39(5), 481– 486.

https://doi.org/10.15537/smj.2018.5.22160. Cevik, Y., Corbacioglu, S. K., Cikrikci, G., Oncul,

V., & Emektar, E. (2016). The effects of Ramadan fasting on the number of renal colic visits to the emergency

department. Pakistan journal of medical sciences, 32(1), 18–21.

https://doi.org/10.12669/pjms.321.8248 MILADIPOUR, A., & SHAKHSSALIM, N., &

PARVIN, M., & AZADVARI, M. (2012). EFFECT OF RAMADAN FASTING ON

URINARY RISK FACTORS FOR CALCULUS FORMATION. IRANIAN JOURNAL OF KIDNEY DISEASES (IJKD), 6(1), 33-38. https://www.sid.ir/en/journal/ViewPaper.as px?id=243365

(46)

44

MANAJEMEN DISPEPSIA SAAT PUASA

Oleh

Dr. Annisa Zahra Mufida, SpPD Dr. Rizki Nur Rachman Putra Gofur

A. Pendahuluan

Dispepsia merupakan kumpulan gejala rasa tidak nyaman pada perut bagian atas (abdominal dyscomfort) yakni rasa perih/terbakar/teriris, perut begah, kembung, atau mual. Prevalensi dispepsia sekitar 25-40% dari populasi, hampir separuh pasien mengobati keluhannya sendiri, dan sekitar 25% datang pada fasilitas kesehatan. Keluhan dispepsia bila tidak ditangani secara tepat dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien disebabkan karena nyeri yang sewaktu-waktu dapat timbul, kembung, bersendawa berlebihan, bahkan bisa mempengaruhi ke-percayaan diri seseorang dan menurunkan produktifitasnya.

Puasa Ramadhan menjadi tantangan tersendiri pada pasien dispepsia karena tidak adanya asupan makanan atau minuman selama seharian sering ditakutkan memicu munculnya

(47)

45

keluhan dispepsia. Padahal sebenarnya keluhan dispepsia justru sering timbul bukan karena proses berpuasa, tetapi justru akibat cara dan pola makan saat berpuasa yang tidak tepat, seperti jumlah makan yang berlebihan saat berbuka/sahur atau pemilihan jenis maka-nan/minumannya. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek dari puasa ramadhan pada penderita dispepsia. Lalu bagaimana manajemen pasien dispepsia saat berpuasa? Dan bagaimana peran obat-obatan antisekretori pada saat berpuasa? Artikel ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

B. Perubahan Fisiologi Tubuh Saat

Berpuasa

Berpuasa di bulan ramadhan merupakan momentum yang penting bagi seorang muslim. Puasa diyakini membawa dampak positif bagi kesehatan tubuh dan telah dibuktikan oleh banyak penelitian. Selama berpuasa tubuh seseorang tidak mendapatkan asupan makanan dan minuman dalam periode waktu yang telah ditentukan, padahal tubuh tetap memutuhkan energi untuk proses metabolisme. Secara

(48)

46

fisiologis ketika kadar glukosa darah mulai turun tubuh akan mengaktifkan hormon kontra-insulin (glukagon, adrenalin, epinefrin) untuk memecah cadangan sehinggga kebutuhan metabolisme tubuh bisa terpenuhi. Cadangan dapat berasal dari liver, jaringan skeletal, atau jaringan adiposa, dipecah menjadi glukosa kemudian dapat dimanfaatkan sel untuk proses metabolisme.

Perubahan fisiologis saluran pencernaan juga terjadi saat seseorang berpuasa. Mulai dari mulut, kelenjar air liur akan tetap bekerja sehingga rongga mulut akan tetap terlapisi oleh liur. Ketika lambung tidak terisi maka-nan/minuman produksi asam lambung akan menurun. Begitu pula dengan kantung empedu dimana cairan empedu akan menjadi lebih pekat, dan kelenjar pankreas akan menurunkan produksi insulin dan meningkatkan produksi glukagon yang berfungsi memecah cadangan glikogen, selain itu juga terjadi penurunan enzim pencernaan pankreas. Terbatasnya makanan yang masuk juga menyebabkan penyerapan nutrisi di usus halus menurun, begitu pula dengan proses reabsorbsi air di usus besar untuk menjaga keseimbangan

(49)

47

cairan di dalam tubuh. Sehingga dapat dikatakan sebenarnya saat seseorang berpuasa, orang tersebut memberi kesempatan organ pencernaan-nya untuk beristirahat sejenak.

C. Apakah Dispepsia

Berdasar kriteria ROME III, dyspepsia di-definisikan sebagai adanya satu atau lebih gejala:

1. Rasa penuh setelah makan (postprandial distress syndrome)

2. Rasa cepat kenyang (postprandial distress syndrome)

3. Nyeri atau rasa terbakar di epigastrium (epigastric pain syndrome)

dan tidak didapatkan adanya kelainan struktural (termasuk pemeriksaan endoskopi) yang dapat menjelaskan penyebab keluhan tersebut, Dikata-kan sebagai dispepsia fungsional jika keluhan tersebut diatas berlangsung selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

Gejala utama pada dispepsia:

1. Retrosternal or epigastric pain 2. Rasa penuh

(50)

48

3. Kembung

4. Rasa terbakar di dada bagian tengah 5. Mual muntah

6. Anoreksia

Derajat nyeri pada dispepsia dapat ringan hingga berat, dapat presisten (terjadi terus menerus dan menetap) atau rekuren (berulang), dan dapat membaik sendiri tanpa pengobatan ataupun membutuhkan pengobatan.

D. Pembagian Dispepsia

Secara garis besar, penyebab dispepsia di bagi 2 kelompok yaitu dispepsia organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu) dan dispepsia fungsional yakni tidak ditemukan adanya gangguan patologis dan struktural atau biokimia.

Untuk mempermudah penanganan klinis, dispepsia dibagi menjadi beberapa subgrup yakni sub grup refluks, ulkus (seperti dalam ulkus peptikum), dan gangguan dismotilitas. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

(51)

49

Refluks Heartburn – adanya regurgitasi

dari asam lambung

Ulkus

Nyeri abdomen atas dengan predominan tiga gejala :

 Nyeri atau rasa tidak nyaman pada epigastrik  Nyeri hilang setelah

pem-berian makanan

 Nyeri berkurang dengan pemberian antasida atau obat lain yang efektif untuk ulkus pepti

 Nyeri muncul sebelum maan atau saat lapar

 Nyeri dapat membangun-kan seseorang dari tidur  Nyeri dapat hilang dan

timbul

Dismotilitas

Dicirikan oleh ketidaknyamanan pada abdomen atas disertai oleh tiga atau lebih gejala :

 Setelah makan perut terasa penuh

 Mual

(52)

50

 Mual dan muntah

 Perut bagian atas terasa penuh namun tidak terlihat adanya distensi abdomen  Ketidaknyamanan pada

perut umumnya diperberat dengan makan

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan, adalah bahwa gejala-gejala ini tidak selalu berdiri sendiri. Gejala dyspepsia umumnya tumpang tindih (overlap) jadi gejala dismotilitas dapat muncul bersamaan dengan gejala refluks, dan gejala dimostilitas. Berikut seterusnya, jadi sebaiknya dapat dilihat dengan komperhensif dan tidak berfokus pada satu gejala.

E. Tatalaksna Dispepsia

Sebelum memulai tatalaksana perlu ditegakkan diagnosis dari dyspepsia tersebut. Pikirkan tidak hanya proses patologis di saluran gastrointestinal bagian atas tapi pikirkan juga proses patologis lain seperti dari jantung, hepar, paru-paru saluran kemih, hingga saluran cerna bagian bawah. Terutama untuk pasien-pasien lansia dengan faktor risiko kardiovaskular.

(53)

51

pasien lansia dengan penyakit kardiovaskular terkadang juga datang dengan gejala abdominal dyscomfort, yang ternyata merupakan manifestasi dari miokard infark inferior. Evaluasi juga jenis obat-obatan yang bersifat iratitif pada lambung yang dapat menyebabkan dyspepsia. Kemudian pertimbangkan untuk pengehentian atau diganti dengan obat lain yang memiliki manfaat serupa. Beberapa jenis obat-obat yang bersifat iritatif pada lambung, yakni aspirin/NSAID, kalsium antagonis, nitrat, teofilin, bifosfonat, dan steroid. Pada beberapa kasus dispepsia dengan “alarm sign” membutuhkan investigasi lebih lanjut. Berikut “alarm sign” pada dispepsia:

 Pendarahan gastrointestinal (dirujuk pada hari yang sama)

 Mual muntah presisten

 Penurunan berat badan yang progresif (tidak direncanakan)

 Disfagia

 Massa pada daerah epigastrik

 Anemia akibat adanya pendarahan gastrointestinal

(54)

52

 Dispepsia yang tidak membaik/tidak respon dengan terapi standar

Setelah dilakukan investigasi maka dapat ditentukan tatalaksana farmakologisnya. Bebe-rapa terapi farmakologis yang bermanfaat pada sindroma dispepsia, yakni:

Obat-obat antisekretorik Penyekat H2 reseptor

Terapi supresi asam dengan H2 boloker (PRH-2) maupun penghambat pompa proton (PPP) biasa diberikan pada penderita dengan dispepsia fungsional. Secara meta-analisis penggunaan PRH-2 memiliki manfaat terapi sekitar 20% di atas placebo.

Proton Pump Inhibitors (PPI)

PPI merupakan prodrug. Berikatan pada reseptor H+K+ATPase sel parietal lambung sehingga menghambat produksi HCL lambung. PPI bekerja efektif saat proton pump aktif, yakni ketika ada makanan masuk ke saluran pencernaa. Sehingga pemberian 30 menit sebelum makan optimal untuk mencapai konsentrasi maksimal obat. Walaupun waktu paruh PPI ini sangat cepat,

(55)

53

tetapi dari penelitian menunjukkan efektifitas PPI dalam menekan produksi HCL tidak linier dengan kadar plasma PPI. Semua jenis PPI memiliki waktu paruh eliminasi sekitar 1 jam, maksimum konsentrasi plasma (tmax) dengan rentang 1-5 jam. Omeprazole merupakan jenis PPI yang pertama kali digunakan secara klinis dan telah banyak penelitian yang mengevaluasi efektifitas dalam terapi dispepsia, tukak peptik, GERD, dan perdarahan saluran cerna atas. Pada kasus tukak lambung, pH lambung dipertahankan nilai >3 untuk proses penyembuhan dan eradikasi H.pylori. Selain itu keberhasilan terapi GERD juga bergantung dengan durasi tinggi dari intragastrik pH >4.

Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada rentang tahun 2017-2018 pada 8453 kasus dispepsia, menunjukkan PPI lebih efektif memperbaiki keluhan simptomatik dan kualitas hidup pasien dibanding dengan plasebo, prokinetik, dan H2 bloker. Didukung pula oleh penelitian yang dilakukan di Jepang pada tahun 2013 terhadap pasien-pasien dengan kronik abdominal symptom yang berobat ke fasilitas

(56)

54

kesehatan primer, pemberian omeprazole 20 mg secaar efektif menurunkan gejala gangguan abdominal.

Obat-obat prokinetik

Pemakaian obat prokinetik merupakan salah satu pilihan pengobatan yang cukup diminati untuk penderita dengan non ulkus dispepsia. Sayang pemakaiannya terbatas karena jumlah obat yang terbatas macamnya.

Cisapride

Merupakan obat prokinetik yang merang-sang gerakan (motilitas) saluran cerna dengan cara memacu secara selektif pelepasan acethylcholine dalam pleksus mienterik dalam usus, diduga lewat agonis parsial terhadap serotonin (5-HT4) . Cisapride terbukti dapat merangsang gerakan antroduodenal dan mempercepat pengosongan lambung pada penderita dengan pengosongan lambung yang lambat (”delay gastric emptying”). Namun penggunaannya saat ini dibatasi karena terjadinya efek samping berupa aritmia jantung.

(57)

55 Domperidon

Merupakan golongan antagonis dopamin D2 yang tidak melewati sawar otak sehingga tidak ada efek ekstrapiramidal. Mempunyai efek antagonis dopamine di perifer dan dapat meningkatkan tekanan LES ”lower oesophageal sphincter”, mempercepat pengosongan lambung dan meningkatkan gerakan (motilitas) antropy-loric. Untuk pengobatan penderita dispepsia, tampaknya efektifitasnya sama.

Metoclopramide

Merupakan antagonis reseptor dopamin D2 dan antagonis reseptor serotonin (5-HT3) yang menghambat reseptor dopaminergic dalam saluran gastrointestinal, dan merangsang gera-kan saluran cerna bagian atas. Namun penggunaannya terbatas, karena tingginya insidensi efek samping pada ekstra piramidal, yang kadang-kadang irreversibel, seperti ”Tardive dyskinesia”.

Antidepresan

Manfaat antidepresan dalam pengobatan kelainan fungsional saluran cerna (“functional gastrointestinal disorders”) telah dibuktikan dalam

(58)

56

penelitian meta-analisis terbaru. Ini menimbulkan dugaan bahwa penderita dengan non-ulcer dyspepsia mungkin dapat menunjukkan respon yang baik pula dengan pengobatan antidepresan. Amitriptilin dosis rendah memperlihatkan per-baikan keluhan dispepsia fungsional. Dibutuhkan penelitian yang lebih banyak lagi untuk memastikan temuan ini.

Eradikasi kuman H pylori

Pengaruh eradikasi kuman H pylori dalam pengobatan dispepsia fungsional merupakan masalah yang paling banyak diperdebatkan. Ada 4 penelitian secara acak ganda, buta ganda, telah dilakukan selama ini, tiga penelitian melaporkan tidak ada perbaikan keluhan setelah eradikasi kuman H pylori tetapi satu penelitian me-nunjukkan perbaikan keluhan. Perbedaan ini diduga akibat perbedaan latar belakang prevalensi ”h.pylori-related ulcer disease” yang ada dimasyarakat yang di teliti. Pada study di Scotlandia oleh McCll dan kawan-kawan, keluhan dispepsia berkurang hanya 7% dari pasien yang mendapat terapi omeperazol, dibandingkan dengan pasien yang mendapat terapi omeperazol

(59)

57

dengan antibiotika keluhan berkurang 21%. Kesimpulan yang diambil peneliti bahwa terapi kombinasi antibiotika dan omeprazol lebih baik dari pada terapi tunggal omeperazol dalam menurunkan keluhan dispepsia.

F. Tatalaksana Dispepsia saat Puasa

Gejala-gejala dyspepsia sepeerti panas, nyeri, penuh, mual, dapat terjadi pada pasien yang sedang puasa terutama yang memimiliki kebiasan buruk seperti makan berlebihan saat sahur dan berbuka. Pasien dengan ulkus peptik aktif disarankan untuk tidak berpuasa karena kemungkinan untuk munculnya komplikasi sangat tinggi. Pasien dengan ulkus peptik yang tidak aktif ataupun dispepsia fungsional, dapat berpuasa sembari mengkonsumsi proton pump inhibitor.

Sebelum melakukan puasa sebaiknya pasien yang menderita dispepsia melakukan kontrol ke dokter untuk dilakukan pemeriksaan dan edukasi. Hindari dehidrasi selama puasa, apalagi jika puasa dilakukan saat musim kemarau. Konsumsi diet yang sehat dan seimbang, pilih makanan yang kaya serat, rendah garam, dan memiliki indeks

(60)

58

glikemik yang rendah. Saat buka puasa mulailah dengan makanan yang ringan seperti kurma, dan jangan mengisi perut terlalu banyak. Setelah itu mulai makan berat setelah salat terawih. Kemudian jangan segera tidur setelah makan berbuka maupun sahur.

Edukasi lain adalah ada beberapa hal dan makanan yang sebaiknya tidak dikonsumsi saat berpuasa. Beberapa hal yang harus dihindari adalah :

 Makanan yang berlemak dan terlalu banyak minyak

 Buah yang mengandung asam seperti lemon, anggur, tomat, dan jeruk

 Makanan pedas

 Makanan yang mengandung terlalu banyak gula

 Makan dengan porsi terlalu banyak saat berbuka maupun sahur

 Merokok

 Langsung tidur setelah makan < 3-4 jam

(61)

59

Daftar Pustaka

1. Abbas, Z. J Pak med Assoc. 2015 May; 65(5Suppl 1):S68-71

2. Bragazzi, N. L. et al. (2015) ‘Ramadan fasting and infectious diseases: A systematic review’, Journal of Infection in Developing Countries, 9(11), pp. 1186–1194. doi: 10.3855/jidc.5815. 3. E Chandra, S Ndraha. Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology and Digestive Endoscopy. Vol 14, No 2, August 2013

4. Djojoningrat, D. 2014. Dispepsia Fungsional. In: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., K, M. S. & Setiati, S. (eds.) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI. Jakarta: Internal Publishing.

5. Drossman, D. A. & Dumitrascu, D. L. 2006. Rome III: New standard for functional gastrointestinal disorders. Journal of

Gastrointestinal and Liver Diseases, 15, 237. 6. Miwa, H., Ghoshal, U. C., Fock, K. M.,

Gonlachanvit, S., Gwee, K. A., Ang, T. L., Chang, F. Y., Hongo, M., Hou, X. & Kachintorn, U. 2012. Asian consensus report on functional dyspepsia. Journal of gastroenterology and hepatology, 27, 626-641.

7. Moayyedi, P. M. et al. (2017) ‘ACG and CAG Clinical Guideline: Management of Dyspepsia’,

(62)

60

American Journal of Gastroenterology, 112(7), pp. 988–1013. doi: 10.1038/ajg.2017.154 8. Maria Inez Pinto-Sanchez, Yuhong Yuan,

Ahmed Hasan et al, 2017. Proton Pump Inhibitors for functional Dyspepsia. Conchrane Database Syst Review, (11): CD011194. 9. Tomoari Kamada, et al, 2013. A Study on the

Efficacy of Proton Pump Inhibitors in H.pylori negative Primary Care Patients with Dyspepsia in Japan. Gut and Liver, Vol 7, no 1, pp16-22. 10. 2010. Appendix B: Rome III Diagnostic Criteria

for Functional Gastrointestinal Disorders. Am J Gastroenterol, 105, 798-801.

11. Moayyedi, P.M et al. 2017. ACG and CAG Clinical Guideline: Management of Dyspepsia. American journal of Gastroenterology, 112(7), pp 988-1013.doi 10.1038/ajg.2017.154

12. Rimmani HH, et al Digestive Disease 2019; 37:188-193

13. Talley NJ, Phung N, Kalantar JS. ABC of the upper gastrointestingal tract: Indigestion: When is it functional? BMJ 323:2001; 1294-1297

14. Talley, N. J. and Ford, A. C. (2015) ‘Functional dyspepsia’, New England Journal of Medicine, 373(19), pp. 1853–1863. doi:

10.1056/NEJMra1501505.

(63)

61

Puasa dan Ibu Hamil

Oleh

Dr. Rizki Nur Rachman Putra Gofur

Ketika mendekati bulan Ramadhan, tentu dokter akan mulai mendapat konsultasi mengenai bolehkah seorang pasien (dengan berbagai penyakit) melakukan puasa. Salah satu konsultasi yang hampir selalu muncul adalah mengenai ibu hamil dan puasa. Sebelum melakukan edukasi, seorang dokter tentu perlu menyiapkan pendapat yang berbasis ilmiah. Berbagai studi mengenai puasa dan ibu hamil akan dibahas pada artikel ini.

Menurut hukum Islam, semua orang dewasa yang sehat harus berpuasa saat bulan Ramadhan. Namun aturan ini tidak berlaku pada wanita hamil. Jika wanita hamil khawatir bahwa puasanya dapat menganggu kesehatan janin yang dikandungnya, maka diperbolehkan tidak puasa. Namun aturan ini justru membuat wanita hamil berpikir bahwa puasa adalah sebuah kewajiban, walaupun sedang hamil.

Sebelum mengetahui lebih dalam mengenai efek puasa pada kehamilan, sebaiknya

(64)

62

tahui predictor dan faktor yang memotivasi wanita hamil untuk puasa saat bulan Ramadhan. Penelitian yang dilakukan di Jakarta menemukan bahwa kepatuhan puasa menurun 4% setiap minggu dengan meningkatnya usia gestasional. Umumnya tidak berpuasa diasoasikan dengan ketidaksetujuan dari suami, dan ketakutan bahwa dapat muncul efek buruk pada kehamilan. Analisis regresi linear menunjukkan bahwa perempuan yang puasa menunjukkan bahwa jumlah hari puasa memiliki hubungan terbalik dengan usia gestasi, ketakutan efek samping pada kehamilan, dan penolakan dari suami.

Sebuah penelitian Case Control di Iraq pada tahun 2017 oleh Safari et al. menggambarkan hal ini. Secara umum wanita hamil dapat bepuasa dengan baik selama Ramadhan, sekitar 80% wanita berpuasa 21 sampai 29 hari selama Ramadhan, dan sebanyak 38,7% menyelesaikan puasanya. Keputusan untuk berpuasa tidak berhubungan dengan tingkat edukasi dan pekerjaannya. Peningkatan berat badan pada ibu hamil lebih rendah 0,4 kg dibandingkan kelompok lain yang tidak berpuasa. Angka diabetes

(65)

63

gestasional sebanyak 2,6% pada kelompok puasa dan 8,3% pada kelmpok yang tidak berpuasa. Analsis regresi menunjukkan bahwa wanita yang tidak berpuasa pada trimester kedua memiliki risiko 1,51 kali lebih besar untuk menderita diabetes gestasional. Juga pada wanita yang berpuasa 21 hingga 29 hari selama Ramaadhan memiliki risiko lebih rendah untuk menderita diabetes gestasional. Sekitar 60% dari wanita hamil kelompok puasa juga mengatakan bahwa bepruasa merupakan hal wajib bagi orang sakit dan tidak sakit. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa perempuan yang berpuasa pada trimester kedua kehamilan memiliki risiko yang lebih rendah untuk menderita diabetes gestasional dan juga memiliki risiko yang lebih rendah untuk peningkatan berat badan yang berlebihan.

Penelitian lain yang dilakukan Glazier et al. menyelidiki mengenai keluaran perinatal pada wanita hamil yang berpuasa Ramadhan. Penelitian ini berupa Systematic Review dan Meta analisis. Pada penelitian ini ditemukan 18.920 subyek wanita hamil yang menjalani puasa Ramadhan. Berat lahir tidak dipengaruhi oleh

(66)

64

puasa ibu hamil selama Ramadhan. Berat plasenta dilaporkan lebih rendah pada kelompok yang bepuasa, namun ini hanya berdasarkan satu studi besar saja. Tidak ditemukan data pada kematian perinatal. Puasa Ramadhan tidak dikaitkan dengan persalinan preterm, berdasarkan 5600 kehamilan. Walaupun begitu disipmulkan bahwa puasa Ramadhan tidak berpengaruh terhadap berat lahir, namun tidak ada bukti yang jelas mengenai potensi morbiditas perinatal.

Penelitian selanjutnya dilakukan di Tehran, Iran. Penelitian ini memeriksa 189 kasus untuk menentukan hubungan antara puasa Ramadhan dengan pertumbuhan intrauterin dan waktu persalinan. Studi ini bersifat kohort persepsktif, dilakukan pada wanita hamil yang menjalani puasa saat bulan Ramadhan. Wanita hamil ini dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu tidak berpuasa, berpuasa 1 sampai 10 hari, berpuasa 11 sampai 20 hari dan bepuasa 21 hingga 30 hari. Pada 189 pasien, ditemukan usia rata rata adalah 25,9 tahun, 61,8 kg, dan rata rata indeks masa tubuh (IMT) 23,9 kg/m2. Hari rata rata ibu yang bepuasa adalah 13 hari dan 66 kasus (34,9%)

(67)

65

tidak berpuasa. Sebagai tambahan tidak ada perbedaan antara usia, IMT saat petama kehamilan, usia ibu, jumlah kehamilan, dan riwayat aborsi di kedua kelompok. Tidak ada perbedaan antara rata berat, panjang, dan lingkar kepala antara bayi wanita hamil dari kelompok kelompok di atas. Selanjutnya juga tidak ada perbedaan antara keluaran kehamilan antara wanita hamil yang berpuasa di bebagai trimester. Kesimpulan dari studi ini adalah, bahwa wanita dengan nutrisi yang baik tidak memiliki efek yang buruk terhadap petumbuhan intrauteirn dan waktu persalinan. Walupun begitu, terdapat risiko relative untuk berat lahir yang rendah sebanyak 1,5 kali pada wanita yang hamil pada trimester satu dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak berpuasa sama sekali.

Artikel ini dimaksudkan sebagai referensi bagi dokter untuk memberikan edukasi juga sembari memberikan saran yang paling baik pada pasien. Keputusan klinis Kembali ke tiap dokter, dan tentu saja harus mempehatikan individu setiap pasien, karena setiap pasien berbeda. Terakhir penulis selalu mengingatkan untuk selalu

(68)

66

memperhatikan masukan dari pasien sebelum memberikan masukan klinis.

Sumber

Glazier, J.D., Hayes, D.J.L., Hussain, S. et al. The effect of Ramadan fasting during pregnancy on perinatal outcomes: a systematic review and meta-analysis. BMC Pregnancy

Childbirth 18, 421 (2018).

https://doi.org/10.1186/s12884-018-2048-y

Lily A. van Bilsen, Ary I. Savitri, Dwirani Amelia, Mohammad Baharuddin, Diederick E. Grobbee, Cuno S.P.M. Uiterwaal, Predictors of Ramadan fasting during pregnancy,

Journal of Epidemiology and Global Health, Volume 6, Issue 4, 2016, Pages 267-275, ISSN 2210-6006,

https://doi.org/10.1016/j.jegh.2016.06.002. (https://www.sciencedirect.com/science/arti cle/pii/S221060061630034X)

Safari, K., Piro, T.J. & Ahmad, H.M. Perspectives and pregnancy outcomes of maternal Ramadan fasting in the second trimester of pregnancy. BMC Pregnancy

(69)

67

Childbirth 19, 128 (2019).

https://doi.org/10.1186/s12884-019-2275-x Ziaee V, Kihanidoost Z, Younesian M, et al. The

effect of ramadan fasting on outcome of pregnancy. Iran J Pediatr. 2010;20(2):181-186.

(70)

68

Puasa pada Ibu Menyusui

Oleh

Dr. Rizki Nur Rachman Putra Gofur

Salah satu pernyataan yang paling sering muncul saat bulan Ramadhan sudah dekat adalah mengenai bolehkah seorang pasien bepuasa walaupun menderita berbagai macam penyakit. Salah satu pertanyaan yang paling sering muncul adalah bolehkah ibu hamil berpuasa. Jika boleh, apakah dampaknya bagi ibu dan janin? Sebelum menjawab dokter tentu perlu menguasai bukti ilmiah melalui bebagai studi untuk membeikan edukasi yang evidence based. Artikel ini akan membahas dampak puasa Ramadhan pada ibu yang menyusui baik pada ibu maupun pada bayi.

Berpuasa pada bulan Ramadhan adalah pilar bagi agama Islam. Muslim diwajibkan untuk bepuasa dari terbit matahari hingga terbenam matahari selama bulan Ramadhan. Konsumsi makanan dan minuman diperbolehkan hanya pada matahari terbenam hingga Subuh sebelum matahari terbit.

Sebelum mengetahui efek puasa pada ibu menyusui, penting untuk mengetahui sikap ibu

(71)

69

menyusui terhadap menyusui saat Ramadhan. Menyusui telah lama disetujui sebagai alternatif pertama untuk menyusui. Banyak faktor yang mempengaruhi ibu hamil dalam menyusui. Sebuah studi cross sectional deskriptif dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2015 di Najran, Saudi Arabia. Studi ini menggunakan kuisioner yang diisi sendiri. Jumlah subyek adalah 169 orang ibu menyusui. Ibu menyusi direkrut secara acak. Hasil studi ini menunjukkan bahwa terdapat 89,9% ibu hamil yang menyusui selama bulan Ramadhan. Sekitar 85,8% ibu menyusui berpendapat bahwa berpuasa tidak mempengaruhi komposisi dan nutrisi.dari air susu ibu. Sekitar 80,5% ibu berpendapat bahwa puasa tidak mempengaruhi volume dari air susu ibu dan petumbuhan dari bayi saat bulan Ramadhan. Pengetahuan wanita mengenai puasa dan pertumbuhan bayi sangat terkait dengan usia dan Pendidikan. Secara umum responden dari penelitian memiliki pengetahuan, sikap, dan praktik yang positif untuk menyusui selama bulan Ramadhan.

Studi kedua dipublikasikan tahun 2007 oleh Khosdel Et al. Studi ini bermaksud untuk mencari

(72)

70

dampak antara puasa Ramadhan pada ibu menyusui dengan parameter pertumbuhan bayi yang disusui secara eksklusif. Studi ini berbentuk kohort, dilakukan saat bulan Ramadhan dan lima bulan setelah Ramadhan pada 116 bayi yang disusui berusia 15 hingga 6 bulan. Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berisi 36 bayi yang ibunya bepuasa selama bulan Ramadhan.

Kelompok kedua beisi 80 bayi yang ibunya tidak bepuasa pada bulan Ramadhan. Semua bayi diperiksa secara periodik, dua kali saat bulan Ramadhan, tiga kali saat bulan kedua, dan dua kali setiap bulan hingga bulan keempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua parameter per-tumbuhan menignkat pada kedua kelompok. Laju peningkatan untuk kedua kelompok ini serupa. Meskipun begitu tren tetap bergantung pada usia, itupun trennya ditemukan sama pada kedua kelompok. Penulis berkesimpulan bahwa puasa Ramadhan tidak mempengaruhi parameter petumbuhan dari bayi yang disusui secara eksklusif, terutama untuk jangka pendek.

Gambar

Tabel 1. Modifikasi regimen terapi antibiotic pada  pasien  yang  menjalani  pause  pada  bulan  Ramadhan

Referensi

Dokumen terkait

Risiko kematian maternal tinggi terjadi pada kabupaten/ kota dengan cakupan kunjungan kehamilan keempat (K4) rendah, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (PN) rendah,

konsentrasi tinggi di udara ambien selama trimester ketiga kehamilannya memiliki risiko 6 kali lebih besar untuk melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR)

Faktor risiko usia &lt;50 tahun, jenis kelamin perempuan, tingkat pendidikan tinggi (SLTA, D3, Universtias), IMT rendah (underweight), kehamilan, penggunaan jarum dengan nomor

Risiko kematian maternal tinggi terjadi pada kabupaten/ kota dengan cakupan kunjungan kehamilan keempat (K4) rendah, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (PN) rendah,

Kesimpulan yang diambil dari penelitian pada wanita yang melakukan pernikahan pada usia dini memiliki risiko lebih besar terhadap kejadian komplikasi pada kehamilan

bahwa defisiensi vitamin A (retinol serum &lt;20 µg/dl) pada trimester kedua dan indeks massa tubuh &lt;18,5 kg/m 2 pada awal kehamilan, merupakan faktor risiko pertumbuhan

Berdasarkan penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa riwayat keluarga menderita DM, usia, dan aktivitas fisik merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan erat

Bagi wanita yang pernah mengalami preeklamsia dan melahirkan prematur, memiliki bayi dengan berat badan lahir rendah, atau menderita preeklamsia berat lebih dari satu kali, risiko