• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2 Kondisi Industri Rajutan Binong Jati Tahun 1975-2004

4.2.2. Tenaga Kerja

Adanya industri rajutan Binong jati telah membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Kemunculan industri rajutan Binong Jati memerlukan juga tenaga kerja yang banyak serta terampil dalam membuat rajutan. Tenaga kerja merupakan sumber daya utama dalam sebuah produksi. Industri rajutan Binong Jati merupakan industri yang bersifat padat karya karena industri ini mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Tenaga kerja yang bekerja pada industri rajut Binong Jati pada mulanya berasal dari wilayah Binong Jati sendiri. Namun, sejalan dengan berkembangnya industri rajutan tersebut maka semakin banyak pula tenaga kerja yang dibutuhkan dan akibatnya banyak tenaga kerja yang datang tidak hanya dari wilayah Binong Jati saja, tetapi juga dari kelurahan sekitar serta daerah luar seperti Cileunyi, Padalarang bahkan dari luar Kota Bandung seperti Tasikmalaya, Garut dan Sumedang (wawancara dengan Endang Tanggal 23 Oktober 2009). Pembagian kerja pada industri rajutan Binong Jati disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan saat produksi seperti merajut menjadi kain menggunakan mesin rajut flatknitting, menyambung kain dengan mesin linking, menjahit kancing,

membersihkan benang – benang dari baju yang telah selesai dijahit, mengobras, menyetrika dengan setrika steam uap sampai packing hasil produksi.

Secara umum proses produksi seperti merajut dengan menggunakan mesin flatknitting, menyambung kain dengan mesin linking dan menyetrika baju rajut dengan setrika steam uap, dilakukan oleh tenaga kerja laki – laki karena lebih membutuhkan tenaga yang lebih besar dan keahlian yang dimiliki sedangkan pekerjaan menjahit kancing, membersihkan benang – benang dari baju yang telah selesai dijahit, mengobras, Quality Control (QC) dan packing dilakukan oleh pekerja perempuan karena tidak terlalu membutuhkan banyak tenaga. Jadi setiap jenis pekerjaan dari setiap proses produksi rajutan dilakukan oleh tenaga kerja yang berbeda yang sesuai dengan keahliannya masing – masing.

Para pekerja pada industri rajutan Binong Jati mayoritas adalah laki-laki dengan kisaran usia antara 16 sampai 40 tahun, sedangkan pekerja perempuan usia antara 15 sampai 40 tahun dan mayoritas pekerjanya adalah lulusan SLTP dan SLTA. Bekerja di industri rajut Binong jati tidak memerlukan kualifikasi pendidikan tertentu, tetapi cukup dengan memiliki keterampilan membuat rajutan, biasanya keterampilan tersebut sudah diperoleh dari orang tua mereka yang bekerja sebagai pekerja rajut ataupun dari pengalaman mereka selama bekerja. Jumlah jam kerja sekitar 8 jam setiap harinya, bekerja dari hari senin sampai sabtu mulai dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Waktu istirahat sekitar 1 jam yaitu dari jam 12.00 WIB sampai 13.00 WIB. Namun bila banyak pesanan maka jam kerja akan ditambah (lembur), Waktu lembur tidak ditentukan sampai jam berapa yang pasti sampai mencukupi jumlah pesanan. Biasanya pekerja laki – laki yang sering

lembur untuk mengerjakan jumlah pesanan (wawancara dengan Suhaya Wondo, Tanggal 23 Oktober 2009).

Sistem kerja yang diterapkan di industri rajut Binong Jati adalah sistem kerja borongan dengan sistem upah sesuai dengan jumlah barang yang dapat dihasilkan oleh pekerja (sistem upah kesatuan hasil), yang dimaksud dengan sistem upah ini adalah jumlah upah yang akan diterima pekerja tergantung berapa banyak pekerja tersebut menghasilkan produksi rajutan (wawancara dengan Suhaya Wondo Tanggal 23 Oktober 2009). Dengan kata lain sistem kerja dan sistem pembayaran pada industri rajutan Binong jati Bandung tidak terikat karena pekerja dapat menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya.

Mengenai sistem pembayaran upah seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa upah yang diterima pekerja erat kaitannya dengan kemampuan pekerja tersebut dalam menyelesaikan jenis pekerjaannya. Sistem pembayaran upah pada industri rajutan Binong Jati adalah per minggu. Upah biasanya dibayarkan pada pekerja setiap hari sabtu. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai upah tenaga kerja dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.8

Upah Per Minggu Tenaga Kerja Industri Rajutan Binong jati Kota Bandung Tahun 1975 - 2004

Pekerjaan *1975 *1980 *1985 *1990 *1995 *2000 *2002 *2004 Merajut 7.000 15.000 40.000 120.000 170.000 200.000 230.000 250.000 Linking 7.000 15.000 40.000 120.000 170.000 200.000 230.000 250.000 Menjahit - 8000 15.000 80.000 100.000 150.000 165.000 180.000 Obras - - 12.000 50.000 100.000 170.000 180.000 200.000 Setrika - 8000 15.000 80.000 130.000 180.000 210.000 225.000 QC - 5000 10.000 30.000 50.000 120.000 140.000 150.000 Packing - - - 30.000 50.000 120.000 140.000 150.000 Sumber : diolah dari hasil wawancara dengan Bapak Suhaya Wondo tanggal 23 Oktober 2009

Berdasarkan data dari tabel 4.8 di atas diketahui bahwa pada tahun 1975 jenis pekerjaan pada usaha rajutan Binong Jati hanya ada pekerja rajut dan linking saja sehingga upahnya pun pada tahun 1975 hanya untuk pekerjaan merajut dan linking. Hal tersebut dikarenakan tahun 1975 usaha rajut Binong Jati mulai merintis dan ada sekitar 5 unit usaha dengan jumlah pekerja 23 orang yang menjadikan satu orang pekerja akan mengerjakan pekerjaan yang lain seperti contohnya Endang pada tahun 1975 ia bekerja sebagai buruh rajut tapi ia juga sekaligus mengerjakan pekerjaan jahit atau obras (wawancara dengan Endang tanggal 24 Oktober 2009).

Tahun 1980 jenis pekerjaan mulai beragam sehingga terdapat upah merajut, linking, jahit, setrika dan QC. Mulai tahun 1985 pekerjaan lebih beragam hal tersebut dikarenakan barang rajut yang dihasilkan pun mulai bertambah banyak macamnya sehingga setiap pekerja akan mengerjakan pekerjaan sesuai bagiannya. Di tahun 1990 usaha rajut Binong Jati mulai berkembang lebih luas sehingga setiap jenis pekerjaan dikerjakan oleh pekerja yang berbeda jenis pekerjaannya. Namun hal tersebut hanya terjadi pada usaha rajut yang telah berkembang pesat, pada usaha rajut yang baru dirintis dan hanya memiliki pekerja kurang dari 5 orang menjadikan setiap pekerja akan mengerjakan jenis pekerjaan yang lainnya secara bersamaan.

Mengambil contoh pada tahun 2004 upah yang di terima setiap pekerja di lihat dari hasil pekerjaannya,. Untuk pekerjaan rajut dan linking masing – masing memperoleh upah Rp. 250.000 selama 1 minggu. Untuk setiap lusinnya dihargai Rp. 50.000, berarti pekerja tersebut telah mengerjakan pekerjaannya sebanyak 5

lusin. Begitu pula pekerjaan lainnya seperti menjahit, obras, setrika, QC dan Packing, upah yang di terima masing – masing pekerja merupakan hasil pekerjaannya sebanyak 5 lusin dalam 1 minggu. Namun jika pekerja tersebut mampu mengerjakan lebih dari 5 lusin perminggunya maka upah yang di terimanya lebih besar lagi.

Upah perminggu yang diterima para pekerja di industri rajutan Binong Jati rata – rata mengalami kenaikan setiap tahunnya. Untuk pekerjaan merajut dan linking, obras dan jahit serta QC dan packing, upah yang diterima sama perminggunya, hal tersebut dikarenakan tingkat kesulitan dalam bekerja hampir sama. Pekerja rajut dan linking memperoleh upah yang lebih tinggi dibandingkan pekerjaan yang lainnya karena kedua jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang utama dalam proses produksi rajutan serta pekerja rajut dan linking biasanya adalah pekerja yang telah memiliki banyak pengalaman serta telah bekerja dalam waktu yang lama di industri rajutan tersebut. Sedangkan pekerjaan QC dan packing memperoleh upah yang paling sedikit karena pekerjaan tersebut tidak membutuhkan keahlian khusus dan jenis pekerjaannya dapat dikatakan mudah dilakukan.

Jumlah upah yang diterima oleh pekerja akan berbeda sesuai dengan jenis pekerjaannya. Pembagian jenis pekerjaan pada setiap tenaga kerja berkaitan dengan keahlian yang dimiliki karena hal tersebut akan menentukan jumlah pendapatan yang diperolehnya. Pendapatannya tersebut berkaitan juga dengan tingkat keterampilan yang dimiliki oleh pekerja seperti pekerjaan merajut, linking, setrika steam uap pada umumnya akan memperoleh upah yang lebih besar karena

dalam proses ini membutuhkan keterampilan agar barang yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Berbeda dengan pekerjaan mengobras, menjahit kancing, membersihkan benang, packing serta menjadi seorang Quality Control (QC) upah yang diterima akan lebih kecil karena pekerjaan terebut tidak memerlukan keterampilan khusus. Pada umumnya bagian finishing yang meliputi Quality Control (QC) serta packing dilakukan oleh pekerja perempuan, banyaknya adalah ibu – ibu rumah tangga yang mengisi waktu luangnya dengan bekerja di industri rajutan Binong Jati. Misalnya saja Sona, yang diwawancarai oleh peneliti mengatakan bahwa pekerjaan di bagian finishing tidak memerlukan keahlian khusus, serta upah yang diterima dapat dipergunakan untuk membantu suami mencukupi kebutuhan rumah tangga sehari – hari (wawancara dengan Sona Tanggal 23 Oktober 2009).