• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG

Dalam dokumen Jihad NU Melawan Korupsi (Halaman 143-147)

K

omitmen dan sikap NU terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi sangat jelas dan tegas (sharih lafdhan wa ma’nan) sebagaimana diuraikan pada korasan sebelumnya. Korasan ini hendak menjelaskan substansi pandangan keagamaan NU tentang tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Untuk membatasi pandangan NU yang sangat kompleks, korasan ini hanya akan menukil dan mengelaborasi pandangan NU yang telah dibahas dan ditetapkan dalam forum Muktamar, Musyawarah Nasional Alim Ulama, Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, sebagai forum resmi tingkat nasional yang diselenggarakan oleh PBNU. Oleh karena itu, topik-topik pembahasan juga disesuaikan dengan topik yang pernah dibahas dan ditetapkan PBNU dalam forum-forum tersebut. Adapun substansi pandangan NU terkait dengan tindak pidana korupsi dan pencucian uang adalah sebagai berikut:

A. Korupsi dan Pengelolaan Keuangan Negara

Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, korupsi merupakan penghianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat.1 Pengertian ini memahamkan

bahwa segala bentuk penghianatan atas amanat rakyat bisa saja disebut korupsi. Termasuk di dalamnya adalah penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Sedangkan penodaan terhadap amanat rakyat (ghulul) itu sendiri menurut ijma’ para ulama termasuk salah satu dosa besar sebagaimana dinukil Imam Muhyiddin Syarf an- Nawawi:

ِرِئاَبَكْلا َنِم ُهَنَأ َو ِلوُلُغْلا ِمي ِرْحَت ِظيِلْغَت ىَلَع َنوُمِلْسُمْلا َعَمْجَأ َو

“Kaum muslimin telah bersepakat tentang sangat diharamankanya ghulul dan termasuk salah satu dosa besar.”2

Korupsi, dalam pandangan Nahdlatul Ulama, juga sebuah kedzaliman luar biasa (dhulmun ‘azhim) dan selalu terkait dengan keuangan negara. Sementara keuangan negara merupakan hal yang sangat fundamental, karenanya para ulama NU meletakkan prinsip-prinsip moral keagamaan perihal sesuatu yang sangat fundamental ini, yakni “keuangan negara”: dari mana bersumber; siapa pemilik sesungguhnya; untuk siapa/apa harus di-tasharruf-kan; apa tanggungjawab negara/pemerintah dalam hal ini; dan apa wewenang rakyat.3

Di antara sumber keuangan negara adalah pajak dan aset-aset lain yang dimiliki negara, termasuk di dalamnya adalah kekayaan alam. Dengan acuan ini, dapat dikatakan bahwa sumber keuangan negara adalah dari keringat rakyat dan dari pengelolaan alam di bumi Allah.

Oleh karena itu, dalam pandangan NU, negara harus bertanggungjawab untuk men-tasharruf-kannya demi kepentingan rakyat (mashalih ar- ra’iyyah) dengan seadil-adilnya tanpa membedakan warna kulit, suku bangsa, golongan, gender, pilihan politik, maupun agama dan keyakinan.4

Hal ini ditegaskan dalam salah kaidah iqih dan irman Allah berikut ini:

ِةَحَلْصَمْلاِب ٌط ْوُنَم ِةَيِعَرلا ىَلَع ِماَمِلْا ُفُرَصَت

“Seluruh kebijakan dan indakan pemimpin terhadap rakyat haruslah selalu mengacu kepada kepeningan mereka.”5

2 Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin al-Hajjaj, cet ke-2, juz, XII, (Bairut: Daru Ihya` at-Turats al-‘Arabi, 1392 H), hlm. 271.

3 PBNU, Ahkamul Fuqaha`, cet. ke-1, (Jakarta: Kalista-LTN PBNU, 2011), hlm. 811. 4 PBNU, Ahkamul Fuqaha`, cet. ke-1, (Jakarta: Kalista-LTN PBNU, 2011), hlm. 815. 5 Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadha`ir, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmi- yyah, 1403 H), hlm. 121.

ْنَأ ِساَنلا َنْيَب ْمُتْمَكَح اَذِإ َو اَهِلْهَأ ىَلِإ ِتاَناَمَ ْأا اوُدَؤُت ْنَأ ْمُكُرُمْأَي َ َل َنِإ

ِلْدَعْلاِب اوُمُكْحَت

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak dan apabila kalian memerintah, maka memerintahlah dengan adil.” (QS. al-Nisa’: 58)

Prinsip keadilan yang mendasar inilah semestinya menjadi acuan dalam mengelola keuangan negara, termasuk di dalamnya pajak yang dipungut dari rakyat dan seluruh aset yang dimiliki negara. Pembayaran pajak dalam konteks ini jelas hanya diwajibkan bagi golongan masyarakat yang mampu. Sedangkan golongan masyarakat tidak mampu, tidak diwajibkan membayarkan pajak. Pajak bisa diberlakukan sepanjang sumber- sumber keuangan negara non-pajak telah dikelola dengan benar untuk kemaslahatan dan tidak menyukupi untuk memenuhi kebutuhan negara.6

Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa terdapat hak harta selain zakat.

ِةاَك َزلا ى َوِس اًقَح ِلاَمْلا يِف َنِإ

“Sesungguhnya pada harta ada hak (atau kewajiban untuk dikeluarkan) selain pajak” (H.R. At-Tirmidzi)

Tapi bagaimanakah jika uang pajak oleh para pejabatnya diselewengkan? Apakah kewajiban pajak masih tetap berlaku? Dalam merespons permasalahan di atas, NU berpendapat bahwa pada prinsipnya pajak adalah harta untuk kemaslahatan, karenanya ia harus digunakan untuk kepentingan umum dan pihak lemah yang membutuhkan. Pajak tidak boleh diselewengkan, baik pemungutannya maupun pemanfaatannya.

ْوَأ ٌةَماَع ٌةَحَلْصَم ِهيِف ْنَمِل َلِا ُهُف ْرَص ُزوُجَي َل ِحِلاَصَمْلا ُلاَم ُيِلاَزَغْلا َلاَق

ٌز ِجاَع ٌجاَتْحَم َوُه

“Imam al-Ghazali berkata bahwa harta untuk kemaslahatan idak

boleh ditasharrufkan kecuali untuk kepeningan publik atau

kalangan lemah yang membutuhkan.”7

6 PBNU, Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2012, (Jakarta: LTN PBNU), hlm. 52-53.

Penyelewangan uang pajak oleh pejabat negara tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban membayar pajak. Kelompok wajib pajak tetap berkewajiban membayarnya, karena ketaatan kepada ulil amri adalah wajib, tetapi negara juga dituntut untuk secara serius memberantas penyelewengan pajak.8 Namun jika negara tidak serius dalam upaya

pemberantasan penggelapan dan penyelewengan pajak, maka kewajiban membayar pajak bisa ditinjau ulang.9

Keseriusan negara dalam hal ini bisa dilihat sejauh mana kasus-kasus penggelapan pajak yang selama ini terjadi mengalami penurunan. Jika tidak atau malah meningkat, maka kewajiban membayar pajak layak untuk ditinjau ulang. Di sinilah, negara harus membuktikan kesungguhannya dan membuktikan diri bahwa dirinya adalah pemegang amanat rakyat yang pada hakekatnya adalah amanat Allah, yang dapat dipercaya.

Setiap rupiah dari uang pajak (juga setiap titik kekuasaan yang dibiayai dengan uang pajak) harus dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat nanti) dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat (di dunia).10

Rasulullah SAW bersabda:

)ُي ِراَخُبْلا ُها َوَر( ْمُهاَع ْرَتْسا اَم ْنَع ْمُهُلِئاَس َه َنِإَف ْمُهَقَح ْمُه ْوُطْعُأ

“Berikanlah hak-hak penguasa, karena sesungguhnya Allah adalah Dzat yang meminta pertanggungjawaban dari seiap perkara yang Allah jadikan mereka penguasa (pada perkara itu).” (HR. Bukhari).

Mengenai sumber keuangan negara yang lain, seperti kekayaan alam yang luar biasa melimpah, di samping aset-aset lain dalam bentuk badan usaha, baik pengelolaannya secara langsung oleh negara maupun kerjasama

8 PBNU, Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2012, (Jakarta: LTN PBNU), hlm. 53.

9 Ibid.

Dalam dokumen Jihad NU Melawan Korupsi (Halaman 143-147)