• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA KORUPSI: Bentuk dan Perkembangan Mutakhir

Dalam dokumen Jihad NU Melawan Korupsi (Halaman 35-39)

K

asus korupsi di Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Hukuman yang diberikan selama ini tampak tidak memberikan efek jera. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus korupsi cenderung meningkat. Demikian juga total kerugian keuangan negara dan jumlah tersangka kasus korupsi, tidak menunjukkan angka penurunan.

Telah diakui secara umum bahwa kasus korupsi telah berdampak luas, massif, sistemik dan terstruktur, terutama pada: [1] penurunan kualitas hidup dan kehidupan umat manusia, [2] perusakan nilai-nilai kemanusiaan, [3] kehancuran sendi-sendi ketatanegaraan dan kehidupan demokrasi, [4] penurunan kualitas pelayanan publik, [5] pengabaian hak- hak dasar warga negara, [6] perusakan sendi-sendi prinsipal dari sistem pengelolaan keuangan negara, [7] terjadinya pemerintahan boneka, [8] peningkatan kesenjangan sosial, [9] hilangnya kepercayaan investor, [10] lunturnya etos kerja, dan [10] terjadinya degradasi moral keagamaan. Dalam catatan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2015 total kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp. 31,077 triliun. Angka ini naik 6 kali lipat dari kerugian negara pada 2014 sebesar Rp. 5,29 triliun. Kerugian negara tahun 2015 diperoleh dari 550 kasus korupsi, lebih rendah ketimbang tahun 2014 yang mencapai 629 kasus, hampir sama dengan tahun 2013 yang berjumlah 560 kasus, atau naik dari tahun 2012 yang hanya 401 kasus. Jumlah ini naik signiikan dari tahun 2011 dan 2010 yang masing-masing berjumlah 436 dan 448 kasus.

Sebagian besar modus yang digunakan pada tahun 2015 adalah penyalah- gunaan anggaran. Modus penyalahgunaan anggaran mencapai sekitar 24 persen atau sebanyak 134 kasus dengan nilai total kerugian negara Rp. 803,3 miliar.

Modus korupsi terbanyak kedua adalah penggelapan dengan jumlah 107 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp. 412,4 miliar. Modus ketiga “mark up” sebanyak 104 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp. 455 miliar dan disusul penyalahgunaan wewenang sebanyak 102 kasus dengan kerugian egara sebesar Rp. 991,8 miliar.

Sedangkan jabatan yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka selama tahun 2015 adalah pejabat atau pegawai Pemda/kementerian, disusul direktur dan komisaris pegawai swasta, kepala dinas, anggota DPR/DPRD serta kepala desa/lurah dan camat.

Jumlah tersangka yang terlibat kasus korupsi pada tahun 2015 sebanyak 1.124 orang, lebih rendah ketimbang 2014 yang berjumlah 1.328 tersang- ka. Adapun jumlah tersangka kasus korupsi pada 2013 adalah 1.271 orang, meningkat dari 2012 yang hanya 887 orang tersangka, tahun 2011 berjum- lah 1.053 orang, dan tahun 2010 sebanyak 877 orang tersangka. Semua angka ini hanyalah ibarat gunung es, sesuatu yang tampak di permukaan dan terpantau oleh ICW. Tentu tindak pidana korupsi yang sesungguhnya, yang tidak terpantau, tidak terberitakan, dan tidak tertangkap oleh aparat penegak hukum, jumlahnya pasti lebih banyak lagi. Lebih banyak dari yang diperkirakan. Sesuatu yang sangat memprihatinkan dan mengancam masa depan kehidupan bangsa yang adil, makmur, dan bermartabat.

A. Korupsi: Kejahatan Transnasional

Dalam kenyataannya, tindak pidana korupsi tidak hanya menjadi bagian dari kejahatan dalam negeri, melainkan kejahatan lintas batas negara.

Korupsi menjadi masalah internasional yang mengundang perhatian berbagai negara. Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), melalui Resolusi 58/4, tanggal 31 Oktober 2003, yang dibuka dan ditandatangani pada 9 Desember 2003 di Merida, Meksiko, menerbitkan Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/ UNCAC).UNCAC adalah basis hukum untuk menyatakan korupsi sebagai kejahatan transnasional.

Dalam UNCAC, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyakini bahwa “corruption is no longer a local matter but a transnational phenomenon that afects all societies and economies...”. Korupsi menyerang segala elemen dan pertumbuhan ekonomi setiap negara. Korupsi menjadi masalah internasional yang menuntut segala negara-bangsa terlibat aktif untuk memeranginya. Pendek kata, korupsi bukan hanya menjadi urusan Indonesia semata, tetapi menjadi problem dunia. Oleh karena itu, korupsi juga menjadi penyakit yang harus mampu disembuhkan oleh Nahdlatul Ulama —sebagai bagian dari entitas nasional maupun internasional.

Tak kurang dari itu, Nahdlatul Ulama memegang peranan penting, tidak hanya sebagai bagian dari entitas nasional maupun internasional, melainkan juga sebagai bagian dari perintah agama dalam menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran (amar ma’ruf dan nahy munkar). Tidak berlebihan kiranya jika korupsi diposisikan sebagai musuh bersama (common enemy), karena imbasnya yang sangat merusak dan membahayakan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengaitkan akibat korupsi dengan masalah yang sangat serius, yang memengaruhi stabilitas dan keamanan masyarakat. Perserikatan Bangsa-Bangsa berujar, “the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule

of law”. Tidak tanggung-tanggung, selain menyebabkan terganggungnya stabilitas dan keamanan masyarakat, korupsi juga mengacaukan nilai demokrasi, etika, dan keadilan.

B. Bentuk Korupsi di Dalam UU Pemberantasan Korupsi

Kontribusi Nahdlatul Ulama dalam perang melawan korupsi bakal melahirkan eksistensi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan yang tidak hanya bermanfaat bagi warga (jama’ah) dan institusi (jam’iyah), namun juga seluruh umat dan bangsa. Bentuk kontribusi jihad memberantas korupsi dapat didesain dengan seksama apabila deinisi tentang korupsi diketahui dengan cermat terlebih dahulu.

Regulasi tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sebetulnya sudah cukup kuat, selain tercantum dalam UUD 1945 dan KUHP, sejak tahun 1971, Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian, setelah Orde Reformasi, Indonesia memulai kembali komitmen pemberantasan korupsi dengan mengesahkan Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Atas dorongan TAP MPR ini, pada 16 Agustus 1999, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Lalu, pada tahun 2001, dengan pertimbangan bahwa tindak pidana korupsi selama ini telah terjadi meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa, maka disahkan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun

Dalam dokumen Jihad NU Melawan Korupsi (Halaman 35-39)