• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.4 Teori Disonansi kognitif

Teori ini dikembangkan oleh Leon Festiner tahun 1957. Teori ini menyatakan bahwa manusia selalu logis dan termotivasi untuk menjaga konsistensi kognitif itu ternyata harus berhadapan dengan kenyataan bahwa perilaku manusia seringkali irasional. Motif yang terlalu kuat untuk mempertahankan konsistensi kognitif dapat menimbulkan yang irasional bahkan menyimpang. Rumusan teori disonansi kognitif lebih terpusat pada apa yang akan terjadi bila ketidaksesuaian diantara sikap atau antara sikap dan kenyataan.

Festinger mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini, atau apa yang dipercayai orang mengenai diri sendiri atau mengenai perilakunya. Kita mempunyai banyak kognisi mengenai diri kita sendiri dan lingkungan di sekitar kita. Unsur kognitif atau kognisi-kognisi ini umumnya dapat hadir secara damai (konsisten) tapi kadang-kadang terjadi konflik diantara mereka (inkonsistensi). Sewaktu terjadi konflik diantara kognisi-kognisi terjadilah disonansi.

pada kognisi, perubahan tingkah laku dan menghadapkan diri pada beberapa informasi dan pendapat-pendapat baru yang sudah diseleksi terlebih dahulu. Walaupun demikian dari teori ini sangat jauh dari sederhana sebagaimana akan kita lihat berikut ini. Pada kenyataanya disonansi kognitif selalu terjadi dalam kaitan elemen-elemen kognitif yang saling berhubungan.

Elemen kognisi adalah hal-hal yang diketahui seseorang tentang dirinya sendiri, tingkah lakunya dan lingkungannya. Istilah kognisi sendiri digunakan untuk menunjuk kepada setiap pengetahuan, pendapat, keyakinan atau perasaan sesorang tentang dirinya sendiri atau lingkungannya. Faktor yang paling menentukan elemen-elemen kognitif adalah kenyataan (realitas). Sedangkan elemen-elemen kognitif sendiri berhubungan dengan hal-hal yang nyata ada dilingkungan dan hal - hal yang terdapat dalam dunia kejiwaan seseorang.

Hubungan dibedakan menjadi tiga jenis yaitu tidak relevan, disonan dan konsonan. Hubungan yang tidak relevan misalnya : orang tahu bahwa setiap musim hujan Jakarta kebanjiran dan ia pun tahu bahwa di Indocina tentara Vietnam masuk ke wilayah Kamboja. Kedua pengatahuan tersebut tidak saling berkaitan dan saling mempengaruhi karenanya disebut tidak relevan. Hubungan dua elemen kognitif yang salaing berkaitan dan saling mempengaruhi disebut hubungan yang relevan. Ada dua hubungan yang relevan yaitu : hubungan yang disonan dan hubungan yang konsonan.

Disonansi didefinisikan bahwa dua elemen dikatakan ada dalam hubungan yang disonan jika (dengan hanya memperhatikan dua elemen itu saja) terjadi penyangkalan dari satu elemen yang diikuti oleh atau mengikuti suatu elemen yang lain. Contoh jika seseorang berdiri di hujan seharusnya dia kebasahan. Tetapi kalau

orang yang berdiri di hujan (satu elemen) tidak basah (pengangkatan elemen ke dua) maka terjadilah hubungan disonan.

Disonansi kognitif sendiri mempunyai arti keadaan psikologis yang tidak meyenangkan yang timbul ketika dalam diri manusia terjadi konflik antara dua kognisi (Berhm & Kassin, 1990). Kognisi-kognisi ini meliputi segala sesuatu yang diketahui mengenai kepercayaan, sikap dan perilaku kita. Disonansi kognitif hanya dapat terjadi pada unsur-unsur kognitif yang relevan atau yang ada hubungannya satu sama lain (Festinger, 1957, Shaw & Constanzo, 1982).

Dua unsur kognitif yang relevan tapi tidak konsisten satu sama lain akan menimbulkan disonansi kognitif, sedangkan dua unsur kognitif yang tidak konsisten tapi relevan tidak menimbulkan disonansi. Misalnya seorang pejalan kaki yang merasa kehausan meminum segelas es yang dijual di pinggir jalan dapat berbahaya bagi kesehatan. Haus dan minum merupakan unsur-unsur kognitif yang relevan, karena itu terjadi disonansi kognitif antara haus yang harus dipuaskan oleh minum dan pengetahuan bahwa jajan es yang diminum sangat mungkin tidak bersih dari kuman penyakit. Pada sisi lain, kalau orang yang kehausan itu minum es yang dibeli dipinggir jalan dan kemudian ia melihat air yang digunakan petani untuk mengairi sawah sangat kotor maka tidak terjadi disonansi kognitif dikarenakan minum es dan air yang kotor di sawah merupakan dua unsur yang tidak relevan dalam konteks ini.

Telah dikemukakan bahwa teori disonansi kognitif lebih memusatkan perhatiannya pada keadaan disonansi atau ketidaksesuaian yang terjadi diantara unsur-unsur kognitif yang relevan. Dalam hal ini terdapat empat macam kasus

disonansi yang bersumber dari penyebab utama terjadinya konsistensi termaksud (Mann, 1969) yaitu:

a. Inkonsistensi logis

Melihat kemajuan tekonologi komputer saat ini saya percaya akhirnya orang akan dapat menanamkan microchip pada kortek otak manusia untuk difungsikan sebagai unit sentral pemrosesan data –vs- Saya kira otak manusia terlalu sempurna untuk digantikan oleh apapun.

b. Norma dan tata budaya

Saya sadari bahwa memakai barang kepunyaan orang lain tanpa izin adalah salah –vs- Kemarin saya memakai pensil teman saya tanpa sepengetahuanya.

c. Pendapat yang inkonsisten dengan perbuatan

Togel seharusnya dilarang diadakan karena merupakan perjudian dan lebih banyak merugikan daripada manfaatnya –vs- Kadang-kadang saya membeli togel siapa tahu nasib saya sedang baik dan saya mendapat hadiah.

d. Pengalaman masa lalu

Sejak dulu saya tahu bahwa mesin sepeda merek Honda adalah yang terbaik – vs- Sepeda montor merek Honda yang baru saya beli sekarang sering rewel dan mogok.

Konotasi adalah terjadi hubungan yang relevan antara dua elemen dan hubungan itu tidak disonan. Jadi, jika satu elemen kognisi diikuti oleh elemen yang lain. Misalnya : orang berdiri di hujan (elemen pertama) dan basah (elemen kedua). Tetapi adanya penyangkalan elemen tidak selalu jelas. Dalam keadaan ini maka antara konsonan dan disonan juga tidak dapat dibedakan dengan tajam. Faktor-faktor motivasi dan keinginan juga berpengaruh di sini, sehingga menambah rumitnya persoalan. Misalnya seorang berjudi terus menerus walaupun ia terus kalah melawan penjudi-penjundi profesional. Perbuatan orang itu berjudi terus disonan dengan pengetahuannya tentang lawannya yang profesional. Tetapi kalau ia memang ingin berjudi sampai habis seluruh uangnya, maka buat orang itu hubungan antara elemen-elemen tersebut di atas adalah konsonan.

2.4.1. Ukuran Disonansi

Hubungan disonan tidak semua sama kadarnya. Karena itu Festinger mengemukakan perlu diketahuinya faktor-faktor yang menentukan kadar disonansi itu. Faktor yang pertama adalah tingkat kepentingan elemen-elemen yang saling berhubungan bagi orang yang bersangkutan. Jika kedua elemen itu kurang penting artinya bagi orang yang bersangkutan, maka tidak banyak disonansi yang akan timbul. Sebaliknya jika kedua elemen itu sangat penting artinya bagi orang yang bersangkutan, maka disonansi juga akan tinggi. Tetapi dalam kenyataanya tidak pernah ada hanya melibatkan dua elemen. Masing-masing elemen dari yang dua itu dihubungkan juga dengan elemen-elemen lain yang relevan. Sebagian hubungan-hubungan yang lain ini konsonan, sedangkan sebagian lainnya disonan.

Menurut Festinger (dalam Shaw & Constanzo, 1982), hampir-hampir tidak pernah terjadi tidak ada dissonan sama sekali dalam hubungan – hubungan yang terjadi antar sekelompok elemen. Karena itu kadar disonan dalam hubungan 2 elemen, dipengaruhi juga oleh jumlah disonansi yang ditimbulkan oleh keseluruhan hubungan kedua elemen itu dengan elemen-elemen lain yang relevan. Namun Festinger sendiri tidak menujukkan bagaimana caranya untuk menetapkan kadar kepentingan dan relevansi di atas.

Tingkatan disonansi yang maksimum adalah sama dengan jumlah daya tolak dari elemen yang paling lemah. Jika disonansi maksimum tercapai, maka elemen yang paling lemah akan berubah dan disonansi akan berkurang. Tentu saja ada kemungkinan bahwa perubahan elemen yang lemah itu akan menambah disonansi pada hubungan-hubungan yang lain dalam kumpulan elemen-elemen kognitif yang bersangkutan. Dalam hal ini maka perubahan pada elemen yang lemah tersebut tidak jadi terlaksana. Festinger (dalam Shaw & Constanzo, 1982) mengemukakan hipotesis dasar dalam teori ini yaitu ” Adanya disonansi, yang menimbulkan ketidakenakan psikologis akan memotivasi seseorang untuk mencoba mengurangi disonansi tersebut dan mencapai konsonansi. Kekuatan tekanan untuk mengurangi disonansi itu merupakan fungsi besarnya disonansi dirasakan.

Disonansi kognitif akan menimbulkan ketidakenakan dan ketegangan psikologis, oleh karena itu selalu akan ada usaha dalam diri manusia untuk mengurangi atau menghilangkannya. Semakin penting unsur kognitif yang terlibat dalam disonansi bagi seseorang semakin besar pula disonansi yang terjadi. Disonansi dan konsonansi dapat melibatkan banyak unsur kognitif sekaligus. Jadi besarnya

disonansi tergantung pula pada penting dan relevansi unsur-unsur yang disonan dan yang konsonan. Secara formal, besarnya disonansi dapat disimbolkan sebagai berikut:

• besarnya disonansi sehubungan dengan unsur kognitif k

• pentingnya unsur disonan d

• pentingnya unsur konsonan c

• banyaknya unsur kognitif yang disonan dengan unsur k

• banyaknya unsur kognitif yang konsonan dengan unsur k

Usaha untuk mengurangi disonansi ini biasanya berupa pengubahan salah satu atau kedua unsur kognitif yang terlibat atau berupa penambahan unsur kognitif ke tiga sedemikian rupa sehingga konsonansi tercapai kembali.

2.4.2. Konsekuensi-konsekuensi Disonansi

1. Pengurangan disonansi melalui 3 kemungkinan :

a. Mengubah elemen tingkah laku. Misalnya : seseorang gadis membeli baju baru yang mahal ketika baju ini dipakainya ke sekolah, seorang temannya mengatakan baju itu “norak” (kampungan). Untuk menghilangkan disonansi, gadis itu bisa menjual lagi baju tersebut atau menghadiahkan kepada orang lain (mengubah elemen tingkah laku). b. Mengubah elemen kognitif lingkungan : misalnya, gadis itu meyakinkan

temannya bahwa baju tersebut tidak “norak” dan justru sedang jadi mode yang top masa kini.

c. Menambah elemen kognitif baru : misalnya, mencari pendapat teman lain yang mendukung pendapat bahwa baju tersebut bagus dan tidak “norak”.

Namun teori ini tidak memberikan cara untuk memperkirakan kemungkinan mana yang akan ditempuh untuk mengurangi disonansi dalam keadaan tertentu.

2. Penghindaran disonansi.

Adanya disonansi selalu menimbulkan dorongan untuk menghindari disonansi tersebut. Dalam hubungan ini caranya adalah dengan menambah informasi baru yang diharapkan dapat menambah dukungan terhadap pendapat orang yang bersangkutan atau menambah perbendaharaan elemen kognitif dalam diri orang yang bersangkutan. Penambahan elemen baru ini harus sangat efektif, yaitu hanya mencarinya pada orang-orang yang diperkirakan dapat memberi dukungan dan menghindari orang-orang yang pandangannya berbeda. Demikianlah caranya disonansi dihindarkan.

2.4.3.Dampak Teori Disonansi

Teori Festinger (dalam Shaw & Constanzo, 1982) ini mempunyai pengaruh terhadap berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari. Dampak tersebut antara lain terlihat dalam:

1. Pembuatan keputusan. Keputusan dibuat berdasarkan situasi konflik. Alternatif-alternatif dalam situasi konflik itu bisa positif semua, bisa negatif semua bisa sama-sama mempunyai unsur positif dan negatif. Dalam ketiga situasi tersebut, keputusan apapun yang akan dibuat akan menimbulkan disonansi yaitu terjadi gangguan terhadap hubungan dengan elemen (alternatif) yang tidak terpilih. Kadar disonansi setelah pembuatan

suatu keputusan tergantung pada pentingnya keputusan itu dan kemenarikan alternatif yang tidak terpilih. Dalam pengambilan keputusan disonansi diprediksi akan muncul karena alternatif pilihan yang ditolak berisi fitur – fitur yang akan mengakibatkan ia diterima dan alternatif pilihan yang dipilih berisi fitur – fitur yang akan mengakibatkan ia ditolak. Semakin sulit sebuah keputusan dibuat, maka semakin besar disonansi pasca keputusan atau setelah keputusan diambil. Mengenai suatu keputusan biasanya terjadi hal-hal sebagai berikut :

a. Akan terjadi peningkatan pencarian informasi-informasi baru yang menghasilkan elemen kognitif yang mendukung (konsonan) dengan keputusan yang telah dibuat.

b. Menimbulkan kepercayaan yang makin mantap tentang keputusan yang sudah dibuat atau timbul pandangan yang makin tegas membedakan kemenarikan alternatif yang telah diputuskan dari pada alternatif-alternatif lainnya. Atau juga bisa dua kemungkinan itu terjadi bersama-sama.

c. Makin sukar untuk mengubah arah keputusan yang sudah dibuat terutama pada keputusan-keputusan yang sudah mengurangi banyak disonansi.

2. Paksaan untuk mengalah : dalam situasi-situasi publik (ditengah-tengah orang banyak), seseorang dapat dipaksakan untuk melakukan sesuatu (dengan ancaman hukuman ataupun menjanjikan hadiah). Kalau perbuatan itu tidak sesuai dengan yang dikehendakinya sendiri (sebagai pribadi), maka timbul disonansi. Kadar disonansi itu tergantung pada penting atau tidaknya pendapat pribadi tersebut dan besarnya ancaman hukuman atau

ganjaran yang akan diterima,tetapi kadang hanya akibat tekanan kelompok untuk menyesuaikan terhadap norma yang tidak terlalu disetujuinya.

3. Ekspose pada informasi-informasi. Disonansi akan mendorong pencarian informasi baru. Kalau disonansi hanya sedikit, atau tidak ada sama sekali, maka usaha untuk mencari informasi baru juga tidak ada. Kalau kadar disonansi pada taraf menengah (tidak rendah dan tidak tinggi), maka usaha pencarian informasi baru akan mencapai taraf maksimal. Dalam hal ini orang yang bersangkutan dihadapkan (eskpose) pada sejumlah besar informasi-informasi baru. Tetapi kalau kadar disonansi maskimal, justru usaha untuk mencari informasi baru akan sangat berkurang, karena pada tahap ini akan terjadi perubahan elemen kognitif.

Individu akan menolak informasi yang mengakibatkan disonansi. Sejumlah peneliti berpendapat bahwa banyak orang secara khusus akan memperhatikan bagian – bagian sebuah pesan yang tidak bertentangan dengan sikap, kepercayaan atau prilaku yang dianutnya, dan tidak memperhatikan bagian – bagian pesan yang sangat bertentangan dengan posisinya dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Orang akan memperhatikan hal – hal yang tidak mendukung posisi mereka apabila mereka yakin bahwa hal – hal itu akan mudah disangkal, tetapi mereka akan menolak informasi yang mendukung posisi mereka bila informasi itu lemah. Hanya ada sedikit bukti untuk mendukung hipotesis bawa seseorang akan menolak seluruh pesan yang bertentangan dengan keyakinan atau sikap mereka. Artinya orang lebih cenderung untuk

memperhatikan pesan yang bertentangan dengan keyakinan, prilaku atau pilihan yang tidak terlalu kuat agar dapat menyangkalnya.

4. Dukungan sosial. Jika seseorang (misal A) tahu bahwa pendapatnya berbeda dari orang-orang lain, maka timbullah apa yang disebut “kekurangan dukungan sosial” (lack social support). Kekurangan dukungan sosial ini akan menimbulkan disonansi kognitif pada A yang kadarnya ditetapkan sebagai berikut :

• Ada tidaknya obyek (elemen kognitif non sosial) yang menjadi sasaran pendapat orang lain itu, di sekitar A.

• Banyaknya orang yang dikenal A yang berpendapat sama dengan A.

• Pentingnya elemen yang bersangkutan bagi A

• Relevansi orang lain tersebut bagi A

• Menarik tidaknya orang yang tidak setuju tersebut bagi A.

• Tingkat perbedaan pendapat.

Menurut Secord & Backman (1964) mengemukakan implikasi teori disonansi kognitif Festinger dalam kaitannya dengan prediksi perubahan sikap. Implikasi termaksud dilukiskan antara lain dalam suatu studi yang dilakukan guna pengujian hipotesa yang bersumber dari teori Festinger itu sendiri. Hipotesa itu adalah :

1. Apabila individu terdorong untuk mengatakan atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sikapnya maka cenderung untuk mengubah sikapnya sehinga terjadi terjadi konsonansi diantara unsur-unsur kognitif ucapan atau perbuatan

2. Semakin kuat tekanan yang mendorong seseorang untuk berbuat berlawanan dengan sikapnya (yaitu diluar batas yang diperlukan sekedar untuk mendorong perbuatan itu) maka semakin sedikitlah perubahan sikap yang terjadi.

Dokumen terkait