• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.3 Teori Kognitivisme

Teori ini berasal dari studi psikologi, khususnya psikologi kognitif. Dalam teori ini manusia tidak lagi dipandang sebagai mahluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya sebagaimana anggapan behaviorisme, tatapi ia dianggap sebagai mahluk yang berusaha memahami lingkungannya, mahluk yang selalu berpikir (homo sapiens). Istilah kognitif (Inggris cognitive) berasal dari kata latin cognoscere yang artinya mengetahui (to know) (Bigge, 1982:171). Aspek kognitif ini banyak mempermasalahkan bagaimana orang memperoleh suatu pemahaman akan dirinya serta lingkungannya itu. Dalam hal ini pusat perilaku kesadarannya ia bertindak terhadap lingkungannya itu. Dalam hal ini pusat perilaku kesadarannya adalah ide-ide itu sendiri di dalam otak, yang tampak pada perilaku berpikir.

badan. Dalam belajar, orang juga menggunakan berpikir, berpikir untuk menggapai sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Jadi, proses belajar dalam kognitivisme ini tidak lagi dipandang sebagai pembentukan perilaku yang diperoleh dari pengulangan hubungan S-R secara kaku, dan adanya penguatan-penguatan, tetapi mencakup fungsi pengalaman perseptual dan prose kognitif yang meliputi ingatan, lupa, pengolahan informasi dan sebagainya.

Cognition diartikan sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh pengetahuan, mengorganisasikan, dan menggunakannya. Kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Sehingga perhatian utama adalah upaya memahami proses individu mencari, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Belajar kognitif berlangsung berdasarkan schemata atau struktur mental individu yang mengorganisasikan hasil pengamatannya. Struktur mental individu tersebut berkembang sesuai dengan tingkatan perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif seseorang, semakin tinggi pula kemampaun dan keterampilan dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan yang diterimanya dari lingkungan

Teori ini mengemukakan konsep dimana seorang manusia yang memiliki otak dengan dilengkapi akal pikirannya dapat diberikan kemampuan berpengetahuan dengan pembiasaan menghapal dan mengingat apa yang harus diketahui. Sehingga, keinginan kognitivisme, bahwa manusia harus berpengetahuan, manakala diberikan pengetahuan oleh orang lain dan harus dihapal agar pengetahuan itu bisa dimiliki olehnya. Karena manusia merupakan mahluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya dengan cara berpikir, maka stimulus-stimulus yang datang dari luar

dipunyainya sehingga prosesnya menjadi komplek, dan kemudian terjadilah perubahan perilaku.

Membaca pun dapat dikategorikan berpikir, demikian tulis Emmett A. Bett (1967). Bahkan Ruth Strang pada tahun yang sama menambahkan lagi tentang membaca sebagai proses berpikir, yaitu dimulai dengan membaca mengenal kata-kata, menggunakan informasi, dan membaca mengenai paragraf. Tingkatan-tingkatan tersebut pada pelaksanaanya merupakan langkah pergeseran berpikir dari tingkat pemula menuju tingkatan yang lebih tinggi, mulai membaca yang sekedar membunyikan huruf sampai kepada membaca yang bersifat fungsional, yaitu yang dapat memahami arti, bahkan mampu mengembangkan apa yang sedang dibacanya itu. Semuanya itu termasuk ke dalam kategori belajar karena terjadi perubahan perilaku, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan prosesnya disebut proses belajar, proses perubahan perilaku pada seseorang yang terjadi sebagai akibat ia bereaksi terhadap lingkungannya serta sekaligus memikirkan lingkungannya tadi. Inilah pula yang telah diungkapkan oleh Shores (1968), yaitu bahwa “....Reading is still 95 percent of all education’, yang berarti bahwa kegiatan membaca masih merupakan hal yang dominan dalam pendidikan, sekaligus dalam belajar.

Kognitivisme menempatkan faktor berpikir pada kedudukan yang lebih tinggi dari sekedar pengalaman inderawi. Dalam beberapa hal memang pengalaman inderawi secara langsung tidak mendapat kebenaran (kenyataan, fakta), bahkan fakta yang ada di sekitarnya sering ditafsirkan salah. Orang sering salah menafsirkan alam dengan panca inderanya. Gunung dari jauh tampak berwarna biru, padahal tidaklah demikian apabila didekati itu kesalahan atau keterbatasan indera mata. Daya cium kita juga sering tertipu oleh rangsangan-rangsangan semua yang ditimbulkan oleh

berbagai jenis makanan, artinya tidak semua makanan yang berbau harum merangsang itu lezat. Itu juga sebabnya belajar melalui pengalaman langsung tidak selalu berhasil dengan baik.

Menurut behaviorisme, belajar itu terjadi sebagai akibat lancarnya hubungan S-R yang tampak membiasa dalam proses yang bersifat mekanis otomatis, tanpa menghiraukan fungsi otak, pada kognitivisme justru belajar itu dari otak. Belajar terjadi secara internal di dalam otak manusia, yang meliputi persepsi, motivasi ingatan, lupa dan sebagainya. Oleh karenanya, hasilnya berupa suatu struktur kognitif atas dasar hasil perangkaian pangalaman-pengalaman faktual, bukan pembiasan. Belajar kognitif lebih banyak menekankan adanya pemahaman dalam memecahkan masalah, atau katakanlah berpikir, sedangkan behaviorisme tidak, tetapi titik beratnya pada unsur Trial and error. Coba lagi, gagal lagi, coba lagi gagal lagi, dan seterusnya. Sehingga pada suatu saat si pelaku belajar akan berhasil karena telah memperoleh unsur pengalaman yang sama dengan “percobaan-percobaan” yang pernah dilakukan sebelumnya.

Berbagai teori belajar yang didasarkan atas kognitivisme banyak dikembangkan orang diantaranya ialah teori perkembangan genetik dari Piaget, teori belajar kognitif dari Bruner, dan teori perkembangan intelektual dari Gagne meskipun sebenarnya masih tergolong ke dalam aliran behaviorisme, lengkapnya behaviorisme eklektik (behavioristic electic psychology). Teori-teori tersebut mempunyai pandangan yang berbeda satu sama lain meskipun masih dalam kategori kognitif, atau campuran kognitif-behaviorisme.

Piaget beranggapan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, atau proses yang didasarkan atas mekanisme biologis, yaitu perkembangan

susunan selnya, dan dengan demikian makin meningkat pula kemampuannya (Traves, 1976). Menurutnya, istilah genetic sama dengan developmental, sedangkan epistemologi berarti teori untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi genetika (genetic epistemology), sebagaimana nama teorinya, merupakan suatu studi tentang tahap-tahap perkembangan anak dalam kaitannya dengan pemerolehan pengetahuan (Bigge, 1982:18).

Perkembangan mental katanya terdiri dari perangkaian tiga tahap atau masa yaitu tahap sensorimotorik, simbolik atau praoperasional konkret dan operasional konkret. Setiap langkah mengembangkan tahap-tahap terdahulu, membangun kembali pengetahuan dengan tingkat yang baru sampai dapat melampaui tahap-tahap sebelumnya. Sesuai dengan anggapannya, belajar dalam hal ini merupakan proses yang mengikuti aturan-aturan dan pola tertentu, sejalan dengan perkembangan usia. Dimulai dengan pola belajar dengan tingkatan yang paling sederhana, terus meningkat kepada pola-pola belajar yang semakin mengompleks. Dari belajar sekedar mengenal benda-benda yang ada di sekitarnya secara sederhana, sampai kepada belajar berpikir untuk memecahkan masalah tentang benda-benda tadi.

Pekembangan dalam belajar harus dimulai dengan yang mudah-mudah, tidak bisa melompat, dan harus berurutan sejalan dengan tingkatan-tingkatan. Sebelum masuk SLTP disyaratkan melalui SD terlebih dahulu. Begitu pula, agar bisa mengikuti pelajaran di Perguruan Tinggi, seseorang harus sudah lulus SLTA dahulu. Hal ini demikian sebab tingkatan-tingkatan pelajaran yang dirancangnya semakin menyulit pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi.

Berbeda dengan teori perkembangan genetik dari Piaget teori belajar kognitif dari Jerome S. Brunner yang lahir di New York AS 1915 menyatakan belajar kognitif merupakan suatu proses yang sejalan dengan perkembangan tiga tahap, yang meliputi

enactif, iconic, dan simbolic. Tahap enactif menunjukan seorang anak secara aktif melakukan kegiatan dalam usahanya memahami lingkungannya. Perhatian anak tampak tunggal atau satu hal saja, misalnya anak asyik bermain simpul-simpul visual, namun belum mampu menerangkan konsepnya. Sedangkan yang terakhir, simbolik, menunjukan seorang anak mulai menggunakan simbol-simbol yang lebih banyak dari pada kedua tahap sebelumnya. Pada tahap ini seorang telah mempunyai daya imajinasi yang tinggi, mampu menangkap simbol-simbol abstrak, dan belajarnya pun sudah menggunakan konsep-konsep yang abstrak untuk kemudian menyusunnya menjadi prinsip yang mantap.

Belajar seseorang dimulai dengan mengenal konsep-konsep yang lebih rumit. Sebelum seorang anak belajar memecahkan masalah sebagai kegiatan belajar yang lebih sulit, dia perlu mengetahui konsep-konsep dan prinsip-prinsip lebih dahulu karena pengetahuan akan konsep dan prinsip mendasari belajar memecahkan masalah. Selanjutnya Brunner mengatakan bahwa kematangan intelektual seseorang dicirikan dengan mulai meningkatnya ketidakbergantungan orang tersebut terhadap stimulus yang ada serta pertumbuhan tersebut bergantung pada kemampuan internal orang yang bersangkutan dalam menyimpan dan memproses informasi yang datang dari luar. Tampaknya orang dewasa lebih mampu bermandiri daripada anak-anak sebab kemampuan intelektualnya sudah matang.

Bagi Brunner, pertumbuhan intelektual bukan merupakan penambahan setahap demi setahap, juga bukan merupakan hasil antara hubungan stimulus respons, atau karena memang sudah mencapai tahap siap. Ia bisa tumbuh dengan cepat, kemudian berhenti atau mengaso. Dengan kata lain, pertumbuhan itu bisa cepat, bisa lambat, bergantung pada pengaruh-pengaruh lain yang menyertainya. Dalam konteks

secara genetik. Kalau Piaget mengatakan bahwa perkembangan kognitif seorang anak berpengaruh terhadap perkembangan bahasanya, menurut Brunner justru sebaliknya, yakni perkembangan bahasa si anak berpengaruh terhadap perkembangan kognitifnya (Hilgard dan Bower, 1981, yang dikutip oleh Soekamto, 1986).

Semakin tinggi kemampuan inteletual seseorang, semakin mampu orang tersebut menangkap simbol-simbol abstrak melalui bahasa, atau semakin mampu dia berbahasa secara simbolik. Namun, semakin tinggi kemampuan berbahasa seseorang semakin tinggi pula kemampuan kognitifnya. Sulit untuk menentukan mana yang benar, konsep Brunner atau Piaget, Yang penting justru konsep-konsep tersebut hendaknya dimanfaatkan untuk membantu memahami kondisi anak. Kalau kita mengetahui kemampuan berbahasa dapat meningkatkan perkembangan intelektual, maka melalui penggunaan bahasa yang baik dan benar dengan prinsip-prinsip penerapan berbahasa “tingkat tinggi”, anak diharapkan dapat meningkatkan wawasan sasaran mengenai lingkungannya.

Teori berikutnya tentang belajar ialah teori perkembangan ketrampilan dari Gagne. Ia menyebutkan adanya tahap-tahap perkembangan intelektual seseorang dalam kaitannya dengan belajar. Tahap-tahap tersebut bersusun secara hierarkis,mulai dengan tahap yang mudah atau sederhana sampai kepada tahap yang sulit, dari tahap belajar signal sampai kepada tahap belajar memecahkan masalah. Konsep belajar hierarkis ini sebenarnya secara tidak langsung merupakan reduksi dari hubungan mekanismeS-R atau proses pembiasan seperti yang sudah dibicarakan di bagian yang lalu. Sedangkan tahapan-tahapan tersebut adalah (bigge, 1982) sebagai berikut:

1. Belajar signal-signal learning)-belajar melalui tanda-tanda 2. Belajar stimulus-respon (stimulus-respon learning). 3. Belajar Perangkaian (chaining)

4. Belajar asosiasi verbal (verbal association) 5. Belajar diskriminasi (discrimination learning) 6. Belajar konsep (concept learning)

7. Belajar keteraturan konsep (rule learning) 8. Belajar pemecahan masalah (problem learning)

Tahap belajar signal (tahap satu) mendasari belajar selanjutnya (tahap dua). Demikian seterusnya sehingga tahap belajar pemecahan masalah (tahap delapan) hanya bisa dilalui setelah tahap-tahap sebelumnya (tahap satu sampai tahap tujuh) dikuasai. Orang tidak bisa belajar dari tahap yang lebih sulit, tetapi harus memulainya dari tahapan yang lebih mudah.

Teori kognitivisme digunakan untuk membantu memperlancar para praktisi komunikasi di lapangan seperti guru, instruktur, penyuluh lapangan, dan para komunikator lainnya bisa kita kelompokan sebagai berikut:

a. faktor berpikir mempunyai kedudukan yang penting dalam diri setiap orang, dan belajar menurut teori ini merupakan proses berpikir, sedangkan berpikir menggunakan logika. Untuk itu, di dalam praktek di lapangan, seorang komunikator perlu menggunakan suatu pola dan logika tertentu dalam menyampaikan informasinya agar setiap materi atau informasi yang dibicarakanya bisa diterima oleh sasaran dengan berpikirnya.

b. Karena belajar pada prinsipnya adalah proses menggunakan logika atau berfikir, sedangkan perfikir itu sendiri merupakan upaya mental dalam memahami sesuatu yang bermakna, maka belajar memahami lebih baik atau lebih berhasil dari pada belajar hafalan. Belajar bisa bermakna apabila ada kesinambungan konsep dengan pola pemahaman informasi sebelumnya.

c. Perkembangan genetika seseorang sejalan dengan perkembangan intelektualnya, makin tambah usia seseorang, makin meningkat pula kemampuan ntelektualnya.

Inti dari teori disonansi kognitif ini sebenarnya sederhana yaitu antara elemen-elemen kognitif mungkin terjadi hubungan-hubungan yang tidak pas (nontiffing relations) yang menimbulkan disonansi (kejanggalan) kognitif, disonansi menimbulkan desakan untuk mengurangi disonansi tersebut dan menghindari peningkatannya, hasil dari desakan tersebut terwujud dalam perubahan-perubahan (http://ipotes.wordpress.com/2008/05/11/teori-kognitif)

Dokumen terkait