• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Antar Pribadi Orang Tua Dengan Anak Dalam Menanamkan Nilai-Nilai Keluarga Untuk Memilih Pasangan Hidup Dengan Syaid Atau Syarifah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komunikasi Antar Pribadi Orang Tua Dengan Anak Dalam Menanamkan Nilai-Nilai Keluarga Untuk Memilih Pasangan Hidup Dengan Syaid Atau Syarifah"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

KOMUNIKASI ANTARPRIBADI ORANG TUA DENGAN ANAK DALAM MENANAMKAN NILAI – NILAI KELUARGA UNTUK MEMILIH

PASANGAN HIDUP DENGAN SAYID ATAU SYARIFAH ( Studi Deskriptis pada Anggota Himpunan Remaja Alawiyin Medan)

SKRIPSI

Oleh:

SYARIFAH MASTURA 040904027

ILMU KOMUNIKASI

Guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S-1) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(2)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Peran Komunikasi Antarpribadi antara Orang Tua dengan Anak Dalam Menanamkan Nilai – Nilai Keluarga untuk Memilih Pasangan Hidup dengan Sayid atau Syarifah (Studi Deskriptif pada Anggota Himpunan Remaja Alawiyin Medan). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan komunikasi antarpribadi antara orang tua dengan anak, bagaimana orang tua menanamkan nilai keluarga pada anak, bagaimana anak berkomunikasi untuk mengutarakan isi hatinya pada orang tua dan apakah nilai tersebut dapat diterima anak.

Konsep dan teori komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori komunikasi antarpribadi., komunikasi keluarga, kognitivisme dan disonansi kognitif. Subjek penelitian ini ialah seluruh anggota Himpunan Remaja Alawiyin dengan jumlah responden sebanyak 40 orang.. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta – fakta dan sifat – sifat populasi atau objek tertentu tanpa menjelaskan hubungan antar variabel.

Teknik pengumpulan data melalui penelitian lapangan yang terdiri dari kuesioner dan wawancara mendalam dan penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan data berupa literature dan sumber bacaan maupun internet yang mendukung penelitian. Analisis data menggunakan analisis tabel tunggal dan diinterppretasi sesuai temuan di lapangan

Kuesioner berisi 26 pertanyaan tertutup yang dibuat peneliti dengan indikator operasionalisasi konsep penelitian untuk mengukur frekuensi dan intensitas komunikasi, keterbukaan, sifat positif, kesamaan, empati dan dukungan. Wawancara terdiri dari lima pertanyaan untuk mengetahui situasi komunikasi dan alasan untuk menerima atau tidak nilai yang telah ditanamkan oleh orang tua.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur peneliti ucapkan atas kehadirat Allah S.W.T. atas nikmat dan karunianya yang tak terhingga yang senantiasa dilimpahkan-Nya kepada peneliti. Shalawat berangkaikan salam kepada junjungan Nabi Muhammad S.A.W yang dengan perjuangannya mampu membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman ilmu pengetahuan.

Ucapan terima kasih yang terdalam peneliti persembahkan kepada kedua orang tua Bapak Sayyid Mustafa dan Ibu Cut Fatimah yang telah banyak memberikan dukungan baik moril, materil, cinta, kasih sayang dan do’a.

Dalam menyelesaikan tugas akhir ini, peneliti banyak mendapatkan bimbingan dan nasehat serta dukungan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan FISIP USU.

2. Bapak Drs Amir Purba, MA selaku Kepala Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Bapak Drs. Iskandar Zulkarnain, MA sebagai dosen pembimbing yang baik dan sabar.

4. Ibu Dra. Dewi Kurniati, MSi selaku sekretaris departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

5. Bapak Drs. Hendra Harahap, MA selaku dosen wali sebagai tempat bertanya. 6. Seluruh dosen dan staf Administrasi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP

(4)

7. Kakak dan adik ku tersayang Syarifah Rahmah, Syarifah Muhibbah, Sayyid Mudhahar, Syarifah Maryana, Syarifah Fauzah, Sayyid Muhammad Iqbal dan Sayyid Fikri Al-Zuhairi. Semoga jadi sholeh dan sholeha.

8. Teman - teman di UKMI As – Siyasah FISIP USU bahagianya menjadi bagian dari kalian dan syukur alhamdulillah merupakan anugerah luar biasa pernah mengenal kalian semua.

9. Teman - teman di KAMMI Komisariat USU terima kasih atas pengalaman – pengalaman berharganya. terutama teman - teman di HUMAS KAMMI maaf atas segala salah dan atas kerja yang tak sesuai harapan dan terima kasih atas segala pengertiannya.

10. Himitsu Azura dan Asyifa Kudo kan ku tunggu tawamu ketika terwujud segala mimpi – mimpi.

11. Adek – adek mentoring dari stambuk 2005 – 2007 maaf jika tak bisa jadi kakak yang terbaik.

12. Ibu Mazda, Kak Khadijah dan Kak Hanim dari YP2M serta tenaga lapang Kak Tuti, Kak Nuri, Asti, Anis, Yola, Eka, Riri. Terima kasih atas segala tunjuk ajar, pengalaman dan semangatnya.

13. Volunteer CERIC FISIP USU Anis, Siti, Fiqi, Iqbal, Reza, Arif, Mulya dan Rosadi. Senang bisa bekerja sama dengan kalian semua.

14. Teman seperjuangan anak – anak Departemen Ilmu Komunikasi 2004. Semoga kita semua jadi orang sukses.

(5)

16. Kepada semua orang yang berjasa disepanjang usia peneliti semoga Allah membalas dengan yang jauh lebih baik dan mengumpulkan kita di syurganya. 17. Buat laptop ku tersayang, laptop IBM kudo,Akira TV ku, ruang tamu yang

sudah seperti kamar tidur, printer 1800 dan MP145, nasyid – nasyid yang setia menemani. Enaknya punya kalian. Alhamdulillah.

Akhir kata peneliti menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Untuk itu peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Desember 2008

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Pembatasan Masalah ... 8

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.4.2 Manfaat penelitian ... 9

1.5 Asumsi-Asumsi Penelitian ... 9

1.5.1 Komunikasi Antarpribadi ... 9

1.5.2 Komunikasi Keluarga ... 14

1.5.3 Teori Kognitiuisme ... 16

1.5.4 Teori Disonansi Kognitif ... 18

1.6 Kerangka Konsep ... 20

1.7 Konsep Operational ... 20

1.8 Defenisi Operasional ... 21

1.9 Model Teoritis ... 23

BAB II URAIAN TEORITIS ... 24

2.1 Komukasi Antarpribadi ... 24

2.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Individu dalam Komunikasi Antarpribadi ... 27

2.2 Komukasi Keluarga ... 35

2.3 Teori Kognitivisme ... 43

2.4 Teori Disonansi kognitif ... 51

2.4.1 Ukuran Disonansi ... 55

2.4.2 Konsekuensi-konsekuensi Disonansi ... 57

2.4.3 Dampak Toeri Disonansi ... 58

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... ... 63

3.1 Metode Penelitian ... 63

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 63

3.3 Subjek Penelitian ... 63

3.3.1 Sejarah Terbentuknya Himpunan Remaja Alawiyin ... 63

3.3.1 Struktur Organisasi ... 65

(7)

3.4 Teknik Pengumpulan data ... 67

3.5 Teknik Analisis Data ... 68

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

4.1 Pelaksaan Pengumpulan Data ... 69

4.1.1 Pengumpulan Data ... 69

4.1.2 Proses Pengolahan ... 69

4.1.2.1 Penomoran kuesioner ... 69

4.1.2.2 Editing ... 70

4.1.2.3 Coding ... 70

4.1.2.4 Inventarisasi Variabel ... 70

4.1.2.5 Menyediakan Kerangka Tabel ... 70

4.1.2.6 Tabulasi Data ... 70

4.1.3 Analisis Tabel Tunggal ... 70

4.1.3.1 Usia Responden ... 71

4.1.3.2 Jenis Kelamin Responden ... 72

4.1.3.3 Tingkat Pendidikan dan Pekerja Responden ... 73

4.1.3.4 Latar Belakang Keluarga Responden ... 74

4.1.3.5 Frekuensi dan Intensitas Komunikasi ... 76

4.1.3.6 Pihak yang Paling Berperan dalam Memberi Informasi tentang Nilai Keluarga ... 77

4.1.3.7 Sikap Orang Tua ... 78

4.1.3.8 Kriteria yang Diinginkan Orang Tua ... 79

4.1.3.9 Saat Pertama Orang Tua Mengkomunikasikan Nilai Keluarga.. 82

4.1.3.10 Saat Membicarakan Nilai Keluarga ... 83

4.1.3.11 Situasi yang Paling Sering Terjadi ... 83

4.1.3.12 Situasi Bila Ada Perbedaan Pendapat ... 84

4.1.3.13 Suasana dan Kenyamanan Berkomukasi ... 85

4.1.3.14 Kesempatan Berpendapat ... 86

4.1.3.15 Perasaan Ketika Menyampaikan Pendapat ... 87

4.1.3.16 Reaksi atau Tanggapan Orang Tua ... 87

4.1.3.17 Dukungan Orang Tua Terhadap Pendapat yang Berbeda ... 89

4.1.3.18 Kemampuan Orang Tua Memahami Perasaan Anak ... 89

4.1.3.19 Penerimaan Terhadap Nilai Keluarga ... 91

4.2 Pembahasan ... ... 93

4.3 Kelemahan dan Hambatan Penelitian ... ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 97

5.1 Kesimpulan ... 97

5.2 Saran ... 98 DAFTAR PUSTAKA

(8)

DAFTAR GAMBAR

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Operasional Konsep ... 21

Tabel 2 Usia Responden ... 71

Tabel 3 Jenis Kelamin Responden ... 72

Tabel 4 Tingkat Pendidikan ... 73

Tabel 5 Pekerjaan Responden ... 74

Tabel 6 Pekerjaan Ayah ... 75

Tabel 7 Pekerjaan Ibu ... 75

Tabel 8 Penghasilan Keluarga (Ayah dan Ibu) ... 75

Tabel 9 Frekuensi Berkomunikasi dengan Orang Tua ... 76

Tabel 10 Lama Berkomunikasi dengan Orang Tua Dalam Sehari ... 77

Tabel 11 Pihak yang paling Berperan Memberi Informasi Tentang Nilai Keluarga ... 78

Tabel 12 Sikap Orang Tua Saat Membicarakan Tentang Pilihan Pasangan Hidup ... 79

Tabel 13 Kriteria Pasangan yang Dinginkan Orang Tua Menurut Anak ... 80

Tabel 14 Saat Pertama Orang Tua Mengkomunikasikan Nilai Keluarga ... 82

Tabel 15 Saat Membicarakan Nilai Keluarga ... 83

Tabel 16 Situasi yang Paling Terjadi ... 84

Tabel 17 Situasi Bila Ada Perbedaan Pendapat ... 84

Tabel 18 Suasana yang Biasa Terjadi ... 85

Tabel 19 Kenyamanan Berkomukasi dengan Orang Tua ... 86

Tabel 20 Kesempatan Berpendapat ... 86

Tabel 21 Perasaan Ketika Menyampaikan Pendapat ... 87

Tabel 22 Reaksi atau Tanggapan yang Biasa Diberikan Orang Tua Terhadap Pendapat Anak ... 88

Tabel 23 Dukungan Orang Tua Terhadap Pendapat yang Berbeda ... 89

Tabel 24 Kemampuan Orang Tua Memahami Perasaan Anak ... 90

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Program Kerja Himpunan Remaja Alawiyin. 2. Hasil Wawancara.

3. Lembar FC. 4. Kuesioner.

5. Pertanyaan Wawancara.

(11)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Peran Komunikasi Antarpribadi antara Orang Tua dengan Anak Dalam Menanamkan Nilai – Nilai Keluarga untuk Memilih Pasangan Hidup dengan Sayid atau Syarifah (Studi Deskriptif pada Anggota Himpunan Remaja Alawiyin Medan). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan komunikasi antarpribadi antara orang tua dengan anak, bagaimana orang tua menanamkan nilai keluarga pada anak, bagaimana anak berkomunikasi untuk mengutarakan isi hatinya pada orang tua dan apakah nilai tersebut dapat diterima anak.

Konsep dan teori komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori komunikasi antarpribadi., komunikasi keluarga, kognitivisme dan disonansi kognitif. Subjek penelitian ini ialah seluruh anggota Himpunan Remaja Alawiyin dengan jumlah responden sebanyak 40 orang.. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta – fakta dan sifat – sifat populasi atau objek tertentu tanpa menjelaskan hubungan antar variabel.

Teknik pengumpulan data melalui penelitian lapangan yang terdiri dari kuesioner dan wawancara mendalam dan penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan data berupa literature dan sumber bacaan maupun internet yang mendukung penelitian. Analisis data menggunakan analisis tabel tunggal dan diinterppretasi sesuai temuan di lapangan

Kuesioner berisi 26 pertanyaan tertutup yang dibuat peneliti dengan indikator operasionalisasi konsep penelitian untuk mengukur frekuensi dan intensitas komunikasi, keterbukaan, sifat positif, kesamaan, empati dan dukungan. Wawancara terdiri dari lima pertanyaan untuk mengetahui situasi komunikasi dan alasan untuk menerima atau tidak nilai yang telah ditanamkan oleh orang tua.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejarah aktivitas manusia berkomunikasi timbul sejak manusia diciptakan hidup di dunia ini. Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dengan manusia lain untuk melangsungkan kehidupannya. Di dalam berinteraksi antara manusia yang satu dengan yang lainnya tidak dapat terlepas dari kegiatan komunikasi. Manusia yang normal akan selalu terlibat komunikasi dalam melakukan interaksi dengan sesamanya sepanjang kehidupannya. Melalui komunikasi pula, segala aspek kehidupan manusia di dunia tersentuh. Dengan berkomunikasi kita belajar tentang banyak hal. Belajar tentang diri sendiri dan orang lain, bergaul, bersahabat, berbagi pengetahuan pengalaman, berkasih sayang, membenci dan melestarikan peradaban manusia.

(13)

Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara individu-individu (Littlejohn, 1999) atau dapat juga di defenisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka (R wayne Pace, 1979). Bentuk khusus dari komunikasi ini adalah komunikasi diadik (Dyadic Communications) yang memiliki ciri pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak dekat mengirimkan dan menerima pesan secara spontan dan simultan.

Komunikasi antarpribadi sangat potensial untuk menjalankan fungsi instrumental sebagai alat untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena kita dapat menggunakan kelima alat indera kita untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang kita komunikasikan kepada komunikan kita. Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna, komunikasi antarpribadi berperan penting hingga kapanpun, selama manusia masih mempunyai emosi. Kenyataannya komunikasi tatap muka ini membuat manusia merasa lebih akrab dengan sesamanya, berbeda dengan komunikasi lewat media massa seperti surat kabar, televisi, ataupun lewat teknologi canggih.

(14)

berpesan panjang lebar sehingga terkadang menimbulkan perbedaan pendapat. (Gunarsa, 2003:80)

Hal yang penting dalam hubungan antarpribadi antara orang tua dan anak adalah bagaimana anak mempunyai persepsi terhadap orang tua dan kemampuan menampilkan diri sebagai orang tua yang baik. Kalau seorang anak beranggapan bahwa orang tua adalah sosok yang memiliki sifat-sifat yang baik, ramah, menyayangi dan sebagainya, biasanya anak akan lebih santai dan lebih antusias didalam berkomunikasi dengan orang tua. Tetapi sebaliknya, bila anak beranggapan orang tua tidak ramah, tidak baik, galak, tidak menyayangi dan sebagainya, akan membuat anak kurang tertarik untuk berkomunikasi dengan orang tua. Orang tua dapat menganggap anak sebagai partner dalam berkomunikasi sehingga antara mereka dapat terjalin komunikai yang baik dan akrab.

(15)

Intensitas komunikasi yang baik antara orang tua dan anak akan merangsang anak untuk membalasnya dengan mewujudkan pada sikap dan perilaku yang baik sesuai dengan harapan orang tua. Salah satunya ialah anak dapat memahami dan mengikuti sejumlah aturan dan nilai – nilai dalam keluarga. Komunikasi antara ayah dengan anak atau antara ibu dengan anak harusnya berlangsung dalam suasana dialogis yang bebas, akrab dan bertujuan serta bertanggung jawab. Di sini komunikasi berlangsung tanpa paksaan. Masing-masing pihak secara bebas dan tanpa tekanan mengungkapkan gagasan dan perasaanya kepada pihak lain. Sebagai pihak penggagas, sang ayah dan ibu tentu tidak mengungkapakan idenya dengan asal bicara tanpa arah. Namun, telah merencanakannya dengan baik, paling tidak mempunyai tujuan untuk mencapai taraf pemahaman pada pihak anak. Bukan sekedar berbagi informasi secara berimbang seperti pada peristiwa dialog antara orang-orang yang ber “level” sama (setingkat). Akan tetapi, di sini lebih dikhususkan pada upaya sang ayah untuk memahamkan anaknya sesuai dengan target atau tujuan yang diinginkannya. Dalam contoh kita tujuannya ialah agar anak memahami pentingnya pemilihan pasangan hidup yang sesuai dan sejalan dengan aturan keluarga.

(16)

komunikasi yang baik agar mampu difahami dengan baik oleh anak apalagi ketika anak telah mempunyai lingkungan pergaulan sendiri dan telah menerima berbagai informasi dari dunia luar.

Mengkomunikasikan nilai – nilai dalam memilih pasangan hidup ini tentu semakin gencar dilakukan keluarga terutama kedua orang tua ketika anak telah beranjak pada usia remaja. Defenisi remaja yang pas sulit ditemukan. Dalam beberapa aturan hukum di Indonesia tidak di ditemukan konsep remaja. WHO menetapkan usia remaja antar 10 – 20 tahun sedangkan PBB 12 – 14 tahun dan pedoman umum yang dipakai masyarakat Indonesia usia 11 – 24 tahun dan belum menikah. Menurut Dra.Yulia Singgih D.Gunarsa & Singgih D.Gunarsa masa remaja pada usia 12 - 22 tahun. Menurut mereka, masa remaja yang cukup panjang ini masih dapat dibagi lagi dalam 3 tahap, yaitu masa persiapan fisik, antara umur 11-15 tahun, masa persiapan diri, antara umur 15-18 tahun, dan masa persiapan dewasa, antara umur 18-21 tahun.

Pada usia remaja banyak waktu yang dihabiskan bersama teman – teman yang merupakan sebuah kelompok kecil yang terdiri dari teman-teman terdekat dibandingkan dengan kedua orang tuanya. Aktivitas dan banyaknya waktu bersama untuk berinteraksi menjadikan hubungan emosional diantara mereka juga besar. Hubungan yang intensif ini pun menularkan sejumlah nilai bersama yang saling mempengaruhi dan pada akhirnya nilai-nilai tersebut menjadi nilai yang disepakati dan dianut bersama. Kelompok pertemanan inilah yang dinamakan peer group. Kita biasa menyebutnya geng. Menurut Santrock, Cartwright, dan Zander peer group

(17)

berbagi dalam mencapai tujuan dan belajar tentang banyak hal seperti organisasi sosial. Peer group yang juga merupakan tempat dimana remaja mengokohkan eksistensi dan jati dirinya. Disatu sisi kelompok ini dapat menjadi rujukan yang positif baginya namun dilain sisi juga dapat menimbulkan efek yang negatif. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan remaja juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga.

Menurut Yulia. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkah laku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi "overacting” dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak. Peran teman sebaya yang mulai ‘menggeser’ peran orang tua sebagai kelompok referensi tidak jarang membuat tegang hubungan remaja dan orang tua. Teman sebaya menjadi ukuran bahkan pedoman dalam remaja bersikap dan berperilaku. Meskipun demikian studi Stenberg menemukan bahwa teman sebaya memang memiliki peran yang penting bagi remaja, namun pengaruh teman sebaya cenderung pada hal-hal yang berhubungan dengan gaya berpakaian, musik dan sebagainya. Sementara untuk nilai-nilai fundamental, remaja cenderung tetap mengacu pada nilai yang dipegang orang tua termasuk dalam pemilihan teman sebaya, biasanya juga mereka yang memiliki nilai-nilai sejenis.

(18)

mempunyai pemikiran dan pertimbangan sendiri baik karena perkembangan intelegensi dan kognitif atau pun karena peer groupnya walaupun dalam diri remaja tersebut telah ditanamkan aturan untuk memilih pasangan yang sesuai dengan aturan keluarga yaitu dengan Sayid atau Syarifah sejak dini. Apalagi di usia ini dorongan untuk menyukai lawan jenis dan cinta mulai tumbuh di hati remaja dan cinta bisa jatuh pada siapa saja.

Keluarga keturunan Sayid dan Syarifah yang disebut alawiyin ini memiliki perkumpulan dengan nama Rabitah Alawiyin dan bagi mereka yang belum menikah secara otomatis akan menjadi bagian dari Himpunan Remaja Alawiyin. Himpunan remaja ini dibentuk antara lain untuk memberikan kelompok atau peer group yang diharapkan dapat memberikan pengaruh positif bagi remaja yang menjadi anggotanya. Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk meneliti komunikasi antarpribadi orangtua dengan anak dalam menanamkan nilai – nilai keluarga untuk memilih pasangan hidup dengan Sayid atau Syarifah pada anggota Himpunan Remaja Alawiyin Medan.

1. 2. Perumusan Masalah

(19)

1. 3. Pembatasan Masalah

Sesuai dengan masalah penelitian yang dirumuskan di atas, selanjutnya peneliti merumuskan pembatasan masalah penelitian. Adapun maksudnya agar permasalahan yang diteliti menjadi jelas, terarah, dan tidak terlalu luas sehingga dapat dihindari salah pengertian tentang masalah penelitian. Maka pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian ini bersifat deskriptif yang yang bertujuan menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta – fakta dan sifat – sifat populasi atau objek tertentu.

2. Nilai keluarga yang diteliti ialah tentang memilih pasangan hidup dengan Sayid atau Syarifah.

3. Objek penelitiannya ialah anggota Himpunan Remaja Alawiyin dimana mereka adalah anak dari keluarga keturuan Sayid dan Syarifah

4. Penelitian ini hanya melihat komunikasi antarpribadi orang tua dan anak melalui pandangan anak sebagai remaja yang dituntut untuk mengikuti nilai -nilai keluarga dalam memilih pasangan hidup.

5. Dalam penelitian ini yang ingin diteliti adalah bagaimana proses orang tua menanamkan dan meyakinkan anak untuk memegang teguh nilai keluarga dan bagaimana anak mengutarakan pendapatnya atau mengatakan isi hatinya pada orang tua serta apakah nilai tersebut diterima anak.

(20)

1. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menggambarkan komunikasi antarpribadi antara orang tua dan anak dalam menanamkan nilai – nilai dalam keluarga

2. Untuk mengetahui bagaimana orang tua berkomunikasi untuk menanamkan nilai nilai dan menyakinkan anaknya

3. Untuk mengetahui bagaimana anak berkomunikasi untuk mengutarakan isi

hatinya pada orang tua.

4. Untuk mengetahui apakah nilai keluarga untuk memilih pasangan hidup dapat diterima anak

1. 4.2 Manfaat Penelitian

a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah

penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU.

b. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khususnya berkaitan dengan kajian studi Ilmu Sosial atau Komunikasi mengenai komunikasi antarpribadi antara orangtua dan anak.

c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pihak – pihak

yang berkepentingan baik bagi orangtua maupun anak.

1. 5. Asumsi – Asumsi Penelitian

Sebelum terjun ke lapangan atau melakukan pengumpulan data, peneliti diharapkan mampu menjawab permasalahan melalui suatu kerangka pemikiran atau

(21)

masalah. Menurut Nawawi (1995:40) setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti.

Wilbur Schramm menyatakan bahwa teori merupakan suatu perangkat pernyataan yang saling berkaitan, pada abstraksi dengan kadar tinggi, dan daripadanya proposisi bisa dihasilkan dan diuji secara ilmiah, dan pada landasannya dapat dilakukan prediksi mengenai perilaku. (Effendi, 2003:241). Senada dengan yang dikatakan Emory-Cooper bahwa teori merupakan suatu kumpulan konsep, defenisi, proposisi, dan variabel yang berkaitan satu sama lain secara sistematis dan telah digeneralisasikan sehingga dapat menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena (fakta-fakta) tertentu.(Umar, 2002: 55) Dalam penelitian ini, teori dan asumsi yang dianggap relevan adalah : komunikasi antarpribadi, komunikasi keluarga, teori kognitivisme, teori disonansi kognitif.

1.51. Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan satu proses sosial dimana orang – orang yang terlibat di di dalamnya saling mempengaruhi (Liliweri,1991:12) Sebagaimana yang diungkapkan oleh Josef A Devito bahwa komunikasi antarpribadi ialah proses penyampaian dan penerimaan pesan diantara dua orang atau kelompok kecil dengan efek dan feed back langsung.

Ciri – ciri komunikasi antar pribadi :

(22)

3. Terjadi secara kebetulan diantara peserta yang tidak mempunyai identitas yang belum tentu jelas

4. berakibat sesuatu yang disengaja maupun tidak disengaja 5. kerap kali berbalas – balasan

6. mempersyaratkan adanya hubungan paling sedikit dua orang, serta hubungan harus bebas, bervariasi, adanya saling keterpengaruhan.

Ciri komunikasi antarpribadi yang efektif menurut Devito dalam Tamsil (2005:30)

1. Keterbukaan (Opennes

2. Positif (

)

Positiveness

3. Kesamaan (

)

Equality

4. Empati (

)

Empathy

5. Dukungan (

)

Supportiveness

).

Sifat – sifat komunikasi antarpribadi menurut Liliweri :

1. Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya prilaku verbal maupun non verbal

2. Melibatkan pernyataan / ungkapan spontan, scripted dan contrived 3. Komunikasi antarpribadi tidaklah satis melainkan dinamis

4. Melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi dan koherensi

(23)

6. Komunikasi antarpribadi menunjukkan adanya suatu tindakan 7. Komunikasi antarpribadi merupakan persuasi antar manusia

1. Tingkat hubungan dan konteks (http://library.usu.ac.id/modules.php)

Jalaludin Rakhmat (1994) meyakini bahwa komunikasi antarpribadi dipengaruhi oleh persepsi interpersonal; konsep diri, atraksi interpersonal, dan hubungan interpersonal. Persepi interpersonal adalah memberikan makna terhadap stimuli inderawi yang berasal dari seseorang (komunikan), yang berupa pesan verbal dan nonverbal. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Konsep diri yang positif ditandai dengan lima hal, yaitu: Yakin akan kemampuan mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

Ruben mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola-pola komunikasi interpersonal sebagai berikut:

Pola yang berkembang akan berbeda pada tingkat komunikasi yang biasa dengan yang intim. Begitu juga konteks akan menentukan pola komunikasi yang tercipta misal di mall yang ramai atau di taman yang sepi.

2. Kebutuhan interpersonal dan gaya komunikasi 3. Kekuasaan

(24)

Komunikasi antarpribadi dipengaruhi atraksi interpersonal dalam hal penafsiran pesan dan penilaian dan efektivitas komunikasi. Atraksi interpersonal adalah kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang. Sedangkan hubungan interpersonal dapat diartikan sebagai hubungan antara seseorang dengan orang lain. Hubungan interpersonal yang baik akan menumbuhkan derajat keterbukaan orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung di antara peserta komunikasi.

Miller (1976) dalam Explorations in Interpersonal Communication, menyatakan bahwa ”Memahami proses komunikasi interpersonal menuntut hubungan simbiosis antara komunikasi dan perkembangan relasional, dan pada gilirannya

(secara serentak), perkembangan relasional mempengaruhi sifat komunikasi antara

pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut.” Lebih jauh, Jalaludin Rakhmat (1994) memberi catatan bahwa terdapat tiga faktor dalam komunikasi antarpribadi yang menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik, yaitu: percaya, sikap suportif dan sikap terbuka. (http://adiprakosa.blogspot.com)

(25)

1.5.2. Komunikasi Keluarga

Sejak awal kehidupannya setiap manusia tidak dapat berdiri sendiri. Manusia yang satu selalu membutuhkan manusia yang lain untuk melangsungkan kehidupannya. Dari hubungan yang saling membutuhkan manusia mempunyai lambang-lambang pesan untuk mempertukarkan informasi di antara sesama. Manusia juga tidak dapat lepas dari hubungan antar sesama manusia, karena manusia mempunyai keluarga tempat dilahirkan, dipelihara, dan dibesarkan. Keluarga merupakan tempat manusia tinggal yang tidak dapat terlepas dari masyarakat tempat keluarga berada. Keluarga punya perangkat nilai dan pengharapan bagi anggota-anggotanya. Keluarga juga punya pengharapan-pengharapan atas komunikasi. Ada saat-saat yang layak untuk membicarakan topik-topik tertentu, isu-isu yang tidak pernah diangkat, anggota-anggota keluarga yang harus didekati atau tidak didekati. Dengan kata lain, setiap keluarga mempunyai pedoman-pedoman mengenai aturan-aturan komunikasi yang dapat dipahami.

Menurut Anita Taylor (dalam Marhaeni, 1996) dijelaskan pengertian keluarga adalah kelompok sosial yang terkecil dalam masyarakat yang mempunyai ciri dan bentuk komunikasi yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya. Perbedaan utama adalah pada situasi komunikasi yang terjadi dengan sangat akrab, keluarga merupakan kelompok dimana seseorang belajar tentang pola dasar untuk berhubungan dengan orang lain, sehingga berfungsi dalam suatu kesatuan sosial.

(26)

lain yang terbentuk dari pengalaman individu dalam lingkungan kebudayaan dari interaksi sosialnya dengan orang lain. Keluarga merupakan pendidikan primer dan bersifat fundamental bagi individu. Di situ seorang anak dibesarkan, memperoleh penemuan-penemuan, belajar hal-hal yang perlu untuk perkembangan selajutnya. Di dalam keluargalah, seseorang pertama kali mendapat kesempatan menghayati penemuan-penemuan dengan sesama manusia, malahan dalam memperoleh perlindungan pertama

Sementara fungsi keluarga dimanfaatkan dalam bentuk :

a. pemenuhan akan kebutuhan pangan, papan, sandang, dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial

b. kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual (Guhardja, 1992;9-10).

(27)

jangka waktu yang lama; yang terikat oleh perkawinan, darah atau komitment, legal

atau tidak; yang menganggap diri mereka sebagai keluarga; dan yang berbagai

pengharapan-pengharapan masa depan mengenai hubungan yang berkaitan”

Setiap anggota keluarga mempengaruhi orang-orang lainnya tapi pada gilirannya dipengaruhi oleh mereka. Diantara banyak variabel yang digunakan para ahli teori untuk menjelaskan keluarga, dua veriabel yang penting adalah kohesi dan adaptasi. Kedua dimensi ini mempengaruhi dan dipengaruhi komunikasi. Kohesi merujuk kepada seberapa dekat keterikatan anggota-anggota keluarga dan adaptasi adalah adaptasi keluarga terhadap perubahan. (Stewart ,1996 :132)

1.5.3. Teori Kognitivisme

Istilah kognitif (Inggeris: cognitive) berasal dari kata Latin cognoscere yang berarti mengetahui (to know) (Bigge, 1982:171). Aspek kognitif ini banyak mempermasalahkan bagaimana orang memperoleh suatu pemahaman akan dirinya serta lingkungannya, dan bagaimana dengan kesadarannya ia bertindak terhadap lingkungannya itu. Dalam hal ini pusat perilaku kesadarannya adalah ide itu sendiri di dalam otak, yang tampak pada perilaku berpikir. Berpikir dapat melahirkan ide-ide baru, dapat menetapkan suatu pilihan, bahkan dapat membuka masalah-masalah baru yang mengundang berpikir-berpikir selanjutnya. Oleh karena itu, berpikir tidak pernah selesai selama hayat masih dikandung badan.

(28)

memikirkan buah apel yang jatuh di dekatnya. Data alam atau katakanlah simbol-simbol alamiah dipikirkannya, diolahnya, dan disesuaikannya dengan pengetahuan yang dimilikinya sehingga menjadi sebuah karya besar yang diakui umat manusia secara luas.

Teori belajar kognitivisme, secara garis besar, para pakar dapat mengelompokkan dalam beberapa prinsip, yakni:

1. Faktor berpikir mempunyai kedudukan yang penting dalam diri setiap orang, dan belajar menurut teori ini merupakan proses berpikir, sedangkan berpikir menggunakan logika. Untuk itu, di dalam praktek di lapangan, seorang komunikator perlu menggunakan suatu pola dan logika tertentu dalam menyampaikan informasinya agar setiap materi atau informasi yang dibicarakannya bisa diterima oleh sasaran dengan pikirannya. Kesamaan berpikir dalam proses komunikasi antara komunikator dan komunikan perlu mendapat perhatian tersendiri karena, tanpa kesamaan ini, kegiatan instruksionalnya akan gagal. Orang komunikasi bilang, tidak ada sharing informasi, komunikasi tidak ”nyambung”. Jika terjadi demikian, maka tidak terjadi proses pembelajaran, yang pada akhirnya proses pembelajaran pun tidak ada.

(29)

3. Adanya perkembangan genetika seseorang sejalan dengan perkembangan intelektualnya, dalam arti bahwa makin tambah usia seseorang, makin meningkat pula kemampuan intelektualnya. Ini berarti komunikator harus bergerak menaik secara hierarkis. Sehingga pihak sasaran menjalani proses belajarnya dengan runtut sejalan dengan perkembangan intelektualnya. Di samping itu, karena perkembangan intelektual seseorang tidak sama merata, maka faktor perbedaan individu perlu diperhatikan. Minat, bakat, kecerdasan, dan motivasi setiap anak yang banyak menentukan keberhasilannya perlu mendapat perhatian tersendiri.

1.5.4. Teori Disonansi Kognitif

(30)

Disonansi kognitif juga mempunyai makna bahwa ada yang tidak seimbang dalam kognitif manusia, oleh karena itu, sistem kognitif kita menuntut untuk menyeimbangkan hal tersebut. Menurut Festinger, ada dua jalan manusia untuk menyeimbangkan disonansi tersebut, yaitu: menambah Informasi, mengubah tingkah laku dirinya sendiri, mengubah tingkah laku lingkungan sekitarnya, mencari informasi tentang hal yang membuat dia berdisonansi atau menghindari Informasi.

Cognitive dissonance terjadi ketika seseorang atau kita dihadapkan kepada dua pilihan yang dua-duanya bagus, dan kita harus menentukan salah satu pilihan tersebut, namun kita tidak yakin atas pilihan itu. Dari situasi seperti itu, kita harus mengurangi atau menurunkan pilihan-pilihan lain supaya dapat menenangkan diri kita sendiri akibat pilihannya itu. Dengan kata lain kita harus yakin bahwa pilihannya tepat, sehingga perasaan kita menjadi tenang. Sikap atau kepercayaan bisa berubah karena adanya terpaan informasi yang selektif dan terus menerus, meskipun untuk kepercayaan, terutama yang berkaitan dengan keyakinan agama, sangat sulit untuk diubah. Sikap dan kepercayaan yang dimaksudkan di sini adalah yang menyangkut suatu yang akan dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Dissonance juga sering muncul dan sering kita alami ketika fenomena atau permasalahan yang kita hadapi dianggap penting, serta pilihan kita menjadikannya sebagai pilihan yang tetap. Misalnya jika salah pilih maka akan rugi seumur hidup, contohnya ketika akan menentukan pilihan pasangan hidup kita karena banyak sekali aspek yang menjadi bahan pertimbangannya.

(http://psyCHaDeicDeE.blogspot.com)

(31)

1. 6. Kerangka Konsep

Kerangka sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dapat mengantar penelitian pada rumusan hipotesis. (Nawawi, 1995:33)

Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak yang dibentuk dengan menggeneralisasikan objek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan. Bungin mengartikan konsep sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama.(Krisyantono, 2007:149)

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesa, yang sebenarnya merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel. Adapun konsep – konsep yang diteliti dalam penelitian ini adalah :Komunikasi antar pribadi, Curhat atau Pengungkapan diri, Penanaman nilai keluarga.

1. 7.Konsep Operasional

(32)
[image:32.595.137.493.92.408.2]

Tabel 1

Operasionalisasi Konsep

Konsep Operasional Operasionalisasi Konsep

Komunikasi Antarpribadi Keterbukaan Positif Kesamaan Empati Dukungan Karakteristik Responden Usia

Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan

1.8. Defenisi Operasional

Menurut Singarimbun (1995:46), defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, defenisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama.

Konsep – konsep dalam penelitian ini dapat didefenisikan sebagai berikut :

(33)

Dimensi yang dipakai untuk mengukur keterbukaan adalah :

• Kesediaan orang tua untuk berbicara dengan anak tentang nilai keluarga

mengenai pernikahan Sayid dan Syarifah

• Kesediaan orang tua untuk meluangkan waktu berbicara dengan anak tentang

nilai keluarga

• Kesediaan orang tua untuk memberikan tanggapan atas komunikasi dengan

anak.

2. Positif : pandangan positif

Dimensi yang dipakai untuk mengukur sikap positf adalah : Sikap yang menyenangkan dari orang tua ketika mengkomunikasikan nlai - nilai dengan anak.

3. Kesamaan : sama-sama bernilai dan berharga. Sama – sama memiliki sesuatu yang penting untuk disumbangan. Dimensi yang dipakai untuk mengukur kesetaraan adalah : orang tua mau duduk dengan anak untuk membahas nilai keluarga.

4. Empati : kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada posisi atau peranan orang lain dan mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami orang lain. Empati Adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa dirinya dalam keadaan, perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.

Dimensi yang dipakai untuk mengukur empati adalah :

• Pengertian dari orang tua terhadap perasaan anak

(34)

5. Dukungan : saling memberikan dukungan terhadap pesan yang disampaikan atau pandangan yang mendukung, membantu bersama-sama.

Dimensi yang dipakai untuk mengukur sikap mendukung adalah : Dukungan dari orang tua kepada anak untuk mau mengemukakan apapun pendapatnya tentang nilai keluarga.

6. Jenis kelamin : Jenis kelamin yang dimiliki oleh responden 7. Usia : Umur responden

8. Pendidikan : Pendidikan terakhir responden 9 Pekerjaan : Pekerjaan responden

[image:34.595.104.510.192.546.2]

1. 9. Model Teoritis

Gambar 1

Model Teoritis

Komunikasi Antarpribadi

Penanaman nilai – nilai keluarga untuk memilih pasangan hidup dengan

Sayid atau Syarifah

Diterima

(35)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1. Komunikasi Antarpribadi

Secara umum komunikasi antarpribadi dapat diartikan sebagai suatu proses pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Komunikasi terjadi secara tatap muka (face to face) antara dua individu. Dalam pengertian tersebut mengandung tiga aspek:

1. Pengertian proses, yaitu mengacu pada perubahan dan tindakan yang

berlangsung terus menerus.

2. Komunikasi antarpribadi merupakan suatu pertukaran, yaitu tindakan menyampaikan dan menerima pesan secara timbal balik.

3. Mengandung makna, yaitu sesuatu yang dipertukarkan dalam proses tersebut, adalah kesamaan pemahaman diantara orang-orang yang berkomunikasi terhadap pesan-pesan yang digunakan dalam proses komunikasi.

Dari ketiga aspek tersebut maka komunikasi antarpribadi menurut Judy C. Pearson memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Komunikasi antarpribadi dimulai dengan diri pribadi (self). Berbagai persepsi komunikasi yang menyangkut pemaknaan berpusat pada diri kita, artinya dipengaruhi oleh pengalaman dan pengamatan kita.

(36)

3. Komunikasi antarpribadi mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antarpribadi. Artinya isi pesan dipengaruhi oleh hubungan antar pihak yang berkomunikasi.

4. Komunikasi antarpribadi mensyaratkan kedekatan fisik antar pihak yang berkomunikasi.

5. Komunikasi antarpribadi melibatkan pihak-pihak yang saling bergantung satu sama lainnya dalam proses komunikasi.

6. Komunikasi antarpribadi tidak dapat diubah maupun diulang. Jika kita salah

mengucapkan sesuatu pada pasangan maka tidak dapat diubah. Bisa memaafkan tapi tidak bisa melupakan atau menghapus yang sudah dikatakan.

Lunandi (1992) menjelaskan bahwa yang dimaksud komunikasi antarpribadi yang baik adalah komunikasi yang mempunyai sifat keterbukaan, kepekaan, dan bersifat umpan balik. Individu merasa puas dalam berkomunikasi antarpribadi bila ia dapat mengerti orang lain dan merasa bahwa orang lain juga memahami dirinya. Lunandi menekankan pentingnya komunikasi antarpribadi dibedakan dari bentuk komunikasi di muka umum dan komunikasi di dalam kelompok kecil. Komunikasi antarpribadi dibatasi pada komunikasi antara orang dengan orang dalam situasi tatap muka. Jadi, sama sekali tidak meliputi telekomunikasi jarak jauh (telepon, telegram, telex) dan komunikasi massa, yang ditujukan kepada sejumlah orang besar orang sekaligus (surat kabar, radio, televisi).

(37)

sangat mempengaruhi manusia itu sendiri. Manusia tergantung terhadap manusia lain karena orang lain juga berusaha mempengaruhi melalui pengertian yang diberikan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Semuanya membentuk pengetahuan, menguatkan perasaan, dan meneguhkan perilaku manusia.

Meskipun demikian banyak ahli akhirnya berpendapat bahwa semua yang menjadi tekanan dalam komunikasi antarpribadi yang akhirnya menuju pada perspektif situasi. Perspektif situasi menurut Miller dan Steinberg (Liliweri, 1991) merupakan situasi suatu perspektif yang menekankan bahwa sukses tidaknya komunikasi antarpribadi sangat sangat tergantung pada situasi komunikasi, mengacu pada hubungan tatap muka antara dua individu atau sebagian kecil individu dengan mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati satu dengan yang lain pada saat itu juga. Berdasarkan pendapat Miller dan Steinberg di atas, maka kedudukan komunikator yang dapat bergantian dengan komunikan pada tahap lanjutan harus menciptakan suasana hubungan antar manusia yang terlibat di dalamnya.

(38)

Dengan demikian aspek psikologis mencakup pengamatan pada dua dimensi, yaitu internal dan eksternal. Namun kita mengetahui bahwa dimensi eksternal tidaklah selalu sama dengan dimensi internalnya. Fungsi psikologis dari komunikasi adalah untuk menginterpretasikan tanda-tanda melalui tindakan atau perilaku yang dapat diamati. Proses interpretasi ini setiap individu berbeda. Karena setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda, yang terbentuk karena pengalaman yang berbeda pula.

2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam komunikasi

antarpribadi

Tampilan komunikasi yang muncul dalam setiap kita berkomunikasi mencerminkan kepribadian dari setiap individu yang berkomunikasi. Pemahaman terhadap proses pembentukan keperibadian setiap pihak yang terlibat dalam komunikasi menjadi penting dan mempengaruhi keberhasilan komunikasi. Realita komunikasi antarpribadi dianalogikan seperti fenomena gunung es (the communication iceberg). Analogi ini menjelaskan bahwa ada berbagai hal yang mempengaruhi atau yang memberi kontribusi pada bagaimana bentuk setiap tampilan komunikasi. Gunung es yang tampak, dianalogikan sebagai bentuk komunikasi yang teramati atau terlihat (visible/observable aspect) yaitu:

1. Interactant, yaitu orang yang terlibat dalam interaksi komunikasi seperti pembicara, penulis, pendengar, pembaca dengan berbagai situasi yang berbeda.

(39)

3. Media, saluran yang digunakan dalam setiap situasi komunikasi.

Sedangkan bagian bawah gunung es yang menjadi penyangga gunung es itu tidak tampak atau tidak teramati. Inilah yang disebut sebagai invisible / unobservable aspect. Justru bagian inilah yang penting. Walaupun tak tampak karena tertutup air, dia menyangga tampilan gunung es yang muncul menyembul kepermukaan air. Tanpa itu gunung es tidak akan ada. Demikian halnya dengan komunikasi, di mana tampilan komunikasi yang teramati atau tampak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak terlihat, tapi terasa pengaruhnya, yaitu:

1. Meaning (makna). Ketika simbol ada, maka makna itu ada dan bagaimana cara menanggapinya. Intonasi suara, mimik muka, kata-kata dan gambar merupakan simbol yang mewakili suatu makna.

2. Learning. Interpretasi makna terhadap simbol muncul berdasarkan pola-pola komunikasi yang diasosiasikan pengalaman, interpretasi muncul dari belajar yang diperoleh dari pengalaman. Interpretasi muncul disegala tindakan mengikuti aturan yang diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman merupakan rangkaian proses memahami pesan berdasarkan yang kita pelajari. Jadi makna yang kita berikan merupakan hasil belajar. Pola-pola atau perilaku komunikasi kita tidak tergantung pada turunan atau genetik, tapi makna dan informasi merupakan hasil belajar terhadap simbol-simbol yang ada di lingkungannya. Membaca, menulis, menghitung adalah proses belajar dari lingkungan formal.Jadi, kemampuan kita berkomunikasi merupakan hasil belajar dari lingkungan.

(40)

decode (menerima dan mengartikan) pesan tidak ada yang benar-benar sama. Interpretasi dari dua orang yang berbeda akan berbeda terhadap objek yang sama.

4. Negotiation. Komunikasi merupakan pertukaran simbol. Pihak-pihak yang berkomunikasi masing-masing mempunyai tujuan untuk mempengaruhi orang lain. Dalam upaya itu terjadi negosiasi dalam pemilihan simbol dan makna sehingga tercapai saling pengertian. Pertukaran simbol sama dengan proses pertukaran makna. Masing-masing pihak harus menyesuaikan makna satu sama lain.

5. Culture. Setiap individu adalah hasil belajar dari dan dengan orang lain. Individu adalah partisipan dari kelompok, organisasi dan anggota masyarakat. Melalui partisipasi berbagi simbol dengan orang lain, kelompok, organisasi dan masyarakat. Simbol dan makna adalah bagian dari lingkungan budaya yang kita terima dan kita adaptasi. Melalui komunikasi budaya diciptakan, dipertahankan dan dirubah. Budaya menciptakan cara pandang (point of view).

6. Interacting levels and context. Komunikasi antarmanusia berlangsung dalam bermacam konteks dan tingkatan. Lingkup komunikasi setiap individu sangat beragam mulai dari komunikasi antarpribadi, kelompok, organisasi, dan massa.

(41)

8. Self reflexivity. Kesadaran diri (self-cosciousnes) merupakan keadaan dimana seseorang memandang dirinya sendiri (cermin diri) sebagai bagian dari lingkungan. Inti dari proses komunikasi adalah bagaimana pihak-pihak memandang dirinya sebagai bagian dari lingkungannya dan itu berpengaruh pada komunikasi.

9. Inevitability. Kita tidak mungkin tidak berkomunikasi. Walaupun kita tidak melakukan apapun tetapi diam kita akan tercermin dari nonverbal yang terlihat, dan itu mengungkap suatu makna komunikasi.

Berbagai aspek yang dibahas di atas menegaskan bahwa suatu proses komunikasi secara fisik terlihat sederhana, padahal jika kita melihat pola komunikasi yang terjadi itu menjelaskan kepada kita sesuatu yang sangat kompleks. Jadi dapat disimpulkan di sini bahwa komunikasi antarpribadi bukanlah sesuatu yang sederhana. Dalam sudut pandang psikologis komunikasi antarpribadi merupakan kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih yang memiliki tingkat kesamaan diri.

Saat dua orang berkomunikasi maka keduanya harus memiliki kesamaan tertentu, katakanlah laki-laki dan perempuan. Mereka secara individual dan serempak memperluas diri pribadi masing-masing ke dalam tindakan komunikasi melalui pemikiran, perasaan, keyakinan, atau dengan kata lain melalui proses psikologis mereka. Proses ini berlangsung terus menerus sepanjang keduanya masih terlibat dalam tindak komunikasi. Saling berbagi pengalaman tidaklah berarti memiliki kesamaan pemahaman atau kesamaan diri yang tunggal tetapi bisa merupakan persinggungan dan sejumlah perbedaan

(42)

Fisher mengemukakan bahwa ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, proses intrapribadi kita memiliki paling sedikit tiga tataran yang berbeda. Tiap tataran tersebut akan berkaitan dengan situasi antarpribadi, yaitu pandangan kita mengenai diri sendiri, pandangan kita mengenai diri orang lain, dan pandangan kita mengenai pandangan orang lain tentang kita. Pentingnya proses psikologis hendaknya dipahami secara cermat, artinya proses intrapribadi dari partisipan komunikasi bukanlah hal yang sama dengan hubungan antarpribadi. Apa yang terjadi dalam diri individu bukanlah komunikasi antarpribadi melainkan proses psikologis. Meskipun demikian proses psikologis dari tiap individu pasti mempengaruhi komunikasi antarpribadi yang pada gilirannya juga mempengaruhi hubungan antarpribadi.

Untuk memprediksi suatu bentuk komunikasi termasuk komunikasi antarpribadi atau bukan perlu dilakukan pemahaman terhadap identifikasi 3 data tingkat informasi, yaitu :

(43)

Masalah yang mungkin terjadi ketika seseorang yang hanya mempunyai data tingkat kebudayaan berhadapan dengan orang lain adalah kesalahpahaman. Ketika berhadapan dengan individu yang spesifik, seseorang harus berhati-hati untuk menerapkan perkiraan tentang orang tersebut berdasar data tingkat kebudayaan. Masing-masing individu yang tergabung dalam suatu kelompok kebudayaan mempunyai kepribadian sendiri-sendiri. Para ahli komunikasi berpendapat bahwa dengan hanya menggunakan strategi yang memiliki data tingkat kebudayaan saja, belum cukup untuk dapat dikatakan mampu berkomunikasi secara interpersonal atau pribadi. Dengan demikian berarti seseorang hanya menggeneralisasi data yang diambil dari sebuah kelompok kebudayaan dan tidak membedakan serta menyesuaikan komunikasi dengan individu yang berbeda-beda.

(44)

setiap kelompok, yang tidak dapat begitu saja diterapkan pada setiap anggota kelompok.

3. Data tingkat psikologis (psychological-level data) Untuk lebih dapat mengenal perbedaan-perbedaan individu dibutuhkan strategi mengenai data tingkat psikologis. Data tingkat psikologis menuntut adanya saling mengenal antar individu yang terlibat di dalam transaksi komunikasi. Walaupun individu mempunyai sekumpulan data mengenai kebudayaan dan sosiologis seseorang tidak dapat memperkirakan perilaku khusus seseorang yang dihadapinya. Informasi mengenai data tingkat psikologis tidak dapat dipisahkan dari proses keintiman yang terjalin, terkadang seseorang memberikan informasi mengenai dirinya sendiri kepada orang lain, dan mendapatkan informasi balik dari orang lain mengenai dirinya. Memperoleh informasi data tingkat psikologis sangat dibutuhkan untuk mengembangkan komunikasi antar pribadi yang terjalin.

(45)

dalam mengumpulkan data tentang seseorang yang sedang dihadapi. Selain kemampuan menganalisis data tingkat psikologis seseorang, di dalam melakukan transaksi komunikasi antarpribadi, juga dibutuhkan kemampuan- kemampuan khusus.

Bochner dan Kelly mengemukakan lima kemampuan khusus di dalam menjalin komunikasi antarpribadi, yaitu :

1. Empati, atau proses kemampuan menangkap hal-hal yang terdapat di dalam komunikasi dengan orang lain melalui analisis isi pembicaraan, nada suara, ekspresi wajah, sehingga seseorang dapat menangkap pikiran dan perasaan yang sesuai dengan orang yang bersangkutan.

2. Diskripsi, kemampuan untuk membuat pernyataan yang konkrit, spesifik, dan diskriptif.

3. Kemampuan merasakan dan memahami pernyataan yang dibuat dan mempertanggungjawabkannya sehingga tidak hanya menyalahkan orang lain terhadap perasaan yang dialami.

4. Sikap kedekatan, keinginan untuk membicarakan perasaan-perasaan pribadi. 5. Tingkah laku yang fleksibel ketika menghadapi kejadian yang baru dialami.

(46)

perasaan negatifnya, dan sedapat mungkin berusaha untuk menghindari berkomunikasi. Individu yang mengalami kecemasan dalam berbagai bentuk, termasuk cemas ketika berkomunikasi antarpribadi sebenarnya berada dalam kondisi emosi yang sama sekali tidak menyenangkan (Spielberger, dalam Post dkk.,1978).

Burgoon dan Ruffner (1978) mengemukakan tentang ciri-ciri kecemasan komunikasi antar pribadi, yaitu ;

a. Tidak berminat untuk berprestasi dalam berkomunikasi (unwillingness). Individu tidak berminat berkomunikasi disebabkan adanya rasa cemas, sifat introvert. b. Penghindaran (avoiding). Individu cenderung menghindar terlibat dalam

berkomunikasi, dapat disebabkan adanya kecemasan, atau kurang informasi mengenai situasi komunikasi yang akan dihadapi.

c. Skill acquisition atau syarat ketrampilan.

2.2. Komunikasi Keluarga

(47)

kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.

Kelompok pertama yang mengenalkan nilai - nilai kebudayaan kepada anak adalah keluarga dan disinilah terjadi interaksi dan pendisiplinan pertama yang dikenalkan kepadanya dalam kehidupan sosial (Khairuddin, 1997:163). Salah satu fungsi keluarga adalah sebagai lembaga sosialisasi nilai budaya yang berlaku di suatu masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Keesing (1992:23) bahwa keluarga merupakan pusat seluruh kehidupan sosial seorang anak, di situ ia diasuh dibesarkan dan dididik tentang kebudayaannya, hubungan seksual dan reproduksi. Karena itu, kelestarian masyarakat terpusat pada keluarga. Melalui internalisasi inilah anak- anak akan diajarkan oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya aturan- aturan atau norma-norma yang harus mereka patuhi.

(48)

Komunikasi keluarga semakin lama semakin menjadi “barang mahal dan barang langka” karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial (hanya sebatas permukaan). Misalnya, pemberitahuan agenda kerja ayah hari ini, rapat di kantor, janji bertemu orang, harus presentasi, atau mungkin membicarakan mengenai teman ayah punya pekerjaan baru, tingkat bunga bank, kurs dollar, situasi politik, kerusuhan yang terjadi di luar daerah, dan lain sebagainya. Sementara ibu membicarakan tentang teman kerja di kantor, rencana bisnis ibu, rencana masak memasak, pertemuan arisan, acara televisi baru, atau membicarakan tentang anak teman ibu yang punya masalah. Anak-anak, punya dunianya sendiri yang sarat dengan keanekaragaman pengalaman dan cerita-cerita seru yang beredar di kalangan teman-teman mereka.

Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya “waktu bersama”, membuat hubungan antara orang tua – anak semakin berjarak dan semu. Artinya, hal-hal yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum selayaknya ngobrol dengan orang-orang lainnya. Akibatnya, masing-masing pihak makin sulit mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada orang tua yang kaget melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan sikap aneh, seperti tidak mau makan, sulit tidur (insomnia), murung atau prestasinya meluncur drastis.

(49)

setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah pada anak-anak mereka.

1. Fokuskan perhatian pada anak

( http://www.e-psikologi.com/anak/100504.htm)

Beberapa cara untuk mengatasi masalah komunikasi keluarga ialah:

2. Re-statement, mengulangi cerita anak untuk menyamakan pengertian 3. Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang dihadapi 4. Bantu anak mendefinisikan perasaan

5. Bertanya

6. Mendorong semangat anak untuk bercerita

7. Mendorong anak mengambil keputusan yang tepat

8. Menunggu redanya emosi anak dan mengajak berpikir positif

(50)

sekedar “terdengar” di telinga kita, akan hilang begitu saja terbawa angin dan tidak memberikan makna serta kontribusi apapun dalam proses pertumbuhan anak.

Orang tua yang pemurung cenderung akan membentuk anaknya menjadi pemurung. Orang tua yang pemarah akan menghasilkan anak – anak yang pemarah. Anak – anak yang sehat (akhlaq/jiwanya) dan bahagia hanya lahir orang tua yang sehat dan bahagia. Untuk membina anak – anak menjadi pribadi yang sehat, bahagia (http: perempuan.com)

Komunikasi yang sehat akan terlaksana dengan sendirinya apabila antara orang tua dan anak ada kedekatan emosi atau kehangatan hubungan. Anak – anak dengan sendirinya akan menjadi pribadi yang dengan senang hati bercerita dan menumpahkan perasaan sedih dan bahagia, keberhasilan dan kegagalannya, serta problem yang dihadapi kepada orangtuanya. Anak- anak tidak akan lari ketempat-tempat komunikasi dan sumber informasi yang salah dan menyesatkan. Untuk mewujudkan komunikasi yang sehat orang tua harus terlebih dulu menjadi "pendengar yang baik" sebelum memberikan tanggapan agar nantinya dapat menjadi "pembicara yang baik". Betapa banyak orang tua yang menuntut anaknya mau menjadi pendengar yang baik tetapi orangtuanya tidak pernah mau bersabar menjadi pendengar yang baik untuk anaknya.

(51)

tidak menuntut banyak persyaratan seperti berpendidikan tinggi dan berharta banyak, akan tetapi lebih bertolak pada kepribadian daripada orang tua. Sejarah membuktikan betapa banyak orang yang baik dan hebat berasal dari keluarga yang sederhana. Wajah orang tua yang bercahaya dan dihiasi senyuman ikhlas yang diberikan kepada anak -anaknya setiap akan berangkat sekolah dan setiap akan tidur jauh lebih berharga dibanding timpalan materi yang diberikan kepada mereka.

1. Kebudayaan bisu dalam keluarga (http://www.biropersonel.metro-polri.net)

Beberapa penyebab masalah komunikasi dalam keluarga yaitu:

Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antaranggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu tersebut justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali batin. Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu terjadi diantara orang yang tidak saling mengenal dan dalam situasi yang perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri. Mereka lebih baik berdiam diri saja.

(52)

dan kebisuannya. Ternyata perhatian orang tua dengan memberikan kesenangan materil belum mampu menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan kedudukannya dengan benda mahal dan bagus. Menggantikannya berarti melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda mati dan menciptakan perang dingin dalam keluarga.

2. Hubungan orang tua dan anak yang tidak harmonis

Menurut penelitian Henker (1983), segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua dengan anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Jika hubungan dengan orang tuanya dulu memuaskan dan membahagiakan, maka kesan emosi yang positif akan tertanam dalam memorinya. Segala emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi atau pola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri atau orang lain.

3. Sikap penolakan orang tua

Kurangnya perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman, dan perhatian. Anak harus bersusah payah dan berusaha mendapatkan perhatian dan penerimaan orangtua, namun seringkali orang tua tetap tidak memberikan respon seperti yang diharapkan. Sikap penolakan yang dialami seorang anak pada masa kecilnya, akan menimbulkan perasaan rendah diri, rasa diabaikan, rasa disingkirkan dan rasa tidak berharga. Perasaan itu akan terus terbawa hingga dewasa, sehingga mempengaruhi motivasi dan sikapnya dalam menjalin relasi dengan

(53)

Beberapa hal yang harus diperhatian agar komunikasi di keluarga bisa efektif yaitu: 1. Respek

Komunikasi harus diawali dengan saling menghargai. Adanya penghargaan biasanya akan menimbulkan kesan serupa (feedback) dari si penerima pesan. Orang tua akan sukses berkomunikasi dengan anak bila ia melakukannya dengan penuh respek. Bila ini dilakukan maka anak pun akan melakukan hal yang sama ketika berkomunikasi dengan orangtua atau orang di sekitanya. 2.

Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri kita pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang lain. Syarat utama dari sikap empati adalah kemampuan untuk mendengar dan mengerti orang lain, sebelum didengar dan dimengerti orang lain. Orang tua yang baik tidak akan menuntut anaknya untuk mengerti keinginannya, tapi ia akan berusaha memahami anak atau pasangannya terlebih dulu. Ia akan membuka dialog dengan mereka, mendengar keluhan dan harapannya. Mendengarkan di sini tidak hanya melibatkan indra saja, tapi melibatkan pula mata hati dan perasaan. Cara seperti ini dapat memunculkan rasa saling percaya dan keterbukaan dalam keluarga.

Empati

3. Audibel

(54)

4. Jelas

5.

Pesan yang disampaikan harus jelas maknanya dan tidak menimbulkan banyak pemahaman, selain harus terbuka dan transparan. Ketika berkomunikasi dengan anak, orang tua harus berusaha agar pesan yang disampaikan bisa jelas maknanya. Salah satu caranya adalah berbicara sesuai bahasa yang mereka pahami dengan melihat tingkatan usia.

Sikap rendah hati mengandung makna saling menghargai, tidak memandang rendah, lemah lembut, sopan, dan penuh pengendalian diri. Rendah hati

Berpikir dapat melahirkan ide-ide baru, dapat menetapkan suatu pilihan, bahkan dapat membuka masalah-masalah baru yang mengundang berpikir-pikir selanjutnya. Oleh karena itu, berpikir tidak pernah selesai selama hayat dikandung

(http://www.republika.co.id)

2.3. Teori Kognitivisme

(55)

badan. Dalam belajar, orang juga menggunakan berpikir, berpikir untuk menggapai sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Jadi, proses belajar dalam kognitivisme ini tidak lagi dipandang sebagai pembentukan perilaku yang diperoleh dari pengulangan hubungan S-R secara kaku, dan adanya penguatan-penguatan, tetapi mencakup fungsi pengalaman perseptual dan prose kognitif yang meliputi ingatan, lupa, pengolahan informasi dan sebagainya.

Cognition diartikan sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh pengetahuan, mengorganisasikan, dan menggunakannya. Kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Sehingga perhatian utama adalah upaya memahami proses individu mencari, menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Belajar kognitif berlangsung berdasarkan schemata atau struktur mental individu yang mengorganisasikan hasil pengamatannya. Struktur mental individu tersebut berkembang sesuai dengan tingkatan perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif seseorang, semakin tinggi pula kemampaun dan keterampilan dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan yang diterimanya dari lingkungan

(56)

dipunyainya sehingga prosesnya menjadi komplek, dan kemudian terjadilah perubahan perilaku.

Membaca pun dapat dikategorikan berpikir, demikian tulis Emmett A. Bett (1967). Bahkan Ruth Strang pada tahun yang sama menambahkan lagi tentang membaca sebagai proses berpikir, yaitu dimulai dengan membaca mengenal kata-kata, menggunakan informasi, dan membaca mengenai paragraf. Tingkatan-tingkatan tersebut pada pelaksanaanya merupakan langkah pergeseran berpikir dari tingkat pemula menuju tingkatan yang lebih tinggi, mulai membaca yang sekedar membunyikan huruf sampai kepada membaca yang bersifat fungsional, yaitu yang dapat memahami arti, bahkan mampu mengembangkan apa yang sedang dibacanya itu. Semuanya itu termasuk ke dalam kategori belajar karena terjadi perubahan perilaku, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan prosesnya disebut proses belajar, proses perubahan perilaku pada seseorang yang terjadi sebagai akibat ia bereaksi terhadap lingkungannya serta sekaligus memikirkan lingkungannya tadi. Inilah pula yang telah diungkapkan oleh Shores (1968), yaitu bahwa “....Reading is still 95 percent of all education’, yang berarti bahwa kegiatan membaca masih merupakan hal yang dominan dalam pendidikan, sekaligus dalam belajar.

(57)

berbagai jenis makanan, artinya tidak semua makanan yang berbau harum merangsang itu lezat. Itu juga sebabnya belajar melalui pengalaman langsung tidak selalu berhasil dengan baik.

Menurut behaviorisme, belajar itu terjadi sebagai akibat lancarnya hubungan S-R yang tampak membiasa dalam proses yang bersifat mekanis otomatis, tanpa menghiraukan fungsi otak, pada kognitivisme justru belajar itu dari otak. Belajar terjadi secara internal di dalam otak manusia, yang meliputi persepsi, motivasi ingatan, lupa dan sebagainya. Oleh karenanya, hasilnya berupa suatu struktur kognitif atas dasar hasil perangkaian pangalaman-pengalaman faktual, bukan pembiasan. Belajar kognitif lebih banyak menekankan adanya pemahaman dalam memecahkan masalah, atau katakanlah berpikir, sedangkan behaviorisme tidak, tetapi titik beratnya pada unsur Trial and error. Coba lagi, gagal lagi, coba lagi gagal lagi, dan seterusnya. Sehingga pada suatu saat si pelaku belajar akan berhasil karena telah memperoleh unsur pengalaman yang sama dengan “percobaan-percobaan” yang pernah dilakukan sebelumnya.

Berbagai teori belajar yang didasarkan atas kognitivisme banyak dikembangkan orang diantaranya ialah teori perkembangan genetik dari Piaget, teori belajar kognitif dari Bruner, dan teori perkembangan intelektual dari Gagne meskipun sebenarnya masih tergolong ke dalam aliran behaviorisme, lengkapnya behaviorisme eklektik (behavioristic electic psychology). Teori-teori tersebut mempunyai pandangan yang berbeda satu sama lain meskipun masih dalam kategori kognitif, atau campuran kognitif-behaviorisme.

(58)

susunan selnya, dan dengan demikian makin meningkat pula kemampuannya (Traves, 1976). Menurutnya, istilah genetic sama dengan developmental, sedangkan epistemologi berarti teori untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi genetika (genetic epistemology), sebagaimana nama teorinya, merupakan suatu studi tentang tahap-tahap perkembangan anak dalam kaitannya dengan pemerolehan pengetahuan (Bigge, 1982:18).

Perkembangan mental katanya terdiri dari perangkaian tiga tahap atau masa yaitu tahap sensorimotorik, simbolik atau praoperasional konkret dan operasional konkret. Setiap langkah mengembangkan tahap-tahap terdahulu, membangun kembali pengetahuan dengan tingkat yang baru sampai dapat melampaui tahap-tahap sebelumnya. Sesuai dengan anggapannya, belajar dalam hal ini merupakan proses yang mengikuti aturan-aturan dan pola tertentu, sejalan dengan perkembangan usia. Dimulai dengan pola belajar dengan tingkatan yang paling sederhana, terus meningkat kepada pola-pola belajar yang semakin mengompleks. Dari belajar sekedar mengenal benda-benda yang ada di sekitarnya secara sederhana, sampai kepada belajar berpikir untuk memecahkan masalah tentang benda-benda tadi.

Pekembangan dalam belajar harus dimulai dengan yang mudah-mudah, tidak bisa melompat, dan harus berurutan sejalan dengan tingkatan-tingkatan. Sebelum masuk SLTP disyaratkan melalui SD terlebih dahulu. Begitu pula, agar bisa mengikuti pelajaran di Perguruan Tinggi, seseorang harus sudah lulus SLTA dahulu. Hal ini demikian sebab tingkatan-tingkatan pelajaran yang dirancangnya semakin menyulit pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi.

(59)

enactif, iconic, dan simbolic. Tahap enactif menunjukan seorang anak secara aktif melakukan kegiatan dalam usahanya memahami lingkungannya. Perhatian anak tampak tunggal atau satu hal saja, misalnya anak asyik bermain simpul-simpul visual, namun belum mampu menerangkan konsepnya. Sedangkan yang terakhir, simbolik, menunjukan seorang anak mulai menggunakan simbol-simbol yang lebih banyak dari pada kedua tahap sebelumnya. Pada tahap ini seorang telah mempunyai daya imajinasi yang tinggi, mampu menangkap simbol-simbol abstrak, dan belajarnya pun sudah menggunakan konsep-konsep yang abstrak untuk kemudian menyusunnya menjadi prinsip yang mantap.

Belajar seseorang dimulai dengan mengenal konsep-konsep yang lebih rumit. Sebelum seorang anak belajar memecahkan masalah sebagai kegiatan belajar yang lebih sulit, dia perlu mengetahui konsep-konsep dan prinsip-prinsip lebih dahulu karena pengetahuan akan konsep dan prinsip mendasari belajar memecahkan masalah. Selanjutnya Brunner mengatakan bahwa kematangan intelektual seseorang dicirikan dengan mulai meningkatnya ketidakbergantungan orang tersebut terhadap stimulus yang ada serta pertumbuhan tersebut bergantung pada kemampuan internal orang yang bersangkutan dalam menyimpan dan memproses informasi yang datang dari luar. Tampaknya orang dewasa lebih mampu bermandiri daripada anak-anak sebab kemampuan intelektualnya sudah matang.

(60)

secara genetik. Kalau Piaget mengatakan bahwa perkembangan kognitif seorang anak berpengaruh terhadap perkembangan bahasanya, menurut Brunner justru sebaliknya, yakni perkembangan bahasa si anak berpengaruh terhadap perkembangan kognitifnya (Hilgard dan Bower, 1981, yang dikutip oleh Soekamto, 1986).

Semakin tinggi kemampuan inteletual seseorang, semakin mampu orang tersebut menangkap simbol-simbol abstrak melalui bahasa, atau semakin mampu dia berbahasa secara simbolik. Namun, semakin tinggi kemampuan berbahasa seseorang semakin tinggi pula kemampuan kognitifnya. Sulit untuk menentukan mana yang benar, konsep Brunner atau Piaget, Yang penting justru konsep-konsep tersebut hendaknya dimanfaatkan untuk membantu memahami kondisi anak. Kalau kita mengetahui kemampuan berbahasa dapat meningkatkan perkembangan intelektual, maka melalui penggunaan bahasa yang baik dan benar dengan prinsip-prinsip penerapan berbahasa “tingkat tinggi”, anak diharapkan dapat meningkatkan wawasan sasaran mengenai lingkungannya.

Teori berikutnya tentang belajar ialah teori perkembangan ketrampilan dari Gagne. Ia menyebutkan adanya tahap-tahap perkembangan intelektual seseorang dalam kaitannya dengan belajar. Tahap-tahap tersebut bersusun secara hier

Gambar

Tabel 1  Operasionalisasi Konsep
Gambar 1 Model Teoritis
Gambar 3
Tabel 3 Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan menurut (Sagala, 2010:12) ranah afektif adalah kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari

Perlakuan dari ketiga media tanam dan sistem fertigasi yang digunakan pada penelitian tersebut merupakan kombinasi yang tepat sehingga berpengaruh terhadap hasil tanaman

Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan keterampilan dalam pembuatan telur asin ditambah varian rasa pada kelompok sasaran ibu-ibu rumah tangga di desa

Bakteri endofit yang diisolasi dari daun jeruk keprok varietas Madura yaitu ada 9 macam koloni bakteri dan di karakteristikkan dengan media PCA, NA dan MCA

Mikäli pienten yritysten omistajat ovat sitä mieltä, että tilintarkastus parantaa taloudellisen informaation laatua ja luotettavuutta, voidaan ajatella, että he

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) model problem based instruction dan mind mapping memberikan hasil belajar yang baik (2) ada tidaknya perbedaan hasil

Metode yang digunakan adalah simulasi komputerisasi dengan SAP 2000 versi 14 terhadap 5 sampel untuk mendapatkan ukuran jarak lubang yang optimum pada balok baja profil I dengan

Jurnal dan Skripsi Ainy, Qurrotu, Studi Komparasi prestasi Maharoh Qiro’ah Bahasa Arab Santri Tahfidz dan Santri Nontahfidz di Kelas Marhalah 2 Madrasah Diniyah Nurul Ummah