• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Hak Asasi Manusia

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 47-58)

Terkait dengan pembahasan HAM terdapat beberapa teori tentang HAM, yaitu teori kodrati (natural rights theory) dan teori positivisme (positive theory). Teori hak kodrati menilai HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang setiap saat dan di semua tempat oleh karena manusia dilahirkan sebagai manusia. Hak tersebut termasuk hak hidup, kebebasan dan harta kekayaan/hak milik seperti yang diajukan oleh John locke. Pengakuan tidak diperlukan lagi bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari suatu sistem hukum, karena HAM bersifat “universal”. Berdasarkan alasan tersebut ini, sumber HAM sesuangguhnya semata-mata berasal dari manusia.169

Teori hak kodrati inipun sesungguhnya bersumber dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang dapat diruntut kembali sampai jauh kebelakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tuisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.170 Hugo de Groot (Grotius) mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Thomas Aquinas.

John Locke pun mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan John Locke yang kemudian melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika

168Ibid, hlm. 39-41.

169Todung Mulya Lubis, In search of Human Rights Legal Political Dilemmans of Indonesia‘s New Order, 1966-1990, Gramedia, Jakarta, 1993, Hal. 15-16. Teori ini terkait denga teori “kontrak sosial”.

170 Rhona K. M. Smith dalam Osgar S. Matompo, Muliadi, Andi Nurul, op cit, hlm. 10.

Serikat dan Prancis abad ke-17 dan ke-18.171 Tulisan Jonk Locke tersebut,

Man being born, as proved, with a little to perfec freedom and uncon trolled enjoyment of all the rights and priviliges of the law of nature equally with any other man or number of men in the world, has by nature a power not only to preserve his property that is, his life, liberty, and estate against the injuries and attempts of other men, but the judge and punish the breaches of that law and others as he is persuaded the offens deserves, even death itself in crimes where the heinousness of the fact in his opinion requires it.

(manusia yang terlahir, sebagaimana terbukti, dengan sedikit untuk menyempurnakan kebebasan dan tidak menikmati kesenangan semua hak dan hak istimewa dari hukum alam sama dengan manusia atau jumlah manusia lainnya di dunia, pada dasarnya memiliki kekuatan bukan hanya untuk melestarikan harta miliknya yaitu, nyawanya, kebebasannya, dan harta bendanya terhadap luka-luka dan upaya orang lain, tetapi hakim dan menghukum pelanggaran hukum itu dan orang lain sebagaimana ia diyakinkan yang layak diterima, bahkan kematian itu sendiri dalam kejahatan di mana kekejaman fakta dalam pendapatnya membutuhkannya).

Pemaparan John Locke dapat diambil kesimpulan, bahwasanya manusia dilahirkan telah memiliki hak-hak atas kebebasan dan kenikmatan sepenuhnya dari hukum alam, yang pada saat itu dikenal dengan HAM. Semua manusia dikarunia oleh alam, hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan. Perlindungan ini kemudian secara kontrak sosial diserahkan kepada negara.

Teori Hak Kodrati mendapat pertentangan dari para penganut positivis. Keberaaan utama teori HAM ini adalah karena hak kodrati sebenarnya dianggap tidak jelas. Menurut positivisme suatu hak mestilah berasal dari sumber yang jelas, seperti dari peraturan perundang-undangan atau konstitusi yang dibuat oleh suatu negara.

Dengan perkataan lain, jika pendukung hak-hak kodrati menurunkan gagasan mereka tentang hak iu dari Tuhan, nalar atau pengendalian

171 Ibid.

moral yang apriori, hukum positif berpendapat bahwa eksistensi hak hanya dapat diturunkan dari negara hukum.172

Pertentangan ini khususnya terjadi pada abad 19 salah satunya oleh Jeremy Bentham, yang menyatakan bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bentham mengatakan bahwa hak sebagai kata benda adalah anak kandung dari hukum, hak-hak kodrati adalah omong kososng, hak yang kodrati dan tidak bisa di cabut adalah omong kosong.173

Perkembangan tantang teori HAM selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham demokrasi dan liberalisme.174 Situasi tersebut mempengaruhi muncul dan berkembangnya teori universalisme yang memiliki semboyan “all human rights for all”.

HAM bersifat universal, dimiliki oleh indvidu terlepas dari nilai-nilai atau budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau negara.

Sehingga HAM tidak memerlukan pengakuan dari siapapun. Teori universalisme melahirkan 2 (dua) pandangan yang berbeda,

a) Universal absolut, memandang HAM sebagi nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam The International Bill of Right, yang tidak menghargai sama sekali profil budaya yang melekat pada masing-masing bangsa. Penganut pandangan ini adalah negara maju;

172Scott Davidson, Hak Asasi Manusia Teori dan Pratek dalam Pergaulan Internasional, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2008, hlm. 40.

173 Rhona K. M. Smith dalam , Osgar S. Matompo, Muliadi, Andi Nurul, op cit, hlm. 12

174Liberalisme adalah ideologi yang bertumpu pada falsafah individualisme, satu pandangan yang mengedepankan kebebasan orang per orang. Individual dengan segala kemampuan/kebebasannya diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengaktualisasikan dirinya dengan maksimal. “liberals regards man as a rational creature who can use his intellegence to overcome human and natural obstacles to a good life, without resorting intellegence againts the established order. Liberalism is more corcerned with process, with the method of solving problems, that with a specific program”. J. Plano dalam Masyur effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 18.

b) Universal relatif, melihat persoalan HAM sebagai persoalan universal dan melihat dokumen-dokumen tentang HAM bagai acuan penting.

Pandangan HAM Universal tersebut mendapat pertentangan dari penganut sosialis. HAM Universal dinilai mengutamakan individualisme. Benturan ideologis antara klasik HAM (penganut demokrasi liberal) dan konsep HAM di Timur (negara-negara sosialis). Melahirkan persepsi HAM yang berbeda yang memunculkan teori relativitas budaya (cultural relativist theory).

Keberatan lainnya datang dari relativitas budaya (cultural relativist theory) yang memandang hak-hak kodrati dan penekanannya pada universalitas sebagai suatu pemaksaan atas suatu budaya terhadap budaya yang lain yang diberi nama imperialisme budaya (cultural imperalism).175 Menurut penganutnya tidak ada suatu hak yang bersifat universal. Mereka merasa bahwa teori hak kodrati mengabaikan dasar sosial dari identitas yang dimiliki oleh individu sebagai manusia, manusia selalu sebagai produk dari lingkungan sosial dan budaya dan tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang memuat cara-cara yang berbeda menjadi manusia.

Secara teoritis terdapat dua kelompok penganut relativisme budaya, yaitu.176

a) Partikularistik absolut, melihat HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa tanpa memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap berlakunnya dokumen-dokumen internasional;

b) Partikularistik relatif, melihat persoalan HAM sebagai bagian dari persoalan universal juga merupakan masalah internasional yang harus diselaraskan memperoleh

175Todung Mulya Lubis, op. cit , hlm. 19.

176Rahayu, op. cit, hlm. 8-10.

dukungan serta melembaga dalam masyarakat bangsa tersebut.

Bedasar kedua definisi, dapat disimpulkan bahwa esensi HAM merupakan suatu hal yang bersifat universal, mengingat sifatnya yang melekat (inherent). Konsekuensi dari hak tersebut, yaitu, karena HAM merupakan karunia Tuhan dan bukan merupakan pemberian dari orang atau penguasa, maka orang atau penguasa tidak berhak untuk merampas atau mencabut HAM seseorang. Disamping itu, HAM mengatasi batas-batas geografis maupun adanya perbedaan-perbedaan ras, jenis kelamin, agama, bahasa, atau budaya yang melekat pada diri seseorang.

Sedangkan menurut aktulisasi HAM-nya adalah bersifat parikular, artinya pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang bersifat lokal. Sifat partikular HAM merupakan kompleksitas HAM yang multidimensi, artinya HAM mengandung banyak elemen didalamnya, seperti politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya. Oleh karena itu, pelaksanaannya pun disesuaikan dengan elemen-elemen tersebut yang bersifat lokal.

Masalah universal HAM adalah menyangkut esensi dari HAM, sedangkan partikular HAM adalah masalah aktualisasi dari HAM.177

f. Teori Kelompok Minoritas

Kelompok minoritas menjadi entitas sosial yang tidak dapat dinafikan keberadaannya, hampir di setiap negara. Keminoritasan jamak dimaknai karena keberbedaan dari yang mayoritas atas dasar identitas, baik agama, bahasa, etnis, budaya atau pilihan orientasi seksual.

Jumlahnya pun biasanya tidak sebanyak bila dibandingkan dengan penduduk di suatu negara. Oleh karenanya, kelompok minoritas berada

177Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Rajawali Pers, ed.1 cet 1 Jakarta, 2015, hlm. 21.

pada posisi yang tidak dominan. Posisi yang subordinat ini membuat hubungan solidaritas antar anggota amat kuat guna mempertahankan identitas mereka.178 Kelompok yang berhasil dalam proses penguatan identitas tersebut karena adanya dukungan sosial, baik dengan pertimbangan kuantitas ataupun kualitas, cenderung akan memproklamirkan diri sebagai kelompok mayoritas yang disadari atau tidak disadari akan memunculkan pula kelompok minoritas sebagai kelompok yang umumnya dianggap sebagai komunitas sosial kelas dua yang berada di bawah pengaruh kelompok mayoritas dalam berbagai dimensi kehidupan sosial.179

Graham C. Lincoln mendefinisi kelompok minoritas sebagai kelompok yang dianggap oleh elit-elit sebagai berbeda dan/atau inferior atas dasar karakteristik tertentu dan sebagai konsekuensi diperlakukan secara negatif. Yap Thiam Hien mengatakan, minoritas tidak ditentukan jumlah, tapi perlakuan yang menentukan status minoritas. Menurutnya suatu jumlah besar bisa mempunyai status minoritas seperti halnya rakyat Indonesia di zaman kolonial, di mana sejumlah kecil orang Belanda mempunyai kedudukan „dominan‟ grup. 180

Definisi lain diberikan oleh Francesco Capotorti tentang kelompok minoritas, sebagai:

A Group, numerically inferior to the rest population of a state, in a non –dominant position, whose members– being national of the state posses ethnic, religious or linguistic characteristic differing from those of the rest of the population and show, if only implicity, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religioun and languange.181

(Sebuah kelompok, yang secara numerik kalah dibandingkan dengan sisa populasi suatu negara, dalam posisi non-dominan,

178 Yogi Zul Fadhli, “Kedudukan Kelompok Minoritas dalam Perspektif HAM dan Perlindungan Hukumnya Di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, 2014, hlm. 355

179 Syarifuddin Latif, Meretas Hubungan Mayoritas-Minoritas Dalam Perspektif Nilai Bugis, Jurnal Al- Ulum, Volume. 12, Nomor 1, Juni 2012, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone, hlm. 97-116

180 Yogi Zul Fahdli, op. cit, hlm. 356.

181 Francesco Capotorti dalam Minority Rights: International Standards And Guidance for Implementation, United Nations Human Rights, New York 2010, hlm. 2.

yang anggotanya- menjadi warga negara dari negara memiliki karakteristik etnis, agama atau bahasa yang berbeda dari orang-orang dari sisa populasi dan menunjukkan, jika hanya implikasinya , rasa solidaritas, diarahkan untuk melestarikan budaya, tradisi, religioun dan bahasa mereka).

Sudut pandang sosiologi, mengartikan kelompok minoritas sebagai kelompok yang paling tidak memenuhi tiga gambaran berikut; pertama, anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka; kedua, anggotanya memiliki solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; ketiga biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar.

Pandangan HAM, antara kelompok mayoritas dan minoritas memiliki kedudukan yang sama serta hak yang sama, hanya saja yang membedakan kedua kelompok ini adalah budaya, bahasa, suku, ras dan warna kulitnya. Menurut A.H Birch dapat dibedakan menjadi lima

Positive rights Law Residents in the relevant

(speculative political rights

groups within the state

Human rights The essential needs of

All human beings

Clive Baldwin, Chris Chapman and Zoë Gray menjelaskan bahwa perlindungan hak-hak minoritas bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik antara minoritas dan pemerintah setempat di mana hak-hak minoritas tersebut mencakup empat kategori utama yaitu eksistensi, identitas, diskriminasi, dan partisipasi.183 Eksistensi adalah hak bagi kelompok minoritas untuk diakui keberadaannya dan dikenali sebagai sebuah identitas yang berbeda, seperti mereka memandang diri mereka sendiri sebagai suatu bangsa yang utuh. Identitas di mana kelompok minoritas berhak untuk dilindungi identitasnya secara penuh, baik itu identitas etnis, budaya, bahasa, maupun agama. Selain itu kelompok minoritas berhak untuk mempraktekkan kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki secara bebas dan mendapat dukungan dari otoritas yang berwenang serta terhindar dari paksaan untuk mengakui identitas mereka sebagai kelompok mayoritas. Minoritas yang memiliki kesempatan untuk mengembangkan identitasnya memiliki kecenderungan untuk lebih setia kepada negaranya dibandingkan minoritas yang tidak memiliki kesempatan mengembangkan identitasnya. Keadilan bagi kelomok minoritas, bahwa kelompok minoritas berhak untuk diperlakukan secara adil terlepas dari perbedaan-perbedaan yang dimiliki. Partisipasi menempatkan setiap orang memiliki hak untuk memengaruhi keputusan yang akan memengaruhi mereka, termasuk keputusan dalam bidang politik dan ekonomi.

Sejalan dengan pengakuan terhadap kelompok minoritas, bahwa didalam HAM terdapat pula prinsip non diskriminasi. Prinsip non diskriminasi merupan salah satu prinsip yang terus diperjuangan oleh

183 C. Baldwin, C. Chapman and Z. Gray, Minority Rights: The Key to Conflict Prevention, 2007, London, Minority Rights Group International, hlm. 5.

penggerakan HAM. Non dikriminasi merupakan keadaan yang melawan tindakan diskriminasi. Keberadaan kelompok minoritas sangat dekat dengan perlakuan diskriminasi. Diskriminasi terjadi ketika setiap orang diperlakukan atau memiliki kesempatan yang tidak setara seperti inequelity before the law, inequelity of treatment, inequelity or education opportunity dan lain-lain. Diskriminasi kemudian dimaknai sebagai “ a situation is discriminatory of inequal if like situations are treated differently or different situation are treated similarly” (sebuah situasi dikatakan diskriminatif atau tidak setara jika situasi sama diperlakukan secara berbeda dan/atau situasi berbeda diperlakukan secara sama).

Diskriminasi memiliki dua bentuk yaitu (1) diskriminasi langsung, yaitu ketika seseorang baik langsung maupun tidak langsung diperlakukan secara berbeda daripada lainnya, sedangkan (2) diskriminasi tidak langsung, yaitu ketika dampak praktis dari hukum dan/atau kebijakan merupakan bentuk diskriminasi walaupun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi.184

Prinsip non diskriminasi memastikan tidak seorangpun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan lainnya. Prinsi non diskriminasi menjadi konsep sentral dalam kaidah hak asasi manusia.

Prinsip non diskriminasi di atrur di dalam berbagai instrumen internasional, antara lain termuat dalam.

1) Piagam PBB Pasal 1 ayat 3, di mana organisasi PBB dan anggotanya mempunyai tujuan, ”mengadakan kerjasama internasional guna memecahkan persoalan-persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar seluruh umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.” Dilengkapi dengan Pasal 55 huruf c mengamanahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa memajukan, ”penghormatan hak asasi manusia seantero jagad demikian pula

184 Yogi Zul Fadhli, op. cit, hlm. 357

pengejawantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.”

2) Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia pada Pasal 2 ”Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat dalam deklarasi ini tanpa pengecualian apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun status lainnya. Pasal 6 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia ”Setiap orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi”.

3) Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dalam Pasal 2 ayat 2, “Negara-negara pihak dalam kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang tercantum dalam kovenan ini akan diberlakukan tanpa adanya pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kepemilikan, keturunan atau status lain.”

4) Kovenan Hak Sipil dan Politik pada Pasal 2 ayat 1 ”Setiap negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak yang diakui dalam kovenan ini bagi semua individu yang berada di dalam wilayahnya dan berada di bawah yurisdiksinya, tanpa pembedaan jenis apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asalusul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya”.

Penggunaan prinsip non diskriminasi tidak hanya terdapat dalam instrumen HAM internasional, di dalam Instrumen HAM nasionalpun yang sebagain juga mengadopsi instrumen HAM Internasional. Didalam Konstitusi pasca amandemen, penguatan atas prinsip non diskriminasi tercantum di dalam Pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Indonesia pada Pasal 28 D yang berbunyi : ”(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28 I ayat (2) yang menyatakan: “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Pengaturan atas penerapan prinsip non-diskriminasi bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dan diperlakukan sama. Hal ini berlaku pula bagi kelompok-kelompok minoritas yang ada. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)menyebtkan beberapa alasan diskriminasi antara lain, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, atau opini lainnya, nasional atau kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda, kelahiran atau status lainnya. Semua hal tersebut merupakan alasan seeorang diperlakukan secara diskrimintif. Sehingga semakin banyak instrument yang memperluas alasan diskriminasi termasuk didalamnya yaitu orientasi seksual, unsur dan cacat tubuh.

Kelompok LGBT memang tidak disebutkan secara tegas sebagai bagian kelompok minoritas, seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang hanya menyebut kelompok rentan namun tidak menyebut LGBT sebagai bagian dari kelompok rentan tersebut. Dalam Pasal 5 ayat 3 “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”, begitupula dalam penjelasan pasal tersebut. Namun dalam keterangannya Komnas HAM justru menyatakan bahwa “LGBT rights is human rights”, yang artinya bahwa hak- hak LGBT merupakan bagian dari HAM. Dan Komnas HAM terus mengupayakan kelompok LGBT sebagai bagian dari kelompok minoritas.185 Jika LGBT diakui sebagi kelompok minoritas, akhirnya akan memperoleh perlindungan khusus agar tidak mendapat perlakuan yang diskriminatif. Sebagaimana Pasal 28 I ayat 2 UUD NRI 1945. Tentunya didukung pula oleh gerakan-gerakan LGBT.

185 Arus Pelangi, Kewajiban Negara Melindungi Minoritas LGBT di Era Kecemasan, terdapat dalam https://aruspelangi.org/articles/kewajiban-negara-melindungi-minoritas-lgbt-di-era-kecemasan/. Diakses 10 Februari 2019, pukul 22.00 WIB.

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 47-58)

Dokumen terkait