• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Penawaran Tenaga Kerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Teori Penawaran Tenaga Kerja

Ada dua kategori dalam masalah penawaran tenaga kerja, yaitu (Ehrenberg dan Smith, 2003):

a. keputusan individual untuk membagi waktunya antara bekerja atau leisure. Ini berkaitan dengan partisipasi individu dalam angkatan kerja. Bekerja part-time atau full-time work, waktu di rumah dan bekerja untuk dibayar.

b. Keputusan untuk menerima suatu pekerjaan dan masalah bekerja di lain geografi/wilayah.

2.3.1. Keputusan Bekerja-Bersenang-senang (Work- Leisure)

Bekerja (work) merupakan waktu yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan, leisure merupakan waktu yang digunakan tidak menghasilkan pembayaran dari pekerjaan yang dilakukan tersebut. Untuk mendapatkan suatu informasi tentang optimal pembagian waktu

bekerja dan leisure, dapat dilihat pada indifference curve (preferensi individu untuk bekerja) dan budget constrain (Borjas, 2005).

G H O T Y E X U1 U0 U2 Hours of Leisure Konsumsi G H O T Y E X U1 U0 U2 Hours of Leisure Konsumsi

Gambar 2.3 Reservation Wage Sumber: Borjas, 2005

Gambar 2.3 memberikan ilustrasi tentang keputusan individual untuk bekerja. Pada titik X individu memutuskan tidak akan bekerja. Karena pada titik X indifferent curve-nya masih lebih rendah dari E. Atau sepanjang budget constraint G, indifferent curve-nya akan selalu lebih rendah atau minimal sama dengan indifferent curve yang terjadi pada titik E.

Titik E adalah titik terjadinya reservation wage atau merupakan titik gaji terendah yang dapat diterima pekerja untuk bekerja. Titik E menjelaskan juga bahwa seseorang masih dapat mengkonsumsi tanpa bekerja karena masih ada penghasilan mereka dari nonlabor income.

Titik Y merupakan titik singgung budget constraint H dengan indifference curve U2. Titik Y merupakan titik yang memberikan utility lebih tinggi dari titik E.

Sumber: Borjas, 2005

Karena tingkat utility di titik Y lebih tinggi dari titik E maka individu akan memutuskan untuk bekerja. Atau dengan kata lain sepanjang budget constraint H individu akan memutuskan untuk bekerja. Karena sepanjang garis tersebut utility pekerja akan lebih tinggi dari pada titik E atau gaji yang diterima lebih tinggi dari reservation wage (Borjas, 2005).

Titik singgung indifferent curve dengan budget line merupakan titik optimum seseorang untuk bekerja, di mana perpaduan antara utility individu dan kendala yang dihadapi (Borjas, 2005).

U = f (C, L)………(1)

Di mana: C= konsumsi barang

L= leisure

Utility maksimum dapat tercapai bila ∆C∕∆L═ - MUL∕MUC, artinya konsumsi dapat dipertukarkan dengan leisure. Untuk mengkonsumi barang tentunya individu harus bekerja. Bekerja dan leisure dua hal yang dapat dipertukarkan dan sekaligus memiliki trade-off antara keduanya (Borjas, 2005).

Sedangkan budget constraint dapat dirumuskan dengan (Borjas, 2005),

C = wh + V .………..(2)

Misalkan T = h + L, maka C = w(T-L) + V atau

C = (wT+V)-wL .………..(3)

Di mana:

C= konsumsi barang w = upah

T = total waktu

h = waktu untuk bekerja V= nonlabor income L = leisure

Dari persamaan (3) di atas, dapat ditarik kesimpulan tanpa bekerja pun seseorang masih dapat mengkonsumsi barang. Penghasilan yang digunakan untuk konsumsi berasal dari penghasilan yang dihasilkan tanpa bekerja atau pada titik tersebut disebut endowment point.

Keputusan individu untuk menambah jam kerja dipengaruhi oleh perubahan (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999):

a. Income effect. Individu akan mengurangi jam kerjanya bila income meningkat tetapi wage rate konstan.

b. Substitution effect mengindikasikan perubahan keinginan menambah jam kerja karena perubahan wage rate tetapi income konstan.

c. Jika substitution effect lebih dominan dari income effect, keinginan individu untuk bekerja menjali lebih lama, saat wage rate meningkat. Sebaliknya, jika income effect lebih besar dari substitution effect, kenaikan wage rate akan menyebabkan keinginan untuk bekerja semakin sedikit.

Wage elastisity of labor supply (Es) merupakan persentase perubahan dalam kuantitas dari penawaran tenaga kerja dibagi dengan persentase perubahan dalam wage rate. Bila elasitas (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999):

b. Es<1, relative inelastis c. Es>1, relative elastis

-L*

W*

Hours of Worker Wage Rate

-L*

W*

Hours of Worker Wage Rate

Gambar 2.4 Backward Bending Labor Supply Curve Sumber: Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999

Kenaikan tingkat upah tenaga kerja awalnya akan menambah keinginan waktu bekerja individu. Namun kenaikan gaji akan mencapai titik optimal. Gaji naik di atas titik optimal justru akan mengurangi keinginan individu untuk bekerja (income effect). Ini dikenal dengan backward-bending labor supply curve (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999).

2.3.2. Konsep Penawaran Tenaga Kerja

Konsep penawaran tenaga kerja (labor supply) memiliki beberapa dimensi antara lain yaitu (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999):

a. Ukuran dan komposisi demografi populasi yang tergantung pada kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk (net immigration);

Sumber: Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999

b. Tingkat partisipasi angkatan kerja (labor force participation rate), merupakan tingkat persentase working-age populasi dengan actual working atau seeking work;

c. Jumlah jam kerja per minggu atau per tahun, dan d. Kualitas angkatan kerja.

2.3.3. Partisipasi Angkatan Kerja

Tingkat partisipasi angkatan tenaga kerja (the labor force participation) merupakan nilai perbandingan antara actual labor force dengan potensial labor force. Actual labor force adalah angkatan kerja yang bekerja dan menganggur atau angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan. Potential labor force atau tenaga kerja (man power) adalah populasi dikurangi dengan jumlah anak-anak atau penduduk usia 15 tahun (SUDA BPS SUMUT, 2007) dan masyarakat yang dilembagakan (people who are institutionalized).

Labor force participation rate (LFPR)= , atau

(LFPR)=

Bukti empiris di Amerika Serikat bahwa penurunan tingkat partisipasi angkatan kerja, khususnya kaum pria, dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999):

a. kenaikan real wages dan earnings akan mengurangi jam kerjanya atau mereka akan semakin kecil memasuki partisipasi angkatan kerja (income effect).

b. adanya jaminan sosial dan pensiunan swasta (social security dan private pension).

c. disability benefits, angkatan kerja yang memiliki keterbatasan atau menerima gaji kecil akan menarik diri dari partisipasi kerja karena mereka umumnya mendapat lebih banyak uang dari transfer/tunjangan pemerintah.

d. life cycle consideration, mempengaruhi orang dalam partisipasi angkatan kerja. Orang yang telah berumur, kemampuan atau skill yang dimilikinya tidak sesuai lagi dengan kebutuhan trend permintaan tenaga kerja akan mengurangi partisipasi mereka di angkatan kerja (substitution effect).

Sementara itu kaum perempuan, penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa partisipasi kerja kaum perempuan meningkat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999):

a. Kenaikan wage rate dan earnings suami dan kaum perempuan. Kenaikan wage rate dan earnings kaum perempuan lebih dominan substitution effect-nya daripada income effect-nya;

b. Perubahan keinginan dan sikap (preferences dan attitude) termasuk dari pengaruh gerakan femenisme;

c. Meningkatnya produktivitas kerja sektor rumah tangga karena semakin bekembangnya teknologi peralatan rumah tangga. Waktu yang digunakan oleh kaum wanita untuk mengurus keperluan keluarga semakin sedikit (production and consumption household semakin kecil). Ini yang memacu mereka mengalihkan waktu luang tesebut ke dunia kerja atau labor market.

d. Penurunan tingkat kelahiran. e. Meningkatnya angka perceraian.

f. Berkembangnya akses di dunia kerja bagi kaum perempuan di mana tingkat diskriminasi semakin berkurang.

g. Usaha untuk memperbaiki atau mempertahankan standar hidup. Pertumbuhan pendapatan kaum laki-laki (suami mereka) mengalami stagnan sehingga mendorong wanita untuk bekerja guna mempertahankan standar hidup mereka.

Net effect dari semua tingkat partisipasi tergantung pada ukuran: added-work effect dan discouraged-work worker effect. Added-work effect terkait dengan kehilangan pekerjaan suatu seorang anggota keluarga akan ditutupi oleh anggota keluarga yang lain untuk mencari pekerjaan yang baru. Tujuannya untuk menutupi kehilangan penghasilan akibat dari berhentinya anggota lain tersebut dari dunia kerja. Added-work effect menambah tingkat partisipasi kerja. Discouraged-work effect berkaitan dengan masalah psikologis pekerja yang kehilangan keinginan untuk bekerja kembali. Pekerja yang pernah diberhentikan karena resesi akan merasa pesimis untuk mendapatkan pekerjaan kembali sesuai dengan keinginannya, minimal seperti yang pernah mereka dapatkan sebelumnya. Discourafe-work effect sifatnya mengurangi tingkat partisipasi angkatan kerja (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999).

Bukti empiris menyebutkan discourage-work effect lebih dominan dari pada added-work effect. Tingkat partisipasi angkatan kerja berbanding terbalik dengan tingkat pengangguran. Semakin besar tingkat pengangguran semakin kecil tingkat

partisipasi angkatan kerja. Kondisi pasar tenaga kerja yang memburuk dengan peningkatan pengangguran dan penurunan wage rate menyebabkan partisipasi angkatan kerja menurun (discourage-work effect). Banyak usia muda yang sebenarnya telah dapat memasuki dunia kerja enggan berpartisipasi. Mereka lebih memilih untuk tetap di tempat sekolah/kuliah atau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999).

Beberapa survey yang dilakukan di Amerika Serikat setelah masa perang Dunia II, menyimpulkan bahwa real wages cendrung naik tetapi jam kerja per minggu relatif turun. Adapun hasil survey tersebut antara lain (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999):

a. Undang-undang mewajibkan pemberi kerja untuk memberikan wage premium kepada pekerja, atas kondisi tertentu yang dilakukan oleh pekerja atau dialami pekerja,

b. Kenaikan atas pajak pendatapan (tax incomes),

c. Semakin tinggi tingkat rata-rata pendidikan para tenaga kerja yang memasuki dunia kerja,

d. Pengaruh iklan (Brack dan Cowling) menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk melakukan konsumsi barang/jasa yang sifatnya time-intensive commodities dari barang yang sifatnya goods-intensive commodities.

e. Owen, berpendapat masyarakat lebih memilih konsumsi dan pengaturan anggota keluar (family sized) dan pasangan lebih lama dalam pendidikan.

Kualitas tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui investment in human capital. Pendidikan yang terus-menerus, pelatihan dan pelatihan akan mampu menjaga tingkat penyerapan tenaga kerja penuh (work force fully employed).

Tenaga kerja memasuki dunia kerja dengan tingkat kemampuan dan keahlian yang berbeda. Begitu juga dengan tingkat pendidikan dan jam pelatihan yang mereka ikuti. Tenaga kerja dengan tingkat kemampuan, pendidikan dan pelatihan yang lebih tinggi atau lebih lama (schooling) akan menawarkan lebih besar produktivitas dari tenaga kerja yang kurang terampil.

Prinsip investment in humal capital hampir sama dengan prinsip investasi fisik. Pengeluaran untuk pendidikan dan pelatihan diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan keahlian pekerja sehingga penghasilan individu di masa yang akan datang diharapkan menjadi lebih besar.

Model analisis yang sederhana, seseorang harus membandingkan cost dan benefit. Biaya pendidikan dibedakan menjadi direct atau out-of pocket costs dan indirect or opportunity cost. Direct cost di sini berkaitan dengan pengeluaran langsung yang dilakukan selama dalam pendidikan, seperti biaya untuk pembelian buku, uang kuliah dan lainnya. Sedangkan, indirect atau opportunity cost merupakan penerimaan yang tidak dapat diterima karena memilih untuk memasuki dunia pendidikan atau keluar dari angkatan kerja. Benefit dari investasi human capital berupa peningkatan pendapatan (incremental earnings) selama memasuki kerja di masa akan datang setelah selesai mengikuti pendidikan atau pelatihan. Keputusan

investasi pada human capital dilakukan bila benefit lebih besar atau sama dengan cost (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999).

Pandangan umum tentang investasi pada human capital, antara lain (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999):

a. Semakin lama jangka waktu aliran penerimaan setelah investasi (postinvestment incremental earnings) semakin tinggi return yang didapat dan semakin positif investasi pada human capital. Semakin dini usia memasuki sekolah secara ekonomis semakin panjang jangka waktu penerimaan tambahan setelah investasi dilakukan.

b. Semakin rendah biaya yang dikeluarkan untuk investasi human capital semakin banyak orang akan melakukan investasi untuk mendapatkan keuntungan. Disamping itu bila resesi terjadi, biaya akan semakin rendah karena opportunity cost menjadi lebih rendah. Oleh sebab itu, banyak angkatan kerja memilih memasuki dunia pendidikan atau mengikuti pelatihan.

c. Semakin besar selisih yang diterima atau return yang diperoleh angkatan kerja yang terdidik atau tamatan perguruan tinggi dibandingkan dengan return yang diterima angkatan kerja non-skilled, maka semakin tinggi keinginan masyarakat untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Artinya investasi pada human capital akan meningkat.

Sementara itu, keputusan investasi dapat juga dilihat dari sisi public atau prespektif sosial. Ekonom memandang dari sisi prespektif sosial, keuntungan investasi pada human capital antara lain (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999):

a. semakin banyak tenaga kerja terdidik akan semakin kecil tingkat pengangguran. Tingkat pengangguran yang kecil akan mengurangi tingkat kriminilitas, pengeluaran transfer atau biaya subsidi dan biaya perlindungan hukum.

b. meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang politik dan kualitas keputusan-keputusan politik (kebijakan dan peraturan semakin baik). Proses politik dapat lebih mudah, efisien dan efektif.

c. peningkatan kualitas antar generasi ke generasi berikutnya.

d. masyarakat yang berpendidikan menghasilkan lebih besar dan menyebarkan keuntungan yang lebih besar kepada lingkungan mereka sendiri (society).

Hasil dari investasi pada human capital (rates of return) mengalami penurunan saat investasi dilakukan secara terus-menerus yang telah mencapai tingkat tertentu. Ada dua alasan terjadi penurunan tingkat pengembalian tersebut yakni (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999):

a. investasi pada human capital tetap mengikuti kaidah diminishing returns (skala pengembalian hasil yang semakin menurun). Kenaikan tambahan income (incremental income) semakin menurun setiap tahun penambahan waktu pendidikan, dan

b. peningkatan tingkat pendidikan diikuti penerimaan benefit semakin menurun akibat dari kenaikan biaya yang turut mengurangi internal rate of return.

On the job training dapat dibedakan menjadi dua bagian penting, yaitu: general training dan special training. Pembahasan on the job training diasumsikan

pasar dalam keadaan persaingan sempurna dan perpindahan tenaga kerja dianggap sempurna (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999).

General training tujuannya menciptakan keahlian atau pembentukan karakter secara umum yang dapat digunakan oleh semua perusahaan dan industri. Keahlian yang didapat tenaga kerja dari general training dapat dijual atau ditransfer ke pasar atau ke perusahaan lain. Saat training sedang berlangsung, gaji yang diterima oleh pekerja lebih rendah bila dibandingkan dengan yang diperoleh oleh tenaga kerja non trampil. Namun setelah masa selesai training, gaji yang mereka peroleh lebih tinggi dari yang diterima oleh pekerja yang tidak memperoleh training. Pekerja yang memperoleh general training dapat menawarkan keahliannya ke perusahaan lain atau menjual keahliannya ke pasar sehingga mereka akan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Seandainya, pemberi kerja yang membayar biaya investasi training ini, mereka kemungkinan akan kehilangan return bila pekerja meninggalkan perusahaan. Untuk itu pekerja yang telah melakukan general training biasanya diberikan gaji lebih tinggi bila dibandingkan dengan mereka terima sebelum mengikuti training. Artinya daya tawar mereka untuk mendapatkan gaji/upah menjadi lebih kuat bila dibandingkan dengan tenaga kerja yang tidak mengikuti general training tersebut. General training, wage rate dibayarkan perusahaan sama dengan marginal revenue product tenaga kerja.

Special training menciptakan keahlian atau kemampuan yang hanya dapat dipergunakan oleh perusahaan tertentu saja. Biaya pelatihan khusus ini ditanggung oleh perusahaan. Pemberi kerja selama masa periode pelatihan khusus ini menerima

marginal return product tenaga kerja lebih rendah dari pada wage rate yang mereka tanggung. Setelah periode pelatihan khusus, pemberi kerja mendapatkan marginal return product tenaga kerja jauh lebih besar dari wage rate yang mereka bayarkan. Sedangkan, tenaga kerja menerima upah yang dengan upah sewaktu mereka belum mengikuti training.

Bukti empiris penghasilan seseorang kadang lebih besar dari mereka yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi. Individu yang memiliki kelebihan secara intelegensia, kedisiplinan dan motivasi, umumnya menerima penghasilan yang lebih besar. Penambahan penghasilan mereka (incremental income) mereka kadang tidak dapat ditelusuri langsung ke investasi human capital yang mereka lakukan. Tetapi semata-mata hanya berdasarkan persoalan kemampuan individu itu sendiri (problem ability). Penambahan penghasilan ini tidak ada kaitannya dengan lamanya mereka menempuh pendidikan formal (schooling). Pendapat para ahli juga menyebutkan juga bahwa peningkatan penambahan penghasilan (incremental income) tidak semata-mata berdasarkan tingkat pendidikan formal. Kemampuan juga penting dalam hal ini (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999).

Screening hypothesis melihat pendidikan merupakan faktor penting dalam memperjakan seorang tenaga kerja, menempatkan pada posisi tertentu, mempromosikan pekerja tersebut dan kedudukan lainnya yang diberikan pekerja. Screening hypothesis menempatkan pekerja pada posisi strategis berdasarkan jenjang pendidikan yang dimiliki pekerja tersebut. Semakin tinggi pendidikan pekerja tersebut semakin strategis posisi pekerja tersebut, semakin mudah dia dipromosikan

dan semakin besar penghasilan yang mereka terima. Produktivitas pekerja bukan faktor utama dalam menentukan reward (imbalan) yang diterima oleh pekerja tersebut. Pekerja yang lulus dari suatu universitas favorit akan diberikan penghasilan yang lebih baik. Walaupun kadang-kadang memiliki produktivitas yang lebih rendah dari lulusan perguruan tinggi yang biasa-biasa saja yang notabene kurang populer di mata masyarakat. Screening hypothesis memandang tingkat pendidikan berbanding lurus dengan produktivitas. Semakin tinggi tingkat pendidikan (schooling) dan populer tempat pendidikan calon pekerja dianggap memiliki tingkat produktivitas yang makin tinggi sehingga wajar bila diberikan reward yang lebih tinggi. Namun data empiris menyebutkan tidak sepenuhnya benar pendapat tersebut. Hypothesis tersebut masih memiliki distorsi dilevel practical. Tetapi bukti empiris juga menyebutkan bahwa pada tahap awal pekerja memasuki dunia kerja (labor force) akan diberikan penghasilan yang lebih untuk lulusan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Seiring dengan berlalunya waktu produktivitas pekerja tersebut diharapkan meningkat. Faktor pendidikan lanjutan yang sifatnya seperti pelatihan dan pengalaman diharapkan meningkatkan produktivitas pekerja tersebut dan reward yang akan mereka peroleh disesuaikan dengan tingkat produktivitas para pekerja (enhanced earning) (Mc Connell, Brue, dan Macpherson, 1999).

2.3.4. Upah

Upah merupakan ukuran nilai kerelaan pasar tenaga kerja dalam melakukan kegiatan jual-beli (dipengaruhi oleh kekuatan penawaran dan permintaan tenaga

kerja). Upah juga merupakan ukuran jasa, kemampuan atau keahlian yang telah diberikan oleh pekerja dalam proses produksi.

Upah dari sudut pandang life cycle, antara lain memiliki karakteristik sebagai berikut (Borjas, 2005):

a. Tingkat upah yang tinggi akan meningkatkan keinginan angkatan kerja untuk memasuki pasar tenaga kerja, berlaku juga sebaliknya.

b. Pekerja muda biasanya mulai bekerja dengan gaji yang kecil awal kerjanya. Dengan berlalunya waktu gaji akan meningkat sampai mencapai umur 50, lalu menurun seiring dengan pertambahan usia.

c. Pria umumnya memiliki partisipasi kerja yang tinggi di usia muda dan berkurang menjelang usia lanjut.

d. Sebaliknya pada wanita, pasa usia muda partisipasinya di pasar tenaga kerja rendah. Namun meningkat seiring dengan berlalunya waktu. Partisipasi wanita di pasar tenaga kerja berkaitan erat dengan kebutuhan keluarga terhadap mereka. Maka kadang tenaga kerja wanita di pasar tidak menentu, tergantung pada pilihan mereka pada rumah tangga.

Seseorang akan meninggalkan pasar kerja atau memasuki pensiun dipengaruhi oleh (Borjas, 2005):

a. Tingkat upah. Pekerja yang memiliki penghasilan yang tinggi dakan memilih cepat keluar dari pasar kerja saat upah naik, dimana income effect lebih dominan. Mereka memilih lebih banyak leisure ketimbang bekerja. Saat bersamaan,

substitution effect terjadi sehingga harga pensiun menjadi lebih mahal. Kondisi ini mendorong tenaga kerja untuk menunda pensiun mereka.

b. Pension benefits. Jika pension benefits meningkat maka pekerja akan lebih cepat meninggalkan pasar kerja. Pekerja lebih cepat memasuki usia pensiun.

Dokumen terkait