• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.24. Teori Pendukung Pedestrianisasi Kota

Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur yang berhubungan dengan pengertian pedestrian, standar-standar fasilitas pedestrian, usaha-usaha untuk mempedestrianisasikan kawasan pusat Kota, elemen-elemen pendukung koridor trotoar dan beberapa literatur yamg berhubungan dengan perilaku masyarakat dan lingkungan. Selain itu akan dipaparkan beberapa studi banding sejenis yang dilakukan pada beberapa kawasan pusat Kota Medan khususnya menyangkut jalur pedestrian atau pejalan kaki. Hal ini dilakukan untuk memperkuat dasar teori yang ada.

Rido Matari Ichwan dalam makalah pribadinya mengatakan bahwa Kota-kota di Indonesia dipengaruhi oleh kebudayaan Belanda pada abad 17-20 awal yang sekarang menjadi warna dari kota di indonesia. Kurang terkendalinya perkembangan dan pembangunan kawasan sehingga mengakibatkan terjadinya kehancuran kawasan baik secara Self Destruction (penghancuran diri sendiri) maupun secara Creative Destruction (penghancuran secara kreatif) merupakan titik awal hilangnya vitalitas kawasan historis budaya.

Kondisi menurunnya vitalitas kawasan lama pada saat ini dapat digolongkan menjadi 3 golongan:

1) Kawasan Lama Yang Mati

a. Kehilangan kemampuan untuk merawat baik bangunan baik bangunan maupun lingkungan.

b. Umumnya status kepemilikannya tidak atau kurang jelas. c. Nilai properti yang ada tergolong negatif.

d. Terhjadi penghancuran diri sendiri (self destruction) baik daari segi aktivitas kawasan, bangunan dan komponen lain pembentuk kawasan, bangunan dan komponen lainnya pembentuk kawasan.

e. Terjadi penghancuran nilai-nilai lamanya, termasuk signifikasi historis dan budaya.

f. Rendahnya intervensi publik sehingga mengakibatkan kawasan tersebut semakin kurang nyaman, bahkan kehilangan nilai strategisnya.

g. Rendahnya keinginan untuk melakukan investasi baik pemerintah swasta dan masyrakat.

h. Tumbuhnya kantong-kantong kumuh.

i. Terjadinya pindah penduduk atau penghuni keluar dari kawasan. j. Terjadi pindah kegiatan bisnis.

k. Terjadi infra struktur distress yang mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan dan kwalitas hidup serta tumbuhnya squatters.

l. Kawasan kehilangan kemanpuan untuk berkompetisi dengan kawasan lain.

m. Masuknya fungsi-fungsi baru atau tradisi baru yang kurang sesuai dengan historis kawasan.

2) Kawasan Lama yang Hidup atau Kacau (Chaos)

a. Squatting dimana terjadi okupasi terhadap ruang publik

b. Pertumbuhan ekonomi tidak terkendali dan kacau, c. Kurang menghargai nilai dan tenunan warisan budaya d. Tingginya nilai properti

e. Terjadi penghancuran secara kreatif (creatif destruction) baik pada aktivitas tradisional, budaya komponen pembentuk kawasan akibat pemilik atau sektor swasta melihat kehilangan identitas historisnya. f. Pembangunan tidak kontekstual dan bersifat infill development. g. Penghancur nilai-nilai lamanya.

h. Kurang kenyamanan .

i. Rendahnya kualitas pengelolaan kawasan mulai dari Traffic System

Managemen sistem lalu lintas hingga pengaturan pedagang kaki lima.

3) Kawasan Lama yang Hidup dan Vital

Kawasan lama yang tergolong dalam kawasan ini merupakan kawasan yang paling baik antara kedua kawasan di atas. Kawasan ini mampu

mempertahankan eksistensinya, yang ditandai dengan gejala sebagai berikut:

a. Aprisiasi yang tinggi dan suksesnya pelestarian kawasan. b. Intervensi publik cukup tinggi.

c. Pertumbuhan ekonomi cukuup pesat

d. Merupakan daerah kunjungan wisata dan merupakan pusat kegiatan budaya yang tetap terpelihara

e. Bangunan yang ada tetap menyajikan ciri khas tradisional dan historis kawasan

f. Kepemilikan lahan jelas g. Nilai properti positif

h. Besarnya minat berinvestasi baik oleh swasta atau masyarakat. i. Masuknya penduduk/penghuni baru.

j. Lingkungan terawat dan nyaman. k. Pelayanan infrastruktur baik.

l. Tersedia ruang publik pedestrian yang menjadi ruang aktivitas publik. m. Pembangunan yang kontekseksual

M. Ridwan Kamil mengatakan, bisakah ruang jalan memotivasi masyarakat kota yang santun, beradab, dan madani? Mengapa koridor- koridor jalan kota tidak manpu menjadi latar dari intraksi sukarela antar kelas sosial warga kota?

Pertanyaan-pertanyaan di atas lahir akibat hilangnya potensi peran sosial dari sebuah koridor jalan dikonteks urban. Dinegara-nagara berkembang, sering terlihat bagaimana koridor-koridor jalan tersebut acap kali tereduksi fungsinya menjadi alur lalu-lintas kendraan bermotor semata. Hal ini sering berdampak pada terabaikannya jalur pedestrian di koridor jalan tersebut.

Dalam menciptakan ruang publik di koridor yang penuh dengan aktivitas sosial, terdapat 3 prinsip dasar yang melahirkan kondisi positif tersebut:

a. Densitas yang optimal: pada dasarnya koridor jalan yang penuh dengan bangunan umumnya lebih berpotensi sebagai pedestarian generator yang akan melahirkan keaktifan sosial yang ramai dan menyenangkan.

b. Tata guna Lahan yang mendukung: Tata Guna lahan yang beroriantasi pada publik seperti halnya jasa perdagangan umumnya sangat membantu dalam mengaktifkan kegiatan publik di koridor jalan.

c. Koridor jalan yang didesain dengan baik dan cermat: kridor jalan haruslah didesain sangat sepesifik mengikuti karakter sosial, ekonomi dan budaya lokal.

Terbukti dalam buku The Great Streets (1993) oleh Alan B. Jacob, mengungkapkan bahwa koridor jalan yang didesain dengan cermat umumnya menjadi ruang publik yang dominan dan sering kali menjadi tujuan wisata baik domestik maupun Manca Negara.

Sementara itu dalam fenomena hilangnya aktivitas sosial dikoridor Pedestrian jalan di Kota-Kota besar Indonesia seperti halnya Jakarta, selain kurangnya perhatian terhadap desain dan kwalitas publik, terdapat beberapa aspek arsitektur yang sering kita temui sehari-hari umumnya bersifat anti urban dan anti sosial.

Sebagai contoh, adanya kafe-kafe dan restoran-restoran sebagai tempat bersantai disepanjang jalur jalan pedestrian yang sangat menarik dengan berbagai elemen-elemen pendukungnya seperti elemen-elemen bersejarah, patung, air mancur, tempat duduk, serta lampu, dan taman, akan meningkatkan jumlah pengunjung dan jumlah wisatawan kedaerah tersebut.

Mateo B. Inderlina (2002), seorang mahasiswa dari Universitas

Pilipina, dalam study yang berjudul, The study of Effective Urban

Downtown Pedestrian Streets in Metro Manila, menyebutkan ada beberapa

faktor yang melatar belakangi untuk di lakukan pedestrianisasi pada suatu kawasan perkotaan yaitu meliputi:

a. Kepadatan kawasan kota pada khususnya pusat kota akibat tingginya kepadatan pedestrian atau pejalan kaki

b. Kondisi lingkungan yang tidak baik atau bernilai negatif.

c. Kehadiran berbagai jenis aktivitas, khususnya dikawasan pusat Kota. Termasuk Konflik pedestrian dan kenderaan bermotor di jalan-jalan sempit.

Hamid Shirvani (1985) dalam bukunya The Urban Design Process

mengatakan bahwa Perancangan Ruang Kota yang baik antara lain Harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Tata Guna Lahan

b. Penataan Masa Bangunan c. Sirkulasi dan Parkir

d. Open Space/Ruang Terbuka

e. Pedestrian f. Preservasi.

g. Kegitan Pendukung h. Signage.

Seperti dijelaskan diatas bahwa salah satu upaya untuk penerapan Perancangan Kota adalah dengan adanya pedestrian yang baik. Pedestrian yang baik tentu adalah pedestrian yang mampu menghubungkan para pejalan kaki dengan nyaman dan aman dengan pusat-pusat kegiatan atau aktivitas pendukung yang ada dalam suatu kawasan perkotaan.

Kevin Lynch (1960) dalam bukunya The Image Of City mengemukakan bagaimana cara mengukur gambaran mental sebuah Kota yang terdiri atas beberapa unsur, yaitu:

1. Tanda-tanda yang mencolok (landmark) yaitu bangunan atau benda- benda alam bebeda dari sekelilingnya dan terlihat jauh. Misalnya: gedung, patung, tugu, jembatan, jalan layang, dan lain-lain.

2. Jalur-jalur jalan/penghubung (pathways) yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya

3. Titik temu antar jalur jalan (Nodes), misalnya perempatan dan pertigaan jalan

4. Batas-batas wilayah (edges) yang membedakan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya. Misalnya, daerah pemukiman dibatasi oleh sungai, daerah pertokoan dibatasi oleh gerbang tol menuju tempat parkir atau pagar lapangan golf yang luas membatasi wilayah perindustrian dari wilayah permuliman

5. Distrik (distric), yaitu wilayah-wilayah homogen yang berbeda dari wilayah-wilayah lain. Misalnya, pust perdagangan ditandai dengan bangunan-bangunan bertingkat dengan lalu lintas yang padat dan daerah kantor kedutaan besar negara asing ditandai oleh rumah rumah besar dengan halaman luas serta jalan jalan lebar.

Dokumen terkait