• Tidak ada hasil yang ditemukan

2009 Secara geogra

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.2 Produk Ekspor Perikanan Indonesia

2.3.1 Teori Perdagangan Internasional

Dalam Oktaviani dan Novianti (2009) dipaparkan bahwa ilmu perdagangan internasional merupakan bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari dan menganalisis saling ketergantungan antar negara. Ilmu yang menganalisis arus barang, jasa, pembayaran-pembayaran antar suatu negara dengan negara lain di dunia, kebijakan yang mengatur arus tersebut serta pengaruhnya pada kesejahteraan negara. Penjelasan teoritis mengenai perdagangan internasional telah banyak dikemukakan oleh para ahli ekonomi. Mulai dari teori klasik hingga teori modern yang dilihat dari sisi penawaran, teori klasik dimulai dengan Teori Merkantilisme lalu teori absolute advantage dari Adam Smith dan teori comparative advantage dari David Ricardo. Sedangkan teori modern dikemukakan oleh Eli Hecksher dan Bertil Ohlin yang lebih dikenal dengan teori Hecksher-Ohlin. Teori-teori yang dikembangkan pada dasarnya merupakan upaya untuk menjelaskan tiga hal pokok yaitu alasan suatu negara

melakukan perdagangan dan pola perdagangan yang terjadi, keuntungan atau mafaat dari perdagangan serta optimalisasi sumbedaya melalui perdagangan.

Teori Merkantilisme berkembang dengan pesat pada abad ke 16 sampai ke 18 di Eropa Barat. Ide pokok yang mendasari teori ini adalah suatu negara/Raja akan makmur dan kuat bila ekspor lebih besar daripada impor (X-M) dan surplus yang diperolah dari selisih (X-M) atau ekspor neto yang positif tersebut diselesaikan dengan pemasukan logam mulia (LM), terutama emas dan perak dari luar negeri. Kelemahan dari teori ini adalah LM yang digunakan sebagai alat pembayaran akan menyebabkan banyaknya jumlah uang beredar sehingga akan terjadi inflasi dan harga barang impor menjadi rendah, akhirnya LM berkurang (Oktaviani dan Novianti, 2009).

Menurut Adam Smith dalam Salvatore (1997) perdagangan antara dua negara didasarkan pada keunggulan absolut. Jika sebuah negara lebih efisien (memiliki keunggulan absolut) terhadap negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi namun kurang efisien dibandingkan (memiliki kerugian absolut) terhadap negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut.

Pada tahun 1817, David Ricardo menyempurnakan teori keunggulan absolute dengan teori keunggulan komparatif melalui buku yang berjudul “

Principles of Political Economy and Taxation”. Buku tersebut berisi penjelasan mengenai teori keunggulan komparatif ( The Law of Comparative Advantage). Hukum tersebut menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien dibandingkan (memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih kecil (komoditas dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditas yang memiliki kerugian komparatif yang besar) (Salvatore 1997).

16

Heckscher dan Ohlin melakukan perbaikan terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo. Ohlin (1933, hal 92) dalam Lindert dan Kindleberger (1995) memperkirakan bahwa kunci biaya komparatif terletak pada proporsi penggunaan faktor produksi. Komoditi-komoditi yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam proporsi yang sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor yang langka diimpor. Secara garis besar teori Hecksher-Ohlin merupakan teori kemelimpahan faktor produksi dan intensitas penggunaan faktor. Teori ini diekspresikan ke dalam dua teorema yang saling berhubungan, yaitu teorema Heckscher-Ohlin serta teorema penyamaan harga faktor. Menurut teorema penyamaan harga faktor produksi atau teorema Heckscher-Ohlin-Samuelson, perdagangan internasional cenderung menyamakan harga-harga baik itu secara relatif maupun secara absolut dari berbagai faktor produksi yang homogen atau sejenis diantara negara-negara yang terlibat dalam hubungan dagang.

Oktaviani dan Novianti (2009) memaparkan bahwa ada sebelas asumsi pokok dalam teori Heckscher-Ohlin yaitu sebagai berikut :

1. Di dunia hanya terdapat dua negara (Negara 1 dan Negara 2), dua komoditi (X dan Y) dan dua faktor produksi (tenaga kerja dan modal). 2. Kedua negara memiliki dan menggunakkan metode atau tingkat teknologi

produksi yang sama.

3. Komoditi X secara umum bersifat padat karya (labour intensive) sedangkan komoditi Y padat modal (capital intensive). Hal ini berlaku untk kedua negara.

4. Kedua komoditi sama-sama diproduksikan berdasarkan skala hasil yang konstan (constant scale of returns), yang sama-sama terjadi di kedua negara.

5. Spesialisasi produksi yang berlangsung di kedua negara sama-sama tidak lengkap atau tidak menyeluruh.

6. Selera atau preferensi permintaan para konsumen yang ada di kedua negara sama.

7. Terdapat kompetisi sempurna dalam pasar produk (tempat perdagangan kedua komoditi) dan juga dalam pasar faktor (tempat pertemuan kekuatan permintaan dan penawaran faktor produksi). Harga semata-mata terbentuk oleh kekuatan pasar.

8. Terdapat mobilitas faktor yang sempurna dalam masing-masing negara, namun tidak ada mobilitas faktor antarnegara/internasional.

9. Tidak ada biaya-biaya transportasi, tarif, atau berbagai bentuk hambatan yang dapat mengurangi kebebasan arus perdagangan barang di kedua negara.

10. Semua sumber daya produktif atau faktor produksi yang ada di masing-masing negara dapat dikerahkan secara penuh dalam kegiatan-kegiatan produksi.

11. Perdagangan internasional yang terjadi di antara negara 1 dan negara 2 sepenuhnya seimbang (jumlah ekspor dan impor dari kedua negara sama).

Gambar 2. Model Heckscher-Ohlin Sumber : Oktaviani dan Novianti (2009)

Gambar 2 menunjukkan kurva indifferen 1 berlaku untuk negara 1 maupun negara 2, karena diasumsikan selera konsumen di kedua negara sama. Kurva indifferen 1 menjadi tangen terhadap kurva batas kemungkinan produksi negara A di titik A, dan juga menjadi tangen terhadap kurva kemungkinan produksi di

X 140 120 100 80 60 40 20 0 20 80 100 Y 20 80 100Y X 140 120 100 80 60 40 20 0 I II II P P A’ A E = E’ A’ A B C B’ Negara 1 Negara 1 Negara 2 Negara 2

18

negara 2 di titik A’. Titik-titik itu melambangkan harga relatif komoditi dalam kondisi ekuilibrium, yakni PAbagi negara 1 dan PA’ untuk negara 2 (panel sebelah kiri). Karena PAlebih kecil daridai PA’, maka simpulkan bahwa negara 1 memiliki keunggulan komparatif pada komoditi X dan negara 2 dalam komoditi Y. Setelah perdagangan berlangsung (panel sebelah kanan) negara 1 akan berproduksi di titik B, dan menukarkan sejumlah X untuk mendapatkan Y sehingga mencapai tingkat konsumsi di titik E (segitiga perdagangan BCE). Negara 2 akan berproduksi di titik B’ dan menukarkan sejumlah Y untuk mendapatkan X dan mencapai tingkat konsumsi di E’ (berhimpitan dengan titik E). Kedua negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan karena dapat meningkatkan konsumsinya pada kurva indifferen II yang lebih tinggi dari kurva indifferen sebelumnya (Oktaviani dan Novianti, 2009).

Dalam Halwani (2002) juga dikatakan bahwa model teori H-O menganalisis perdagangan antar dua negara, dimana setiap negara memiliki karakteristik tersendiri. Asumsi ini berarti bahwa dua negara hanya berbeda dalam dua hal yaitu dalam hal ukuran dan dalam hal rasio K/L (kapital/tenaga kerja). Pembuktian teori H-O dimulai dengan catatan bahwa selera dan harga pasar ditujukan untuk pasar bebas dan pola konsumsi dari kedua negara harus sama. Andaikata kedua negara tersebut memproduksi dengan rasio yang sama dengan yang mereka konsumsi, termasuk dengan yang tidak diperdagangkan (tidak diekspor). Hal ini berarti rasio K/L untuk produksi X dari negara 2 harus lebih besar daripada rasio negara 1. Dengan kata lain apabila rasio produksinya sama, maka produksi padat modal akan lebih besar pada sektor industri bagi negara yang melimpah modal.