• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Sadd al-Z|ari >‘ah (Langkah Preventif)

TINJAUAN TEORETIS

E. Teori Sadd al-Z|ari >‘ah (Langkah Preventif)

Sekaitan dengan makna pemali sebagai sikap dan langkah preventif bagi terjadinya segala hal yang dianggap buruk atau mencegah pelanggaran yang diyakini berdampak sial, maka teori hukum Islam yang dapat dipertimbangkan dalam melihat fenomena pemali adalah teori atau kaidah sadd al-z\ari>‘ah.

Sadd al-z\ari>‘ah (

ﺔ ْﯾَﻌ ِر َﺬﻟا ّﺪَﺳ

) secara etimologi merupakan bentuk id}a>fah (frase) yang terdiri dari dua kata yakni sadd (

ﱠﺪَﺳ

) dan z}ari>‘ah (

ﺔ ْﯾَﻌ ِر َذ

). Kata sadd (

ﱠﺪَﺳ

) merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari

اﺪَﺳ – ﱡﺪُﺴ َﯾ - ﱠﺪ َﺳ

yang memiliki arti menutup, mengunci atau menyumbat.210 Sedangkan kata z\ari>‘ah (

ﺔ ْﯾَﻌ ِر َذ

) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti perantara (wasilah).211

Secara terminologi, sadd al-z\ari>‘ah (

ﺔﻌﯾرﺬﻟا ﺪﺳ

) dapat diartikan secara umum dan secara khusus. Al-z\ari>‘ah dalam pengertian umum yaitu sesuatu yang dijadikan perantara kepada yang lain tanpa memandang apakah perantara atau sesuatu

209

Muin Umar dkk., Ushul Fiqh I, h. 153.

210

Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progresif, 2008), h. 620.

211

yang dituju berupa larangan atau bukan larangan.212 Pengertian ini, dapat mencakup al-z\ari>‘ah yang disepakati dan diperselisihkan dan dapat mencakup sadd al-z\ari>‘ah dan fath} al-z\ari>‘ah.213

Hal ini lantaran sumber hukum dalam al-z\ari>‘ah ada dua macam yang sangat penting, yaitu:

a. Maqa>s}id, berupa maslahah dan mafsadat.

b. Wasa>il, sebagai perantara kepada maslah}ah} atau mafsadah. Ketentuan wasa>il selalu seiring dengan maqa>s}id. Sesuatu yang mengantarkan kepada kewajiban, maka dihukumi wajib. Demikian pula sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, maka dihukumi haram. Misalnya, shalat Jum’at hukumnya wajib, maka berjalan menuju shalat Jum’at dihukumi wajib juga. Melakukan tindakan keji adalah haram, maka melihat aurat orang lain juga haram karena dapat mengantarkan kepada perbuatan keji.214 Sedangkan dalam arti khusus, al-z\ari>‘ah adalah sesuatu yang pada mulanya boleh-boleh saja, akan tetapi sesuatu tersebut sering kali atau pada lumrahnya dapat mengantarkan kepada mafsadat (kerusakan) atau dampa buruk. Dikarenakan dapat mengantarkan

212

Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A‘la>m al-Muwaqqi‘i>n, juz 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), h. 103.

213

Menurut al-Qara>fi>, selain wajib menutup perantara (sadd al-z\ari>‘ah) sebenarnya ada kasus-kasus yang wajib membuka perantara (fath} al-z\ari>‘ah), bahkan ada yang makru>h,

mandu>b, dan muba>h. Al-dzari>‘ah hanya sebagai perantara. Konsekuensinya perantara harus mengikuti hukumnya tujuan. Abi Abba>s Ahmad bin Idrîs bin Abd al-Rahmân al-Qarâfi, al-Furu>q

dalam Wahyu Abdul Jafar, “BPJS Kesehatan Syari’ah (Mengagas Prinsip-Prinsip BPJS Kesehatan

Perspektif Saddu Dzari>'ah)”, Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam, 2 no. 2 (2017): h. 156. http://journal.staincurup.ac.id/index.php/alistinbath/article/view/242/240 (15 Februari 2018)

214

Abi Abba>s Ahmad bin Idri>s bin Abd al-Rahma>n al-Qara>fi, al-Furu>q dalam Wahyu

Abdul Jafar, “BPJS Kesehatan Syari’ah (Mengagas Prinsip-Prinsip BPJS Kesehatan Perspektif Saddu Dzari>'ah)”, h. 156.

kepada mafsadat, maka al-z\ari>‘ah ini dipotong aksesnya agar tidak menimbulkan mafsadat. Inilah yang disebut sadd al-z\ari>‘ah.215

Al-Sya>tibi> menyatakan dalam al-Muwa>faqa>t, bahwa yang dimaksud dengan sadd al-z\ari>‘ah adalah menolak sesuatu yang boleh (ja>iz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu>‘).216

Dengan ungkapan yang senada, menurut Imam asy-Syauka>ni bahwa yang dimaksud dengan sadd al-z\ari>‘ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mah}z}u>r)217 sehingga ikut dilarang juga.

Sadd al-z\ari>‘ah merupakan salah satu langkah metodologis dalam menggali hukum Islam (t}ari>qah al-istinba>t}). Dengan prinsip ini, para mufti di sepajang sejarah mengharamkan banyak hal dengan tujuan menutup pintu kejelekan sebagai upaya preventif. Hal yang diharamkan pada hakikatnya tidak haram, tetapi diharamkan dengan mekanisme sadd al-z\ari>’ah itu ibarat pintu masuk menuju perbuatan haram yang kemungkinan besar terjadi.218 Karena itu, Ali Jum’ah mengingatkan bahwa sadd al-z\ari>’ah harus dipelajari dengan teliti sebelum menerapkannya. Juga harus disadari bahwa larangan hanya sebagai langkah preventif atas hal yang diharamkan dan langkah preventif dari hal-hal baru dalam agama. Pada

215

Musthafa> Daib al-Buga>, As\ar al-Adillah al-Mukhtalaf fi>ha>, dalam Wahyu Abdul

Jafar, “BPJS Kesehatan Syari’ah (Mengagas Prinsip-Prinsip BPJS Kesehatan Perspektif Saddu Dzari>'ah)”, h. 157.

216

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Garnat}i al-Maliki Sya>tibi>, Abu Ishaq.

Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>’ah, jilid 1. Cet. VII; Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005), h. 257-258.

217

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsya>d al-Fuh}u>l fi> Tah}qi>q al-H{aqq min ‘Ilm

al-Us}u>l, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), h. 295.

218

Ali Jum’ah, Tar>ikh Us}u>l al-Fiqh. Terj. Adi Maftuhin, Sejarah Ushul Fiqih; Histori Ilmu Ushul Fiqih dari Masa Nabi Hingga Sekarang (Cet. I; Depok: Keira, 2017), h. 175.

sisi lain harus disadari bahwa ada motif tertentu untuk membuka pintu preventif itu untuk menjaga agama dan memudahkan urusan dunia. Dengan demikian, hal ini masuk kategori kaidah « sesuatu yang menjadikan kewajiban tidak sempurna karena tanpannya, sesuatu itu wajib adanya ».219