• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemali dalam Budaya Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan Perspektif Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemali dalam Budaya Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan Perspektif Hukum Islam"

Copied!
285
0
0

Teks penuh

(1)

Disertasi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Doktor dalam bidang Syari

ah dan Hukum Islam

pada Pascasarjana UIN Alauddin

Makassar

Oleh:

ZAENAL ABIDIN

NIM 80100311015

PASCASARJANA

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2019

(2)

ii

Nama : Zaenal Abidin

NIM : 80100311015

Tempat/Tgl. Lahir : Pangkep, 15 Oktober 1979

Prodi/Konsentrasi : Dirasah Islamiyah/Syari’ah dan Hukum Islam

Program : Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Alamat : Jl. Andi Djemma (Landak Baru) No. 94 i Makassar Judul : Pemali dalam Budaya Bugis dan Makassar Di Sulawesi

Selatan Perspektif Hukum Islam

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa disertasi ini benar adalah hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka disertasi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Makassar, 22 Maret 2019 Penyusun,

Zaenal Abidin

(3)
(4)

iv

ﻟا

ـ

ﻤﺤ

ــ

ﻌﻟا بر

ــ

ﻧ ﻦﯿــﻤـﻟﺎ

ـ

و هﺪﻤﺤ

ﺴﻧ

ــ

ﯿﻌﺘ

ــ

و ﮫﻨ

ــﺴﻧ

ﺘﻧ و ،ﮫﯾﺪﮭﺘ

ــ

ـ

و ﮫﯿﻟإ بﻮ

ﺴﻧ

ـ

ــ

ـ

ـ

ﻌﻧ و هﺮﻔ

ــ

ﺑ ذﻮ

ـ

ﺷ ﻦﻣ ﮫ

ـ

ﺴﻔﻧأ روﺮ

ـ

ﯿﺳ و ﺎﻨ

ــ

ﻼﻓ ﷲ ىﺪﮭﯾ ﻦﻣ ،ﺎﻨﻟﺎﻤﻋأ تﺎﺌ

ﺼﻟاو ،ﮫﻟ ىدﺎھ ﻼﻓ ﻞﻠﻀﯾ ﻦﻣ و ﮫﻟ ﻞﻀﻣ

ـ

ﺴﻟا و ةﻼ

ـ

مﻼ

ﯿﺳ ﻰﻠﻋ

ــ

ﻠﺳﺮﻤﻟا ﺪ

ــ

ﺪﻤﺤـﻣ ﻦﯿ

ﺒﻋ

ــ

ﺳر و ﷲ ﺪ

ــ

ﺘﺧ ﮫﻟﻮ

ــ

ﺳﺮﻟا ﮫﺑ ﷲ ﻢ

ــ

ﯾﺪﺑ ﻞﻤﻛأ و ،تﻻﺎ

ــ

ﺸﻟا ﮫﻨ

ــ

ﻧأ و ﻊﺋاﺮ

ـ

ﮫﯿﻠﻋ لﺰ

ﺘﻛ

ـ

ﻌﺟ ﺎﺑﺎ

ــ

ﺒﺗ ﮫﻠ

ـ

ﻜﻟ ﺎﻧﺎﯿ

ـ

ﯿﺷ ﻞ

ــ

ﺼﺒﺗ و ىﺪھ و ،ﺊ

ــ

ﻟ ةﺮ

ـ

ـ

دارأ ﻦ

ﻧﺪﻟا

ـــ

ﺳو ﺎﯿ

ــ

ةدﺎﻌ

ﺧﻵا

ـ

ﻀﯾ ﻻ ،ةﺮ

ــ

ﺒﺗا ﻦﻣ ﻞ

ـ

ﺳو ﮫﻌ

ــ

ﺒﺳ ﻚﻠ

ــ

ﺘھاو ﮫﻠﯿ

ــ

ﮭـﺑ ىﺪ

ـ

ﻋاﻮﻗ ﻰﻠﻋ ﻰـﻨﺑو ﮫﯾﺪ

ـ

و هﺪ

ﺳأ

ـــ

ﻟآ ﻰﻠﻋو ﮫﺴ

ـ

ﺻأو ﮫ

ـ

ﺘﻣو ﮫﺑﺎﺤ

ـــ

ﺴﺣﺈﺑ ﻢﮭﻌﺒ

ــ

.ﻦﯾﺪﻟا مﻮﯾ ﻰﻟإ نﺎ

Segala puji bagi Allah swt. yang senantiasa mencurahan rahmat dan karunia-Nya sehingga rangkaian penelitian ini dapat dirampungkan. Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad saw., yang menjadi panutan dan suri tauladan bagi segenap umatnya dalam menapaki kehidupan dunia dan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Penelitian ini cukup menguras tenaga, pikiran, waktu, dann biaya serta melibatkan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mereka, khususnya kepada kedua orangtua tercinta ayahanda Arifin dan ibunda Mardiah yang senantiasa mendoakan dan mengharapkan anaknya meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Doa dan harapan terbaik kepada keduanya, ”Rabbighfir li> wa li wa>lidayya warhamhuma> kama> rabbaya>ni> s}agi>ra>”.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, M.Si., Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Mardan, M.Ag., Prof. Dr. H. Lomba Sultan, M.Ag., Prof. Dra. Hj. Siti Aisyah Kara, M.A., Ph.D., dan Prof. Drs. H. Hamdan Juhannis,

(5)

v

dan Prof. Dr. H. Achmad, M.Ag. sebagai Wakil Direktur Pascasarjana UIN Alauddin Makassar yang secara khusus selalu memberikan dorongan dan petunjuk dalam penyelesaian studi ini, dan secara umum telah mengembang amanah dalam memajukan Pascasarjana UIN Alauddin.

3. Prof. Dr. H. Minhajuddin, M.A., selaku Promotor, Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag., dan Dr. Moh. Sabri AR., M.Ag., masing-masing selaku kopromotor I dan II, yang telah membimbing penulis dalam merampungkan disertasi ini. Terima kasih juga kepada bapak Dr. Hamzah Hasan, M.H.I., yang telah bersedia menggantikan posisi kopromotor II yang berhalangan pada saat akhir penyelesaian studi.

4. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing HT., M.S., Prof. Dr. H. Lomba Sultan, M.Ag., dan Dr. Muhammad Suhufi., M.Ag., masing-masing selaku penguji utama yang telah memberikan kontribusi saran dan penguatan disertasi ini. Terima kasih juga kepada ibu Dr. Kurniati, M.H.I., yang telah bersedia menggantikan posisi bapak Prof. Dr. H. Lomba Sultan, M.Ag., sebagai penguji dalam sidang promosi doktor. 5. Dr. H. Barsihannor, M.Ag., dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN

Alauddin Makassar. Dr. Abd. Rahman R., M.Ag., Dr. Hj. Syamzan Syukur, M.Ag., dan Muhammad Nur Akbar Rasyid, M.Pd., M.Ed., Ph.D., masing-masing sebagai wakil dekan I, II, dan III, serta seluruh dosen dan pegawai atas dukungan dan motivasinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Terkhusus kepada Dekan dan para wakil dekan FAH UIN Alauddin periode 2010-2014 atas pemberian izin dan dukungan untuk melanjutkan studi di S3.

(6)

vi

dalam proses administrasi, baik selama aktif kuliah maupun pada saat penyelesaian studi.

8. Gubernur Sulawesi Selatan dan para bupati pada empat kabupaten yang menjadi daerah penelitian ini yaitu Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Kabupaten Barru, Kabupaten Takalar, dan Kabupaten Bone beserta tokoh-tokoh dan masyarakat setempat atas izin dan perkenannya kepada peneliti dalam mengumpulkan data dan menggali informasi terkait dengan objek penelitian. 9. Keluarga, terutama adik-adik yang telah memberi sumbangsih dalam masa studi

dan proses penelitian, Khaerani, S.Pd.I. dan suaminya, Abdi Gunawan, SKM, Ahmad Risal, S.Kom., S.Pd. dan Istrinya, Ismayanti, S.Pd.I., M.Pd.I., Nurhana, S.Pd. dan Zulfahimah Yusra. Demikian juga Ibu mertua Hj. Asma, beserta kakak dan adik ipar yang telah memberi motivasi dalam penyelesaian studi ini. Persembahan utama kepada istri tercinta Andi Satrianingsih, Lc., M.Th.I. yang dengan penuh ketulusan dan keikhlasan memberi dukungan dalam melanjutkan dan menyelesaikan studi.

10. Teman-teman mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar angkatan tahun 2011, baik dari konsentrasi syari’ah dn Hukum Islam, maupun dari konsentrasi

lain.

11. Rekan-rekan sesama pengelola jurnal kampus UIN Alauddin (Komunitas Sahabat Jurnal) dan penghuni Rumah Jurnal Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) yang saling bersinergi dalam memediasi lahirnya karya tulis ilmiah dan dalam pemanfaatan sumber data dan referensi.

(7)

vii

diapresiasi setinggi-tingginya sebagai sebuah tradisi ilmiah.

Akhirnya, semoga Allah swt. senantiasa memberikan imbalan yang setimpal bagi mereka yang telah memberikan andil dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat, baik dalam menambah wawasan dan cara pandang terhadap kearifan lokal, maupun keilmuan dalam bidang hukum Islam dan penerapannya di tengah kehidupan bermasyarakat. Amin.

Makassar, 22 Maret 2019 Penulis,

Zaenal Abidin

(8)

viii

PENGESAHAN DISERTASI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... x

PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN ... xi

ABSTRAK ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1-33 A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus... 25

C. Rumusan Masalah... 26

D. Kajian Pustaka ... 27

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 32

BAB II TINJAUAN TEORETIS ... 35-121 A. Asal Usul dan Posisi Pemali dalam Masyarakat Bugis dan Makassar 35 B. Sistem Adat Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan 48 C. Teori Hukum Islam dan Karakteristiknya . ... 59

D. Teori‘Urf atau‘A<dahdalam Hukum Islam... 91

E. Teori Sadd al-Z|ara>i‘... 96

F. Teori al-Nahy dalam Hukum Islam ... 99

G. Relasi Budaya dengan Hukum Islam ... 111

H. Kerangka Konseptual ... 118

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 122-133 A. Jenis Penelitian dan Lokasi Penelitian ... 122

B. Pendekatan Penelitian yang Digunakan ... 126

C. Sumber Data ... 127

D. Metode Pengumpulan Data ... 129

E. Instrumen Pengumpulan Data... 130

F. Teknik Pengolaan dan Analisis Data ... 131

(9)

ix

Selatan ... 134

2. Pandangan Hukum Islam terhadap Posisi-Posisi Pemali dalam Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan... 173

B. Pemertahanan Pemali dalam Kehidupan Masyarakat Bugis dan Makassar... 183

1. Sumber Pemali dari Warisan Leluhur atau Nenek Moyang... 184

2. Keyakinan terhadap Mitos Pemali ... 188

3. Faktor Pemertahanan Pemali dalam Pandangan Hukum Islam . 189 C. Nilai Pemali dalam Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi.. Selatan dalam Pandangan Hukum Islam ... 196

1. Nilai Kesadaran dan Ketaatan Hukum ... 197

2. Nilai Moralitas dan Pendidikan Karakter... 204

3. Nilai Solidaritas Sosial ... 215

4. Nilai Kesehatan dan Keselamatan Jiwa ... 220

BAB V PENUTUP ... 232-236 A. Kesimpulan ... 234

B. Implikasi Penelitian ... 233 DAFTAR PUSTAKA ... 237-246 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(10)

x

Berdasarkan Agama ... 125 Tabel 3: Bentuk-Bentuk Pemali pada Empat Kabupaten di Sulawesi Selatan ... 146 Tabel 4: Sumber, Kepercayaan, dan Pengaruh Pemali bagi Masyarakat Bone ... 186

(11)

xi dilihat pada tabel berikut:

1. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا

alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

ب

ba b Be

ت

ta t te

ث

s\a s\ es (dengan titik di atas)

ج

Jim j je

ح

h}a h} ha (dengan titik di bawah)

خ

kha kh ka dan ha

د

dal d de

ذ

z\al z\ zet (dengan titik di atas)

ر

ra r er

ز

zai z zet

س

sin s es

ش

syin sy es dan ye

ص

s}ad s} es (dengan titik di bawah)

ض

d}ad d} de (dengan titik di bawah)

ط

t}a t} te (dengan titik di bawah)

ظ

z}a z} zet (dengan titik di bawah)

ع

‘ain ‘ apostrof terbalik

غ

gain g ge

ف

fa f ef

ق

qaf q qi

ك

kaf k ka

ل

lam l el

م

mim m em

ن

nun n en

و

wau w we

ـھ

ha h ha

ء

hamzah ’ apostrof

ى

ya y ye

(12)

xii atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Contoh:

َﻒـْﯿـَﻛ

: kaifa

َﻗ

ْﻮ

ٌل

: qaulun 3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Nama Huruf Latin Nama

Tanda fath}ah a a

َا

kasrah i i

ِا

d}ammah u u

ُا

Nama Huruf Latin Nama

Tanda

fath}ah dan ya>’

ai a dan i

ْﻰَـ

fath}ah dan wau au a dan u

ْﻮَـ

Nama Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda Nama

fath}ah dan alif atau ya>’

َ ... ا َ ... | ى

d}ammah dan wau

ﻮــُـ

a>

u>

a dan garis di atas kasrah dan ya>’ i> i dan garis di atas

u dan garis di atas

ﻰــــِـ

(13)

xiii

ـَﯾ

ُﻘ

ْﻮ

ُل

: yaqu>lu 4. Ta>’ marbu>t}ah

Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua, yaitu: ta>’ marbu>t}ah yang hidup atau mendapat harakat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya adalah [t]. Sedangkan ta>’ marbu>t}ah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah [h].

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta>’ marbu>t}ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta>’ marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

Contoh:

ٌﺔَﻌْﯾ ِﺮَﺷ

: syari>‘at

ﻟَا

ﱠﯿِﻣَﻼْﺳﻹْا ُﺔَﻌْﯾ ِﺮﱠﺸ

ُ◌ : al-syari>‘ahal-isla<miyyah

ﺔــَﻤـْﻜـ ِﺤْـﻟَا

ُ◌ : al-h}ikmah

5. Syaddah (Tasydi>d)

Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydi>d ( ـّـ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.

Contoh:

َﺎﻨـَـّﺑ َر

: rabbana>

َﺎﻨــْﯿَـّﺠـَﻧ

: najjaina>

ّﻖـَﺤـْـﻟَا

ُ◌ : al-h}aqq

َﻢـِـّﻌُﻧ

:nu“ima

ـَﻋ

ُﻔ

ﱞﻮ

:‘afuwwun

Jika huruf ى ber-tasydi>d di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah ( ّﻰـِــــ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah menjadi i>.

Contoh:

ﱞﻰـِﻠـَﻋ

: ‘Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

(14)

xiv

sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).

Contoh:

ُﺲـ ْﻤـﱠﺸﻟَا

: al-syamsu (bukan asy-syamsu)

ـْـﻟَا

ُﺮَﻤـَﻘ

: al-qamaru

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi

hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contoh:

َن ْو ُﺮـُﻣْﺄَـﺗ

:ta’muru>na

ُع ْﻮـﱠﻨــﻟَا

: al-nau‘

ُت ْﺮـ ِﻣُأ

: umirtu

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya, kata al-Qur’an (dari al-Qur’a>n), alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:

Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n Al-Sunnah qabl al-tadwi>n 9. Lafz} al-Jala>lah (

)

(15)

xv

Adapun ta>’ marbu>t}ah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz} al-jala>lah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:

ُھ

ـ

ْﻢ

ْﻲِﻓ

ِﺔَﻤـْــﺣ َر

ِﷲ

hum fi> rah}matilla>h 10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:

Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>l

Inna awwala baitin wud}i‘a linna>si lallaz\i> bi Bakkata muba>rakan Syahru Ramad}a>n al-laz\i> unzila fi>h al-Qur’a>n

Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si> Abu>> Nas}r al-Fara>bi> Al-Gaza>li>

Al-Munqiz\ min al-D}ala>l

Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abu> (bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi. Contoh:

Abu> Wali>d Muh}ammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abu> al-Wali>d Muh}ammad (bukan: Rusyd, Abu> al-al-Wali>d Muh}ammad Ibnu) Nas}r H{a>mid Abu> Zai>d, ditulis menjadi: Abu> Zai>d, Nas}r H{a>mid

(16)

xvi

a.s. = ‘alaihi al-sala>m

H = Hijrah

M = Masehi

l. = Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja)

w. = Wafat tahun

QS…/…: 4 = QS al-Baqarah/2: 4 atau QS A<li‘Imra>n/3: 4

(17)

xvii Perspektif Hukum Islam

Pokok masalah penelitian ini adalah bagaimana prespektif hukum Islam terhadap eksistensi pemali pada budaya Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan?. Pokok masalah tersebut dijabarkan menjadi sub masalah, yaitu bagaimana pandangan hukum Islam terhadap posisi, pemertahanan, dan muatan nilai pemali dalam kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan posisi pemali, pemertahanan, dan nilai-nilai pemali dalam sudut pandang hukum Islam.

Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan analisis data kualitatif yang disajikan secara deskriptif-eksploratif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan multidisipliner meliputi sejarah, antropologi, filosofis, dan ilmu syariat. Sumber data primer adalah masyarakat Bugis dan Makassar yang terpilih pada daerah perwakilan. Sumber sekunder yaitu buku atau hasil penelitian yang terkait dengan pembahasan. Pengolahan data dilakukan dengan langkah observasi, wawancara, dan penelusuran referensi. Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan tahap reduksi data (kondensasi), display atau penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksistensi pemali dalam masyarakat Bugis dan Makassar dapat ditemukan dalam posisinya sebagai kepercayaan kepada sumbernya yaitu orang tua atau leluhur dan keyakinan pada ancaman akibatnya. Demikian juga posisinya sebagai sistem kebudayaan atau pangadereng. Eksistensi pemali masih bertahan karena memiliki faktor pemertahanan yang terkait dengan posisinya dalam budaya. Sumbernya yang bersifat doktrin dari orang tua, kepercayaan atau ketakutan pada anacaman akibatnya, dan kandungan nilai-nilai pangadereng yang ada di dalamnya. Eksistensi pemali didukung dengan muatan nilai-nilai kearifan, di antaranya nilai-nilai kesadaran dan ketaatan hukum, nilai-nilai moralitas dan pendidikan karakter, nilai kesadaran sosial, dan nilai kesehatan. Pemali dengan muatan nilainya menguatkan pangadereng dan melestarikan keyakinan masyarakat terhadapnya. Eksistensi pemali dengan tiga bentuknya tersebut dalam perspektif

(18)

xviii

dalam bidang hukum Islam maupun dalam bidang budaya, khususnya konsep pangadereng Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Meskipun fokus area penelitain ini dibatasi pada Sulawesi Selatan, tetapi nilai-nilai pangadereng di dalamnya dapat berlaku secara universal tanpa dibatasi suku, agama, dan ras.

Implikasi penelitian ini juga terkait dengan kemungkinan adanya alternatif metode dan media yang tepat dalam menumbuhkan kesadaran hukum Islam dan ketaatan dalam menjalankan hukum Islam secara ka>ffah (totalitas); mencakup pelaksanaan ibadah mahd}ah dan muamalah yang dihiasi dengan akhlak yang terpuji.

Sebagai penganut syariat Islam, idealnya masyarakat menerapkan hukum Islam secara konsekuen dan menyeluruh (ka>ffah). hanya saja, penerapan hukum Islam membutuhkan proses pembiasaan untuk menumbuhkan kesadaran dan ketaatan hukum. Sekaitan dengan upaya itu, masyarakat (orang tua) sedikitnya harus memiliki dau syarat, pertama, pengetahuan yang memadai mengenai ajaran Islam dan kedua, pengetahuan mengenai cara mengajarkannya kepada anak atau generasi. Kedua syarat ini mutlak dimiliki orang tua untuk membekali anaknya nilai-nilai yang menjadi pegangan hidupnya. Sembari mengupayakan hal itu, pemali tidak boleh ditinggalkan sepenuhnya guna menghindari kekosangan nilai. Kekosongan akan nilai-nilai moral akan mengakibatkan anak-anak tumbuh tanpa pegangan hidup yang menyebabkannya rentan pada pengaruh lingkungannya, terutama pengaruh-pengaruh negatif.

(19)

xix Islamic Law Perspective

This paper focuses on exploring the pemali or taboos developed in Bugis and Makassar tribes in South Sulawesi and weighting them against Islamic Law. The discussion will elaborate how taboos, its retention, and its moral values embedded in the society are positioned against the perspective of Islamic Law.

This field research uses qualitative approach to analyse the data and presents the findings in descriptive-explorative fashion. Additionally, it will look into the issues through multidisciplinary approaches such as history, anthropology, philosophy, and the sharia knowledge. This research gathers the primary data from Bugis and Makassar tribe members who fit with the criteria, while the secondary data are from books and related literatures. The data are then analysed through data reduction method (condensation), display or data presentation, and conclusion.

The findings suggest that the taboos existing in Bugis and Makassar tribes are handed down from their ancestors and have become embedded into their subconscious beliefs that breaking the taboos will result in bad consequences. In addition to that, taboos play an important role in the cultural system or pangadereng. These taboos have become doctrines that carry out some elements of pangadereng. They carry local wisdoms reflecting an awareness towards legal compliance, moral values, characters buildings, social awareness, and health awareness, which can strengthen the pengadereng and conserve the local wisdoms itself. When viewed from the Islamic Law, however, taboos can be categorised into three types. Taboos can either be retained, handed down through generations by paying attention to the Sharia principles, or abolished when they contradict with the Islamic values.

The findings of this research are expected to enlighten public about the concept of taboos and its position against the Bugis and Makassar pengadereng, as well as against the Islamic Law. It is worth-noting, however, that even though this research only focuses on some tribal societies in South Sulawesi, the values of pengadereng can have universal application.

(20)

xx

make an effort to get accustomed with the Sharia laws while improving their

awareness of the legal compliance. As a result, parents’ role in this issue has become significant because they need to equip themselves with two types of knowledge. The first knowledge is about an overview of Islamic teachings while the second one is the skills to transfer that set of knowledge to their children through education. While educating their children with Islamic values, parents will still need to hold on the taboos. Nullifying taboos entirely can result in the gap of moral values. The absence of moral values will confuse children because they do not have role models on whom they look.

(21)

xxi

ﻞﯿﺠﺴﺘﻟا ﻢﻗر

:

80100311015

ناﻮﻨﻋ

ﺔﺣوﺮطﻷا

:

) ﺎﯿﻓﺮﻋ تﺎﻋﻮﻨﻤﻤﻟا

Pemali

(

ﺔﯾﺮﺳﺎﻜﻤﻟاو ﺔﯿﺴﯿﻗﻮﺒﻟا ﻦﯿﺘﻓﺎﻘﺜﻟا ﻲﻓ

ﻲﻣﻼﺳﻹا نﻮﻧﺎﻘﻟا رﻮﻈﻨﻣ ﺔﯿﺑﻮﻨﺠﻟا ﻲﺴﯾوﻻﻮﺴﺑ

ﺎﻣ ﻲھ ﺚﺤﺒﻟا اﺬھ ﻲﻓ ﺔﯿﺳﺎﺳﻷا ﺔﻟﺄﺴﻤﻟا

ﺔﯾدﻮﺟو ﻲﻓ ﻲﻣﻼﺳﻹا نﻮﻧﺎﻘﻟا رﻮﻈﻨﻣ

ﺎﯿﻓﺮﻋ تﺎﻋﻮﻨﻤﻤﻟا

)

Pemali

(

ﻲﺴﯾوﻻﻮﺴﺑ يﺮﺳﺎﻜﻤﻟاو ﻲﺴﯿﻗﻮﺒﻟا ﻦﯿﻌﻤﺘﺠﻤﻟا ىﺪﻟ

ﻒﻗﻮﻣ ﺎﻣ :ﻲھو ،ﺔﯿﻋﺮﻓ تﻼﻜﺸﻣ ﻊﻀﺑ ﻰﻟإ ةرﻮﻛﺬﻤﻟا ﺔﻟﺄﺴﻤﻟا ﺖﻠﺼﻓ ﺪﻗو ،ﺔﯿﺑﻮﻨﺠﻟا

ﻢﯿﻘﻟا ﻦﻣ ﺎﮭﯿﻓ ﺎﻤﻋو ﺎﮭﻨﻋ عﺎﻓﺪﻟاو ﺎﯿﻓﺮﻋ تﺎﻋﻮﻨﻤﻤﻟا عﺎﺿوأ ﻦﻣ ﻲﻣﻼﺳﻹا نﻮﻧﺎﻘﻟا

ا ةﺎﯿﺣ ﻲﻓ

ﻰﻟإ ﺚﺤﺒﻟا فﺪﮭﯾو ؟ﺔﯿﺑﻮﻨﺠﻟا ﻲﺴﯾوﻻﻮﺴﺑ يﺮﺳﺎﻜﻤﻟاو ﻲﺴﯿﻗﻮﺒﻟا ﻦﯿﻌﻤﺘﺠﻤﻟ

رﻮﻈﻨﻣ ﻲﻓ ﻢﯿﻘﻟا ﻦﻣ ﺎﮭﯿﻓ ﺎﻤﻋو ﺎﮭﻨﻋ عﺎﻓﺪﻟاو ﺎﯿﻓﺮﻋ تﺎﻋﻮﻨﻤﻤﻟا عﺎﺿوأ ﻒﺻو

.ﻲﻣﻼﺳﻹا نﻮﻧﺎﻘﻟا

اﺬھو

ﺚﺤﺒﻟا

ﻞﺜﻤﯾ

ﺎﺑﺮﺿ

ﻦﻣ

بﺮﺿأ

ﺔﺳارﺪﻟا

ﺔﯿﻧاﺪﯿﻤﻟا

ﻞﻠﺤﯾو

تﺎﻧﺎﯿﺑ

ﺔﯿﻋﻮﻧ

ﺔﻣﺪﻘﻣ

ﺎﻤﯾﺪﻘﺗ

ﺎﯿﻔﺻو

ﺎﯿﻓﺎﺸﺘﻛا

.

ﻞﺧﺪﻤﻟاو

مﺪﺨﺘﺴﻤﻟا

ﮫﯿﻓ

ﻮھ

ﻞﺧﺪﻤﻟا

دﺪﻌﺘﻤﻟا

،تﺎﺼﺼﺨﺘﻟا

ﻚﻟذو

ﻞﻤﺸﯾ

ﻞﺧاﺪﻤﻟا

ﻲﺨﯾرﺎﺘﻟا

ﻲﺟﻮﻟﻮﺑوﺮﺘﻧﻷاو

ﻲﻔﺴﻠﻔﻟاو

ﻲﻤﻠﻌﻟاو

ﻲﻋﺮﺸﻟا

.

رﺪﺼﻣ

تﺎﻧﺎﯿﺑ

ﺚﺤﺒﻟا

ﺔﯿﺳﺎﺳﻷا

ﻮھ

ﻊﻤﺘﺠﻤﻟا

ﻲﺴﯿﻗﻮﺒﻟا

ﻊﻤﺘﺠﻤﻟاو

يﺮﺳﺎﻜﻤﻟا

ﺚﯿﺣ

ﻢﺗ

ﺎﻤھرﺎﯿﺘﺧا

ىﺪﻟ

ﺔﻘﻄﻨﻣ

،ﺔﻨﯿﻌﻟا

رﺪﺼﻣو

ﮫﺗﺎﻧﺎﯿﺑ

ﺔﯾﻮﻧﺎﺜﻟا

ﻮھ

ﺐﺘﻜﻟا

وأ

ﺞﺋﺎﺘﻨﻟا

ﺜﺤﺒﻟا

ﺔﯿ

ﺔﻠﺼﺘﻤﻟا

ﮫﺑ

.

ﺔﻈﺣﻼﻤﻟا :ﻲھو ،تاﻮﻄﺨﺑ مﺎﯿﻘﻟا ﮫﯿﻓ ﻢﺗ ،تﺎﻧﺎﯿﯿﻟا ﻢﯿﻈﻨﺗ ﺪﻨﻋو

تاﻮﻄﺨﺑ ﺚﺤﺒﻟا ّﺮﻣ ﺎﮭﻠﯿﻠﺤﺗو تﺎﻧﺎﯿﺒﻟا هﺬھ ﻢﯿﻈﻨﺘﻟو ،ﺔﯿﺒﺘﻜﻤﻟا ﻊﺟاﺮﻤﻟا ﻊﺒﺘﺗو ﺔﻠﺑﺎﻘﻤﻟاو

.ﺎﮭﺟﺎﺘﻨﺘﺳاو ،ﺎﮭﺿﺮﻋ وأ ﺎﮭﻤﯾﺪﻘﺗو ،تﺎﻧﺎﯿﺒﻟا رﺎﺼﺘﺧا :ﻲھو ،ثﻼﺛ

تﺎﻋﻮﻨﻤﻤﻟا ﺔﯾدﻮﺟو نأ ﻰﻠﻋ ﺚﺤﺒﻟا ﺞﺋﺎﺘﻧ ﺖﻟدو

ﻦﯿﻌﻤﺘﺠﻤﻟا ىﺪﻟ ﺎﯿﻓﺮﻋ

وأ ءﺎﺑﻵا ﻮھو ﺎھرﺪﺼﻤﺑ قﻮﺛﻮﻟا ﺪﻨﻋ ﺎﮭﯿﻠﻋ رﻮﺜﻌﻟا ﻦﻜﻤﯾ يﺮﺳﺎﻜﻤﻟاو ﻲﺴﯿﻗﻮﺒﻟا

ﻲﻓﺎﻘﺜﻟا مﺎﻈﻨﻟا ﻦﻣ اءﺰﺟ ﺎﮭﻌﺿوو ،ﺔﺌﯿﺳ رﺎﺛآ ﻦﻣ ﺎﮭﯿﻠﻋ ﺐﺒﺴﺘﯾ ﺎﻤﺑ قﻮﺛﻮﻟاو داﺪﺟﻷا

(22)

xxii

)

pangadereng

،ﺔﯿﻠﺤﻤﻟا ﺔﯿﻓﺮﻌﻟا ﻢﯿﻘﻟا ىﻮﺘﺤﻣ ﺎھﺪﯾﺆﯾ ﺎﯿﻓﺮﻋ تﺎﻋﻮﻨﻤﻤﻟا ﺔﯾدﻮﺟو نأو .(

ﻤﯿﻗو ،نﻮﻧﺎﻘﻠﻟ عﻮﻀﺨﻟاو ﻲﻋﻮﻟا ﺔﻤﯿﻗ :ﺎﮭﻨﻣ

ﺔﻤﯿﻗو ،ﺔﯿﺼﺨﺸﻟا ﺔﯿﺑﺮﺘﻟاو قﻼﺧﻷا ﺔ

،ﺔﺤﺼﻟا ﺔﻤﯿﻗو ،ﻲﻋﺎﻤﺘﺟﻻا ﻲﻋﻮﻟا

ﺔﺛﻼﺜﻟا ﺎﮭﻟﻼﻜﺷﺄﺑ تﺎﻋﻮﻨﻤﻤﻟا هﺬھ ﺔﯾدﻮﺟو نأو

ﻊﻣ ﺊﺷﺎﻨﻟا ﻞﯿﺠﻟا ﻰﻟإ ﮫﺛاﺮﯾإو ﮫﺑ ظﺎﻔﺘﺣﻻا ﺐﺠﯾ ﺎﻣ ﺎﮭﻨﻣ ﻲﻣﻼﺳﻹا نﻮﻧﺎﻘﻟا رﻮﻈﻨﻣ ﻲﻓ

ﻖﻔﺘﯾ ﻻ ﺎﻤﻟ ﮫﺑ ظﺎﻔﺘﺣﻻا زﻮﺠﯾ ﻻ ﺎﻣ ﺎﮭﻨﻣو ،ﺔﻌﯾﺮﺸﻟا ﻢﯿﻗو ئدﺎﺒﻤﺑ ﮫﺘﻣءاﻮﻣ

ئدﺎﺒﻣ ﻊﻣ

.ﺔﻌﯾﺮﺸﻟا ﻻو مﻼﺳﻹا نﻮﻧﺎﻗ

ﺐﺗﺮﺘﯾو

اﺬھ

ﺚﺤﺒﻟا

ﻰﻠﻋ

تﻻوﺎﺤﻣ

داﺮﯾ

ﺎﮭﺑ

ﻊﯿﺳﻮﺗ

رﺎﻜﻓأ

ﻊﻤﺘﺠﻤﻟا

ءاﻮﺳ

ﺖﻧﺎﻛأ

ﻲﻓ

لﺎﺠﻣ

نﻮﻧﺎﻘﻟا

،ﻲﻣﻼﺳﻹا

مأ

ﻲﻓ

لﺎﺠﻣ

،ﺔﻓﺎﻘﺜﻟا

ﺎﺻﻮﺼﺧو

نﺄﺸﺑ

ﻟا

ﻢﯿھﺎﻔﻤ

ﺔﯿﻓﺮﻌﻟا

)

pangadereng

(

ﺔﯿﺴﯿﻗﻮﺒﻟا

ﺔﯾﺮﺳﺎﻜﻤﻟاو

ﻲﺴﯾوﻻﻮﺴﺑ

ﺔﯿﺑﻮﻨﺠﻟا

.

ﻰﻠﻋو

ﻢﻏﺮﻟا

ﻦﻣ

نأ

راﺪﻣ

ﺚﺤﺒﻟا

دوﺪﺤﻣ

ﺔﻌطﺎﻘﻤﺑ

ﻲﺴﯾوﻻﻮﺳ

ﺔﯿﺑﻮﻨﺠﻟا

ﻻإ

نأ

ﻢﯿﻘﻟا

ﺔﯿﻓﺮﻌﻟا

)

pangadereng

(

ةدﻮﺟﻮﻤﻟا

ﺎﮭﯿﻓ

ﻦﻜﻤﯾ

ﺎھداﺮطا

ﻞﻜﺸﺑ

ﻞﻣﺎﺷ

نود

نأ

ﺎھدﺪﺤﯾ

ءﻲﺷ

ﻦﻣ

ﺮﺻﺎﻨﻋ

ﺔﻠﯿﺒﻘﻟا

ﻦﯾﺪﻟاو

ﺲﻨﺠﻟاو

.

ﻞﺋﺎﺳﻮﻟاو ﺔﻠﯾﺪﺒﻟا قﺮﻄﻟا لﺎﻤﺘﺣﺎﺑ ﺎﻀﯾأ ﻂﺒﺗﺮﯾ ﮫﻧأ ﺚﺤﺒﻟا اﺬھ ﻦﻣ دﺎﻔﺘﺴﯾو

ﺲﯾﺮﻐﺗ ﻞﯿﺒﺳ ﻲﻓ ﺔﺒﺳﺎﻨﻤﻟا

ﮫﻘﯿﺒﻄﺗ ﻞﺟأ ﻦﻣ ﮫﻟ عﻮﻀﺨﻟاو ﻲﻣﻼﺳﻹا نﻮﻧﺎﻘﻟﺎﺑ ﻲﻋﻮﻟا

قﻼﺧﻷﺎﺑ ﺔﺑﻮﺤﺼﻤﻟا ﺔﻠﻣﺎﻌﻤﻟاو ﺔﻀﺤﻤﻟا تادﺎﺒﻌﻟا ءادأ ﻞﻤﺸﯾ ﻚﻟذو ،مﺎﺗ ﮫﺟﻮﺑ

مﺎﻜﺣأ ﻢﻠﺴﻤﻟا ﻊﻤﺘﺠﻤﻟا ﻖﺒﻄﯾ نأ ﻞﻀﻓﻷا ﻦﻤﻓ ،مﻼﺳﻹا ﺔﻌﯾﺮﺷ ﻰﻟإ ﺔﺒﺴﻨﻟﺎﺑو .ةدﻮﻤﺤﻤﻟا

ﺘﻟا ﻰﻟإ ﺔﺟﺎﺤﺑ ﺎﮭﻘﯿﺒﻄﺗ نﺎﻛ نإو ﻰﺘﺣ ،ﺔﻓﺎﻛو ﺔﻣﺎﻘﺘﺳا ﻞﻜﺑ ﺔﻌﯾﺮﺸﻟا

ﻞﺟأ ﻦﻣ ﺪﯾﻮﻌ

نأ ءﺎﺑﻵا وأ ﻊﻤﺘﺠﻤﻟا ﻰﻠﻌﻓ ،ﻚﻟذ ﻞﺟأ ﻦﻣو .نﻮﻧﺎﻘﻠﻟ عﻮﻀﺨﻟاو ﻲﻋﻮﻟا ﺲﯾﺮﻐﺗ

ﻢﯿﻟﺎﻌﺗ نﺄﺸﺑ ﻢﻠﻌﻟا ﻦﻣ فﺎﻛ راﺪﻘﻣ ﻢﮭﯾﺪﻟ نﻮﻜﯾ نأ :ﺎﻤﮭﻟوأ ،ﻦﯿطﺮﺷ ﻰﻠﻋ اوﺪﻤﺘﻌﯾ

ناﺬﮭﻓ ؛ﻢﮭﯿﺌﺷﺎﻧ وأ ﻢھدﻻوأ ﺎﮭﺑ نﻮﻤﻠﻌﯾ ﺔﻘﯾﺮط ﻢﮭﯾﺪﻟ نﻮﻜﺗ نأ :ﺎﻤﮭﯿﻧﺎﺛو ،مﻼﺳﻹا

ﻵا ﺎﻤﮭﺑ ﻰﻠﺤﺘﯾ نأ ﺐﺠﯾ نﺎطﺮﺸﻟا

ﻢھؤﺎﻨﺑأ ﺎﮭﺑ ﻚﺴﻤﺘﯾ ﻢﯿﻘﺑ ﻢﮭﺑﺎﻨﺑأ ﺪﯾوﺰﺗ ﻢﮭﻨﻜﻤﯾ ﻲﻛ ءﺎﺑ

و ،ﺔﯿﻣﻮﯿﻟا ﻢﮭﺗﺎﯿﺣ ﻲﻓ

دﺮﺠﻤﻟ ﺎﮭﻠﻛ ﺎﯿﻓﺮﻋ تﺎﻋﻮﻨﻤﻤﻟا كﺮﺗ ﻢﮭﯿﻠﻋ ﺐﺟﻮﺘﯾ ﻻ ،ﻚﻟذ ﻊﻣ

(23)
(24)

1

Bugis dan Makassar merupakan dua suku terbesar yang mendiami pulau Sulawesi Selatan. Kedua suku ini termasuk rumpun bangsa Melayu,1 dan sepanjang sejarahnya, telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia bahkan berdiaspora ke mancanegara.

Bugis Makassar sering disebut tanpa pemisah, keduanya menyatu karena memiliki kesamaan dengan sedikit perbedaan. Perbedaan menonjol dari kedua suku ini hanyalah pada bahasa daerah yang digunakannya,2 dengan tetap sama-sama menggunakan aksara Lontara,3 yakni aksara yang awalnya banyak ditulis pada daun Lontara. Watak Bugis (juga Makassar) dan kebudayaannya dapat ditelusuri melalui Lontara ini,4di samping melalui sumber lisan dan catatan sejarawan.

Manusia Bugis Makassar dalam eksistensinya sebagai makhluk hidup, terikat oleh kebutuhan dan terdorong untuk senantiasa memenuhi kebutuhannya, yang dibagi oleh Abraham Moslow (1908-1970) secara hierarki, mulai dari yang paling mendasar hingga yang paling tinggi. Hierarki kebutuhan manusia oleh Moslow ini terkenal dengan teori hierarchy of needs atau Hierarki Kebutuhan.

1

Sugira Wahid, Manusia Makassar (Cet. II, Makassar: Refleksi, 2008), h. 19.

2

Sugira Wahid, Manusia Makassar, h. 27.

3

Lontara, selain sebagai bentuk aksara asli Bugis dan Makassar, juga menjadi nama untuk naskah-naskah kuno yang meliputi segala macam tulisan dengan huruf Bugis-Makassar yang memuat hasil-hasil intelektual leluhur Bugis-Makassar berbentuk tulisan tangan atau dicetak. Lihat Andi Rasdiyanah, Latoa; Lontara Tanah Bone (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2014), h. 59.

4

A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Cet. II; Yogyakarta: Ombak, 2011), h. 1.

(25)

Tingkatan kebutuhan manusia menurut Maslow adalah 1) kebutuhan fisiologis atau dasar, 2) kebutuhan terhadap rasa aman, 3) kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, 4) Kebutuhan dihargai, dan 5) kebutuhan aktualisiasi diri.5Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia selaras dengan eksistensinya sebagai makhluk budaya (cultural being), sehingga dengan kemampuan akal budinya, manusia Bugis Makassar mampu memertahankan eksistensinya.

Kebutuhan terhadap rasa aman mendorong manusia untuk mencari perlindungan yang salah satunya dapat ditemukan dalam keyakinan terhadap adanya kekuatan yang tak kasat mata. Keyakinan itu diekspresikan dalam bentuk ritual atau ibadah yang kemudian dianggap sebagai aktivitas keberagamaan.

Sejarah paling awal kebudayaan masyarakat Bugis dan Makassar banyak diwarnai dengan keyakinan dan nalar primitif dengan cirinya yang sangat terbatas. Faktor keterbatasan itu memengaruhi bentuk budaya yang dihasilkan, sebab budaya merupakan manifestasi dari kebiasaan berpikir, sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk kehidupannya.6 Adapun pengaruh keyakinan (agama) terhadap budaya yang immaterial tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati, dan membayangkannya.7

5

Abraham Maslow, On Dominace, Self Esteen and Self Actualization (AnnKaplan: Maurice Basset), h. 153. Dikuti dalam http://id.m.wikipedia.org (12 November 2018). Lihat juga Joseph E.

Gawel, “Herzberg’s Theory of Motivation and Moslow’s Hierarchy of Needs”, Practical Assessment, Research & Evaluation: A Peer Reviewed Electronic Journal, Vol. 5. Number 11, (November, 1997), h. 1-2.

6

Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1976), h. 137.

7

Yojachem Wach dalam Wahyuni, Sosiologi Bugis Makassar (Makassar: Alauddin University Press, 2014), h. 103-104.

(26)

Kepercayaan awal Masyarakat Bugis Makassar umumnya bersifat animisme (menyembah roh-roh nenek moyang yang mereka anggap bersemayam di batu besar, dan pohon yang dianggap keramat) dan dinamisme (menyembah kekuatan alam atau benda-benda seperti matahari, bulan, gunung, benda pusaka)8

Catatan awal dari luar mengenai Bugis dan Makassar disampaikan Tom Pires (1468-1540), seorang penulis berkebangsaan Portugis. Ia melaporkan bahwa bangsa Bugis dan Makassar sebagai bangsa kafir. Ia menceritakan aktivitas dan keadaan negeri Makassar, sebagai berikut:

Kepulauan Macacar (Makassar) terdapat kira-kira empat atau lima hari pelayaran lewat pulau yang baru kita sebut (Borneo atau Kalimantan), di tengah jalan (dari Malaka) ke Maluku … Ujungnya yang satu hampir mencapai Buton, di atasnya Madura, yang satu lagi meluas sampai jauh ke utara. Orang semua kafir, disitu terdapat lima puluh orang raja lebih.…

Mereka memiliki bahasa sendiri, lain dari yang lain. Semua orang gagah dan suka berperang. Di situ terdapat banyak bahan makanan. Orang-orang dari pulau itu adalah perompak yang paling besar di dunia, kekuatannya besar dan perahunya banyak. Mereka berlayar untuk merompak dari negeri mereka sampai ke Pegu, dan dari negeri mereka sampai ke Maluku, Banda dan di semua pulau di sekitar Jawa … Mereka mengirim barang-barang rampoknya dan menjual budak yang ditangkap.

… Orangnya semua memakai keris, dan mereka kuat-kuat semua. Mereka berlayar kian kemari dan ditakuti dimana-mana, sebab memang semua perompak patuh kepada mereka, sebab memang pantas dipatuhi.9

Raja Bugis di Suppa, La Makkawarie bersama dengan anak istrinya dikristenkan oleh seorang pedagang kayu portugis, Antonio de Payva yang berlabuh di Parepare pada 1543 bersama 12 orang temannya. Raja Bugis tersebut kemudian diberi nama, Don Luis. Berikutnya De Payva juga mengkristenkan Raja Siang di

8

Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan (Makassar: Lamacca Press, 2003), h. 29.

9

Lihat buku Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai Abad XVII (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 17.

(27)

Pangkajene (Pangkep) dan diberi nama, Don Juan.10 Meskipun usaha kristenisasi itu tidak berjalan lama karena mendapat saingan dari pendatang lain yaitu orang-orang Melayu Islam Pahang dan Patani.11

Christian Pelras (1934-2014) mencatat dengan jelas:

Sekarang sudah menjadi fakta bahwa pada 1544, dua penguasa Sulawesi Selatan, orang-orang Suppa dan Siang masing-masing mengambil kesempatan dari kunjungan ini dari kapal dagang Portugis untuk meminta baptisan dari kaptennya, Antonio de Payva, untuk mereka dan sejumlah pengikut mereka. Tahun berikutnya, ekspedisi lain dikirim ke Sulawesi Selatan, dengan seorang pastor, Pastor Vicente Viegas, di atas kapal. Penguasa baru Bacukiki 'dan Alitta, dan pengikut mereka juga dibaptis. Pada tahun yang sama, 1545, Pastor Viegas pergi ke Tallo', yang menurut sumber Portugis, ia membaptis penguasa. Itu harusnya adalah I Mappatangkangtana Daéng Padulung, yang dikenal setelah kematiannya sebagai Tuménanga ri Makkoayang (sekitar 1545-1577), seorang pria yang bermain peran penting dalam sejarah Makassar.12

Berdasarkan catatan sejarah tersebut diyakini bahwa meskipun faktanya hari ini masyarakat Bugis dan Makassar menganut agama Islam secara massif, akan tetapi sesungguhnya agama Islam bukanlah agama yang pertama kali dianut oleh orang Bugis dan Makassar. Mappangara menjelaskan bahwa sebelum Islam, termasuk Kristen masuk ke Sulawesi Selatan, penduduknya telah mengenal dan menganut faham dan kepercayaan asli. Suatu faham dogmatis yang terjalin dengan adat-istiadat yang hidup dari berbagai macam suku bangsa, terutama pada suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya merupakan adat/kebiasaan hidup yang mereka peroleh dari warisan nenek moyangnya.13

10

Hadimuljono dan Abd. Muttalib M, “Sejarah Kuno Sulawesi Selatan” dalam A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 2.

11

A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 2.

12

Christian Pelras,“Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi.”

Archipel 29, (1985). L'Islam en Indonésie I. pp. 115.

13

(28)

Pengalaman masyarakat Bugis dan Makassar dalam mengenal agama dan kepercayaan ini merupakan gambaran masyarakat Nusantara pada umumnya. Hal ini tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang beragama atau menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kenyataan historis ini kemudian dikristalisasi dalam bentuk dasar-dasar negara yang berarti bahwa seluruh kebijakan dan regulasi terkait dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara ini harus berasas pada nilai dasar fundamentalnya dan tidak dibenarkan adanya penyimpangan terhadapnya.

Sila pertama dari dasar-dasar bernegara yaitu “Ketuhanan Yang MahaEsa”

menjadi dasar keniscayaan penduduk memiliki kepercayaan kepada Tuhan (tidak atheis), sekaligus payung hukum atas keberadaan pluralitas agama dan keyakinan di Indonesia.

Di antara agama dan keyakinan yang diakui eksistensinya, Islam merupakan agama yang dianut mayoritas populasi. Sekalipun demikian, masyarakat Indonesia, masih banyak terpengaruh oleh beragam keyakinan yang diwarisi dari nenek moyang. Hal ini seperti ditulis oleh seorang antropolog dari Universitas California, Berkeley, Jill Forshee (1956-), berikut:

While nearly 90 percent of Indonesians are Muslims, most practice their faith with a synthesis of former beliefs, including Hindu–Buddhism and native animism. A mystical quality imbues Indonesian Islam, and leaders still visit pre-Islamic spiritual sites for strength.14

Maksudnya:

Meskipun orang Indonesia 90% muslim, tetapi masih sangat banyak yang mencampuradukkan peraktek keyakinan agama mereka dengan keyakinan yang sudah ada sebelum kedatangan Islam, termasuk di dalamnya ajaran Hindu, Budha, dan ajaran Animisme warisan nenek moyang mereka. Sifat mistik turut memengaruhi orang Islam Indonesia, dan banyak tokoh

14

Jill Forshee, Culture and Customs of Indonesia (Cet. I; United States of America: Greenwood Press, 2006), h. 29.

(29)

masyarakat masih mengunjungi tempat-tempat spiritual pra-Islam untuk mendapatkan kekuatan.

Khusus pada daerah Sulawesi Selatan, hasil penelitian Nurhayati Djamas mengungkapkan bahwa pada sebagian besar daerah ini didiami oleh suku Bugis dan Makassar yang dalam segi agama pada umumnya adalah penganut agama Islam, tetapi proses pengislaman untuk sebagian masyarakat di daerah ini tidak disertai dengan pendalaman ajaran, baik pemahaman maupun praktik keagamaan. Hal ini yang menyebabkan terpilah-pilahnya masyarakat ke dalam beberapa kategori dan kelompok keagamaan, mulai dari kelompok dengan pemahaman agama yang dangkal, yang boleh dikatakan sebagai pewaris kokoh tradisi dan kepercayaan asli nenek moyang, sampai kepada kelompok penganut agama Islam yang lebih

“patuh”.15

Kedua laporan penelitian di atas menyatakan adanya pengaruh kuat kepercayaan dan tradisi nenek moyang dalam kehidupan masyakarakat Indonesia secara umum, dan di Sulawesi Selatan secara khsusus. Hasil penelitian serupa diungkapkan seorang antropolog Bugis-Makassar lulusan Universitas Indonesia, Jakarta, Mattulada (1928-2000) bahwa masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel), khususnya suku Bugis dan Makassar, secara resmi menganut agama Islam dengan setia, akan tetapi pada inti kepercayaannya terdapat konsep-konsep kepercayaan lama, seperti kaum Tolotang, dengan konsep-konsep Dewa tertinggi yang disebut To

15

Lihat NurhayatiDjamas, “Varian Keagamaan Orang Bugis Makasar, Studi Kasus di Desa

Timbuseng Kabupaten Gowa” dalam Sudjangi (Penyunting), Kajian Agama dan Masyarakat: 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1975-1990 (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan pengembangan Agama, 1993), h. 302.

(30)

PalanroE. Konsep-konsep kepercayaan ini merupakan sisa-sisa kepercayaan periode Galigo, zaman pemerintahan raja-raja Bugis-Makassar yang tertua.16

Di kalangan orang Bugis yang sudah menjadi penganut agama Islam semenjak permulaan abad ke-17, terutama di pedesaan, masih terdapat tanggapan-tanggapan tentang dunia gaib yang berasal dari religi pra-Islam. Tanggapan-tanggapan demikian dinyatakan dalam berbagai upacara yang biasanya erat pertaliannya dengan kegiatan hidup sehari-hari.17 Pengaruh kepercayaan warisan nenek moyang tersebut menjadi peninggalan trans-generasi yang juga ikut mewarnai bahkan terintegrasi ke dalam kebudayaan orang Bugis dan Makassar hingga hari ini. Salah satu di antaranya adalah pemali.

Pemali menampakkan diri sebagai jejak peradaban manusia Bugis dan Makassar yang masih ditemui pada era modern. Pemali adalah karya leluhur yang tak lekang oleh dinamika zaman, meskipun ia harus berkompetisi dengan nilai-nilai kekinian. Menariknya, eksistensi pemali tidak hanya terdapat pada masyarakat Sulawesi Selatan –negeri Bugis Makassar-, tetapi juga dapat ditemui pada berbagai suku lainnya, hingga ia seakan sudah menjelma dalam bentuk kearifan lokal Nusantara. Pemertahanan pemali warisan leluhur ini, sejak bangsa ini masih dalam

16

Lihat Mattulada, Latoa; Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985), h. 59. Penganut Hindu Tolotang pada awalnya adalah penganut kepercayaan Bugis Kuno yang semula tinggal di wilayah Kerajaan Wajo. Pada awal abad ke-17 Kerajaan Wajo dikalahkan oleh Sultan Alauddin dari Kerajaan Gowa. Setelah dikuasai Kerajaan Gowa, terjadi upaya islamisasi, sehingga pada akhirnya raja Wajo yang bernama La Sangkuru Arung Mata, berhasil diislamkan. La Sangkuru Arung Mata kemudian mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Wajo untuk masuk ke agama Islam. Sebagian besar penduduk Wajo mematuhi perintah raja, namun sebagian masyarakat yang tinggal di Wani tidak mau mengikuti

perintah tersebut. Nasruddin, “Budaya Bugis dan Agama Hindu Tolotang Di Kelurahan Amparita

kecamatan Tellulimpoe Kabupaten Sidenreng Rappang (Kajian Antropologi Budaya)”, Al-Kalam: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan dan Sainstek VIII, no. 2 (2014): h. 278.

17

(31)

kawasan nusantara, dan masih dapat dijumpai di tengah kemajuan peradaban bangsa Indonesia nan-modern sekarang ini merupakan fakta lain dari pemali di negeri ini.

Fakta unik berikutnya, pemali dikenal seluruh lapisan masyarakat Indonesia, sekalipun tidak pernah diajarkan secara formal di sekolah-sekolah atau di lembaga pendidikan formal lainnya. Artinya, pemali diwariskan dari generasi ke generasi secara alami seiring dengan proses pewarisan bahasa daerah. Proses pewarisan pemali tersebut, nampaknya sejalan dengan proses peralihan budaya yang juga mengikuti proses dinamika sosial (social dynamics). Di antara konsep-konsep yang terpenting dalam dinamika sosial tersebut ada yang mengenai proses belajar kebudayaan oleh warga masyarakat bersangkutan, yaitu; internalisasi (internalization), sosialisasi (socialization), dan enkulturasi (enculturation).18

Pewarisan pemali secara turun-temurun melalui komunikasi lisan dan pergaulan sehari-hari yang dikenalkan sejak masih usia dini tidak terlepas dari proses pembelajaran budaya tersebut (sosialisasi). Pewarisan itu berawal ketika orang-orang tua sering melarang anak-anaknya untuk melakukan beberapa hal dalam kesehariannya. Larangan orang tua itu terkadang disebutkan berbarengan dengan alasan pelarangan atau akibat yang ditimbulkan, dan terkadang tanpa disebutkan alasan dan akibatnya.

18

Internalisai adalah proses individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Sosialisasi adalah proses seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam pranata sosial yag mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Cet. IX; Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 184-189.

(32)

Pemali dimaknai sebagai pantangan dan atau larangan (berdasarkan adat dan kebiasaan).19 Pemali, dalam hal ini dipahami sebagai bentuk-bentuk pantangan atau larangan yang tidak boleh dilakukan atau dilanggar berdasarkan keyakinan dalam adat-istiadat.

Makna pemali seperti itu juga menyatakan adanya hubungan pemali dan adat kebiasaan atau tradisi masyarakat. Dengan kata lain, adat dan tradisi melahirkan keyakinan terhadap adanya hal-hal yang tidak boleh dilakukan atau adanya pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh setiap orang atau anggota masyarakat. Adat istiadat adalah segala aturan (tindakan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan secara turun-temurun.20

Dalam pandangan antropologi, adat istiadat adalah nama lain dari sistem budaya atau cultural system yang merupakan komponen abstrak dari kebudayaan dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, konsep-konsep, tema-tema berpikir, dan keyakinan-keyakinan.21 Karena itu adat dan tradisi adalah bagian dari budaya yang merupakan karya cipta manusia.22

Adat atau tradisi merupakan jejak-jejak pengalaman manusia berinteraksi dengan alam lingkungannya yang begitu lama dengan melewati tahap demi tahap, mengikuti proses dinamika sosial. Potensi pikiran yang dianugrahkan Tuhan kepadanya menjadikan manusia mampu memahami kebutuhannya terhadap alam,

19

Depertemen Pendidikan Nasional RI., Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1145.

20

Depertemen Pendidikan Nasional RI., Kamus Bahasa Indonesia, h. 10.

21

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 180.

22

Istilah cipta manusia berbeda dari cipta Tuhan. Tuhan mencipta dari yang tidak ada kemudian diadakan. Sedang Manusia menciptakan kebudayaannya hanya mengubah kenyataan, yaitu alam. Hal ini dapat dilihat dalam Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu (Cet. III; Jakarta: Pustaka Antara, 1968), h. 42.

(33)

pada tahap berikutnya menyesuaikan diri dengan alam, dan tahap lebih lanjut

manusia mampu “mengatur” alam demimemenuhi kebutuhannya.

Keberhasilan manusia menyesuaikan diri dan menundukkan alam sekitarnya adalah bukti keberhasilan mereka mencapai suatu tingkat kebudayaan yang tinggi.23 Dengan demikian, tradisi diciptakan manusia untuk menunjang setiap upaya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan secara individu, maupun kebutuhan secara berkelompok dan bermasyarakat.

Penguasaan manusia terhadap alam dan pemanfaatannya demi memenuhi kebutuhan hidupnya dalam petunjuk hukum Islam bukanlah sesuatu yang tercela dan terlarang, bahkan disebutkan dalam sumber ajaran Islam bahwa alam ini untuk dikuasai manusia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan di bumi.

Allah swt. menjelaskan posisi dasar manusia sebagai hamba yang harus terus mengabdi kepada Tuhan-Penciptanya yang sekaligus menyiapkan fasilitas hidup dan penunjang utama dalam mewujudkan kesejahteraannya di bumi.24 Selanjutnya, manusia dinobatkan sebagai khalifah. Allah swt. berfirman dalam QS al-Baqarah/2: 31.

ﺎَﺟ ﻲِّﻧِإ ِﺔَﻜِﺋَﻼَﻤْﻠِﻟ َﻚﱡﺑ َر َلﺎَﻗ ْذِإ َو

ﺎَﮭﯿِﻓ ُﺪِﺴْﻔُﯾ ﻦَﻣ ﺎَﮭﯿِﻓ ُﻞَﻌْﺠَﺗَأ ْاﻮُﻟﺎَﻗ ًﺔَﻔﯿِﻠَﺧ ِض ْرَﻷا ﻲِﻓ ٌﻞِﻋ

َنﻮُﻤَﻠْﻌَﺗ َﻻ ﺎَﻣ ُﻢَﻠْﻋَأ ﻲِّﻧِإ َلﺎَﻗ َﻚَﻟ ُسِّﺪَﻘُﻧ َو َكِﺪْﻤَﺤِﺑ ُﺢِّﺒَﺴُﻧ ُﻦْﺤَﻧ َو َءﺎَﻣِّﺪﻟا ُﻚِﻔْﺴَﯾ َو

)

31

(

.

Terjemahnya:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi". Mereka berkata: "Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami

23

T. O. Ihroni, Antropologi dan Hukum dalamMustakimah, “Akulturasi Islam dengan Buaya

Lokal dalam Tradisi Molonthalo di Gorontalo”Jurnal Diskursus Islam 2 no. 2 (Agustus 2014): h. 291.

24

(34)

senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".25

Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugrahkan Allah swt., makhluk yang diserahi tugas yakni Adam a.s. dan anak cucunya, serta wilayah tempat tugas yakni bumi yang terhampar ini. Kekhalifahan ini mengharuskan makhluk yang diserahi tugas itu melaksanakan tugasnya sesuai petunjuk Allah swt. yang memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan.26

Manusia dengan otaknya, telah berevolusi paling jauh jika dibandingkan dengan makhluk lain. Otak manusia telah dikembangkan oleh bahasa, tetapi yang mengembangkan bahasa mengandung kemampuan akal, yaitu kemampuan untuk membentuk gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang makin lama makin tajam, untuk memilih alternatif tindakan yang menguntungkan bagi kelangsungan hidup manusia.27 Otak manusia yang disebut dengan akal budi itu telah menyebabkan berkembangnya sistem-sistem yang dapat membantu dan menyambung keterbatasan kemampuan organnya. Keseluruhan dari sistem-sistem itu, yaitu: (a) sistem

25

Kementerian Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Kajian Us}u>l

al-Fiqh dan Intisari Ayat (Bandung: PT Sigma Iksamedia Arkanlima, 2009), h. 6.

26

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 1

(Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 173. Menurut catatan Koenjaraningrat, manusia berevolusi dalam waktu lebih kurang empat juta tahun lamanya, dan pada saat muncul di muka bumi, telah ada benih-benih dari kebudayaannya, telah ada bahasa sebagai alat komunikasi untuk perkembangan sistem pembagian kerja dan interaksi antar warga kelompok. Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 146-147. Sekaitan dengan hal ini, analisis para pakar geologi menemukan bahwa, kelompok kecil manusia pertama muncul antara satu atau dua juta tahun yang lampau di Benua Afrika, yang selanjutnya menyebar ke seluruh muka bumi, lebih lanjut dikatakan bahwa planet bumi ini mulai 4,8 miliar tahun yang lampau dan kehidupan pertama sekitar 1 miliar tahun. Nursid Sumaatmadja, Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungannya (Cet. II; Bandung: CV Alfabeta, 1998), h. 15.

27

(35)

perlambangan vokal atau bahasa; (b) sistem pengetahuan; (c) sistem organisasi sosial; (d) sistem peralatan hidup dan teknologi; (e) sistem mata pencarian hidup; (f) sistem religi; dan (g) kesenian, adalah yang disebut kebudayaan manusia.28

Semua sistem tersebut menjadi potensi manusia yang menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk berbudaya yang di samping menciptakan, juga menggunakan budayanya sebagai upaya untuk mendapatkan segala kebutuhan dan keinginan hidupnya.

Kebudayaan jelas menampakkan kesamaan kodrat manusia dari pelbagai suku, bangsa, dan ras. Manusia dapat saja didefinisikan dengan cara berbeda-beda, namun manusia sebagai cultural being atau makhluk budaya merupakan suatu fakta historis yang tak terbantahkan oleh siapapun.29 Sebagai makhluk budaya, manusia adalah pencipta kebudayaan, dan sebagai ciptaan manusia, kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Pada kebudayaan, manusia menampakkan jejak-jejaknya dalam panggung sejarah.30 Kebudayaan merupakan upaya manusia untuk terus menerus secara dialektis menjawab setiap tantangan yang dihadapi dengan menciptakan prasaran dan saran.31

Keunikan manusia sebagai makhluk hidup yang dikaruniai akal pikiran dan sebagai makhluk budaya telah membawa pertumbuhan dan perkembangan manusia yang berbeda dengan makhluk lainnya, bahkan juga perkembangan ruang muka bumi yang menjadi tempat hidup serta sumber daya yang menjaminnya. Perilaku manusia

28

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 81.

29

Lihat Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar (Cet. III; Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 15.

30

Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, h. 15-16.

31

Lihat Mustakimah, “Akulturasi Islam dengan Buaya Lokal dalam Tradisi Molonthalo di Gorontalo”Jurnal Diskursus Islam 2 no. 2 (Agustus 2014): h. 291.

(36)

ini menuntut tanggung jawab terhadap budaya yang menjadi bagian dari kehidupan manusia sendiri.

Berdasarkan sistem budaya, selain manusia berkreasi dalam mengembangkan akal pikirannya yang menghasilkan kebudayaan, manusia juga berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk budaya tidak dapat melepaskan diri dari konteks budaya yang memengaruhi, membatasi, dan bahkan mengembangkan kehidupannya sendiri.32 Konteks itu merupakan situasi nonlinguistis tempat sebuah komunikasi terjadi, termasuk di dalamnya konstruksi alam dan struktur masyarakat setempat.

Manusia tidak dapat eksis terpisah dari masyarakat, bahkan keduanya menggambarkan sifat dialektik yang pada satu sisi masyarakat adalah produk manusia dan pada sisi lain manusia adalah produk masyarakat.33 Konteks masyarakat memegang peranan penting terhadap budaya sebab tanpa masyarakatnya manusia sulit mengembangkan budayanya, bahkan sebagai anggota masyarakat, manusia menemukan budayanya.34 Sebaliknya tanpa budaya masyarakat juga tidak dapat berkembang. Dimana dan kapanpun manusia hidup, ia selalu menciptakan dan memiliki budayanya, dan pada saat yang sama, selalu butuh hidup dalam lingkungan sosial. Dengan demikian, budaya memiliki peran ganda bagi kehidupan manusia, yakni sebagai pemenuh kebutuhan dan sebagai pelestari kebutuhan itu sendiri.

32

Nursid Sumaatmadja, Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungannya, h. 9.

33

Peter L Berger, The Sacred Canopy, terj. Hartono, Langit Suci (Cet. II; Jakarta: Pustaka LP3S, 1994), h. 4.

34

Tesa ini ditemukan berdasarkan beberapa definisi tentang budaya, utamanya difinisi yang diajukan E. B. Tylor, menurutnya, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Elly M. Setiadi, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Cet. V; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 2.

(37)

Konteks lain yang tidak kalah pengaruhnya adalah lingkungan tempat manusia bermasyarakat dan membangun interaksi sosialnya, atau disebut konteks geografis. Perbedaan geografis seiring dengan tingkat peradaban umat manusia, menjadikan mereka menemukan tradisi atau kebiasaan yang antara satu dengan yang lainnya berbeda.35Lingkungan juga menjadi pertimbangan atau dorongan tercipta dan terpeliharanya sebuah budaya, dan sekaligus memberikan ciri dari budaya tersebut.

Perbedaan letak geografis dan tingkat peradaban menjadikan budaya seseorang dan atau masyarakat tidak sama dengan yang lainnya. Tepat kiranya

ungkapan pepatah klasik, “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” untuk

menegaskan kenyataan bahwa lain tempat dan situasi manusia hidup kemungkinan besar lain pula budaya yang dimilikinya.

Disparitas budaya berdasarkan keragaman kondisi daerah tersebut menjadi penciri kebudayaan Indonesia yang terdiri dari lima pulau besar, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Irian, dan Sulawesi, karena masing-masing pulau ini memiliki kebudayaan-kebudayaan yang khas. Bukan saja antar pulau berbeda budaya, bahkan dalam satu pulau pun terdapat berbagai ragam budaya sesuai dengan daerah sebaran penduduknya. Pulau Sulawesi umpamanya yang terdiri dari Sulawesi Selatan, Tengah, Utara, Tenggara, dan Barat, kesemuanya memiliki budaya masing-masing yang juga merupakan ciri khas daerah tersebut. Keragaman dalam adat istiadat dan budaya akan menciptakan sarana untuk terjadinya perjumpaan budaya yang bisa saling melengkapi.36

35

M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an; Tafsir BerwawasanKeindonesiaan (Cet.

I; Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012), h. 124.

36

M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an; Tafsir Berwawasan Keindonesiaan, h.

(38)

Kompleksitas perilaku masyarakat cepat atau lambat berkembang dalam tatanan yang membedakan baik dan buruk, indah dan jelek, dan sebagainya. Tatanan itulah yang merupakan kompleks tata norma yang mencerminkan pikir dan peri-jiwa manusia yang terus menerus membuat keputusan secara kolektif dan individual untuk merespons aneka sistuasi yang dihadapinya. Kerangka nilai dan norma itu akhirnya menjadi rambu bagi proses kebudayaan yang mendorong realisasi diri manusia.37

Pada dasarnya budaya memiliki nilai-nilai yang diwariskan, ditafsirkan, dan dilaksanakan seiring dengan proses perubahan sosial masyarakat. Pelaksanaannya merupakan legitimasi masyarakat terhadap budaya.38 Budaya tidak lepas dari sistem nilai yang memberi keyakinan kepada pemiliknya bahwa ada nilai yang terkandung dalam setiap ekspresi budaya. Dengan kata lain, tidak ada satu bentuk budaya yang hampa nilai.

Pengertian nilai diungkapkan dalam beberapa rumusan, tetapi dapat dikemukakan sebuah batasan, yaitu sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.39 Pengertian yang lebih sederhana adalah sesuatu yang baik dan selalu diinginkan, dicita-citakan, dan dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai

37

Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi Manusia, dengan revisi (Cet. I; Bandung: Yrama Widya, 2017), h. 150.

38

Rasid Yunus, “Transformasi Nilai-nilai Budaya Lokal sebagai Upaya Pembangunan

Karakter Bangsa”,Jurnal Penelitian Pendidikan 13, no. 1 (2013): h. 67.

39

Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar; Sebuah Pengantar (Cet. VI; Bandung: PT Refika Aditama, 1998), h. 19.

(39)

kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau etis), dan religius (nilai agama).40

St. Takdir Alisjahbana menyebut enam nilai yang sangat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia maupun masyarakat, yaitu:

1. Nilai teori, yaitu tujuan proses penilaian untuk mengetahui alam sekitar, menentukan dengan objektif identitas benda-benda dan kejadian-kejadian. 2. Nilai ekonomi, yaitu tujuan penilaian memakai benda-benda dan

kejadian-kejadian ke arah sebesar-besarnya kesenangan hidup.

3. Nilai agama, yaitu tujuan dalam proses penilaian dunia sekitar yang dihadapi dan sebagai ekspresi daripada rahasia dan kebesaran hidup dan alam semesta yang melahirkan rasa takzim dan ketakjuban.

4. Nilai estetika, yaitu penilaian pada keindahan dari benda-benda dan kejadian-kejadian yang melahirkan keserasian.

5. Nilai kekuasaan dan solidaritas, yaitu penilaian dengan melihat sesama, merasa puas jika orang lain mengikuti norma-norma dan nilai-nilai kita. Proses penilaian solidaritas memunculkan hubungan cinta, persahabatan, simpati, penghargaan, dan saling membantu.

6. Nilai ilmiah, yaitu tujuan penilaian pada kombinasi nilai teori, nilai ekonomi, dan nilai solidaritas ke arah pengembangan ilmiah.41

Tiga dari nilai budaya tersebut di atas, yaitu nilai agama, seni, dan solidaritas, berkaitan dengan rasa, yang masih menurut St. Takdir Alisjahbana bersendi pada perasaan, intuisi, dan imajinasi yang jika tidak didukung oleh

40

Elly M. Setiadi, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, h. 31.

41

(40)

pemikiran yang rasional, ia mudah terjerumus ke dalam penghayatan serba mistis dan gaib yang ekstrem dan irasional.42

Sistem nilai yang sudah berwujud tradisi akan menjadi sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang dibakukan dalam kehidupan masyarakat.43

Manusia dan masyarakat manapun umumnya memperjuangkan dan membela nilai-nilai dasar yang sama.44 Karena itu, unsur norma dan sanksi dalam budaya bermaksud memertahankan unsur nilai yang ada dalam budaya. Norma merupakan standar yang ditetapkan sebagai pedoman bagi setiap aktivitas manusia, sementara sanksi adalah ganjaran atau hukuman yang memungkinkan orang mematuhi norma.45

Para ahli ilmu sosial mengobservasi bahwa para warga masyarakat menganggap semua norma yang mengatur dan menata tindakan mereka itu tidak sama. Ada norma yang sangat berat sehingga apabila terjadi pelanggaran terhadap norma seperti itu akan ada akibatnya yang panjang. Para pelanggar akan dituntut, diadili, dan dihukum. Sebaliknya, ada juga norma yang dianggap kurang berat sehingga apabila dilanggar tidak akan ada akibat yang panjang, tetapi hanya tertawaan, ejekan, atau gunjingan saja oleh masyarakat lainnya. Sosiolog W.G.

42

Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, h. 3.

43

Lihat Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama; Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2011), h. 33.

44

Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, h. 41.

45

Setiap kebudayaan mempunyai tujuh unsur dasar, yaitu: kepercayaan, nilai, norma dan sanksi, simbol, teknologi, bahasa, dan kesenian. Lihat Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, h. 41-42.

(41)

Summer menyebut norma golongan pertama mores, dan norma golongan kedua folkways46(tata cara atau kebiasaan masyarakat).

Sistem norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan orang Bugis disebut

ade’ atau ada’ dalam bahasa Makassar. Ade’ adalah salah satu aspek pangadereng yang mendinamisasi kehidupan masyarakat, karena ade’ meliputi segala keharusan tingkah laku dalam kegiatan orang-orang Bugis.47 Hal yang sama juga berlaku bagi

ada’ terhadap orang-orang Makassar. Dengan demikian, ade’ atau ada’ merupakan unsur budaya Bugis-Makasar yang berfungsi menjaga nilai-nilai budayanya.

Di antara asas pangadereng, terdapat asas mappasilasa’e yang diwujudkan dalam manifestasiade’ agar terjadi keserasian dalam sikap dan tingkah laku manusia di dalam memperlakukan dirinya dalam pangadereng. Di dalam tindakan-tindakan operasionalnya ia menyatakan diri dalam usaha-usaha pencegahan (preventif), sebagai tindakan-tindakan penyelamat.48

Wujud dan fungsi asas mappasilasa’e dalam pangadereng, menunjukkan pemmali itu menemukan arti pentingnya, baik dalam pangadereng¸ maupun dalam kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar. Meskipun menurut Mattulada, cerita-cerita pemmali dalam kalangan orang Bugis digolongkan ke dalam rapang yang erat pertaliannya dengan pangadereng. Oleh karena itu pelanggaran atas pemmali menyebabkan seseorang dapat dianggap melanggar pangadereng.49

Pemmali yang dalam bahasa Indonesia dipersepsikan dengan istilah pemali bukanlah istilah tunggal yang digunakan masyarakat tradisional untuk menamai

46

Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 159-160.

47

Mattulada, Latoa; Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h. 339.

48

Mattulada, Latoa; Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, h. 341.

49

Gambar

Tabel 1: Daftar 24 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan
Tabel 2: Data penduduk pada 24 Kabupaten/Kota di Sul-Sel. berdasarkan agama
Tabel 3: Bentuk-bentuk pemali pada empat kabupaten di Sulawesi Selatan
Tabel di atas bukan merupakan daftar keseluruhan pemali yang terdapat pada empat  daerah  tersebut,  melainkan  hanya  daftar  pemali  yang  didapatkan secara rundown (acak) pada saat penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Selain dari itu acara Mappacci merupakan tradisi adat yang sudah membudaya di masyarakat Bugis sehingga pada umumnya orang Bugis akan merasa ada yang kurang jika tradisi ini

masyarakat Bugis di Kecamatan Sinjai Selatan ditentukan berdasarkan strata sosial, namun strata sosial disini tidak hanya disebabkan oleh karena ia keturunan

B. Akulturasi Agama dan Budaya dalam Masyarakat Bugis Kehadiran Islam dalam masyarakat Bugis merupakan bentuk penerimaan nilai yang sama sekali baru ke dalam budaya yang

Sanksi pajak berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak (WPOP) yang dimoderasi budaya bugis makassar atau yang kental dengan siri na

sebagai tatanan hidup masyarakat dalam kaitannya dengan posisi perempuan dalam kultur hukum Bugi Makassar ditempatkan posisi yang strategis. Status sosial

berhasil menanamkan dalam jiwa suku Bugis, bahwa tujuan hidup adalah menjadi manusia susila dengan memiliki harga diri yang tinggi; (4) 6LUL¶ telah berhasil meningkatkan

Berbagai kearifan lokal yang terkandung dalam fungsi kain tenun bagi masyarakat Bugis adalah (1) kain tenun sebagai pakaian keseharian atau sebagai alat untuk menutup tubuh

Hiasan pada baju Bodo suku Bugis dan Makassar yaitu adanya sejenis pita pada sekeliling pinggiran baju biasa disebut dengan pattenre, sedangkan hiasan pada baju