• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori ‘Urf atau ‘A<dah dalam Hukum Islam

TINJAUAN TEORETIS

D. Teori ‘Urf atau ‘A&lt;dah dalam Hukum Islam

‘Urf adalah sesuatu yang sudah dikenal oleh orang banyak dan telah

menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau (melakukan) perbuatan, maupun tidak melakukan atau meninggalkan perkataan atau perbuatan tertentu.196

195

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Vol. 1 Pemahaman Awal (Prenada Media Group, Jakarta, 2009), h. 348.

196

‘Urf juga dikenal sebagai ‘a>dah, karena keduanya memiliki kesamaan

makna yaitu kebiasaan-kebiasaan yang secara berulang dilakukan dan dikenali oleh manusia. Sekalipun demikian keduanya dapat dibedakan.

Sebagian ulama menyebutkan beberapa perbedaan antara ‘urf dan ‘a>dah, yaitu:

Pertama, dari segi makna asal, ‘a>dah mengandung arti pengulangan. Karenanya,

sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan ‘a>dah. Adapun ‘urf tidak melihat dari segi berulang kalinya perbuatan dilakukan, tetapi dari segi dikenal dan diakuinya oleh orang banyak.197

Kedua, dari segi kandungan artinya. Makna ‘a>dah lebih umum dari makna ‘urf.

Kata ‘urf berarti sesuatu yang dikenali oleh seluruh umat manusia, atau seluruh penduduk daerah, sedangkan ‘a>dah mencakup kebiasaan-kebiasaan umat Islam,

penduduk satu daerah, anggota suku, termasuk juga kebiasaan perorangan.198

Kandungan makna ‘a>dah juga dinilai berkonotasi netral mencakup ‘a>dah yang baik dan ‘a>dah yang buruk. Sedangkan‘urf mengandung konotasi baik.199

Ketiga, dari segi lingkup penggunaannya, kata ‘urf selalu digunakan untuk jamaah atau golongan, sedangkan kata ‘a>dah digunakan untuk sebagian orang di samping berlaku pula untuk golongan. Apa yang biasa dilakukan oleh seseorang, maka yang

dilakukan itu dapat dikatakan sebagai ‘a>dah orang itu, namun tidak dapat

dikatakan’urf orang tersebut.200

197

Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 387.

198

Lihat ‘Abd ‘Aziz Muhammad ‘Azzam, Al-Qawa>id Fiqhiyyah (Al-Qahirah: Da>r

al-Hadi>s}), h. 172.

199

Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 388.

200

Perbedaan yang dikemukakan di atas merupakan perbedaan yang tidak signifikan memengaruhi kesamaan makna keduanya, sebab keduanya menunjuk arti kebiasaan-kebiasaan yang terulang sehingga sudah dikenali atau masyhur, baik oleh individu maupun masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian, penggunaan kata

‘a>dah dan ‘urf dianggap sinonim atau sama saja.

Dalil kehujahan‘urf ada tiga, yaitu:

1. Al-Qur’an al-Karim, yaitu dalam QS al-Nisa>/4: 115.

ِﻖِﻗﺎَﺸُﯾ ﻦَﻣ َو

ﺎَﻣ ۦِﮫِّﻟ َﻮُﻧ َﻦﯿِﻨِﻣ ۡﺆُﻤۡﻟٱ ِﻞﯿِﺒَﺳ َﺮۡﯿَﻏ ۡﻊِﺒﱠﺘَﯾ َو ٰىَﺪُﮭۡﻟٱ ُﮫَﻟ َﻦﱠﯿَﺒَﺗ ﺎَﻣ ِﺪۡﻌَﺑ ۢﻦِﻣ َلﻮُﺳ ﱠﺮﻟٱ

) ا ًﺮﯿ ِﺼَﻣ ۡتَءٓﺎَﺳ َو َۖﻢﱠﻨَﮭَﺟ ۦِﮫِﻠ ۡﺼُﻧ َو ٰﻰﱠﻟ َﻮَﺗ

١١٥

(

Terjemahnya:

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Kata al-sabi>l dalam ayat tersebut artinya al-t}ari>q (jalan), artinya jalan orang-orang yang beriman yang dianggap baik, dan Allah swt. mengancam orang yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dengan demikian, mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah wajib.

2. Hadis Ibn Mas‘u>d ra:

َﺛﱠﺪَﺣ

ﱠنِإ" :َلﺎَﻗ ،ٍدﻮُﻌ ْﺴَﻣ ِﻦ ْﺑ ِﷲ ِﺪ ْﺒَﻋ ْﻦ َﻋ ، ٍﺶْﯿَﺒُﺣ ِﻦ ْﺑ ِّر ِز ْﻦَﻋ ،ٌﻢ ِﺻﺎَﻋ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ ، ٍﺮْﻜَﺑ ﻮُﺑَأ ﺎَﻨ

،ِدﺎَﺒِﻌْﻟا ِبﻮُﻠُﻗ َﺮ ْﯿَﺧ َﻢﱠﻠ َﺳ َو ِﮫ ْﯿَﻠَﻋ ُﷲ ﻰﱠﻠ َﺻ ٍﺪ ﱠﻤَﺤُﻣ َﺐ ْﻠَﻗ َﺪ َﺟ َﻮَﻓ ،ِدﺎ َﺒِﻌْﻟا ِبﻮُﻠُﻗ ﻲِﻓ َﺮَﻈَﻧ َﷲ

ِﮫِﺴْﻔَﻨِﻟ ُهﺎَﻔَﻄْﺻﺎَﻓ

َبﻮُﻠُﻗ َﺪَﺟ َﻮَﻓ ،ٍﺪﱠﻤَﺤُﻣ ِﺐْﻠَﻗ َﺪْﻌَﺑ ِدﺎَﺒِﻌْﻟا ِبﻮُﻠُﻗ ﻲِﻓ َﺮَﻈَﻧ ﱠﻢُﺛ ،ِﮫِﺘَﻟﺎَﺳ ِﺮِﺑ ُﮫَﺜَﻌَﺘْﺑﺎَﻓ ،

ىَأ َر ﺎ َﻤَﻓ ،ِﮫ ِﻨﯾِد ﻰ َﻠَﻋ َنﻮُﻠِﺗﺎ َﻘُﯾ ،ِﮫ ِّﯿِﺒَﻧ َءا َر َز ُو ْﻢ ُﮭَﻠَﻌَﺠَﻓ ،ِدﺎ َﺒِﻌْﻟا ِبﻮ ُﻠُﻗ َﺮ ْﯿَﺧ ِﮫِﺑﺎَﺤ ْﺻَأ

ِﻋ َﻮ ُﮭَﻓ ،ﺎًﻨ َﺴَﺣ َنﻮُﻤِﻠ ْﺴُﻤْﻟا

هاور) "ٌﺊِّﯿ َﺳ ِﷲ َﺪ ْﻨِﻋ َﻮ ُﮭَﻓ ﺎًﺌِّﯿ َﺳ ا ْوَأ َر ﺎ َﻣ َو ،ٌﻦ َﺴَﺣ ِﷲ َﺪ ْﻨ

.(ﺪﻤﺣأ

201

Artinya:

… Apa yang dipandang oleh umat Islam baik, maka baik pula di sisi Allah,

dan apa yang jelak dalam padangan umat Islam maka jelek pula di sisi Allah swt.

Hadis tersebut merupakan hadis mauqu>f (riwayatnya hanya sampai pada sahabat atau tidak sampai ke Nabi saw.). Dalam pandangan al-A<midi, Ibn H{azm, dan al-Sya>t}ibi>, bahwa lafaz al-muslimu>n menunjuk pada ijma>’ (kesepakatan) ahl al-h}all wa al-‘aqd (dewan perwakilan), dan apa yang menurut kesepakan itu baik maka di sisi Allah swt. juga baik. Dalam pengertian ini,‘urf merupakan dalil.202

3. Kesepakatan cendekiawan bahwa adat itu dijadikan landasan hukum terhadap urusan atau hal-hal yang berulang secara adat, karena hal itu merupakan sumber kebutuhan dan kemaslahatan yang tidak bertentangan dengan nas} (teks) dan maqa>s}id al-syari>‘ah (tujuan umum ditetapkannya syariat).203

‘Urf dapat dibagi atas beberapa kategori berdasarkan tiga segi pandangan: Pertama, dari segi sifatnya dibagi kepada dua, yaitu‘urf qauli> dan ‘urf ‘amali>. ‘Urf qauli> adalah adalah ‘urf berupa perkataan, seperti perkataan walad yang berarti anak, baik laki-laki maupun perempuan, tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan anak laki-laki saja. Lah}m berarti daging, termasuk di dalamnya daging

201

Abu> ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin H{anbal, Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal, juz 6 (Cet. I; t.t.: Muassasah al-Risa>lah, 2001), Bab Musnad ‘Abdillah bin Mas‘u>d r.a.,

hadis no. 3600, h. 84.

202

Lihat ‘Abd al-‘Aziz Muhammad ‘Azzam, Al-Qawa>id al-Fiqhi>yyah (Al-Qahirah: Da>r

al-Hadi>s}), h. 173.

203

binatang darat dan ikan, tetapi dalam sehari-hari hanya diartikan daging binatang darat saja.

‘Urf ‘amali> ialah ‘urf berupa berbuatan, seperti kebiasaan jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan s}i>gah atau kata akad jual-beli. Padahal menurut syara’, s}i>gah dalam jual-beli termasuk rukun, tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara’ membolehkannya.204

Kedua, dari segi akseptasi terbagi atas dua kategori, yaitu ‘urf s}ah}i>h} dan ‘urf fa>sid.

‘Urf s}ah}i>h} atau yang baik ialah sesuatu yang dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan susuatu yang haram, dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib. Adapun ‘urf fa>sid atu yang tidak baik adalah

sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan

dengan syara’, atau mengahalalkan sesuatu yang diharamkan, atau membatalkan

sesuatu yang wajib.205

Pembagian kategori ‘urf di atas menegaskan bahwa ‘urf adalah sesuatu yang sudah dikenal dan menjadi tradisi manusia, sekaligus menggariskan kriteria‘urf s}ah}i>h} ada dua, yaitu : 1) tidak bertentangan dengan syara’, dan 2) tidak membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf fa>sid sebaliknya, bertentangan dengan syara’, dan membatalkan yang wajib.

Syarat adat-istiadat yang dapat dikokohkan menjadi sebuah hukum dirumuskan sebagai berikut:

204

Muin Umar dkk., Ushul Fiqh I (Proyek Pembinaan Prasaran dan Saran Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Jakarta: 1986 ), h. 151.

205

a. Dapat diterima dengan kemantapan jiwa oleh masyarakat, didukung oleh pertimbangan akal yang sehat dan sejalan dengan tuntunan watak pembawaan manusia.

b. Benar-benar merata menjadi kemantapan umum dalam masyarakat dan dijalankan terus-menerus.

c. Tidak bertentangan dengan nas al-Qur’an atau sunnah Rasul.206

Banyak hal terkait dengan urusan kehidupan dunia yang telah diketahui oleh umat pada zaman Nabi saw, dan tidak diharamkan oleh Nabi saw. dan tidak pula dilarangnya sehingga hal itu menunjukkan kebolehannya, maka adat menjadi sandaran atau dalil hukum terhadap realitas dan kejadian-kejadian baru pada setiap waktu dan tempat.207

Ketiga, dari segi ruang lingkup berlakunya terbagi kepada‘urf ‘a>m dan ‘urf kha>s}. ‘Urf ‘A<m berlaku pada semua tempat, masa, dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah berjasa, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu, dan sebagainya.

‘Urf Kha>s} ialah ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa, atau keadaan tertentu, seperti kegiatan halal bi halal yang biasa dilakukan kaum muslimin bangsa Indonesia setiap selesai menunaikan ibadah puasa Ramadan, sedangkan di negara-negara lain tidak dibiasakan.208

206

Azhar Basyir, Hukum Adat bagi Hukum Islam (Yogyakarta: FH UII, 1983), h. 7 dikutip dalam Rohidin, Pengantar Hukum Islam, dari Semenanjung Arabiyah Sampai Indonesia (Cet. II; Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Book, 2017), h. 89.

207

Lihat ‘Abd ‘Aziz Muhammad ‘Azzam, Al-Qawa>id Fiqhiyyah (Al-Qahirah: Da>r

al-Hadi>s}), h. 174.

208

Adaptasi terhadap adat yang tidak diharamkan syariat dan tidak pula bertentangan dengan nas, akan mendukung dan menguatkan eksistensi hukum Islam yang dinamis dan senantiasa dapat merespons perubahan zaman.

ْﻨَﯾَﻻ

َﻜ

ُﺮ

ِنﺎَﻣ ْزَ ْﻷا ِﺮﱡﯿَﻐَﺘِﺑ ِمﺎَﻜْﺣَﻷا ُﺮﱡﯿَﻐَﺗ

209 Maksudnya:

Tidak dapat dipungkir bahwa perubahan hukum berhubungan dengan perubahan masa.