• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori-Teori Dari Beberapa Tokoh Psikologi Mengenai Hubungan

BAB II. LANDASAN TEORI

D. Teori-Teori Dari Beberapa Tokoh Psikologi Mengenai Hubungan

MENGENAI HUBUNGAN MENONTON TELEVISI DAN

PERILAKU KONSUMTIF

1. Freud

Pendekatan psikodinamika ini menekankan adanya libido atau dorongan instink biologis yang tak terpuaskan pada diri individu. Teori ini menjelaskan pula bahwa untuk memuaskan libido setiap individu memiliki dorongan untuk menjadi sama dengan orang lain yang disebut identifikasi. Identifikasi merupakan cara belajar seseorang untuk mencontoh orang lain yang dianggapnya ideal.

Tahapan identifikasi mula-mula berlangsung secara tidak sadar kemudian irrasional, yaitu berdasarkan perasaan yang tidak rasional. Identifikasi ini hanya menghendaki bahwa yang satu ingin menjadi seperti yang lain dalam sifat-sifatnya yang dikagumi (Ahmadi, 1991). Salah satu proses identifikasi adalah menonton televisi. Ketika individu mulai memberikan perhatian penuh pada apa yang ditontonnya, individu tersebut cenderung meniru perilaku atau gaya hidup dari tokoh idolanya. Apabila perilaku meniru ini terus dibiarkan maka individu tersebut memiliki perilaku konsumtif yang cukup tinggi.

2. Bandura

Teori behaviour berusaha menganalisa perilaku yang nampak, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan yang dikendalikan oleh

faktor-faktor lingkungan. Salah satu faktor lingkungan tersebut adalah televisi. Aktivitas menonton televisi akan memberikan penguatan, penghargaan dan hukuman, serta pengondisian pada individu dalam mengamati, dan menyimpan pengamatan tersebut untuk meniru tingkah laku model.

Di sisi lain, penguat dan hukuman bukanlah faktor yang paling penting dalam belajar melainkan melakukan satu tindakan (performance). Bila anak dihargai karena mengungkapkan perasaannya ia akan sering melakukannya. Tetapi jika ia dihukum ia akan menahan diri untuk berbicara walaupun ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Melakukan satu perilaku ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan peniruan (Bandura dalam Severin & Tankard, 2005).

Salah satu dampak dari media massa adalah orang belajar bagaimana berpakaian dengan mode baru yang menyangkut mengenai gaya hidup, orang mendapatkan pelajaran baru mengenai cara menyelesaikan masalah, dan orang menyerap perilaku dalam bergaul. Pembelajaran sosial merupakan teori yang efektif untuk televisi karena seseorang akan mendapatkan kekuatan yang berlipat ganda dari model tunggal yang mengirimkan cara-cara berpikir dan berperilaku baru bagi banyak orang di lokasi yang berlainan (Bandura dalam Severin & Tankard, 2005).

Sesuai dengan teori belajar sosial, perilaku konsumtif sebagai akibat menonton televisi merupakan perilaku meniru yang mengalami 4 fase yaitu perhatian, penyimpanan, produksi, dan motivasi. Fase perhatian merupakan stimulus yang membuat anak merasa tertarik dan berminat terhadap suatu kegiatan, benda-benda atau peristiwa tertentu. Kemudian fase tersebut berlanjut pada fase penyimpanan (retention) di mana stimulus tersebut disimpan di dalam memori anak. Selanjutnya ke fase production (memproduksi) yang merupakan proses melakukan peniruan terhadap tindakan model. Setelah itu terjadi fase motivasi yaitu dorongan untuk mengulangi tingkah laku serupa dalam beberapa situasi karena adanya penguatan. Misal anak tertarik pada tayangan kartun. Pada fase perhatian anak akan memperhatikan dengan sungguh dari gaya bicara dan perilaku tokoh-tokoh tersebut. Kemudian anak akan menyimpannya ke dalam memori mereka. Setelah itu akan berlanjut ke fase produksi yaitu melakukan peniruan terhadap tindakan model dengan permainan pura-pura. Pada fase ini anak-anak akan berusaha mereproduksi situasi yang telah dilihatnya, baik dari kehidupan film kartun maupun kehidupan nyata ke dalam permainannya. Setelah melalui fase memproduksi maka akan masuk ke dalam fase motivasi. Anak memiliki dorongan untuk mengulangi tingkah laku serupa dalam beberapa situasi karena adanya penguatan dari menonton televisi berulang kali. Jika perilaku ini terus

mendapatkan penguat positif baik dari keluarga maupun teman sebayanya maka anak akan berperilaku konsumtif.

Teori belajar sosial terdiri atas komponen kognitif, afektif dan perilaku. Komponen kognitif melibatkan segala pemikiran dan ide-ide yang berkenaan dengan apa yang dilihat. Isi pemikiran dapat berupa tanggapan atau keyakinan atau pengertian, kesan, atribusi, dan penilaian terhadap apa yang dilihatnya (Sarwono & Meinarno, 2009). Komponen afektif meliputi emosi, perasaan tertentu, suasana hati dan evaluasi terhadap suatu objek (Peter & Olson, 1999). Komponen afektif ini terlihat dari rasa cinta atau marah, kepuasan atau frustrasi, dan senang atau tidak senang terhadap objek tersebut. Isi perasaan atau emosi pada penilaian seseorang terhadap objek inilah yang mewarnai sikap menjadi suatu dorongan atau kekuatan atau daya (Sarwono & Meinarno, 2009). Komponen perilaku diketahui melalui respon seseorang yang berupa tindakan atau perbuatan yang dapat diamati dan dapat berupa intensi atau niat untuk melakukan perbuatan sesuai dengan objek yang diamati. Intensi merupakan predisposisi atau kesiapan untuk bertindak terhadap objek sikap. Jika seseorang memiliki pengetahuan yang luas tentang model yang disertai dengan perasaan positif mengenai kognisinya, maka ia akan cenderung meniru model tersebut. Dengan kata lain seseorang menerima berbagai informasi melalui indra dan mempersepsikan informasi secara selektif yaitu memilih yang relevan dengan kepentingan dirinya saja.

Kemudian diinterpretasi dan dievaluasi sebelum menjadi sikap yang relatif menetap dalam ruang kognisi.

3. Piaget

Anak pada usia akhir masa kanak-kanak berada pada tahap operasional konkret yaitu anak dapat berpikir logis tentang peristiwa-peristiwa yang konkret dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Anak mampu mencerna informasi lebih baik dibanding anak usia dibawahnya.

Teori dari tokoh Piaget ini juga memberikan dari segi kognitif yaitu adanya unsur pengetahuan dimana pengetahuan itu dipelajari dan perubahan pengetahuan akan memungkinkan timbulnya perubahan perilaku. Perilaku tersebut dapat terjadi karena manusia sebagai pencari pengetahuan yang aktif dalam bertindak di dunia berdasarkan pengetahuan ini (Neisser dalam Severin & Tankard, 2005). Dalam pandangan ini, orang dilihat sebagai ‘pemecah masalah’ daripada sebagai objek pengondisian atau manipulasi.

Dokumen terkait