• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Teori-teori yang Mendukung

Setiap anak perlu melakukan adaptasi untuk menunjukkan pola hubungan individu dengan lingkungannya dalam proses perkembangan kognitif (Piaget dalam Suyono dan Harianto, 2011: 86). Adanya dorongan untuk mengorganisasikan pengalaman agar mendapatkan adaptasi yang optimal (ekuilibrium) disebut ekuilibrasi (Hergenhahn dan Olson, 2008: 316). Agar terjadi ekuilibrasi antara individu dengan lingkungan, maka peristiwa asimilasi dan akomodasi harus terjadi secara terpadu (Schunk, 2012: 334). Asimilasi merupakan proses penggabungan informasi baru yang ditemui dalam kehidupan nyata, kemudian informasi tersebut dikelompokkan ke dalam istilah yang sebelumnya telah dipahami anak. Sedangkan akomodasi merupakan mengubah struktur kognitif yang sudah dimiliki sebelumnya untuk disesuaikan menghadapi tantangan baru. Jadi setiap organisme yang melakukan adaptasi dengan lingkungannya harus mencapai keseimbangan (ekuilibrium), antara aktivitas individu terhadap lingkungan (asimilasi) dan aktivitas lingkungan terhadap individu (akomodasi).

Menurut Piaget (dalam Suyono dan Harianto, 2011: 83) setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahapan perkembangan kognitif yang teratur berupa aktivitas yang gradual dari konkret menuju abstrak. Empat tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget (Hergenhahn dan Olson, 2008: 318): 1) tahap sensorimotor (sekitar 0-2 tahun), 2) tahap pra-operasional (sekitar 2-7 tahun), 3) tahap operasional konkret (sekitar 7-11 tahun), dan 4) tahap operasional formal (sekitar 11-15 tahun).

Dalam tahapan sensorimotor, ditandai dengan aktivitas anak dilakukan secara spontan dan menunjukkan adanya usaha untuk memahami dunia (Schunk, 2012: 332). Pengetahuan anak diperoleh melalui interaksi fisik, seperti: melihat,

9

meraba, memegang, mengecap, mencium, mendengarkan dan menggerakkan anggota tubuh. Dalam hal ini anak sangat mengandalkan kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemampuan kognitif yang muncul pada saat ini adalah anak mulai memahami bahwa perilaku tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya.

Dalam tahapan pra-operasional, perkembangan bahasa dan ingatan pada tahap ini membuat anak mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Anak mulai membentuk konsep sederhana seperti mengklasifikasikan benda-benda berdasarkan kemiripannya, namun masih banyak melakukan kesalahan dalam memahami konsep. Anak lebih menjadi tidak egosentris karena menyadari bahwa orang lain dapat berpandangan berbeda terhadap suatu objek yang mereka pikirkan (Schunk, 2012: 333).

Dalam tahapan operasional konkret, anak memperlihatkan pikiran yang sudah lebih tidak egosentris dan bahasanya menjadi semakin bersifat sosial (Schunk, 2012: 333). Anak mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan, kemampuan mengklasifikasi secara memadai, melakukan pengurutan, dan menangani konsep angka. Selama tahap ini proses pemikiran anak diarahkan pada kejadian konkret yang diamati oleh anak.

Dalam tahapan operasional formal, proses berpikir anak semakin logis (Hergenhahn, 2008: 320). Anak sudah mampu berpikir abstrak, yaitu berpikir mengenai ide dan memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah sehingga proses berpikirnya tidak lagi bergantung pada hal-hal yang langsung dan riil. Oleh karena itu pada tahap ini anak sudah dapat bekerja secara efektif dan sistematis, secara proporsional, serta menarik generalisasi secara mendasar.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa siswa SD kelas IV tergolong pada tahap operasional konkret. Di dalam tahap operasional konkret, proses pembelajaran yang diberikan pada siswa hendaknya melibatkan aktivitas-aktivitas yang konkret untuk menyelesaikan masalah yang kompleks selama masalah tersebut merupakan objek yang tidak abstrak. Melalui aktivitas konkret tersebut maka ada kesempatan untuk merangsang siswa mengembangkan pikiran logisnya. Salah satu metode pembelajaran yang cocok untuk siswa dalam tahap operasional konkret adalah dengan menggunakan metode mind map. Metode mind

10

map melibatkan siswa dalam aktivitas konkret yakni melalui aktivitas menggambar mind map pada kertas putih. Hal ini akan membuat siswa memiliki pengalaman belajar yang lebih bermakna melalui aktivitas pembuatan mind map

dalam pembelajaran.

2.1.1.2 Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran merupakan cara-cara yang ditempuh guru untuk menciptakan situasi pengajaran yang benar-benar menyenangkan bagi kelancaran proses belajar dan tercapainya prestasi belajar anak yang memuaskan (Sumantri dan Permana, 2001: 114). Sedangkan menurut Sanjaya (2006: 147) metode pembelajaran merupakan cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan dapat tercapai secara optimal. Berdasarkan penjelasan dari beberapa ahli mengenai metode pembelajaran, peneliti menyimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah cara yang digunakan guru untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun untu memfasilitasi siswa dalam mengembangkan potensi agar tujuan belajar tercapai secara optimal.

Metode pembelajaran yang dipilih oleh guru hendaknya dapat memfasilitasi siswa untuk mengembangkan potensi siswa secara optimal. Beberapa metode pembelajaran yang dapat dilaksanakan dalam proses belajar di kelas antara lain (Sumantri dan Permana, 2001: 116): 1) metode ceramah, penyajian pelajaran oleh guru dengan cara memberikan penjelasan-penjelasan secara lisan kepada peserta didik, 2) metode demonstrasi, penyajian pelajaran dengan memperagakan dan mempertunjukkan kepada siswa tentang suatu proses atau situasi tertentu, baik sebenarnya atau hanya tiruan, dan 3) metode diskusi, penyajian pelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu permasalahan dengan tujuan siswa mampu memecahkan masalah, menjawab pertanyaan, menambah dan memahami siswa, serta membuat keputusan secara bersama-sama.

Beberapa ahli telah menjelaskan beberapa metode yang sering diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas. Peneliti memilih salah satu metode selain metode di atas yang sesuai untuk siswa kelas IV dalam tahap operasional konkret. Metode yang dipilih oleh peneliti yakni metode mind map. Huda (2013: 307-308)

11

menjelaskan bahwa salah satu metode yang efektif untuk mengembangkan gagasan-gagasan melalui rangkaian peta-peta yakni dengan menggunakan mind map. Oleh karena itu peneliti membahas metode mind map tidak pada sub-bab metode pembelajaran namun pada sub-bab yang berbeda agar metode mind map

dapat dimengerti lebih jelas.

2.1.1.3 Metode Mind Map

Mind map (Buzan, 2008: 4-5) merupakan cara mencatat yang kreatif, efektif, dan memetakan pikiran-pikiran kita serta menyusun fakta sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan. Informasi-informasi yang diperoleh disusun menjadi diagram warna-warni yang teratur dan penuh kreativitas sehingga bentuknya menarik, mudah dipelajari, dan memusatkan perhatian siswa agar mudah diingat. Michalko (dalam Buzan, 2008: 4) berpendapat bahwa mind map

adalah sebuah alternatif pemikiran keseluruhan otak terhadap pemikiran linier. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan mind map akan membuat proses berpikir menggapai ke segala arah dan menangkap berbagai pikiran dari segala sudut. Peneliti menyimpulkan pengertian mind map adalah metode pembelajaran dengan cara mencatat informasi secara kreatif dengan menggunakan kombinasi warna, gambar, dan cabang-cabang melengkung agar lebih mudah dalam mengingat informasi tersebut.

Menurut Michalko (dalam Buzan, 2008: 6) manfaat penggunaan mind map

dalam pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) mengaktifkan seluruh otak, 2) membereskan akal dari kekusutan mental, 3) memungkinkan kita berfokus pada pokok bahasan, 4) membantu menunjukkan hubungan bagian-bagian informasi yang saling terpisah, 5) memberi gambaran yang jelas pada keseluruhan dan perincian, 6) dapat mengelompokkan dan membandingkan konsep, dan 7) memusatkan perhatian pada pokok bahasan yang membantu mengalihkan informasi ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang.

Menurut Buzan (2006: 15-16) terdapat tujuh langkah dalam membuat

12

1. Mulai dari bagian tengah kertas kosong yang sisi panjangnya diletakkan mendatar, karena memulai dari tengah memberikan kebebasan kepada otak untuk menyebarkan informasi ke segala arah.

2. Gunakan gambar atau foto untuk ide sentral, karena sebuah gambar membantu mengembangkan imajinasi berpikir sehingga lebih menarik dan tetap fokus dalam berkonsentrasi.

3. Gunakan warna agar mind map lebih hidup, menambah energi pada pemikiran kreatif, dan menyenangkan.

4. Hubungkan cabang-cabang utama ke gambar pusat dan hubungkan pada cabang tingkat dua dan tiga hal sekaligus, dengan begitu akan lebih mudah mengerti dan mengingatnya. Setiap cabang pada sub pokok yang berbeda, gunakanlah warna yang berbeda agar tidak membingungkan.

5. Buat garis hubung yang melengkung dan organis, seperti cabang pohon, bukan garis lurus. Hal ini jauh lebih menarik bagi mata.

6. Gunakan satu kata kunci untuk setiap garis, karena dengan kata kunci tunggal memberi banyak daya dan fleksibilitas.

7. Gunakan gambar, karena seperti gambar sentral, setiap gambar bermakna seribu kata.

(Sumber: Buzan, 2006: 136)

13

Perbedaan utama peta konsep dengan mind map yakni pada mind map ada titik sentral yang diletakkan di tengah dan antar cabangnya tidak perlu dihubungkan dengan cabang-cabang yang lain, sedangkan peta konsep tidak terdapat titik sentral dan antar cabangnya dihubungkan satu sama lain untuk memetakan suatu konsep. Peta konsep merupakan ilustrasi grafis konkret yang menunjukkan bagaimana sebuah konsep tunggal dihubungkan ke konsep-konsep lain pada kategori yang sama (Martin dalam Trianto, 2009: 158). Dengan kata lain dalam peta konsep lebih menekankan untuk menunjukkan keterkaitan atau hubungan suatu konsep dengan konsep lainnya.

Penggunaan mind map pada pembelajaran untuk anak dalam tahap perkembangan operasional konkret sesuai karena adanya keterkaitan antara mind map dengan aktivitas konkret yang bisa dilakukan oleh anak. Melalui metode

mind map anak dapat mengembangkan kemampuannya untuk berpikir logis melalui aktivitas konkret dalam pembuatan mind map. Aktivitas konkret tersebut berupa proses menggambar mind map yang dilakukan oleh anak pada selembar kertas putih. Proses pembuatan mind map akan merangsang perkembangan cara berpikir anak dalam mengelompokkan, mengembangkan ide-ide, menguatkan peta-peta pikiran dalam otak, dan menangani suatu konsep yang diarahkan pada kejadian riil, sehingga siswa mampu memecahkan suatu permasalahan.

2.1.1.4 Ilmu Pengetahuan Alam

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai bentuk penyelidikan yang terorganisir untuk mencari pola atau keteraturan dalam alam (Iskandar, 1996: 1). Definisi IPA menurut Webster (dalam Iskandar, 1996: 2) merupakan pengetahuan tentang alam dan gejala-gejalanya. Purnell (dalam Iskandar, 1996: 2) berpendapat bahwa IPA adalah pengetahuan manusia yang luas yang didapatkan melalui observasi dan eksperimen yang sistematis. Peneliti menyimpulkan bahwa IPA adalah ilmu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam di mana pengetahuan tersebut didapatkan melalui serangkaian metode ilmiah yang sistematis.

Menurut Iskandar (1996: 11) hakekat IPA meliputi pengetahuan tentang alam berupa produk IPA yang diperoleh melalui proses IPA dengan dilandasi

14

pemilihan sikap ilmiah tertentu. Menurut Darmodjo dan Kaligis (1991: 5) menguraikan tiga hakekat IPA sebagai berikut: 1) IPA sebagai suatu proses merupakan upaya untuk memahami berbagai gejala alam melalui cara-cara tertentu yang bersifat analitis, cermat, lengkap serta menghubungkan berbagai gejala alam sehingga keseluruhannya membentuk suatu sudut pandang baru tentang objek yang diamati. 2) IPA sebagai suatu produk merupakan upaya manusia untuk memahami berbagai gejala alam sehingga dihasilkan prinsip-prinsip, teori-teori, hukum-hukum, konsep-konsep maupun fakta-fakta yang bertujuan untuk menjelaskan berbagai gejala alam. 3) IPA sebagai suatu faktor yang dapat mengubah pandangan manusia terhadap alam semesta, dari sudut pandang mitologis menjadi sudut pandang ilmiah.

2.1.1.5 Materi IPA

Penelitian ini berdasarkan standar kompetensi mata pelajaran IPA yaitu : 7. Memahami gaya dapat mengubah gerak dan/atau bentuk suatu benda. Kompetensi dasar yang akan diteliti yaitu : 7.1. Menyimpulkan hasil percobaan bahwa gaya (dorongan dan tarikan) dapat mengubah gerak suatu benda. Gaya adalah tarikan atau dorongan yang dapat mengakibatkan bergeraknya suatu benda (Halim, 2010: 39). Alat pengukur gaya disebut dinamometer atau neraca pegas. Satuan pengukur gaya disebut Newton yang dilambangkan dengan huruf N.

Gaya yang bekerja pada suatu benda akan mempengaruhi benda tersebut. Saat suatu benda dikenai gaya maka pengaruhnya antara lain (Haryanto, 2007: 136-141): 1) Mengubah arah benda, contohnya: mendorong gerobak, menarik gerobak, parasut, kompas. 2) Mengubah kecepatan benda, contohnya:mendorong gerobak, menarik gerobak, parasut, menendang bola, rem sepeda, berjalan kaki. 3) Menyebabkan benda bergerak menjadi diam, terjadi jika dua benda yang bertemu memiliki besar gaya yang sama, contohnya: rem sepeda yakni besarnya gaya gesek kampas rem yang menjepit ban sama dengan gaya yang berputar pada ban tersebut sehingga dapat menghentikan laju sepeda. 4) Mengubah bentuk benda, contohnya: tanah liat yang dibuat kerajinan tangan, kertas yang diremas, karet gelang yang berbentuk bulat: ketika ditarik dengan kuat menyebabkan karet

15

terputus, gelas yang utuh kemudian diberi gaya dorong yang menyebabkan gelas jatuh dan pecah.

Jenis-jenis gaya ada berbagai macam. Gaya menurut asalnya digolongkan menjadi 4 jenis (Halim, 2010: 40): 1) gaya otot merupakan gaya yang ditimbulkan oleh manusia ataupun hewan yang dihasilkan oleh tenaga otot, contohnya: ketika mendorong dan menarik gerobak, mengayuh sepeda, menarik tali sumur timba, memikul ember, mengangkat tongkat, tarik tambang, dan menendang bola. 2) Gaya gravitasi, merupakan gaya yang disebabkan oleh gravitasi bumi, contohnya: buah kelapa yang jatuh ke tanah, parasut yang jatuh ke tanah, bola yang dilempar ke atas kemudian kembali jatuh ke tanah. 3) Gaya magnet merupakan gaya yang ditimbulkan karena adanya magnet, contohnya: penggunaan kompas dan paku yang ditarik oleh magnet. 4) Gaya gesek merupakan gaya yang melawan gesekan antara dua permukaan yang bersentuhan, contohnya pada parasut ada gaya gesek parasut terhadap udara (semakin lebar parasut, semakin lama bertahan di udara).

2.1.1.6 Berpikir Kritis

Menurut Glaser (dalam Fisher, 2007: 3) berpikir kritis merupakan suatu keterampilan memeriksa dan melakukan penalaran logis pada setiap keyakinan dan pengetahuan asumtif mengenai hal-hal yang menjadi jangkauan pengalaman seseorang berdasarkan bukti pendukung dan kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya. Sementara menurut Browne dan Keeley (2012: 2-3) istilah berpikir kritis merujuk pada kemampuan melontarkan dan menjawab serangkaian pertanyaan kritis yang saling terkait pada saat yang tepat serta menggunakannya secara aktif. Berpikir kritis merupakan interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi (Fisher dan Scriven dalam Fisher, 2007: 10-11). Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan penalaran logis dalam menjelaskan tujuan, memeriksa asumsi, nilai-nilai, pikiran, mengevaluasi bukti, menyelesaikan tindakan, dan menilai kesimpulan dalam memecahkan suatu permasalahan.

Facione (1990) menggunakan metode Delphi dalam 46 ahli dari berbagai disiplin ilmu selama 2 tahun yang menghasilkan sebuah konsensus tentang pengertian berpikir kritis. Facione menyatakan bahwa berpikir kritis adalah

16

penilaian yang terarah dan terukur yang menghasilkan interpretasi, analisis evaluasi, kesimpulan, dan juga penjelasan terhadap pertimbangan-pertimbangan faktual, konseptual, metodologis, kriterilogis, atau kontekstual yang menjadi dasar penilaian tersebut. Facione (1990) menyebutkan bahwa kecakapan berpikir kritis memiliki dua dimensi, yaitu dimensi kognitif dan dimensi disposisi afektif. Pada penelitian ini hanya difokuskan pada dimensi kognitif.

Dimensi kognitif dipandang sebagai pusat kecakapan mental yang paling penting yang terdiri dari 6 kecakapan, yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi, eksplanasi, dan regulasi diri. Berikut ini diuraikan enam kecakapan berpikir kritis dimensi kognitif (Facione, 1990): 1) Interpretasi, merupakan kecakapan untuk memahami dan mengekspresikan makna dari berbagai pengalaman. 2) Analisis, merupakan kecakapan mengidentifikasi hubungan-hubungan logis dari pernyataan, pertanyaan konsep, uraian, atau bentuk ungkapan lain untuk mengemukakan kepercayaan, penilaian, pengalaman, penalaran, informasi, atau opini. 3) Evaluasi, merupakan kecakapan untuk menilai kredibilitas pernyataan atau opini seseorang untuk menimbang bobot dari suatu penalaran yang berkaitan dengan pernyataan atau ungkapan lainnya. 4) Inferensi

merupakan kecakapan mengidentifikasi dan memastikan elemen-elemen yang diperlukan untuk menarik alasan, merumuskan dugaan dan hipotesis, mempertimbangkan informasi-informasi yang relevan, dan menarik konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari prinsip, bukti, penilaian, kepercayaan, atau bentuk ungkapan lainnya. 5) Eksplanasi merupakan kecakapan menjelaskan dan memberikan alasan-alasan dari bukti, konsep, metode, kriteria, dan konteks yang digunakan untuk menarik kesimpulan, dan untuk mengemukakan argumen-argumen logis yang kuat. 6) Regulasi diri merupakan kecakapan memonitor aktivitas kognitifnya sendiri secara sadar, dan kecakapan untuk memonitor aktivitas mentalnya sendiri dalam menarik kesimpulan dengan menganalisis dan mengevaluasi penilaiannya sendiri.

2.1.1.7 Kemampuan Evaluasi dan Inferensi

Fokus utama dalam penelitian ini adalah dimensi kognitif yang terdiri dari kemampuan evaluasi dan inferensi. Kemampuan evaluasi merupakan kecakapan

17

untuk menilai kredibilitas pernyataan atau ungkapan lain yang mencerminkan persepsi, pengalaman, situasi, penilaian, kepercayaan, atau opini seseorang untuk menimbang bobot dari suatu penalaran yang berkaitan dengan pernyataan, deskripsi, pertanyaan, atau ungkapan lainnya (Facione, 1990: 8). Sub kecakapan dalam kemampuan evaluasi yaitu menilai klaim dan menilai argumen. Beberapa unsur yang terdapat dalam kemampuan evaluasi adalah sebagai berikut (Facione, 1990: 8): menilai benar tidaknya suatu argumen, menilai apakah argumen didasarkan pada asumsi yang benar, menilai benar tidaknya alternatif-alternatif pemecahan masalah, dan menilai apakah suatu prinsip dapat diterapkan untuk situasi tertentu.

Kemampuan inferensi merupakan kecakapan mengidentifikasi dan memastikan elemen-elemen yang diperlukan untuk menarik alasan yang masuk akal, merumuskan dugaan dan hipotesis, mempertimbangkan informasi-informasi yang relevan, dan menarik konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari data, pernyataan, prinsip, bukti, penilaian, kepercayaan, opini, konsep, gambaran, pertanyaan, atau bentuk ungkapan lainnya (Facione, 1990: 9). Sub kecakapan dalam kemampuan inferensi yaitu menguji bukti-bukti, menerka alternatif, dan menarik kesimpulan. Beberapa unsur yang terdapat dalam kemampuan inferensi

adalah sebagai berikut (Facione, 1990: 9): mengemukakan alternatif-alternatif untuk mengemukakan masalah, tepat menentukan pemecahan masalah mana yang paling kuat untuk diterima dan mana yang lemah untuk ditolak, memperkirakan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul dari suatu pilihan, dan memperkirakan pro dan kontra dari suatu pilihan.

2.1.2 Penelitian-penelitian Terdahulu yang Relevan

Dokumen terkait