BAB I: PENDAHULUAN
1.6 Teori
Untuk mengkaji upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus, difokuskan beberapa pemikiran yang akan diteliti dalam kerangka berpikir yang mencakup folklor dan sadranan. Selain itu untuk menjelaskan definisi yang diteliti dalam penelitian ini, bab teori akan dilengkapi dengan batasan istilah, yang mencakup upacara, padukuhan, proses ritual, pandangan masyarakat dan makna fungsi.
1.6.1 Kerangka Berpikir 1.6.1.1 Folklor
Menurut Dundes via Budiaman (1979:13) Folklor adalah sebagian dari kebudayaan yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun dan tradisional di antara anggota-anggota kelompok apa saja, dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan, maupun contoh yang disertai dengan perbuatan.
Menurut kajian ilmiah, folklor dapat diartikan sebagai tradisi lisan dan adat istiadat (oral and customary tradition ) (Danandjaja, 2003 : 31).
Menurut Taylor via Danandjaja (2003 : 31) folklor adalah bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau oleh adat-istiadat dari praktik.
Folklor berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk artinya “sekelompok orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Sedangkan lore adalah ‘tradisi folk’ yaitu sebagian dari kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Jadi, folklor adalah sebagian kebudayaan yang kolektif dan diwariskan secara turun-temurun secara lisan, baik yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat” (Danandjaja, 2002 : 1-2).
Menurut Dundes via Budiaman (1979 : 13) kata folklor berasal dari dua kata Inggris : folk dan lore. Folk berarti kelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal kebudayaan yang membedakannya dari kelompok lain. Ciri-ciri pengenal tersebut dapat berupa mata pencaharian hidup yang sama, bahasa yang sama, agama yang sama, tingkat pendidikan yang sama dan lain- lain. Tetapi yang terpenting dalam hal ini ialah bahwa mereka telah mempunyai suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah diwariskan secara turun-temurun yang dapat mereka akui sebagai milik kelompoknya sendiri. Di samping itu, yang penting juga ialah bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Adapun yang dimaksudkan dengan lore ialah tradisi folk yang diwariskan secara turun-temurun melalui lisan atau tutur kata, ataupun melalui contoh yang disertai perbuatan.
Menurut Budiaman (1979 : 14) folklor sebagai bagian dari kebudayaan mempunyai tanda-tanda pengenal yaitu (1) penyebarannya secara lisan atau perbuatan, yaitu dengan melalui tutur kata dari mulut ke mulut atau dengan menirukan perbuatan orang lain yang telah menjadi tradisi dalam masyarakat, dan
berlangsung secara turun-temurun, (2) bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam bentuk yang secara relatif tetap, atau dalam bentuk yang standar, dan tersebar di antara kelompok tertentu, dalam waktu yang cukup lama, (3) Folklor tersebar dalam versi ya ng berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena cara penyebarannya pada dasarnya adalah dari mulut ke mulut, bukan melalui tulisan atau rekaman, sehingga mudah mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada yang kecil-kecil saja, sedangkan bentuk garis besarnya masih identik, (4) Nama pencipta suatu folklor biasanya sudah tidak diketahui lagi, (5) folklor biasanya mempunyai bentuk klise berupa ungkapan-ungkapan tradisional yang stereotip, pemilihan kata atau kalimat yang membantu. Menurut Brunvand via Danandjaja (2002 : 21-22) folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor lisan (verbal fololore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), (3) folkor bukan lisan (non verbal folklore). Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan tradisonal, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisonal, seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda dan dongeng; (f) nyanyian rakyat. Folklor lisan juga mempunyai fungsi sebagai penghibur atau senagai penyalur perasaan yang terpendam
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya takhayul dan pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat adapula permainan rakyat, teater rakyat, tari-tarian rakyat, adat- istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain- lain.
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan yang bukan material. Yang tergolong material antara lain: arsitektur rakyat (bentuk asli rumah daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasukyang bukan material antara lain: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan), dan musik rakyat.
Menurut Budiaman (1979: 14-15) betapa pentingnya kita mempelajari folklor dalam rangka mengenal kebudayaan masyarakat tertentu karena fungsi yang terkandung di dalamnya, yaitu sebagai sistem proyeksi yang dapat mencerminkan angan-angan kelompok, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi.
Dari uraian di atas, folklor merupakan salah satu sarana komunikasi yang memainkan peranan penting dalam masyarakat tradisional, dalam menjaga kelestarian adat- istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Skripsi ini membahas
tentang upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus. Dalam penggolongannya upacara sadranan tergolong dalam folklor sebagian lisan. Jadi upacara sadranan yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan merupakan sebuah tradisi dan adat- istiadat karena masih dilaksanakan oleh warga masyarakat dari dahulu sampai sekarang, turun-temurun sampai anak cucu mereka. Adapun upacara sadranan yang dilakukan di Padukuhan Kalibulus diperingati setiap bulan Ruwah menjelang bulan Ramadhan. Pelaksanaan ritualnya dibuat sebuah prosesi tata upacara sadranan ke makam Kalibulus sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan sanak saudara yang telah meninggal dunia.
1.6.1.2 Sadranan
Sadranan adalah hari berkunjung ke makam para leluhur atau kerabat yang sudah mendahului dan hal ini merupakan salah satu peristiwa yang penting. Setiap orang berusaha untuk bisa melaksanakan sadranan. Sadranan selalu dilakukan dalam bulan Ruwah yaitu pada bulan menjelang puasa. Orang datang berduyun-duyun untuk berziarah ke makam keluarga. Dalam bulan Ruwah itu kesempatan untuk bertemu dengan keluarga-keluarga yang sudah terpencar-pencar di seluruh penjuru tanah air (Bratawidjaja, 1988 : 135 – 136).
Pemberton (2003, 331) memaparkan selama bulan Ruwah, sadranan diselenggarakan praktik-praktik desa ketika kuburan-kuburan leluhur dibersihkan dan diberi sesaji. Walau sadranan biasanya mengharuskan keluarga bepergian ke desa-desa lain untuk mengunjungi kuburan-kuburan leluhur keluarga, namun
praktik-praktik ini sering termasuk upacara-upacara di desa sendiri untuk memberi sesaji roh pelindung desa dan tokoh-tokoh legendaris yang sakti, yang secara kebetulan, mungkin dimakamkan di dekat desa.
Partokusumo via Lokesywara (http://www.depdiknas.go.id ) menjelaskan kegiatan lain dalam hal perawatan kuburan dan penghormatan terhadap roh orang mati atau roh leluhur adalah selamatan nyadran. Nyadran berarti melaksanakan upacara sadran atau sadranan yang masih popular di kalangan masyarakat Jawa. Upacara ini dilaksanakan pada bulan Ruwah (kalender Jawa) atau Sya’ban (kalender Hijriah) sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa Ramadhan. Nyadran dilangsungkan dengan selamatan di rumah dan di makam. Maksud selamatan ini adalah mengirim doa dan minta berkah kepada para arwah leluhur. Masyarakat percaya pada bulan Ruwah para arwah leluhur mempunyai kesempatan tilik kubur (berkunjung ke makamnya) dan tilik omah (berkunjung ke rumah).
Menurut Hardjowirogo (1980 : 143) sadranan adalah hari berkunjung ke makam para moyang dan di daerah Surakarta, ini merupakan suatu kejadian penting yang orang segan membiarkan lalu begitu saja dan yang seberapa dapat orang akan berusaha untuk melaksanakan. Sadranan ini selalu dilakukan dalam bulan Ruwah, pada bulan menjelang Ramadhan. Dari mana-mana orang datang berduyun-duyun untuk berziarah ke makam keluarga.
Sadranan di Padukuhan Kalibulus merupakan peristiwa penting bagi masyarakatnya. Sadranan bagi masyarakat Padukuhan Kalibulus adalah hari berkunjung ke makam para leluhur dan kerabat yang telah meninggal dunia.
Ritual ini dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus pada bulan Ruwah menjelang bulan puasa (Ramadhan). Seluruh warga Padukuhan Kalibulus dan kerabat-kerabatnya yang tinggal di luar Padukuhan Kalibulus, biasanya menyempatkan waktu untuk datang berziarah ke makam keluarga. Dalam pelaksanaannya, ritual sadranan di Padukuhan Kalibulus diwujudkan dalam sebuah tata upacara. Upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus merupakan ritual perawatan makam dan penghormatan terhadap roh leluhur dan sanak-saudara yang telah meninggal dunia dengan membersihkan makam leluhur dan sanak-saudara serta diberi sesaji, taburan bunga dan mendoakan arwah leluhur dan sanak-saudara yang telah meninggal dunia. Upacara sadranan bagi masyarakat Padukuhan Kalibulus adalah sarana untuk mengirim doa bagi leluhur dan sanak-saudara yang telah meninggal dunia supaya amal kebaikannya semasa hidup dapat diterima dan seluruh kesalahannya dapat diampuni oleh Tuhan Yang Maha Esa.
1.6.2 Batasan Istilah 1.6.2.1 Upacara
Upacara adalah tanda-tanda kebesaran, peralatan (menurut adat- istiadat); rangkaian tindakan/perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut adat/agama, perbuatan/perayaan yang dilakukan/diadakan sehubungan dengan peristiwa penting (seperti pelantikan pejabat, pembukaan gedung baru) KBBI (1988 : 994 ). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1994 : 1595) upacara adalah aturan resmi, seremoni, rangkaian tindakan yang terikat pada aturan,
kebiasaan yang berlaku sebagian dari perayaan (pelantikan pegawai negeri, peringatan-peringatan penting, peresmian gedung baru).
Upacara sadranan merupakan rangkaian tindakan/perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut adat/agama. Upacara sadranan merupakan perayaan peristiwa penting bagi warga masyarakat Padukuhan Kalibulus karena sampai saat ini masih dilakukan dan dalam pelaksanaan tata upacaranya disesuaikan dengan aturan yang berlaku di dalam masyarakat Padukuhan Kalibulus. Upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus dilaksanakan dengan aturan-aturan yang telah disepakati oleh semua warga Padukuhan Kalibulus. Di Padukuhan Kalibulus, upacara sadranan dilaksanakan dengan adat Jawa dan tata ritual agama Islam karena mayoritas penduduk di Padukuhan Kalibulus beragama Islam.
1.6.2.2 Padukuhan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 635) padukuhan adalah pedesaan atau perkampungan. Padukuhan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Padukuhan Kalibulus yang merupakan bagian dari Kelurahan atau Desa Bimomartani. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan masyarakat Padukuhan Kalibulus dan pelaksanaan upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus sebagai objek penelitian.
1.6.2.3 Proses Ritual
Proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 703) adalah runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu atau rangkaian tindakan, perbuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk.
Ritual adalah berkenaan dengan ritus, hal ikhwal ritus. Sedangkan pengertian ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (KBBI,1988 : 751). Ritua l menurut Martin dkk (2003 : 481) berarti hal ihwal yang berkenaan dengan ritus. Ritus itu sendiri adalah tata cara dalam upacara keagamaan. Ritual nujubulan (mitoni), memperingati seribu hari meninggalnya seseorang (nyewu).
Proses ritual ya ng dimaksud dalam penelitian ini adalah jalannya peristiwa atau rangkaian tindakan dalam tata upacara sadranan yang dilaksanakan di Padukuhan Kalibulus. Mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai semua ritual selesai dilaksanakan. Proses ritual upacara sadranan akan dibahas secara mendalam oleh peneliti dalam bab selanjutnya.
1.6.2.4 Pandangan Masyarakat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 643) pandangan berarti pengetahuan atau pendapat, hasil perbuatan memandang (memperhatikan, melihat).
Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas- luasnya dan terikat oleh suatu kebutuhan yang mereka anggap sama (KBBI,1988 : 564). Masyarakat itu adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat-istiadat yang tertentu (Koentjaraningrat, 1969 : 98).
Pandangan masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapat masyarakat Padukuhan Kalibulus tentang pelaksanaan upacara sadranan, ditinjau dari kepercayaan yang dianut oleh warga masyarakat serta makna dan fungsi dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan masyarakat ini akan dibahas peneliti secara mendalam dengan menggunakan metode- metode di bawah ini dan akan diungkapkan pada bab selanjutnya.
1.6.2.5 Makna dan Fungsi
Makna adalah arti atau maksud pembicara/penulis (KBBI, 1988 : 548). Fungsi adalah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan atau kegunaan suatu hal (KBBI,1988 : 245). Makna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah maksud atau arti dari pelaksanaan upacara sadrana n bagi masyarakat Padukuhan Kalibulus. Fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegunaan upacara sadranan bagi masyarakat Padukuhan Kalibulus. Makna dan fungsi upacara sadranan bagi masyarakat Padukuhan Kalibulus akan dibahas oleh peneliti secara mendalam dalam penelitian ini pada bab selanjutnya.
1.7 Metode Penelitian