• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: PROSES PELAKSANAAN UPACARA SADRANAN DI PADUKUHAN

2.3 Proses Ritual Pelaksanaan Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus

2.3.1 Waktu serta tempat Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus

Menurut Purwadi (2006:23) kalender adalah penanggalan yang memuat nama-nama bulan, hari tanggal dan hari- hari keagamaan seperti terdapat pada kalender Masehi. Kalender Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari tanggal dan hari libur atau hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dan ada hubungannya dengan apa yang disebut Petangan Jawi, yaitu perhitungan

baik-buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, Pranata Mangsa, wuku, dan lain- lainnya. Semua itu warisan asli leluhur Jawa yang dilestarikan dalam kebijaksanaan Sultan Agung dalam kalendernya.

Petangan Jawi sudah ada sejak dahulu, merupakan catatan dari leluhur berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat dan dihimpun dalam primbon. Kata primbon berasal dari kata rimbu, berarti simpan atau simpanan, maka primbon memuat bermacam- macam catatan oleh suatu generasi diturunkan kepada generasi peerusnya. Pada hakikatnya primbon tidak merupakan hal yang mutlak kebenarannnya, namun sedikitnya patut menjadi perhatian sebagai jalan mencapai keselamatn dan kesejahteraan hidup lahir batin. Menurut petangan Jawi berikut ini adalah nama-nama bulan kalender Jawa (Purwadi, 2006 : 23).

No Nama Bulan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Sura Sapar Mulud Bakda Mulud Jumadiawal Jumadiakhir Rejeb Ruwah Pasa Syawal

11. 12.

Dulkangidah Besar

Dalam mengadakan upacara sadranan warga masyarakat Padukuhan Kalibulus sangat memperhatikan hari dan waktu. Menurut perhitungan warga masyarakat Padukuhan Kalibulus, upacara sadranan biasa dilakukan oleh warga masyarakat Padukuhan Kalibulus pada bulan Ruwah sebelum memasuki bulan Ramadhan, biasanya dilaksanakan di atas tanggal 15 bulan Ruwah yaitu pada 23 Ruwah 1940 Hijriah atau di tahun 2007 jatuh pada hari Kamis Legi tanggal 06 September 2007. Upacara sadranan di Padukuhan Kalibulus dilaksanakan pada tanggal 23 Ruwah karena menurut tokoh masyarakat Padukuhan Kalibulus agar terbagi dengan daerah lain dan tidak bersamaan waktu pelaksanaannya sehingga warga masyarakat Padukuhan Kalibulus yang mempunyai kerabat yang telah meninggal dunia dan dimakamkan di tempat lain masih dapat mengunjungi makamnya.

Pelaksanaan upacara sadranan yang jatuh pada penanggalan setiap 23 Ruwah ini sudah menjadi kesepakatan bersama semua warga masyarakat Padukuhan Kalibulus dan sudah dilaksanakan dari zaman dahulu, zaman nenek moyang atau sesepuh masyarakat Padukuhan Kalibulus sampai warga masyarakat Padukuhan Kalibulus saat ini sebagai sebuah ketetapan. Upacara sadranan mulai dilaksanakan pada siang hari sampai sore hari. Sudah tiga tahun ini upacara sadranan yang di laksanakan di Padukuhan Kalibulus diliput oleh stasiun televisi lokal (JOGJA TV) yang kemudian ditayangkan pada program PAWARTOS

NGAYOGYAKARTA. Dengan diliputnya proses upacara sadranan ini oleh JOGJA TV jelas semakin menambah antusias warga masyarakat Padukuhan Kalibulus untuk mengikuti ritual upacara sadranan dengan bersama-sama bertujuan mensukseskan acara tersebut.

Tempat pelaksanaan upacara sadranan dilakukan di pemakaman Kalibulus. Biasanya ritual diadakan di dalam area pemakaman, di depan pusara leluhur/ sesepuh masyarakat Padukuhan Kalibulus yang telah meninggal dunia untuk mengenang leluhur, menyampaikan penghormatan yang tulus ikhlas dengan menaburkan bunga di atas pusaranya dan mendoakannya. Selain itu, ritual juga diadakan di halaman makam, di bawah tenda untuk menyantap bersama-sama makanan yang telah disiapkan sekaligus sebagai wadah untuk bersilaturahmi dengan sesama warga masyarakat Padukuhan Kalibulus dan sanak saudara (Lampiran 1: gambar 20 dan gambar 22).

2.3.2 Sesaji dalam Upacara Sadranan di Padukuhan Kalibulus

Dalam upacara sadranan diperlukan adanya perlengkapan sebagai sarana untuk mencapai tujuan dari upacara sadranan. Berbagai sarana penunjang atau perlengkapan upacara adalah berupa sesaji. Sesaji memegang peranan penting karena merupakan sarana pengantar doa-doa manusia kepada Tuhan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 768) sesaji berasal dari kata saji yang artinya hidangan (makanan dan lauk pauk yang telah disediakan pada suatu tempat untuk dimakan). Sedangkan bersesaji adalah mempersembahkan sajian dalam upacara keagamaan yang dilakukan secara simbolis dengan tujuan

untuk berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan gaib, dengan jalan mempersembahkan makanan dan benda-benda lain yang melambangkan maksud dari komunikasi tersebut (KBBI, 1988: 768). Dalam Kamus Indonesia Jawa (1991:272) sesajen adalah sajen, sedangkan bersaji adalah nganggo sajen; gawe (misungsungaken) sajen. Sajen atau sesaji dipersembahkan untuk penjaga suatu tempat yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, akan tetapi dipercaya orang bahwa di tempat tersebut ada penghuninya. Tujuan dari persembahan yang mereka lakukan biasanya sebagai bentuk ucapan syukur supaya arwah para leluhur dan sanak saudara dapat tenang di alam baka serta amal kebaikannya dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga diberikan tempat yang layak.

Menurut penuturan kaum di Padukuhan Kalibulus, yaitu mbah Sasradiharjo (80 tahun). Sesaji yang dipergunakan dalam upacara sadranan yang dilaksanakan oleh warga masyarakat Padukuhan Kalibulus terdiri dari kembang setaman yang digunakan untuk berziarah, ditaburkan di atas makam leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal dunia, dupa dan kemenyan, nasi tumpeng yang berbentuk kecil, ingkung,jajanan pasar (tukon pasar), apem (makanan yang terbuat dari tepung beras), ketan kolak, berbagai macam buah (pisang, jeruk, salak, apel, sawo), dan seperangkat teko yang terbuat dari tanah liat, yang berisi air putih. Sesaji tersebut diletakkan di atas nampan berbentuk rumah-rumahan dan berhiaskan janur agar terlihat menarik. Sesaji tersebut akan diletakkan di dekat makam leluhur atau sesepuh desa yang telah meninggal dunia dan akan didoakan bersama-sama sebagai sarana penghantar doa-doa manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Selain itu juga terdapat sesaji sego gurih, nasi putih yang berbentuk nasi tumpeng berukuran sedang, berbagai macam sayur (sayur kentang, sayur tempe), berbagai macam buah (apel, sawo, jeruk, pisang, salak) tahu dan tempe bacem, ikan dan ayam, tape ketan, roti, dan lemper. Semua perlengkapan tersebut sebagai menggambarkan kesejahteraan yang dirasakan oleh warga Padukuhan Kalibulus. Semua sesaji tersebut ditempatkan di nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu (tenong) dan peti berbentuk kotak yang terbuat dari kayu (jodang).Tenong dan jodang merupakan simbol peralatan rumah tangga dalam kebudayaan Jawa. Semua sesaji tersebut akan dimakan bersama-sama oleh warga masyarakat Padukuhan Kalibulus setelah selesai didoakan dan upacara selesai dilaksanakan (Lampiran 1: gambar 13, gambar 14 dan gambar 15).

2.3.3 Makna Simbolik yang Terkandung dari Setiap Sesaji dalam Upacara

Dokumen terkait