• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

IV. Hasil dan Pembahasan

4.3. Tepung Rumput Laut

Rumput laut, kualitasnya di pengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, musim, kadar garam, gerakan air dan zat hara. Cahaya, suhu, pH dan unsur hara akan berpengaruh terhadap berlangsungnya fotosintesa. Fotosintesa merupakan proses perubahan zat anorganik menjadi zat organik, sehingga faktor-faktor tersebut di atas secara tidak langsung akan menentukan kandungan protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat rumput laut (Kadi et al.

1988). Menurut Winarno (1990), komposisi kimia rumput laut bervariasi tergantung pada spesies, tempat tumbuh dan musim. Vegetable gum yang dikandungnya merupakan senyawa karbohidrat yang banyak mengandung selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna seluruhnya oleh enzim dalam tubuh, sehingga dapat menjadi makanan diet dengan sedikit kalori.

Kandungan serat dan iodium pada rumput laut, merupakan senyawa penting yang diharapkan manfaatnya. Beberapa peneliti telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insiden timbulnya berbagai macam penyakit diantaranya kanker usus besar, penyakit kardiovaskuler dan kegemukan (obesitas). Berdasarkan hasil penelitian ini, perlakuan suhu pengeringan yang berbeda terhadap 3 jenis tepung rumput laut yaitu Eucheuma cottonii, Glacilaria

sp dan Sargassum sp, secara umum tidak terlalu berpengaruh terhadap kandungan gizi rumput laut terutama kadar seratnya. Kadar serat larut pada tepung rumput

70 laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp lebih tinggi daripada serat tak larutnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lahaye (1991), maka kadar serat larut rumput laut yang ada di Kepulauan Seribu ini cukup tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai sumber serat yang dibutuhkan oleh tubuh. Besarnya peranan serat pangan bagi kesehatan manusia menjadikan produk ini semakin banyak dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai pencampur berbagai jenis makanan, minuman dan produk diet pelangsing tubuh (Le Marie, 1985).

Eucheuma cottonii merupakan rumput laut yang sangat luas penggunaannya baik langsung maupun berupa makanan dan minuman olahan. Berbagai cara pengolahan telah dilakukan untuk memanfaatkan tepung rumput laut ini, diantaranya adalah dengan mengolah menjadi makanan kering (crakers), makanan semi basah (dodol, selai), maupun jajanan pasar (kue putu, donat, cente manis). Beberapa industri rumah tangga telah berhasil mengolah dan memasarkan produk yang terbuat dari rumput laut ini. Rasa yang enak dan mudah cara mengolahnya merupakan hal yang menguntungkan. Untuk jenis rumput laut Glacilaria sp, pada umumnya dilakukan ekstraksi terlebih dahulu untuk menghasilkan agar, baik berbentuk batangan, lembaran (agar kertas) ataupun bubuk. Pemanfaatan secara langsung atau olahan berbentuk makanan atau minuman jarang dilakukan. Pemanfaatan rumput laut jenis Sargassum sp, biasanya dilakukan sebagai bahan tambahan makanan jajanan (kue) atau diekstrak untuk menghasilkan alginat yang luas penggunaannya. Penelitian yang dilakukan Darmawan et.al. (2004) terhadap kandungan omega 3 dan iodium tepung Sargassum sp menyebutkan pada konsentrasi 5 % berpengaruh nyata terhadap kadar iodium kue keik dan pada konsentrasi 2 % berpengaruh nyata terhadap kadar omega 3 kue keik.

Pengolahan lanjutan dari tepung rumput laut pada penelitian ini adalah untuk minuman berserat. Kandungan serat pangan yang tinggi terutama serat pangan larut, diharapkan dapat menjadi sumber serat pada minuman ini. Selain kandungan serat dan iodium, penilaian organoleptik sangat menentukan dalam pemilihan jenis tepung yang akan digunakan. Kondisi tepung yang akan digunakan diharapkan memiliki kriteria warna putih cemerlang, tidak berbau, dan tekstur halus. Tepung yang berwarna putih akan mudah dalam pengolahan warna yang diinginkan. Warna yang diberikan akan terserap sempurna. Warna akan

menambah daya tarik dan kesukaan konsumen terhadap produk minuman ini. Bau (aroma) suatu produk, baik makanan dan minuman akan mempengaruhi minat/kesukaan konsumen. Bau yang diharapkan pada tepung rumput laut ini adalah netral, dengan demikian tidak akan tercium bau amis yang dapat mengganggu selera. Tekstur tepung pada penelitian ini berada pada kondisi yang halus sedang. Tekstur yang sangat halus dan lembut akan memudahkan dalam penggunaan. Pada penelitian ini, ke 3 jenis tepung rumput laut memiliki kehalusan yang berbeda walaupun lolos pada saringan yang sama. Hal ini karena kondisi thallus pada masing-masing rumput laut berbeda dan mesin penepung yang digunakan tidak bekerja maksimal.

Berdasarkan analisa yang dilakukan, baik sifat fisik-kimia, maka jenis tepung rumput laut yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya adalah

Eucheuma cottonii dengan perlakuan suhu pengeringan 70 oC dan Glacilaria sp dengan perlakuan pengeringan 70 oC. Dengan demikian diharapkan sumber serat akan terpenuhi dari tepung rumput laut Eucheuma cottonii sedangkan kandungan iodium diharapkan terpenuhi dari tepung rumput laut Glacilaria sp. Data hasil pengamatan masing-masing jenis tepung rumput laut selengkapnya disajikan pada Tabel 23, 24 dan 25.

72 Tabel 23. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Eucheuma cottonii

Komponen Suhu pengeringan 50oC Suhu pengeringan 70oC Rendemen (% ) 8,01 8,33 Ph 7,11 6,45 Titik jendal (oC) 34 32 Titik leleh (oC) 75 70 Viskositas (cps) 5080,36 4970,40 Kelarutan (%) 27,6 36,8 Kadar air (%) 12,88 12,34 Kadar abu (%) 14,18 14,27 Kadar protein (%) 3,39 3,13 Kadar karbohidrat (%)

- Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)

68,25 75,18 9,70 84,88 68,16 72,19 11,23 83,42 Iodium (ug/g) 6,01 6,79

Tabel 24. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Glacilaria sp

Komponen Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC Rendemen (% ) 7,94 8,12 pH 7,13 7,57 Titik jendal (oC) - - Titik leleh (oC) - - Viskositas (cps) 18,58 20,89 Kelarutan (%) 15,03 18,01 Kadar air (%) 11,72 11,90 Kadar abu (%) 6,32 5,70 Kadar protein (%) 10,51 8,9 Kadar karbohidrat (%)

- Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)

73,67 60,68 22,48 83,34 73,78 62,95 20,67 83,62 Iodium (ug/g) 9,84 11,27

Tabel 25. Sifat Fisik-Kimia Tepung Rumput Laut Sargassum sp

Komponen Suhu pengeringan 50oC Suhu pengeringan 70oC Rendemen (% ) 7,14 7,94 pH 7,74 7,22 Titik jendal (oC) - - Titik leleh (oC) - - Viskositas (cps) 0,997 3,42 Kelarutan (%) 26,96 18,21 Kadar air (%) 10,82 11,65 Kadar abu (%) 15,83 15,58 Kadar protein (%) 8,80 8,85 Kadar karbohidrat (%)

- Kadar serat larut (%) - Kadar serat tak larut (%) - Kadar serat total (%)

64,21 25,89 55,86 81,75 67,2 24,99 57,62 82,61 Iodium (ug/g) 4,55 4,77

49 4.2. Sifat fisik-kimia Tepung Rumput Laut

Penelitian tahap 2 bertujuan untuk mengkaji sifat fisik-kimia tepung rumput laut. Masing-masing jenis rumput laut hasil perendaman terbaik selanjutnya diproses menjadi tepung rumput laut. Tahapan yang dilakukan adalah pencucian, perendaman, penghancuran, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Rumput laut Eucheuma cottonii, Sargassum sp, dan Glacilaria sp kering dicuci dan dibersihkan dengan air mengalir, untuk menghilangkan kotoran dan benda asing yang masih menempel pada rumput laut. Selanjutnya direndam dalam media perendam yang terbaik untuk masing-masing jenis rumput laut hasil dari penelitian tahap 1 dan ditirisksn. Tahap berikut adalah penghancuran menggunakan grinder, kemudian pengeringan rumput laut dengan oven. Suhu pengeringan yang diberikan adalah 50 oC dan 70 oC. Selama pengeringan dilakukan pengadukan agar proses pengeringan berlangsung sempurna. Pemilihan suhu pengering didasarkan pada suhu yang terlalu tinggi dapat merusak komposisi kimia dan unsur penting yang dikandung rumput laut, sedangkan suhu yang rendah akan memerlukan waktu yang lama sehingga kemungkinan akan terjadi reaksi mailard (browning). Selanjutnya tahap penepungan (penggilingan). Alat penepung yang digunakan pada penelitian ini adalah alat penepung modifikasi selanjutnya dihaluskan dengan blender kering. Tahap terakhir yaitu pengayakan dengan saringan berukuran 48 dan dimasukkan dalam wadah tertutup selanjutnya dianalisis sifat fisiko-kimianya. Tepung rumput laut Eucheuma cottonii, Glacilaria sp,dan Sargassum sp dapat dilihat pada Gambar 13..

Analisis yang dilakukan pada masing-masing jenis tepung rumput laut yaitu analisis Rendemen, pH, viskositas, kelarutan, titik jendal, titik leleh, kadar air, kadar abu, kadar protein, karbohidrat, kandungan serat pangan (serat pangan larut /SDF, serat pangan tak larut /IDF dan total serat pangan/TDF), iodium dan organoleptik (score sheet) meliputi kenampakan, bau dan tekstur.

TRL Eucheuma cottonii TRL Glacilaria sp TRL Sargassum sp

Gambar 13. Tiga Jenis Tepung Rumput Laut.

4.2.1. Rendemen

Rendemen merupakan prosentase antara produk akhir (tepung rumput laut) dengan produk awal (rumput laut hasil perendaman). Untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk, salah satu parameter yang dapat digunakan adalah rendemen. Semakin tinggi rendeman suatu produk maka nilai ekonomisnya akan meningkat.

Gambar 14 menyajikan rendemen yang dihasilkan pada penelitian ini. Salah satu tahap yang menentukan dalam pengolahan tepung rumput laut adalah pada proses penepungan. Proses penepungan memerlukan mesin penepung yang mampu menggerus (menghaluskan) thallus kering rumput laut. Kandungan serat yang tinggi dan kadar air yang rendah menyebabkan thallus sangat liat dan sukar dihancurkan. Kendala yang dihadapi pada penelitian ini yaitu peralatan penepungan yang kurang memadai. Proses penepungan dilanjutkan dengan alat

51 blender kering tetapi tidak dapat mencapai hasil yang maksimal karena tidak semua rumput laut kering habis dihancurkan. Hal ini karena pemblenderan yang berulang-ulang dapat merusak komposisi kimia dari tepung rumput laut. Menurut Voigt (1995), pemilihan jenis peralatan penghalus atau penggilingan tergantung dari jumlah material dan sifat-sifat fisiknya (kekerasan, elastisitas, kerapuhan, lengket dan sebagainya), ukuran awal dari bahan yang digiling serta ukuran produk yang diinginkan.

Gambar 14. Rendemen Tepung Rumput Laut (%).

Berdasarkan data yang dihasilkan, analisis ragam yang dilakukan menyatakan untuk rendemen tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 14). Hasil terbaik adalah pada perlakuan suhu 70 oC dengan rendemen sebesar 8,33 % sedangkan pada suhu pengeringan 50 oC adalah 8,01 %. Analisis terhadap rendemen tepung rumput laut Glacilaria sp menyatakan tidak berbeda nyata (Lampiran 15), sedangkan untuk rendemen tepung rumput laut Sargassum sp berbeda sangat nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan. Suhu pengeringan yang terbaik yaitu 70 oC dengan hasil rendemen sebanyak 7,94 % (Lampiran 16).

4.2.2. pH

Pengukuran nilai pH 3 jenis tepung rumput laut pada penelitian ini adalah antara 6,45 sampai 7,74 (Gambar 15). Menurut Gaman dan Sherrington (1992),

8,01 7,94 7,14 8,33 8,12 7,94 6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4 7,6 7,8 8 8,2 8,4 8,6

Eucheuma Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut

Ren d em en ( % ) Suhu 50 oC Suhu 70 oC

jika konsentrasi ion hydrogen bertambah maka pH nya akan turun. Pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dapat dikontrol dengan cara menurunkan pH pangan. pH juga dapat digunakan sebagai indikator perubahan warna pada bahan pangan.

Gambar 15. pH Tepung Rumput Laut.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan tidak berbeda nyata terhadap pH tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp (Lampiran 17 dan 18), tetapi berbeda nyata terhadap pH tepung rumput laut

Sargassum sp (Lampiran 19). Berdasarkan tingkat keasaman, ketiga jenis tepung rumput laut ini termasuk pada pangan berasam rendah (pH > 4,5).

4.2.3. Viskositas

Viskositas adalah pengukuran daya tahan/hambatan suatu larutan untuk mengalir. Meskipun molekul-molekul dalam larutan berada dalam pergerakan acak yang konstan, tetapi kecepatannya pada arah tertentu bernilai nol, kecuali jika diberikan suatu gaya yang menyebabkan suatu larutan dapat mengalir. Gaya yang cukup besar yang diperlukan untuk dapat membuat suatu larutan mengalir pada kecepatan tertentu berhubungan dengan viskositas suatu larutan. Aliran terjadi pada saat molekul suatu larutan saling menyalip satu sama lain dengan kecepatan tertentu serta pada bidang tertentu pula (Toledo, 1991).

Uji viskositas dilakukan pada konsentrasi tepung 5 % dan suhu 50 oC, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini.

7,11 7,13 7,74 6,45 7,57 7,22 5,5 6 6,5 7 7,5 8

E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp Jenis Tepung Rumput Laut

pH

53 Tabel 18. Viskositas Tepung Rumput Laut (centipoises) pada konsentrasi 5 %

suhu 50 oC

Tepung rumput laut Suhu pengeringan 50 oC Suhu pengeringan 70 oC

Eucheuma cottonii 5080,36 4970,40

Glacilaria sp 18,58 20,89

Sargassum sp 0,997 3,42

Berdasarkan data hasil penelitian, analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa untuk viskositas tepung rumput laut Eucheuma cottonii berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan. Hasil pengukuran yang diperoleh menyatakan perlakuan yang terbaik adalah pengeringan pada suhu 50 oC, dengan nilai viskositas 5080,36 cps (Lampiran 20). Eucheuma cottonii adalah salah satu jenis algae merah yang menghasilkan karagenan. Viskositas karagenen dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu konsentrasi, temperatur, tingkat dispersi, kandungan sulfat, inti elektrik, keberadaan elektrolit dan non elektrolit, teknik perlakuan, serta tipe dan berat molekul karagenan. Viskositas larutan karagenan akan menurun dengan adanya peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karagenan. Untuk menghindari terjadinya degradasi karagenan akibat pemanasan, maka diusahakan agar polimer hidrokoloid lebih stabil dengan cara pengaturan pH (Towle, 1973). Menurut Guiseley et.al. (1980) untuk menghindari terjadinya degradsi maka pemanasan dapat dilakukan pada atau mendekati kondisi yang mempunyai kestabilan optimum yaitu pada pH 9. Pada penelitian ini nilai viskositas tepung dengan suhu pengeringan 70 oC lebih rendah daripada viskositas tepung yang dikeringkan pada suhu 50 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan perlakuan suhu pengeringan yang berbeda dan pH tepung yang dihasilkan. pH tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu 70 oC adalah 6,45 sedangkan pada suhu 50 oC adalah 7,11, sehingga adanya perbedaan nilai viskositas kemungkinan disebabkan oleh pengaruh kadar air dan pH tepung.

Analisis ragam terhadap viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp menunjukkan hasil tidak berbeda nyata antara dua perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 21). Glacilaria sp disebut juga sebagai agarose karena merupakan algae penghasil agar-agar. Menurut Furia (1980) dalam Suwandi et.al. (2002), besarnya viskositas larutan agar-agar bervariasi menurut suhu dan pH, tetapi

mendekati konstan pada selang pH 4,5 sampai 9,0. Winarno (1990) menambahkan bahwa dalam kisaran pH tersebut, larutan dengan konsentrasi 1 % dan 5 % pada suhu 45 oC mempunyai viskositas antara 2 – 10 centipoise. Viskositas tepung rumput laut Glacilaria sp pada penelitian ini adalah 18,58 dan 20,89 cps pada suhu 50 oC dan 70 oC. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya asal bahan baku yang berbeda, umur panen, maupun alat uji yang digunakan.

Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda nyata terhadap viskositasnya. Nilai tertinggi ditunjukkan pada perlakuan suhu pengeringan 70 oC yaitu 3,42 cps (Lampiran 22). Tepung ini berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung rumput laut Sargassum sp yang dikeringkan pada suhu 70 oC membentuk larutan yang lebih homogen daripada tepung yang dikeringkan pada suhu 50 oC. Tepung yang dikeringkan pada suhu 50 oC, tidak membentuk larutan homogen, ada 2 lapisan yang terbentuk yaitu cairan yang berwarna coklat dan endapan tepung hal ini terlihat dari rendahnya nilai viskositasnya.

Tepung rumput laut Sargassum sp berbeda dengan 2 jenis tepung lainnya. Tepung Sargassum sp tidak menghasilkan larutan yang homogen dan mengental pada konsentrasi 5 % suhu 50 oC. Kekentalan dan kemampuan tepung rumput laut membentuk larutan yang homogen akan mempengaruhi produk lanjutan yang akan diproduksi, misalnya minuman berserat. Hal ini karena diharapkan tepung rumput laut akan larut sempurna dalam air.

4.2.4. Titik Jendal dan Titik Leleh.

Titik jendal dan titik leleh yang diamati pada penelitian ini untuk mengetahui kemampuan pembentukan gel tepung rumput laut. Menurut Gliksman (1969), proses pembentukan gel bersifat reversible, artinya gel mencair pada pemanasan dan cairan membentuk gel kembali pada pendinginan. Fardiaz (1989) menyatakan pembentukan gel adalah suatu fenomena atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobolisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.

55 Uji titik jendal dan titik leleh yang dilakukan terhadap 3 jenis tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu 50 oCdan 70 oC, memberikan hasil yaitu hanya tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dapat membentuk gel. Tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 50 oC memiliki titik jendal 34 oC dan titik leleh 75 oC. Sedangkan Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 70 oC memiliki titik jendal 32 oC dan titik leleh 70 oC. Semakin tinggi titik jendal maka semakin tinggi pula titik lelehnya. Eucheuma cottonii adalah rumput laut penghasil karagenan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang tinggi. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis

hydrocolloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya (Fardiaz, 1989). Pembentukan gel ini terjadi diperkirakan karena terbentuknya struktur doble helix. Pada saat larutan dalam keadaan panas, rantai polimer membentuk formasi koil secara acak. Pada saat pendinginan, formasi berubah menjadi doble helix

membentuk ikatan silang seperti jala atau jaring secara kontinyu. Pada pendinginan selanjutnya polimer saling berikatan membentuk gel yang kuat.

Berbeda dengan tepung rumput laut Eucheuma cottonii, tepung rumput laut

Glacilaria sp tidak dapat menjendal tetapi membentuk larutan kental yang homogen, walaupun hasil ekstraksi dari Glacilaria adalah agarosa yang merupakan senyawa hydrocolloid dengan kemampuan membentuk gel yang tinggi. Tidak terbentuknya gel pada tepung rumput laut Glacilaria sp kemungkinan suhu pemanasan yang kurang, sehingga tidak terbentuk formasi koil acak yang akan membentuk struktur doble helix yang mengikat rantai molekul menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel setelah pendinginan.

Tepung rumput laut Sargassum sp juga tidak dapat membentuk gel sehingga tidak dihasilkan titik jendal dan titik leleh. Butir–butir tepung rumput laut terlihat terpisah dengan air sehingga larutan tidak homogen. Warna tepung rumput laut terhidrolisis dalam air sehingga larutan berwarna coklat seperti warna tepungnya.

4.2.5. Kelarutan

Data hasil pengukuran kelarutan 3 jenis tepung rumput laut disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Kelarutan Tepung Rumput Laut (%).

Berdasarkan data tersebut, kelarutan yang paling tinggi ada pada tepung rumput laut Eucheuma cottonii yang dikeringkan pada suhu 70 oC yaitu 36,8 % dan paling rendah adalah tepung rumput laut Glacilaria sp pada pengeringan 50

oC yaitu 15,03 %. Menurut Vogel (1978) kelarutan adalah jumlah zat yang dapat dilarutkan dalam pelarutnya. Kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, konsentrasi bahan-bahan lain dalam larutan dan komposisi kelarutannya, serta sifat dan konsentrasi zat-zat lain, terutama ion-ion dalam campuran tersebut. Muchtadi et.al. (1993) menyatakan pelarut yang baik adalah air. Air melarutkan berbagai senyawa organik yang mempunyai gugus karboksil atau asam amino yang cenderung berionisasi oleh interaksinya dengan air.

Hasil analisis ragam kelarutan tepung rumput laut Eucheuma cottonii

menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata terhadap suhu pengeringan. Dari hasil pengukuran yang diperoleh menyatakan bahwa perlakuan pengeringan pada suhu 70 oC adalah yang terbaik nilai kelarutannya (Lampiran 23). Demikian juga untuk kelarutan tepung rumput laut Glacilaria sp, analisis sidik ragam menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (Lampiran 24). Perlakuan suhu pengeringan 70 oC adalah yang terbaik nilai kelarutannya dibanding nilai perlakuan pengeringan pada suhu 50 oC. Analisis ragam kelarutan tepung rumput laut Sargassum sp juga menyatakan perbedaan yang sangat nyata. Tepung dengan suhu pengeringan 50 oC memiliki nilai kelarutan yang lebih tinggi (Lampiran 25).

27,6 15,03 26,96 36,8 18,01 18,21 0 5 10 15 20 25 30 35 40

E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp

Jenis Tepung Rumput Laut

K e la ru ta n (% ) Suhu 50 oC Suhu 70 oC

57 Menurut Suardi (2002), kelarutan dalam air dipengaruhi oleh jenis komponen kimia karbohidrat penyusunnya. Semakin tinggi kandungan polisakarida khususnya polisakarida bukan pati dari bahan maka semakin rendah kelarutannya dalam air dan sebaliknya. Hal ini karena polisakarida bukan pati sulit mengalami hidrolisis dalam air. Bahan makanan yang memiliki kelarutan tinggi akan memiliki kecernaan yang tinggi pula.

4.2.6. Kadar air

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno, 1997). Jenis tepung rumput laut Eucheuma cottonii dengan suhu pengeringan 50 oC memiliki kadar air tertinggi, sedangkan kadar air terendah ada pada jenis tepung rumput laut Sargassum sp pada suhu pengeringan 50oC . Hasil pengamatan kadar air 3 jenis tepung rumput laut yang dikeringkan pada suhu berbeda disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17. Kadar Air Tepung Rumput Laut (%).

Berdasarkan analisis sidik ragam, suhu pengeringan tidak berpengaruh terhadap kadar air tepung rumput laut Eucheuma cottonii dan Glacilaria sp (Lampiran 26 dan 27). Untuk tepung rumput laut Sargassum sp, analisis ragam menunjukkan bahwa suhu pengeringan berbeda sangat nyata terhadap kadar

12,88 11,72 10,82 12,34 11,9 11,65 9,5 10 10,5 11 11,5 12 12,5 13 13,5

E. cottonii Glacilaria sp Sargassum sp

Jenis Tepung Rumput Laut

Ka d a r Ai r (% ) Suhu 50 oC Suhu 70 oC

airnya (Lampiran 28), tepung dengan suhu pengeringan 70 oC memiliki kadar air yang lebih tinggi.

Kandungan air dalam tepung rumput laut berpengaruh terhadap daya simpannya. Semakin tinggi kandungan air tepung rumput laut maka akan semakin mudah terserang mikroba selama penyimpanan. Menurut SNI 01-2802-1995 untuk produk Agar-agar tepung, syarat mutu kadar air maksimal adalah 17 %. Sedangkan SNI 01-3451-1994 untuk produk tapioka, menyatakan bahwa syarat kadar air yang harus dipenuhi untuk semua tingkat mutu (I, II, III) adalah maksimal 15 % dan untuk tepung terigu kadar air maksimal yang ditetapkan adalah 12 %. Kadar air ke 3 jenis tepung rumput laut yang didapatkan pada penelitian ini berada pada kisaran 10,82 % sampai 12,88 %, artinya tidak melebihi persyaratan mutu kadar air komoditas agar-agar tepung dan tepung tapioka yang sudah ditetapkan walaupun masih diatas kadar air tepung terigu.

4.2.7. Kadar Abu

Kadar abu ke 3 jenis tepung rumput laut dapat dilihat pada Gambar 18. Kadar abu tertinggi ada pada tepung rumput laut Sargassum sp dengan suhu pengeringan 50 oC (15,83 %). Sedangkan tepung rumput laut dengan kadar abu terendah adalah Glacilaria sp dengan suhu pengeringan 70 oC (5,7 %).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29, 30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung rumput laut semakin tinggi maka kadar mineral yang terkandung didalamnya juga tinggi. Tepung rumput laut Glacilaria sp memiliki kadar abu yang paling rendah, hal ini kemungkinan karena banyak mineral yang rusak dan hilang selama proses perlakuan baik pada saat pemucatan maupun pengeringan.

59 Gambar 18. Kadar Abu Tepung Rumput Laut (%).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, kadar abu ke 3 tepung rumput laut tersebut tidak berbeda nyata antara 2 perlakuan suhu pengeringan (Lampiran 29, 30 dan 31). Menurut Winarno (1997), rumput laut kaya akan mineral dimana unsur mineral dikenal juga sebagai kadar abu. Sehingga bila kadar abu tepung

Dokumen terkait