• Tidak ada hasil yang ditemukan

tercerabutnya hak mereka untuk bermukim.

jadikan HAM sebagai hak konstitusional warga negara melalui amande- men konstitusi dan penetapan beberapa instrumen hukum nasional, antara lain: perubahan kedua UUD 1945 Bab XA yang memuat menge- nai HAM dalam 10 pasal (Pasal 28A-28J), TAP MPR No. XVII/MPR/1998, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 40 dari UU tersebut secara jelas menyatakan: “Setiap orang berhak untuk bertem- pat tinggal serta berkehidupan yang layak”), UU No. 11 Tahun 2005 ten- tang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Pada dasarnya, seluruh dokumen dan aturan hukum baik inter- nasional maupun nasional yang menjadikan rumah sebagai bagian dari HAM memuat satu pesan yang sama dan konsisten, yaitu bahwa rumah hendaknya tidak dipandang sebagai komoditas yang pengadaannya dilempar kepada mekanisme pasar. Pesan ini disuarakan karena adanya situasi yang jelas bahwa rumah pada hakikatnya merupakan bagian dari kebutuhan primer/dasar yang dibutuhkan semua orang untuk dapat hidup secara layak.

Pada titik itu, menyerahkan kebutuhan akan rumah kepada mekanisme pasar sama artinya dengan membiarkan sebagian warga negara untuk menjalani kehidupannya tanpa kelayakan dan martabat. Sebab, terdapat kelompok warga yang pendapatan dan tingkat kese- jahteraannya tidak mencukupi untuk menjangkau rumah dengan harga pasar. Pelanggaran HAM yang seringkali tidak disadari ini merupa kan aib bukan saja karena pemerintah telah menganut sistem demokrasi yang mesti mematuhi norma-norma HAM, melainkan juga karena Indo- nesia adalah negara beradab yang memiliki sensibilitas moral tinggi untuk menjamin kehidupan layak bagi seluruh warganya tanpa kecuali.

Jaminan bermukim menjadi hal krusial di perkotaan. Kawasan perkotaan tidak mampu menjamin kesejahteraan bagi masyarakat dan sebagai tempat bermukim yang layak bagi masyarakat. Jaminan ber- mukim memiliki konteks yang luas melalui ide hak akan kota (the right

to the city). Sosiolog urban Perancis memformulasikan konteks hak akan kota dalam berbagai varian disiplin ilmu dan varian tematis, misalnya isu-isu tentang gentrifikasi, imigrasi, perumahan, kewarganegaraan, ru- ang publik urban, dan eksklusi sosial.

Dalam keluasan arti sekaligus pemanfaatan dari gagasan hak akan kota, isu tentang keamanan bermukim (security of tenure) juga tidak luput untuk masuk sebagai bagian dari diskursus yang tercakup di dalamnya. Sebelum membahas tentang keamanan bermukim ini di bagian selanjutnya, terlebih dahulu akan dilakukan survei dan paparan atas tulisan kesarjanaan mengenai hak akan kota. Hal ini penting untuk dilakukan, karena dalam buku ini gagasan hak akan kota menjadi wa- cana utama yang memayungi seluruh diskusi tentang keamanan ber- mukim di kota. Gagasan ini berperan sebagai paradigma yang menjadi rujukan bagi seluruh upaya tentang pemberian keamanan bermukim bagi seluruh warga di kota. Uraian tentang hak bermukim di kota akan mengikuti argumen yang ada dalam Attoh (2011).1

Hak atas kota dikonsepsikan pertama kali oleh Lefebvre pada karyanya yang ditulis tahun 1968, Writing on Cities. Bagi Lefebvre, kota dipahamai sebagai suatu oeuvre, yakni produk yang diciptakan melalui kerja dan aktivitas harian dari orang-orang yang tinggal di dalam kota. Adapun hak akan kota antara lain terdiri dari hak untuk bertempat ting- gal di kota, hak untuk memproduksi kehidupan urban dalam modus baru (kehidupan yang bebas dari hegemoni kapitalisme dan pamrih untung-rugi ekonomis), dan hak dari para penghuni kota untuk bebas dari perasaan terasing dan tercerabut.

Semua hak itu dirumuskannya secara singkat sebagai “hak akan kehidupan urban yang tertransformasikan dan terbarukan”. Meski demikian, dalam tulisannya Lefebvre kurang memaparkan petunjuk lebih jauh tentang apa persisnya yang dimaksud dengan “hak akan

kota”. Gagasannya masih berupa sketsa umum sehingga tidak mem- berikan petunjuk praktis kepada aktor-aktor sosial yang ingin men- gusahakan hak tersebut.

Karena batasannya yang longgar dan terkesan retoris, maka tak heran apabila para penulis yang melanjutkan gagasannya memanfaat- kan, menginterpretasi, dan melengkapi konsep hak akan kota secara bervariasi. Terdapat berbagai macam pandangan tentang hak-hak apa saja yang tercakup dalam istilah hak akan kota, dan siapa saja pihak atau kelompok yang berhak mendapatkannya.

Ada yang menginterpretasikan hak akan kota sebagai hak akan ruang politik yang berkait erat dengan hak atas kewarganegaraan (Dikec, 2005), hak untuk bertempat tinggal (Mitchell, 2003), hak atas desain (Van Deusan, 2005), dan hak untuk mendefinisikan arti dari ru- ang publik (Gibson, 2005). Bagi yang lain, hak atas kota adalah hak akan otonomi di hadapan kebijakan urban (Phillips & Gilbert, 2005) dan hak untuk melawan brutalitas polisi, pengawasan, dan turut campur yang berlebihan dari negara (Mitchell & Heynen, 2009). Selain itu, hak atas kota juga dipahami sebagai hak-hak sosial-ekonomi, seperti hak atas rumah (Marcus, 2008), transportasi (Bickl, 2005), dan sumber daya alam seperti air (Phillips & Gilbert, 2005). Ada pula yang memahaminya se- bagai hak untuk mendapatkan kebaikan komunal, seperti estetika dan komunitas (Matilla, 2005).

Dalam kaitannya dengan pertanyaan tentang siapa yang berhak mendapatkan hak akan kota, juga terdapat jawaban yang tidak tung- gal. Beberapa jawaban tersebut di antaranya kaum tunawisma, imigran, minoritas rasial, orang cacat, perempuan, minoritas seksual, dan aktivis politik, yakni pihak-pihak yang dipandang seringkali diperlakukan tidak adil melalui kebijakan pemerintah kota. Sementara itu, Purcell (2005) bergerak lebih jauh dengan menegaskan bahwa hak atas kota sela- yaknya diberikan kepada seluruh orang yang hidup di dalam kota.

Wastl-Walter dan Staeheli (2005) menyatakan bahwa di tengah berbagai perbedaan interpretasi tentang hak akan kota, pada dasarnya

terdapat satu hal sama yang menjiwai berbagai pandangan yang ada, yakni kritik terhadap kebijakan kota. Kebijakan urban dan desain ur- ban diimplementasikan dengan cara yang semakin tidak demokratis, mengeksklusikan kaum miskin, dan mendahulukan pemilik modal dari- pada mayoritas penduduk. Sementara itu, Mitchell dan Heynen (2009) mengatakan bahwa fakta mengenai adanya berbagai pandangan tersebut merupakan sesuatu yang bersifat positif karena dengannya, berbagai hak dapat diintegrasikan sedemikian sehingga hak akan kota menjadi seperangkat hak yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutu- han warga kota secara komprehensif.

Namun demikian, komprehensivitas dari macam-macam ga- gasan hak akan kota tidak dapat dikatakan koheren karena beberapa pandangan apabila dilaksanakan justru akan bertentangan dengan pandangan lain. Misalnya, Harvey (2008), Purcell (2003), McCann (2005), Busa (2009), Ascher (2009), dan Angotti (2009) merumuskan hak akan kota pertama dan terutama sebagai hak untuk mendemokratisasikan upaya pengelolaan kota, baik terkait upaya bagaimana kota dimanfaat- kan dan bagaimana kota dikonstruksi dan didesain. Realisasi dari ideal ini terutama diwujudkan dalam bentuk hak warga kota untuk berparti- sipasi dalam pembuatan kebijakan.

Apabila prinsip tersebut menjadi pegangan utama dari pengu- payaan hak akan kota, pelaksanaannya akan bertentangan dengan in- terpretasi lain tentang hak akan kota, terutama yang memaknainya se- bagai hak sosio-ekonomi seperti hak untuk bertempat tinggal di kota. Hak semacam itu, dalam pandangan mayoritas warga kota, seringkali ditentang dan tak diakui karena mereka menganggapnya sebagai in- sentif untuk urbanisasi besar-besaran yang akan menambah masalah dalam kota. Dalam kaitannya dengan penghuni liar, pemberian hak bertempat tinggal kepada mereka juga bukan tidak mungkin ditentang oleh sebagian besar warga kota karena mereka menganggap okupasi tanah yang dilakukan para penghuni liar adalah ilegal.

Pada titik ini, terjadi pertentangan antara pelaksanaan hak akan kota, sebagai wujud dari ketegangan antara prinsip demokrasi dan par-

tisipasi dengan prinsip hak. Karena inilah, Staeheli dan Mitchell (2008) memberikan peringatan bahwa kon- sepsi yang berbeda-beda tentang hak akan kota selain dapat menim- bulkan konflik politik yang serius juga berimplikasi pada karakter dan profil dari kota itu sendiri.

Untuk merekonsiliasi berba- gai pertentangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan hak akan kota, pengertian tentang hak akan kota harus diangkat levelnya agar dia mampu menghindari terjadinya konflik-konflik keras. Ini dapat di- lakukan dengan mengintegrasikan

hak akan kota ke dalam teori umum tentang keadilan sosial. Dalam perspektif keadilan sosial, demokrasi dimaknai secara lebih substantif, tidak hanya sekadar dalam dimensi mayoritarian atau proseduralisme.

Satu hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemahaman menge- nai hak akan kota adalah keinsafan bahwa setiap institusionalisasi hak niscaya mempunyai dampak finansial atas peluangnya tersendiri. Arti- nya, implementasi dari suatu hak akan membawa konsekuensi tertentu berupa terhambatnya realisasi hak-hak lain. Selain itu, dalam konteks di mana suatu kota mempunyai keterbatasan sumber daya dan kapasitas, institusionalisasi hak akan kota juga haruslah mengantisipasi peluang kompromi dan substitusi. Dalam buku ini, hak akan kota difokuskan terutama sebagai hak akan keamanan bermukim. Karena itu, catatan- catatan tersebut haruslah senantiasa disadari dan diperhatikan.

Untuk merekonsiliasi

Dokumen terkait