• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hak Bermukim MBR dan Warga Miskin Perkotaan - repository civitas UGM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perlindungan Hak Bermukim MBR dan Warga Miskin Perkotaan - repository civitas UGM"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2012

Kerja Sama antara Kementerian Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat

(3)

TIM BUKU

Pengarah

Indroyono Soesilo, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat

Adang Setiana, Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat

Panut Mulyono, Dekan Fakultas Teknik UGM ♦

Penanggung Jawab

Nyoman Shuida, Asisten Deputi Urusan Perumahan dan Permukiman Bakti Setiawan, Ketua Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM

Penulis Budi Prayitno Alfredo Sani Fenat Mahditia Paramita

Penyunting Endah Dwi Fardhani

Endang Sri Rahayu Erlia Rahmawati

Pratiwi Utami Hellatsani Widya Ramadhani

Tata Grafis Lailia Rachmani

Yuhendra ♦ ISBN : 978-602-9476-25-5

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

(4)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk semua,

Kota adalah jantung dari aktivitas masyarakat Indonesia semen-jak mayoritas masyarakat kini telah hidup di kota. Pemberian hak ber-mukim kepada seluruh penghuni kota, akan didapatkan efek balik yang bernilai strategis, karena keamanan bermukim yang dirasakan seluruh warga kota merupakan modalitas potensial yang mampu memicu produktivitas dan pertumbuhan lebih lanjut dari kota. Dengan demiki-an, sangatlah penting untuk melakukan suatu kajian untuk menelaah upaya perlindungan terhadap hak bermukim di kota dalam kerangka hak akan kota.

Hak untuk bermukim mengindikasikan kondisi di mana rumah yang ditinggali oleh warga kota berada dalam keadaan layak dan sehat. Dalam konstruksi ini, maka rumah yang dikategorikan sebagai rumah kumuh menjadi indikasi bahwa penghuninya belum mendapatkan hak bermukim yang sesungguhnya. Untuk itu, pemerintah perlu melaku-kan intervensi melalui pembentumelaku-kan pola ruang permukiman yang memicu munculnya peningkatan produktivitas kerja dan adanya akses atas pelayanan publik dasar, yakni pendidikan dan kesehatan. Dengan

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

SAMBUTAN

SEKRETARIS KEMENTERIAN KOORDINATOR

(5)

adanya fasilitas pelayanan publik, infrastruktur, dan investasi sosial me-madai yang berada di lingkungan kawasan kumuh, maka lambat laun akan terjadi transformasi menjadi kawasan yang lebih layak. Pemba-ngunan infrastruktur dan akses layanan publik adalah perlindungan yang efektif untuk mencegah meluasnya kawasan kumuh, khususnya di perkotaan.

Selama ini, komitmen untuk menjamin hak bermukim di kota dari seluruh penghuninya kurang ditunjukkan oleh pemerintah. Peng-huni liar (squatter) misalnya, walaupun mereka membangun rumah-nya di atas tanah ilegal, bukan berarti pemerintah dapat secara mudah mengusir mereka. Hak bermukimnya perlu dilindungi, sehingga akan lebih baik apabila pemerintah melakukan kebijakan relokasi, dengan menyediakan aset-aset penghidupan seperti yang telah ada di tempat tinggal sebelumnya, sehingga pendekatan sosial dan kemanusiaan ma-sih dapat dirasakan oleh mereka.

Buku ini berusaha memaparkan secara komprehensif tantangan dan peluang yang dihadapi dalam mewujudkan penanganan permuki-man berbasis hak, juga langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkannya. Apabila rekomendasi dan pertimbangan yang dimuat dalam buku ini dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya secara konsekuen, maka kita dapat optimis bahwa krisis yang melanda sektor perumahan dan permukiman saat ini akan segera teratasi.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, Desember 2012 Sekretaris Kemenko Kesra

(6)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh, Salam sejahtera untuk semua,

Hak untuk bermukim di kota merupakan salah satu hak dasar yang sering diabaikan oleh pemerintah. Ini merupakan hal yang ironis mengingat urgensi dari pemenuhan hak tersebut terlihat sedemikian mencoloknya di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Untuk mem-buktikan hal ini, kita dapat menyodorkan fakta bahwa masih banyak jumlah backlog yang diderita masyarakat dan masih cukup luasnya ka-wasan kumuh yang bertebaran di pusat-pusat kota besar.

Salah satu manifestasi nyata dari pemenuhan hak akan kota adalah hak untuk bermukim. Hak untuk bermukim ini sangat dibutuh-kan terutama oleh penduduk kota yang tinggal di kawasan kumuh. Se-lama ini mereka sering dianggap sebagai beban oleh pemerintah kota. Pandangan demikian menyebabkan pemerintah mengingkari hak ber-mukim dari penghuni kawasan kumuh, yakni dengan menggusur tem-pat tinggal mereka. Demikian juga halnya dengan penghuni liar, yakni mereka yang tinggal dikawasan ilegal. Meskipun tinggal dikawasan ile-gal namun mereka tetap warga negara yang semestinya mendapat per-lindungan. Pemerintah tidak dapat serta merta mengusir tanpa peduli dengan nasib mereka nantinya. Akan lebih baik apabila pemerintah melakukan kebijakan relokasi sehingga pendekatan kemanusiaan ma-sih dapat dirasakan oleh mereka.

Dalam kondisi demikian, kita patut bersyukur dengan diluncur-kannya buku ini. Semoga buku ini hadir sebagai jawaban atas apa yang

(7)

dibutuhkan selama ini, yaitu pegangan dan panduan yang jelas dan komprehensif tentang perlindungan hak bermukim bagi MBR dan war-ga miskin di perkotaan. Memang, buku tersebut bukan panacea atau obat yang mujarab untuk mengatasi segala masalah. Namun demikian, buku tersebut setidaknya mampu menjadi panduan/pedoman dasar yang merangkai kebijakan perumahan di masa depan agar lebih efektif dan berhasil.

Kami mengapresiasi tim penyusun buku beserta pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunannya, di antaranya seluruh peserta dari rangkaian diskusi, karena kami menyadari bahwa penyusunan buku tersebut bukanlah hal yang sederhana. Membuat analisis kebijakan tentang Perlindungan terhadap Hak Bermukim bagi MBR dan Warga Miskin di Perkotaan merupakan kerja yang multidimensi karena meli-batkan lintas aktor, lintas disiplin ilmu, dan lintas sektor juga mem-butuhkan usaha, energi, dan dana yang tidak sedikit. Selamat atas di-luncurkannya buku ini. Kami harapkan para pemangku kepentingan dapat menjadikan buku yang ada sebagai acuan dalam bertindak dan melakukan evaluasi dalam pembangunan permukiman.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,

Jakarta, Desember 2012

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR__5 DAFTAR ISI__7

DAFTAR SINGKATAN__8 PROLOG__11

BAB I HAK BERMUKIM DI PERKOTAAN__11

A. Kontribusi MBR dan Warga Miskin Kota__14 B. Kebijakan Pertanahan di Perkotaan__17 C. Bermukim di Perkotaan Indonesia__22

D. Jaminan Keamanan Bermukim dan Kepemilikan Tanah__29 E. Perspektif HAM dan Hak Bermukim__41

BAB II PENGATURAN PEMERINTAH DALAM HAK BERMUKIM__49

A. Pengaturan Penguasaan atas Tanah__54

B. Pengaturan Lembaga dan Pembiayaan Pertanahan__63 C. Pembelajaran dari Negara Lain__74

BAB III STRATEGI PERLINDUNGAN HAK BERMUKIM DI PERKOTAAN__93

A. Peralihan Hak Bermukim bagi MBR dan Warga Miskin__109 B. Kepemilikan Tanah Komunal__111

C. Tata Kelola Tanah melalui Good Governance___116

EPILOG__149

(9)

DAFTAR SINGKATAN

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BAB Buang Air Besar

BKM Badan Keswadayaan Masyarakat BLUD Badan Layanan Umum Daerah BPD Bank Pembangunan Daerah BPN Badan Pertanahan Nasional BPS Badan Pusat Statistik BUMN Badan Usaha Milik Negara

CCO Certificate of Customary Ownership

CSR Corporate Social Responsibility

HAM Hak Asasi Manusia HGB Hak Guna Bangunan HGU Hak Guna Usaha HP Hak Pakai

Jamkesmas Jaminan Kesehatan Masyarakat Kemendagri Kementerian Dalam Negeri Kemenpera Kementerian Perumahan Rakyat

KK Kepala Keluarga

KSM Kelompok Swadaya Masyarakat

KTP Kartu Tanda Penduduk

LIS Land Information System

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

MAP Management Assistane Program

(10)

NLIS National Land Information System

P2BJ Panitia Pengadaan Barang Jasa

P2BPK Pembangunan Perumahan Berbasis pada Kelompok PBB Pajak Bumi dan Bangunan

PAMSIMAS Penyediaan Air Minum Sanitasi Berbasis Masyarakat Perum Perumnas Perusahaan Umum Perumahan Nasiona

PKH Program Keluarga Harapan PKK Program Kredit Komunitas

PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PP Peraturan Pemerintah

PPP Public Private Partnership

PPAT Pejabat Pembuat Akta Tanah

PPSP Program Pembangunan Sanitasi Permukiman PRT Pembantu Rumah Tangga

RAB Rincian Anggaran Belanja

Raskin Beras Miskin

RS/RSS Rumah Sederhana/Rumah Sangat Sederhana RSRTLH Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni RTLH Rumah tak layak huni

SANIMAS Sanitasi Berbasis Masyarakat SDM Sumber Daya Manusia

SHCF Social Housing Finance Corporation

SPK Surat Perintah Kerja

SPM Standar Pelayanan Minimal

SPPIP Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruk-tur Perkotaan

(11)

UKM Usaha Kecil-Menengah UU Undang-Undang

UU PKP Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permu-kiman

WNI Warga Negara Indonesia

(12)

Isu tentang hak bermukim di kota berkaitan erat dengan penghu-ni kawasan kumuh. Meski bukan berarti isu tersebut hanya berhubung-an secara eksklusif dengberhubung-annya. Ini dikarenakberhubung-an diskursus hak bermu-kim di kota sesungguhnya menyentuh dimensi pembangunan kota secara makro dan holistik.Ketersediaan lapangan kerja dan besarnya perputaran uang di perkotaan menjadi faktor penarik banyaknya orang yang pindah dan tinggal di kota. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 memprediksikan bahwa urbanisasi akan mencapai 68 persen pada ta-hun 2025 dan tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa sudah di atas 87 persen.

Keberadaan para pendatang selain menambah kepadatan pen-duduk dan membutuhkan perlindungan kepastian bermukim, juga rentan memperluas kawasan kumuh dan hunian liar. Secara konstitu-sional, negara harus memenuhi hak dasar warga negaranya, sehingga intervensi pemerintah diperlukan untuk menjamin hak bermukim ma-syarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan warga miskin di perkotaan. Keterkaitan erat antara hak bermukim dan kawasan kumuh muncul karena para penghuni kawasan kumuh merupakan pihak yang haknya untuk bermukim di kota paling rentan untuk dicabut dan diabai kan. Ini karena kawasan kumuh sebagai tempat mereka tinggal dan bertahan hidup sangat jarang dilindungi oleh status keamanan bermukim (secure tenure) oleh pemerintah.

Buku ini akan membahas potensi MBR dan warga miskin di perkotaan sebagai gold dust urban economy yang sering terlupakan,

(13)

dan gagasan tentang hak akan kota. Pembahasan dilanjutkan dengan pentingnya jaminan keamanan bermukim serta dampak negatif yang muncul apabila jaminan bermukim tersebut tidak terpenuhi. Penyele-saian kawasan kumuh sering kali dianggap bisa diselesaikan dengan penataan kawasaannya saja. Faktanya, diperlukan regulasi yang tegas dan rinci, yang tidak hanya menonjol pada awal perencanaan tetapi juga harus konsisten hingga tataran implementasi. Karenanya diperlu-kan pula lembaga khusus yang mengatur pertanahan dan perlindung-an hak bermukim.

(14)

Kota merupakan mesin pembangunan yang menjadi tempat ideal untuk melakukan kerja sama. Orang-orang dengan berbagai latar belakang dan kapasitas secara kolektif menciptakan dinamika ekonomi atas dasar variasi kemampuan, operasi, sumber daya, pengetahuan, dorongan personal, kepemimpinan, dan kemauan politik. Modalitas ini akan mampu didayagunakan secara maksimal manakala kota diorgan-isasi secara efisien melalui kombinasi perencanaan spasial dan peren-canaan sumber daya secara bersama-sama. Perenperen-canaan ini dilakukan dengan memperhatikan berbagai komponen yang ada dan berbagai proses ekonomi yang eksis, baik yang bersifat primer maupun sekunder, pencipta atau pendorong, produsen maupun konsumen (Mutter dalam Payne, 2002: v).

Kota juga merupakan pusat kegiatan masyarakat yang tingkat pertumbuhan penduduknya terus mengalami peningkatan. Pertumbu-han ini dapat berasal dari migrasi dari perdesaan ke perkotaan, migrasi antar kota, maupun pertumbuhan penduduk alami.

Beberapa faktor terjadinya migrasi ke kota adalah karena faktor dorong dan tarik. Faktor dorong misalnya terjadinya bencana alam atau perubahan ekologi yang mengakibatkan berkurangnya peluang kerja, sedangkan faktor tarik ke kota karena adanya peluang kerja, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan yang lebih baik.

Penghasilan yang rendah dari bidang pertanian merupakan faktor lain yang menyebabkan migrasi ke kota. Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini sangat memengaruhi masa dan hasil panen. Ban-yak petani terlilit utang dan kehilangan tanah, lalu terpaksa mencari

BAB I

(15)

lapang an kerja lain di kota. Migrasi ke kota juga merupakan strategi hidup masyarakat perdesaan. Seringkali migrasi terjadi secara tempo-rer dan berulang; masyarakat desa pergi ke kota, mencari peluang kerja dengan menjadi pedagang kaki lima atau berjualan di warung. Setelah mengumpulkan sejumlah uang, mereka akan kembali ke desa.

Kontribusi MBR dan Warga Miskin Kota

Menjadikan kota sebagai habitat yang ramah bagi warganya merupakan pengakuan terhadap kontribusi MBR dan warga miskin kota sebagai warganegara yang berharga. Mereka sesungguhnya memiliki potensi yang signifikan untuk menunjang kemajuan kota, sedemikian rupa sehingga mereka seringkali dijuluki sebagai debu emas dari eko-nomi perkotaan (gold dust of urban economy).

Istilah ini merupakan metafora yang menarik karena mampu mengilustrasikan posisi orang miskin dalam perkotaan. Di satu sisi, mereka seringkali dianggap sebagai

debu yang tidak berharga dan tidak diperhatikan oleh pemerintah dan kaum elit kota sehingga kebijakan yang dibuat seringkali tidak mengin-dahkan efek bagi kemanfaatan dan keadilan kaum miskin. Namun di balik stereotip dan tampilan permu-kaannya yang seringkali dipandang sebelah mata tersebut, sesungguh-nya MBR dan warga miskin kota memberikan manfaat yang signifi-kan bagi berlangsungnya kehidupan kota secara lancar dan efektif. Diam-diam, tanpa mendapatkan bantuan dari pemerintah –jika malah bukan-nya direpresi– mereka memberikan

Mereka

(16)

manfaat yang besar bagi pertumbuhan ekonomi melalui pengisian po-sisi dan peran sosio-ekonomi informal.

MBR dan warga miskin kota memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kota, terutama bagi kota yang sedang mengalami geliat industrialisasi. Periode industri-alisasi sangat bergantung pada keberadaan tenaga kerja murah ber-jumlah banyak. Keberadaan mereka sangat dibutuhkan sebagai daya tarik investasi di kota. Jenis tenaga kerja semacam ini biasanya meru-pakan golongan penduduk miskin yang berpendidikan rendah dan rela dibayar murah. Golongan pekerja ini dapat dikerahkan untuk memba-ngun objek dan infrastruktur yang dibutuhkan oleh kota yang sedang berkembang, seperti rumah, jembatan, jalan, hotel, atau pusat perbe-lanjaan. Selain itu, hanya golongan pekerja ini pula yang bersedia un-tuk melakukan pekerjaan-pekerjaan krusial unun-tuk menjaga kebersihan kota seperti mengangkut sampah, memelihara saluran pembuangan, atau merawat taman.

Demikian pula dengan pekerjaan-pekerjaan “marjinal” seperti pengasuh bayi, pembantu rumah tangga (PRT), pelayan, pembersih, tukang cuci, sopir taksi, dan porter. Semua ini tidak akan ada yang melakukan apabila tidak ada penduduk miskin, yang biasanya tinggal di kawasan kumuh dan ilegal di kota.

MBR dan warga miskin kota juga biasanya menyelenggarakan usaha-usaha ekonomi informal seperti makanan kaki lima, perdagang-an asongperdagang-an dperdagang-an ecerperdagang-an, dperdagang-an warung pinggir jalperdagang-an. Melalui usaha-usaha tersebut, ekonomi rakyat dapat digiatkan karena perputaran uang ter-jadi secara deras di antara sesama rakyat kecil, baik itu produsen mau-pun konsumennya. Di negeri ini, sebagaimana pengalaman historis telah membuktikan, kegiatan ekonomi riil seperti itu seringkali menjadi penyelamat di saat krisis ekonomi yang parah melanda.

(17)

memerlukan penjaminan atas kemampuan mereka untuk berkembang melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Dalam rangka mengikutsertakan mereka dalam dinamika ekonomi, mereka perlu mendapatkan kepastian tentang tempatnya di dalam masyarakat dan eksistensinya dalam terminologi fisik-spasial. Untuk itu perlu diupaya-kan perluasan kebebasan MBR dan warga miskin kota agar mereka dapat menjadi agen perubahan yang mampu menyumbangkan nilai tambah lebih banyak lagi bagi kota secara umum, dan mampu mengu-rangi kemiskinan di komunitasnya secara khusus.

Potensi mereka harus dijaga agar tetap bisa memberikan kon-tribusi. Untuk itu banyak cara yang bisa dilakukan, terutama jika pemerintah mengembangkan kemitraannya dengan pihak swasta. Perusahaan-perusahaan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang masif menjalankan proses produksi di kota bisa dijadikan sasaran un-tuk mengembangkan dan melanggengkan potensi MBR dan warga miskin, salah satu contohnya adalah melakukan program pemberdaya-an masyarakat. Atau apabila pemerintah lebih serius menpemberdaya-angpemberdaya-ani per-lindungan potensi tersebut, pemerintah kota dapat menegaskan lang-kahnya dengan membuat program resmi yang berkerja sama dengan pemangku kewajiban dari pihak swasta. Sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan gold dust urban economy, pemerintah bisa melibatkan mereka dalam proses pemanfaatan tanah yang adil.

(18)

Untuk bermukim, tanah adalah kebutuhan setiap orang. Namun di sisi lain, banyak orang terutama orang kaya, hanya menggunakan ta-nah sebagai komoditas dan investasi harta, karena harga tata-nah yang dinamis sesuai dinamika dan keadaan ekonomi negara. Kepemilikan ta-nah juga mempunyai kekuatan dalam integrasi sosial maupun kepen-tingan individu. Identitas sosial dalam kepemilikan tanah sangat ber-guna untuk memperebutkan kekuasaan ataupun sumber pendapatan. Dengan alasan itulah, dibutuhkan struktur yang bertanggung jawab pada administrasi tanah dan atribusinya, adanya intervensi-in-tervensi terkait distribusi tanah, dan bisa menjadi sarana mediasi kon-flik yang kerap muncul karena perampasan dan penggunaan tanah yang tidak sesuai. Maka dari itu, keberadaan kebijakan pertanahan di perkotaan sangatlah penting untuk meregulasi kepemilikan dan me-lindungi hak bermukim warga negara dengan adil. Manfaat kebijakan pertanahan sangat luas, tidak hanya pada tataran yang berdampak langsung pada tanah tetapi juga bisa mendukung kondisi ekonomi global dan sosial politik.

Kebijakan Pertanahan di Perkotaan

(19)

Tabel 1.1 Enam Tujuan Kebijakan Kepemilikan

Mendorong adanya investasi pembangunan dan perbaikan perumahan.

Adanya peningkatan kegiatan ur-banisasi akan mendorong pen-ingkatan kebutuhan perumahan. Untuk mencegah peningkatan permukiman kumuh, maka diper-lukan pembangunan perumahan dengan kondisi layak huni dan sa-rana prasasa-rana yang memadai. Jaminan kepemilikan menjadi dasar bagi setiap orang untuk melakukan pembangunan baru atau perbaikan perumahan di atas tanah yang didi-aminya.

Meningkatkan akses kredit formal

Pembangunan pprumahan perlu didukung adanya kredit yang me-madai. Salah satu syarat kredit for-mal adalah kepemilikan tanah. Se-hingga kepemilikan tanah dapat menjadi jaminan dalam kredit for-mal tersebut.

Meningkatkan pendapatan daerah dari pajak.

(20)

Meningkatkan pengaruh sek-tor publik atas pasar tanah dan perumahan.

Pembangunan dilaksanakan bu-kan untuk kepentingan keuntung-an pengembkeuntung-ang swasta, dengkeuntung-an demikian pembangunan lebih di-arahkan untuk meningkatkan kese-jahteraan rakyak terutama masyara-kat miskin.

Meningkatkan efisiensi pasar tanah dan perumahan.

Kebijakan harus jelas untuk mem-berikan arahan dalam peman-faatannya, mengingat sifat tanah yang terbatas.

Meningkatkan ekuitas pasar tanah perumahan.

Kebijakan tidak hanya melayani kaum elit, sehingga dengan adanya kebijakan tanah akan memberikan hak dan jaminan keamanan yang sama bagi semua lapisan masyara-kat.

Sumber: Dey, dkk, 2006

Di akhir abad 20, banyak kebijakan yang mengkaji tentang tanah lebih fokus pada intervensi langsung oleh pemerintah, misalnya me-ningkatkan kepemilikan tanah negara, redistribusi penguasaan lahan, pembatasan tanah dan kepemilikan, membentuk agen pertanahan dan asosiasi pengembang, dan lain-lain. Kebijakan tersebut jarang menca-pai sasaran karena alasan teknis dan politis seperti kurangnya sumber finansial dan kemauan politik, hubungan kekuasaan yang mengham-bat perubahan, atau korporatisme yang mengekploitasi status quo

(French Development Cooperation, 2009).

(21)

pem-bentukan agen pengembangan properti atau asosiasi pengembang. Nasionalisasi tanah, yang dapat diperpanjang hingga terhapusnya semua kepemilikan privat, mayoritas terjadi di negara-negara sosialis di Asia dan negara di bawah rezim Afrika yang mengikuti model sosialis. Kebijakan ini menunjukkan pembatasan terhadap sentralisme yang berlebihan terhadap administrasi tanah, kontrol yang tidak efektif dan alokasi penggunaan tanah untuk mengamankan kehendak atas pemili-han pemanfaatan tanah.

Pembatasan kepemilikan bertujuan untuk membatasi jumlah ta-nah yang bisa dimiliki individu di desa dan kota. Tujuannya agar distri-busi tanah untuk warga negara bisa merata dan menghindari kondisi ketika banyak tanah tidak dipakai sedangkan di sekitarnya terdapat area kumuh dan hunian liar. Kebijakan ini menggunakan peraturan hu-kum untuk mencegah orang memiliki banyak tanah untuk tujuan spe-kulasi, serta memfasilitasi terciptanya persediaan tanah untuk publik dengan adanya kelebihan tanah yang layak.

Saat inisiatif mengenai nasionalisasi dan pembatasan kepemi-likan tanah dilakukan, di saat itu juga akan terbentuk agensi tanah dan asosiasi pengembang. Peran agensi tanah adalah menentukan persedi-aan tanah publik yang kemudian bisa dikembangkan, sementara aso-siasi pengembang melakukan proyek-proyek terkait perumahan baik industrial maupun komersial di lokasi persediaan tanah tersebut, atau bekerja sama dengan pemilik tanah privat.

Pembatasan kepemilikan bertujuan untuk

membatasi jumlah tanah yang bisa dimiliki

individu di desa dan kota. Tujuannya agar

distribusi tanah untuk warga negara bisa merata

dan menghindari kondisi ketika banyak tanah

tidak dipakai sedangkan di sekitarnya terdapat

(22)

Inisiatif ini digunakan banyak negara hingga awal 1990-an dan secara teoretis memungkinkan otoritas publik memengaruhi pilihan pengembang dan menyediakan tanah produktif melalui pasar tanah. Namun pada kenyataannya, inisiatif tersebut mengecewakan karena adanya pembatasan teknis dan sistem politis yang ada.

Kelemahan sistem tersebut secara politis telah menuai banyak kecaman. Banyak yang berargumen bahwa agensi tanah mengganggu kinerja pasar tanah karena menerapkan sistem harga ganda dan ada-nya kompetisi dengan pihak swasta yang tidak bersubsidi. Meskipun kritik terhadap model intervensi publik pada tahun 1970-an dibenar-kan, tetap saja harus diingat bahwa model dari pertumbuhan kota yang sangat bergantung pada sistem pasar tidaklah realistis, dan tidak ada model seperti itu yang secara liberal dikembangkan oleh negara.

Dalam kebijakan pertanahan ada dua intervensi yang dibedakan menjadi intervensi langsung dan tidak langsung dari pemerintah. In-tervensi langsung mencakup identifikasi jenis-jenis hak atas tanah yang mempunyai dasar hukum, kemungkinan status hukumnya, serta kewa-jiban, larangan, dan kewenangan untuk menggunakan tanah. Interven-si pun tidak dilakukan serta merta. Ada perangkat dan prosedur khusus yang digunakan pada jenis intervensi ini, di antaranya adalah pengem-bangan skema dan rencana yang telah dirancang karena dalam setiap aksi yang dilakukan pemerintah pasti didahului perencanaan baik dari segi anggaran maupun jangka waktu intervensinya. Selain itu juga bisa berupa perencanaan manajemen tanah, pembuatan masterplan, serta reorganisasi, pembagian, dan penyediaan layanan yang berhubungan dengan tanah.

(23)

Inisiatif yang dilakukan pemerintah terkadang tidak tepat sasaran. Tak jarang pula terjadi tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada sebelumnya. Untuk menghindari hal tersebut, maka prosedur-prosedur di dalam kepemilikan tanah perlu dicermati misalnya transfer dan penilaian tanah publik. Setelah semua prosedur itu dilalui baru kemudian intervensi bisa diimplementasikan oleh pihak-pihak yang berkecimpung dalam ranah itu seperti administrator yang bertanggung jawab atas manajemen tanah, institusi-institusi khusus, agensi pertanahan, atau asosiasi pengembang.

Sedangkan untuk intervensi tidak langsung, aksi yang dilaku-kan pemerintah tidak langsung berimbas pada kepemilidilaku-kan tanah itu sendiri namun pada hal-hal yang menaunginya. Pemerintah memberi-kan perhatian terhadap jenis-jenis yang berbeda dari penggunaan ta-nah yang produktif dengan melakukan kontrol pada perubahan fungsi tanah dan memengaruhi pasar tanahnya. Pemerintah juga menentu-kan persediaan tanah publik dan memanfaatmenentu-kan perangkat perpajamenentu-kan seperti pajak tahunan dan pajak perubahan fungsi tanah atau penam-bahan nilai pada tanah tersebut. Kebijakan pinjaman, meregulasi akti-vitas yang berhubungan dengan pengembangan tanah, dan mempro-mosikan serta mengatur kepemilikan tanah.

Bermukim di Perkotaan Indonesia

(24)

Gambar 1.1. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia

Dari keterangan di atas, terlihat bahwa jumlah penduduk miskin, meskipun mengalami penurunan, sampai saat ini jumlahnya masih cukup besar. Di perkotaan, persentasenya mencakup 8,78 persen atau 10,65 juta orang. Jumlah sebesar ini merupakan angka populasi MBR dan warga miskin kota yang menjadi kontributor utama atas gold dust

of urban economy. Meskipun jumlah penduduk miskin di perkotaan

lebih sedikit daripada yang ada di desa, namun data tersebut sebaik-nya tidak dibaca secara optimis. Justru dengan basebaik-nyaksebaik-nya penduduk miskin di pedesaan, dikhawatirkan akan ada banyak di antara mereka yang melakukan urbanisasi di kota.

BPS memprediksikan bahwa urbanisasi akan mencapai 68 per-sen pada tahun 2025 atau naik dari 48 perper-sen pada tahun 2005. Bahkan, tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada 2025 sudah di atas

miskin perkotaan

Maret 2011

Maret 2012 miskin pedesaan

miskin perkotaan

jumlah penduduk miskin

0 10 20 30 40

(25)

80 persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Padahal pola-pola yang ada selama ini menunjukkan, alih-alih meraih kesejahteraan yang lebih layak, kondisi kesejahteraan mereka tidak bertambah baik di kota. Artinya, apa yang terjadi hanyalah perpindah-an lokasi kemiskinperpindah-an dari desa ke kota. Problem ini terkait erat dengperpindah-an gagalnya pemerintah melakukan pemerataan pembangunan, suatu masalah yang sudah terjadi sejak lama.

Gagalnya para pendatang bersaing dalam kehidupan kota nis-caya juga akan meningkatkan luas kawasan kumuh dan liar. Pada ta-hun 2009 saja, jumlah luas kawasan kumuh telah mencapai 57.000 ha, naik dari tahun 2004 sebesar 54.000 ha. Kecenderungan kenaikan ini diperkirakan akan terus berlanjut. UN-Habitat (2007) pernah mem-perkirakan, tidak kurang dari dua juta masyarakat perkotaan di Indo-nesia akan tinggal di kawasan kumuh pada 2030. Ini merupakan suatu prediksi yang seolah mementahkan optimisme pemerintah, yang de-ngan program akselerasinya melalui pencanade-ngan tahun 2020 sebagai “tahun kota bebas kumuh”.

Berkaitan dengan struktur ketenagakerjaan di Indonesia, mayo-ritas tenaga kerja bergerak di sektor informal. Berdasarkan data BPS ta-hun 2011, dalam 117 juta angkatan kerja, 109 juta di antaranya telah mendapatkan pekerjaan. Rinciannya, 41,5 juta tenaga kerja formal dan sisanya merupakan tenaga kerja informal (sebanyak 68,2 persen). Di antara para pekerja sektor informal yang bekerja di kota, dapat diper-kirakan bahwa banyak di antara mereka yang menjadi bagian dari gold dust of urban economy. Hampir dapat dipastikan pula, banyak di anta-ra mereka yang sangat membutuhkan jaminan keamanan bermukim karena mereka tinggal di kawasan yang rentan.

(26)

Kerentanan tersebut disebabkan oleh kemampuan ekonomi mereka yang lemah. Dengan kondisi tersebut, mereka akan kesulitan untuk mengakses rumah yang layak dan aman, yakni rumah yang didirikan di atas tanah dengan status legal terjamin. Sebagai akibatnya, mereka ter-paksa tinggal di rumah tanpa jaminan keamanan bermukim sehingga seringkali menjadi korban penggusuran pemerintah.

Tanpa adanya kriteria yang jelas tentang MBR mengakibatkan segala desain, kebijakan, dan rancangan sebaik apapun belum bisa berjalan dengan baik karena hal itu membuat birokrasi sebagai organ pelaksana kebijakan tidak dapat bekerja dengan efektif. Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan efektif, birokrasi harus bekerja secara terukur, fokus, dan terkontrol. Kejelasan sasaran dan tujuan merupakan variabel penting yang mendeterminasi keberhasilan dari operasional-isasi kerja birokrasi. Dalam kaitannya dengan MBR, kejelasan tersebut terkait dengan pengertian yang jelas dan baku tentang kriteria warga yang dikategorikan sebagai MBR.

Kejelasan tentang siapa yang dimaksud dengan MBR ini penting karena tanpanya, kebijakan dan program yang dijalankan oleh berba-gai kementerian akan menjadi tumpang tindih dan tidak sinkron. Bank Dunia menyebutkan kriteria orang miskin yaitu orang yang pendapa t-an per kapitt-anyakurang dari 2 dolar per hari. Namun ternyata kriteria ini tidak serta merta diadopsi oleh berbagai kementerian yang meng-urusi kemiskinan di Indonesia. Setiap kementerian di Indonesia yang bertanggung jawab dalam hal pengatasan masalah kemiskinan memi-liki kriteria masing-masing dalam menentukan kelompok masyarakat yang akan dilayani.

(27)

in-tegral yang fundamental dari usaha pemberian jaminan hak bermukim. Sebagai masyarakat yang hidup di perkotaan, hak bermukim MBR dan warga miskin harus dijamin. Kelima hak itu adalah tanah, rumah, prasarana, aset komunitas, dan kelembagaan. Berikut adalah ta-bel yang menunjukkan jenis hak yang perlu dijamin beserta program-program yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencapai target per-lindungan keamanan bermukim.

Tabel 1.2 Hak yang Dijamin dalam Keamanan Bermukim

Jenis hak yang dijamin dalam keamanan bermukim

TANAH (penyediaan tanah) Hak Milik dan Hak Sewa Program : Distribusi penguasaan ta-nah secara berkeadilan

Target

Aman dan berkeadilan

RUMAH

Program : Bedah kampung, Pemban-gunan Perumahan Berbasis pada Ke-lompok (P2BPK), Perumahan sosial, Subsidi perumahan, dan Bantuan stimulan

Rumah sosial/rumah sing-gah, rumah sewa, rumah sub-sidi yang layak dan terjangkau

Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penataan Ruang, Perumahan dan Permukiman dalam pelayanan air bersih, pengelolaan sanitasi dan limbah, pengelolaan sampah, trans-portasi publik, jaringan drainse, sistem penerangan/ jaringan listrik PRASARANA

Program : Keterpaduan pem-bangunan permukiman dengan prasarana perkotaan (Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan/SPPIP), dan Program PAMSIMAS, SANIMAS

Harmonis, guyub, berkelanjutan; Ruang bersosialisasi/ruang terbuka publik; Kedekatan dengan sumber mata pencaharian

ASET KOMUNITAS

Program : SDM, ruang komunal, dan finansial

Kemitraan KELEMBAGAAN

(28)

Menurut Nurmandi (2006: 127), ada enam sektor yang saling berhubung an di perkotaan yang harus ditangani pemerintah yaitu lingkungan, infrastruktur, pertanahan, perumahan, fasilitas sosial, dan pembangunan ekonomi.

Skema 1.1 Sektor yang harus Mendapat Perhatian Pemerintah di Perkotaan

Lingkungan mencakup penyediaan dan penanganan penggu-naan sumber daya air, udara, dan tanah yang berkesinambungan. Sek-tor infrastruktur meliputi air bersih, jalan dan jembatan, fasilitas pendu-kung seperti komunikasi, sanitasi, hingga fasilitas pengelolaan sampah. Sektor pertanahan adalah pendaftaran tanah, pemetaan, prosedur peralihan hak atas tanah, perencanaan penggunaan lahan, dan sistem perpajakan atas tanah.

Penyediaan perumahan bagi semua golongan masyarakat dan pengorganisasian pembiayaan pembangunan perumahan termasuk dalam sektor perumahan. Fasilitas sosial yaitu tersedianya layanan pen-didikan, kesehatan, keamanan yang memadai, program penanganan kaum miskin yang optimal, bahkan fasilitas rekreasi. Sektor terakhir

Pembangunan

ekonomi Jumlah pendudukmiskin Infrastruktur

Perumahan Pertanahan Fasilitas

sosial

(29)

adalah sektor ekonomi yang sangat berpengaruh pada perkembangan perkotaan seperti manufaktur, distribusi barang dan jasa, jasa konstruk-si, perbankan, serta asuransi.

Agar jaminan bermukim di perkotaan bisa efektif maka dua hal yang perlu dilakukan adalah, pertama penjaminan hak bermukim MBR dan warga miskin harus masuk dalam satuan kinerja pelayanan dasar perkotaan yang nantinya akan dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Kedua, perlu diformulasikan jabaran yang rinci dan teknis untuk pelayanan dasar di dalam pemenuhan hak bermukim.

Selain itu, problem mengenai backlog juga terkait erat dengan wacana pemberian keamanan bermukim. Seseorang yang tidak mem-punyai rumah secara otomatis juga tidak memiliki jaminan keamanan bermukim. Harga rumah dan tanah yang terlalu mahal serta kurang-nya keberpihakan pemerintah pada kaum tak berumah adalah faktor yang melatarbelakangi fenomena ini. Dari data BPS tahun 2012, jum-lah backlog setiap tahun semakin meningkat, dari 5,8 juta unit pada 2004 menjadi 7,4 juta unit tahun 2009, kemudian mencapai 13,6 juta unit pada 2010. Setiap tahun, jumlah permintaan rumah meningkat sebanyak 900.000 dengan kemampuan membangun yang hanya 200.000 sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap tahun jumlah

backlog meningkat sebanyak 700.000. Dengan rumus tersebut, maka pada tahun 2012 diperkirakan jumlah back­ log telah mencapai 15 juta.

Dengan mencermati data di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya untuk memberikan jaminan keamanan ber-mukim bagi seluruh warga kota meru-pakan tantangan yang sangat berat dan untuk itu membutuhkan kerja keras. Pola pembangunan nasional secara umum dan pembangunan perkotaan secara khusus telah berkontribusi

da-Dari data BPS

(30)

lam menciptakan kondisi tersebut. Suatu upaya pembaruan dan re-orientasi pembangunan perlu dilakukan dengan segera dengan tanpa melupakan perencanaan yang matang.

Upaya pemberian jaminan keamanan bermukim merupakan salah satu langkah penting yang perlu dijadikan prioritas bersama oleh semua pihak karena apabila jaminan tersebut telah ada, inisiatif-insiatif pembangunan lain akan menjadi lebih mudah dan efektif untuk dilaku-kan.

Jaminan Keamanan Bermukim

dan Kepemilikan Tanah

Kepemilikan tanah (land tenure) adalah cara untuk menguasai atau memiliki suatu tanah, atau seperangkat hubungan di antara orang-orang yang terkait dengan tanah dan produk-produknya. Sistem kepe-milikan tanah dapat bersifat formal maupun informal. Sistem formal diciptakan atas dasar UU dan peraturan hukum yang berlaku, sedang-kan sistem informal biasanya tidak tertulis dan didasarsedang-kan atas adat is-tiadat serta tradisi. Konsep kepemilikan tanah juga dapat ditinjau dari sudut pandang jaminannya. Menurut UN-Habitat, jaminan bermukim (secure tenure) merupakan suatu persetujuan di antara individu atau kelompok atas hak menggunakan tanah dan properti sebagai tempat tinggal.

(31)

Skema 1.2 Syarat Kepemilikan Tanah

Sumber: FIG/UNHCS dalam UN­Habitat, 2003

Sementara itu, kepemilikan dikatakan tidak terjamin apabila warga yang tinggal di atasnya dapat diusir setiap saat. Terdapat ber-bagai kondisi bermukim yang lazimnya tidak terjamin, misalnya per-mukiman yang sepenuhnya ilegal, pendudukan tanah yang ditoleransi hanya sesaat, atau pendudukan yang legitimasinya atas dasar adat. De-ngan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem bermukim formal pasti mendapat jaminan, berbeda dengan sistem bermukim informal.

Tantangan terbesar adalah bagaimana memberikan jaminan ber-mukim bagi semua model kepemilikan tanah yang ada, termasuk yang bersifat informal. Hal ini penting dan mendesaj untuk segera diwujud-kan karena ikhtiar untuk memberidiwujud-kan jaminan bermukim bagi semua warga negara merupakan salah satu wujud pokok dari pemenuhan hak asasi untuk bertempat tinggal dengan layak, nyaman, dan aman.

SYARAT KEPEMILIKAN TANAH YANG AMAN DAN TERJAMIN

Mendapatkan perlindungan efektif dari negara dalam menghadapi

penggusuran paksa

Mendapat kebebasan untuk menjual tanah dan mengalihkan

hak atas tanah melalui warisan

Penghuni memiliki akses terhadap kredit di bawah kondisi-kondisi

(32)

Banyak negara yang mencantumkan “hak akan rumah yang la-yak” dalam konstitusinya. Hak yang sama juga muncul dalam berbagai traktat Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, hak yang lebih penting beru-pa hak untuk daberu-pat secara bebas memiliki dan mentransfer properti, sebagai cerminan dari jaminan keamanan bermukim, ternyata justru absen dari pertimbangan para pembuat konstitusi dan traktat. Tidak diberikannya hak untuk memiliki, menukar, dan mentransfer properti secara bebas justru berkontribusi pada terbentuknya kawasan kumuh itu sendiri. Orang-orang tinggal di kawasan kumuh karena hak mereka untuk tinggal di kawasan formal tidak dijamin oleh pemerintah. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya disinsentif atas upaya investasi penghuni kawasan kumuh terhadap rumah dan lingkungannya. Keti-adaan hak atas properti juga membuat mereka tidak bisa mengakses kredit dan modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha produktif.

Terdapat suatu pola laten yang menghubungkan pemberian jaminan hak akan keamanan bermukim dengan peningkatan kese-jahteraan umum yang selama ini kurang disadari pemerintah. Pola tersebut dirumuskan ke dalam siklus peralihan utilitas: hak atas ke-amanan bermukim membuahkan kapital, kapital membuahkan inovasi dan kreativitas, dan selanjutnya membuahkan kesejahteraan.

Pemberian jaminan keamanan bermukim mampu membangkit-kan kekuatan kawasan kumuh yang disebut oleh ekonom Peru Hernan-do de Soto sebagai modal mati (dead capital). Modal mati merupakan hilangnya manfaat yang mungkin diperoleh dari nilai-nilai suatu aset tertentu. Menurut de Soto, kebanyakan modal mati terendap dalam kawasan kumuh, yang merupakan kawasan yang propertinya dimiliki secara informal oleh penghuninya namun tidak diakui secara legal oleh pemerintah.

(33)

misalnya dengan cara Terbengkalainya modal mati dalam jumlah besar seperti ini sangatlah merugikan, karena sesungguhnya apabila mampu dimanfaatkan secara semestinya, yakni melalui upaya pengakuan dan pengintegrasian ke dalam ekonomi pasar, maka modal mati tersebut dapat memicu pertumbuhan.

Untuk mengubah orientasi berbasis perencanaan dan proyek menuju ke arah baru yang berbasis pada hak dan kepastian hukum, beberapa langkah substantif perlu segera dilakukan. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menghilangkan berbagai peraturan re-striktif yang selama ini menghambat jaminan keamanan bermukim. Selanjutnya, melalui berbagai terobosan inovatif dan strategis, lambat laun diharapkan semua penghuni kota tinggal di atas tanah yang di-jamin keamanan bermukimnya.

(34)

Konsep Dasar Kepemilikan Tanah

Kepemilikan tanah merupakan penguasaan sebidang tanah yang dipegang atau dimiliki atas tanah. Sistem kepemilikan tanah ter-diri dari dua yaitu kepemilikan formal dan informal. Sistem kepemilikan formal dilaksanakan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kepemilikan tanah informal pada dasarnya dimiliki secara adat.

Kepemilikan tanah yang tidak terjamin tergantung pada kondisi yang bersangkutan, dari seluruh kepemilikan yang tidak legal dipenga-ruhi oleh kondisi adat. Menurut UN-Habitat, jaminan kepemilikan menjelaskan bahwa penggunaan tanah dan propertinya dilakukan ke-sepakatan antara individu atau kelompok. Jaminan kepemilikan terse-but dilakukan berdasarkan peraturan dan hukum yang berlaku. Kepe-milikan tanah secara legal mempunyai kekuatan hukum yang akam menguatkan keamanan seseorang atau sekelompok orang dalam kepemilikan tanah sehingga terhindar dari penggusuran.

(35)

34

Skema 1.3 Klasifikasi Sistem Kepemilikan

(36)

Perbedaan antara sistem kepemilikan legal dan ilegal dibuat ber-dasarkan kebijakan bagaimana suatu negara mengakui keberadaan kepemilikan legal dan ilegal serta cara penyelesaian permasalahan legal dan ilegal. Karena dalam kondisi yang sebenarnya, tidak semua keadaan ilegal akan mendapatkan permasalahan seperti penggusuran, dapat kita lihat permasalahan permukiman ilegal masih sering mendapatkan toleransi untuk tetap tinggal di tanah mereka. Meski demikian, negara tetap berusaha untuk mengarahkan permukiman yang legal.

1. Kepemilikan tanah yang terdokumentasi

• Merupakan sistem kepemilikan pribadi yang telah terdo-kumentasi atau terdaftar secara lengkap sesuai peraturan yang berlaku, dilakukan pembayaran pajak kepada nega-ra, dan menaati tatanan penggunaan tanah (tata ruang wilayah) yang berlaku sebagai upaya pengendalian pe-manfaatan tanah agar tidak berbenturan dengan kepen-tingan umum. Sering disebut dengan kepemilikan mut-lak (freehold), yang merupakan sistem kepemilikan privat sepenuhnya yang bebas dari berbagai kewajiban ter-hadap negara kecuali pembayaran pajak dan kepatuhan terhadap aturan kontrol penggunaan tanah atas nama kepentingan publik.

Adapula tanah yang terdokumentasi namun tidak ter-daftar. Ada beberapa jenis kepemilikan yang terkategorikan ke dalamnya, di antaranya kepemilikan sewa tidak terdaftar, rental, hak menghuni (occupancy right), hak guna (termasuk subsewa, subrental, menyewa bersama, dan hak menghuni bersama).

(37)

pihak-pihak yang terli-bat. Meskipun terkadang tidak dimuati dengan jaminan bermukim yang pasti, jenis-jenis kepemi-likan sewa yang tidak ter-daftar tetap diminati oleh banyak pihak.

Dibandingkan de-ngan sistem kepemilikan mutlak, sistem sewa me-miliki beberapa keuntu-ngan seperti harga yang lebih murah, dapat diak-ses dengan lebih cepat,

bersifat lebih fleksibel, dan dapat ditingkatkan kualitasnya oleh penyewa secara bertahap. Selain itu, dalam beberapa ka-sus, sewa kadang kala juga dapat tetap berlangsung bahkan ketika tengah terjadi pertikaian terkait kepemilikan tanah.

2.

Kepemilikan tanah tidak terdokumentasi penuh

Sistem kepemilikan ini merupakan kepemilikan dengan batas waktu dan pembayaran tertentu untuk menempati sebidang tanah oleh pemilik baik pemerintah maupun swasta. Pada umumnya, kepemilikan atas dasar sewa tidak dapat dipindah tangankan, tetapi sebagian hak dari sewa dapat dipindahta-ngankan sesuai, tanah sewa yang sebagian mencakup hak-hak tersebut pada umumnya didaftarkan.

3. Kepemilikan tanah yang terdaftar

Termasuk kedalam tipe ini yakni kepemilikan sewa, hak guna tanah dan sebagainya. Kondisi ini dapat dilihat pada kebijakan pemerintah yang melakukan sewa tanah, ketika terdapat be-berapa hak yang dimiliki oleh pihak pengguna. Keamanan

Dalam hubungannya

dengan jaminan

bermukim, berbagai

jenis hak kepemilikan

tersebut mempunyai

derajat jaminan

bermukim yang

berbeda. Hal itu

(38)

penguasaan tanah tergantung pada beberapa faktor seperti kesepakatan, jenis sewa yang diberikan dan sebagainya.

Termasuk juga di dalamnya kepemilikan sewa yang ter-daftar (registered leasehold –termasuk kepemilikan bersama). Kepemilikan sewa merupakan kepemilikan selama jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian pembayaran sewa. Pemilik tanah legal adalah pihak di luar dia yang menem pati atau menyewa tanah, yang dapat berupa pihak negara atau swasta. Pada umumnya, status kepemilikan seperti ini tidak dapat dialihkan atau ditransfer. Akan tetapi, hak-hak dan properti-properti lain, yang bergantung pada perjanjian sewa-menyewa yang telah disepakati kedua belah pihak, dapat di-transfer oleh pihak penyewa.

Berbeda dengan kepemilikan tanah yang terdokumen-tasi secara penuh, kepemilikan sewa ini lebih murah, mem-butuhkan waktu yang tidak lama, lebih fleksibel, dan apabila terjadi sengketa kepemilikan tanah dapat diselesaikan secara bertahap dan tidak menggunakan biaya yang terlalu mahal.

4. Kepemilikan kelompok

(39)

serta mengurangi biaya survei, registrasi, dan administrasi ta-nah publik, dengan biaya pengurusan yang jauh lebih sedikit. Contoh tipe kepemilikan seperti ini adalah kepemi-likan tanah atas nama kerja sama yang dipercaya oleh ma-syarakat, asosiasi perumahan dan sebagainya. selanjutnya hak-hak kepemilikan atau sewa diberikan oleh kelompok.

5. Sistem Kepemilikan Tanah Komunal

(40)

5. Kepemilikan tanah formal yang tidak terdokumentasi

Model ini mengandung keamanan bermukim sampai pada de-rajat tertentu. Beberapa contoh dari jenis bermukim ini adalah

adverse possession, proteksi legal atas penggusuran paksa, dan hak penggunaan/bermukim tanpa disertai sertifikat.

6. Kepemilikan tanah nonformal

Terdapat contoh luas dalam kategori ini. Berbagai contoh tersebut ada yang bersifat legal maupun ilegal. Pengakuan

de facto atas penghunian (karena patronase politik, bukti pembayaran atas hak penggunaan, bukti lisan, hak adat yang diakui secara informal, persepsi atas keamanan bermukim, dan lain-lain) merupakan tipe-tipe bermukim yang biasanya eksis dalam kawasan kumuh dan liar. Selain itu, termasuk juga di dalamnya bangunan liar reguler dan nonreguler, subdivisi tak resmi atas tanah yang dimiliki secara legal, dan berbagai bentuk dari pengaturan sewa tak resmi. Beberapa kategori informal ini bisa dilihat sebagai bentuk ketidakmampuan pemerintah melakukan sistem alokasi dengan adil dan tidak bisa menyediakan kebutuhan bagi MBR dan warga miskin kota. Namun, seiring berjalannya waktu permintaan akan tipe kepemilikan ini justru meningkat.

(41)

Skema 1.3 Rangkaian Kepemilikan dari Informal ke Formal

Sumber: Dey, 2006

Selain didasarkan atas kategori di atas (seberapa formal/informal suatu tipe kepemilikan tanah), sistem kepemilikan tanah juga dapat diklasifikasikan atas dasar siapa pihak yang berwenang untuk meng-atur dan mengendalikan alokasi atas tanah. Dalam hal ini, sistem kepe-milikan tanah dibagi menjadi dua:

1. Kepemilikan Privat atau Hak atas Tanah Milik

Sistem ini dicirikan oleh penggunaan dan penukaran tanah secara bebas tanpa hambatan. Melalui kebebasan tersebut, tanah diharapkan dapat digunakan dengan cara yang paling intensif dan efisien. Harga tanah bergantung pada dinamika penawaran dan permintaan di pasar tanah.

2. Kepemilikan publik atau Hak atas Tanah Pakai

(42)

meskipun dirasa lebih adil daripada sistem privat, sistem ini juga mempunyai kelemahan, di antaranya rendahnya efisiensi karena inefisiensi birokrasi atau munculnya sistem patronase dan klientelisme.

Pada dasarnya, tak ada satupun jenis kepemilikan yang mampu memenuhi kepentingan dari beragam kelompok sosial. Oleh karena-nya, upaya untuk memberikan keamanan bermukim hendaknya tetap mempertahankan pluralitas jenis-jenis kepemilikan. Pengakuan legal atas berbagai jenis kepemilikan justru akan memperkuat pembangun-an dari dinamika pasar tpembangun-anah, terutama di negara berkepadatpembangun-an tinggi dan berkebutuhan variatif.

Perspektif HAM dan Hak Bermukim

Di Indonesia, masih banyak warga yang hak bermukimnya be-lum terpenuhi. Hal itu termanifestasi melalui berbagai macam bentuk, seperti tunawisma, gelandangan, tinggal di rumah kumuh, atau tinggal di rumah tanpa jaminan keamanan bermukim (secure tenure). Ini meru-pakan cerminan yang jelas bahwa kemampuan negara dalam mem-berikan jaminan konstitusional bagi warga negara masih belum opti-mal. Jaminan konstitusional tersebut berupa hak untuk bermukim yang telah diakui sebagai salah satu elemen HAM. Sebagai negara demokrasi dan negara hukum, sudah sewajarnya pemerintah menghormati pra-nata-pranata utama yang mencerminkan kedemokratisan suatu nega-ra, yang salah satu di antaranya adalah pranata tentang HAM.

(43)

Perempuan Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 16h, Konvensi tentang Peng-hapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras Pasal 5e Ayat (iii), Konvensi tentang Hak-hak Anak Pasal 27, dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 11 Ayat (1) yang berbu nyi: “[Persetujuan ini] mengakui hak setiap orang atas standar kehidup-an ykehidup-ang layak baik bagi dirinya dkehidup-an keluargkehidup-anya, termasuk makkehidup-ankehidup-an, pakaian, dan perumahan yang memadai, dan atas peningkatan yang berkelanjutan atas kondisi hidup.”

Isu tentang jaminan keamanan bermukim menempati posisi yang krusial. Sayangnya, lagi-lagi isu tentang hal ini pun masih men-jadi masalah pelik di Indonesia. Jaminan keamanan bermukim masih menjadi sesuatu yang didambakan, terutama oleh penghuni kawasan kumuh dan ilegal (squatter) dan kelompok komunal atau suku yang tinggal di atas kawasan tanah adat agar terhindar dari penggusuran atau tercerabutnya hak mereka untuk bermukim. Ketiadaan kerangka regulasi yang jelas dan berpihak kepada kelompok rentan serta prefe-rensi pembangunan pemerintah yang condong berpihak kepada kaum pemodal besar merupakan hal-hal yang menyebabkan absennya jami-nan keamajami-nan bermukim bagi kelompok-kelompok tersebut.

Segala ketentuan, laporan, dan interpretasi yang terkait dengan hak atas rumah dan hak atas keamanan bermukim yang didasarkan atas dokumen-dokumen HAM merupakan hal yang mengikat entitas pemerintah di Indonesia. Ini mengingat bahwa pemerintah telah

men-Jaminan keamanan bermukim masih menjadi

sesuatu yang didambakan, terutama oleh penghuni

kawasan kumuh dan ilegal (squatter) dan kelompok

komunal atau suku yang tinggal di atas kawasan

tanah adat agar terhindar dari penggusuran atau

(44)

jadikan HAM sebagai hak konstitusional warga negara melalui amande-men konstitusi dan penetapan beberapa instruamande-men hukum nasional, antara lain: perubahan kedua UUD 1945 Bab XA yang memuat menge-nai HAM dalam 10 pasal (Pasal 28A-28J), TAP MPR No. XVII/MPR/1998, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 40 dari UU tersebut secara jelas menyatakan: “Setiap orang berhak untuk bertem-pat tinggal serta berkehidupan yang layak”), UU No. 11 Tahun 2005 ten-tang Pengesahan Kovenan Internasional tenten-tang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Pada dasarnya, seluruh dokumen dan aturan hukum baik inter-nasional maupun inter-nasional yang menjadikan rumah sebagai bagian dari HAM memuat satu pesan yang sama dan konsisten, yaitu bahwa rumah hendaknya tidak dipandang sebagai komoditas yang pengadaannya dilempar kepada mekanisme pasar. Pesan ini disuarakan karena adanya situasi yang jelas bahwa rumah pada hakikatnya merupakan bagian dari kebutuhan primer/dasar yang dibutuhkan semua orang untuk dapat hidup secara layak.

Pada titik itu, menyerahkan kebutuhan akan rumah kepada mekanisme pasar sama artinya dengan membiarkan sebagian warga negara untuk menjalani kehidupannya tanpa kelayakan dan martabat. Sebab, terdapat kelompok warga yang pendapatan dan tingkat kese-jahteraannya tidak mencukupi untuk menjangkau rumah dengan harga pasar. Pelanggaran HAM yang seringkali tidak disadari ini merupa kan aib bukan saja karena pemerintah telah menganut sistem demokrasi yang mesti mematuhi norma-norma HAM, melainkan juga karena Indo-nesia adalah negara beradab yang memiliki sensibilitas moral tinggi untuk menjamin kehidupan layak bagi seluruh warganya tanpa kecuali.

(45)

to the city). Sosiolog urban Perancis memformulasikan konteks hak akan kota dalam berbagai varian disiplin ilmu dan varian tematis, misalnya isu-isu tentang gentrifikasi, imigrasi, perumahan, kewarganegaraan, ru-ang publik urban, dan eksklusi sosial.

Dalam keluasan arti sekaligus pemanfaatan dari gagasan hak akan kota, isu tentang keamanan bermukim (security of tenure) juga tidak luput untuk masuk sebagai bagian dari diskursus yang tercakup di dalamnya. Sebelum membahas tentang keamanan bermukim ini di bagian selanjutnya, terlebih dahulu akan dilakukan survei dan paparan atas tulisan kesarjanaan mengenai hak akan kota. Hal ini penting untuk dilakukan, karena dalam buku ini gagasan hak akan kota menjadi wa-cana utama yang memayungi seluruh diskusi tentang keamanan ber-mukim di kota. Gagasan ini berperan sebagai paradigma yang menjadi rujukan bagi seluruh upaya tentang pemberian keamanan bermukim bagi seluruh warga di kota. Uraian tentang hak bermukim di kota akan mengikuti argumen yang ada dalam Attoh (2011).1

Hak atas kota dikonsepsikan pertama kali oleh Lefebvre pada karyanya yang ditulis tahun 1968, Writing on Cities. Bagi Lefebvre, kota dipahamai sebagai suatu oeuvre, yakni produk yang diciptakan melalui kerja dan aktivitas harian dari orang-orang yang tinggal di dalam kota. Adapun hak akan kota antara lain terdiri dari hak untuk bertempat ting-gal di kota, hak untuk memproduksi kehidupan urban dalam modus baru (kehidupan yang bebas dari hegemoni kapitalisme dan pamrih untung-rugi ekonomis), dan hak dari para penghuni kota untuk bebas dari perasaan terasing dan tercerabut.

Semua hak itu dirumuskannya secara singkat sebagai “hak akan kehidupan urban yang tertransformasikan dan terbarukan”. Meski demikian, dalam tulisannya Lefebvre kurang memaparkan petunjuk lebih jauh tentang apa persisnya yang dimaksud dengan “hak akan

(46)

kota”. Gagasannya masih berupa sketsa umum sehingga tidak mem-berikan petunjuk praktis kepada aktor-aktor sosial yang ingin men-gusahakan hak tersebut.

Karena batasannya yang longgar dan terkesan retoris, maka tak heran apabila para penulis yang melanjutkan gagasannya memanfaat-kan, menginterpretasi, dan melengkapi konsep hak akan kota secara bervariasi. Terdapat berbagai macam pandangan tentang hak-hak apa saja yang tercakup dalam istilah hak akan kota, dan siapa saja pihak atau kelompok yang berhak mendapatkannya.

Ada yang menginterpretasikan hak akan kota sebagai hak akan ruang politik yang berkait erat dengan hak atas kewarganegaraan (Dikec, 2005), hak untuk bertempat tinggal (Mitchell, 2003), hak atas desain (Van Deusan, 2005), dan hak untuk mendefinisikan arti dari ru-ang publik (Gibson, 2005). Bagi yru-ang lain, hak atas kota adalah hak akan otonomi di hadapan kebijakan urban (Phillips & Gilbert, 2005) dan hak untuk melawan brutalitas polisi, pengawasan, dan turut campur yang berlebihan dari negara (Mitchell & Heynen, 2009). Selain itu, hak atas kota juga dipahami sebagai hak-hak sosial-ekonomi, seperti hak atas rumah (Marcus, 2008), transportasi (Bickl, 2005), dan sumber daya alam seperti air (Phillips & Gilbert, 2005). Ada pula yang memahaminya se-bagai hak untuk mendapatkan kebaikan komunal, seperti estetika dan komunitas (Matilla, 2005).

Dalam kaitannya dengan pertanyaan tentang siapa yang berhak mendapatkan hak akan kota, juga terdapat jawaban yang tidak tung-gal. Beberapa jawaban tersebut di antaranya kaum tunawisma, imigran, minoritas rasial, orang cacat, perempuan, minoritas seksual, dan aktivis politik, yakni pihak-pihak yang dipandang seringkali diperlakukan tidak adil melalui kebijakan pemerintah kota. Sementara itu, Purcell (2005) bergerak lebih jauh dengan menegaskan bahwa hak atas kota sela-yaknya diberikan kepada seluruh orang yang hidup di dalam kota.

(47)

terdapat satu hal sama yang menjiwai berbagai pandangan yang ada, yakni kritik terhadap kebijakan kota. Kebijakan urban dan desain ur-ban diimplementasikan dengan cara yang semakin tidak demokratis, mengeksklusikan kaum miskin, dan mendahulukan pemilik modal dari-pada mayoritas penduduk. Sementara itu, Mitchell dan Heynen (2009) mengatakan bahwa fakta mengenai adanya berbagai pandangan tersebut merupakan sesuatu yang bersifat positif karena dengannya, berbagai hak dapat diintegrasikan sedemikian sehingga hak akan kota menjadi seperangkat hak yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutu-han warga kota secara komprehensif.

Namun demikian, komprehensivitas dari macam-macam ga-gasan hak akan kota tidak dapat dikatakan koheren karena beberapa pandangan apabila dilaksanakan justru akan bertentangan dengan pandangan lain. Misalnya, Harvey (2008), Purcell (2003), McCann (2005), Busa (2009), Ascher (2009), dan Angotti (2009) merumuskan hak akan kota pertama dan terutama sebagai hak untuk mendemokratisasikan upaya pengelolaan kota, baik terkait upaya bagaimana kota dimanfaat-kan dan bagaimana kota dikonstruksi dan didesain. Realisasi dari ideal ini terutama diwujudkan dalam bentuk hak warga kota untuk berparti-sipasi dalam pembuatan kebijakan.

Apabila prinsip tersebut menjadi pegangan utama dari pengu-payaan hak akan kota, pelaksanaannya akan bertentangan dengan in-terpretasi lain tentang hak akan kota, terutama yang memaknainya se-bagai hak sosio-ekonomi seperti hak untuk bertempat tinggal di kota. Hak semacam itu, dalam pandangan mayoritas warga kota, seringkali ditentang dan tak diakui karena mereka menganggapnya sebagai in-sentif untuk urbanisasi besar-besaran yang akan menambah masalah dalam kota. Dalam kaitannya dengan penghuni liar, pemberian hak bertempat tinggal kepada mereka juga bukan tidak mungkin ditentang oleh sebagian besar warga kota karena mereka menganggap okupasi tanah yang dilakukan para penghuni liar adalah ilegal.

(48)

par-tisipasi dengan prinsip hak. Karena inilah, Staeheli dan Mitchell (2008) memberikan peringatan bahwa kon-sepsi yang berbeda-beda tentang hak akan kota selain dapat menim-bulkan konflik politik yang serius juga berimplikasi pada karakter dan profil dari kota itu sendiri.

Untuk merekonsiliasi berba-gai pertentangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan hak akan kota, pengertian tentang hak akan kota harus diangkat levelnya agar dia mampu menghindari terjadinya konflik-konflik keras. Ini dapat di-lakukan dengan mengintegrasikan

hak akan kota ke dalam teori umum tentang keadilan sosial. Dalam perspektif keadilan sosial, demokrasi dimaknai secara lebih substantif, tidak hanya sekadar dalam dimensi mayoritarian atau proseduralisme.

Satu hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemahaman menge-nai hak akan kota adalah keinsafan bahwa setiap institusionalisasi hak niscaya mempunyai dampak finansial atas peluangnya tersendiri. Arti-nya, implementasi dari suatu hak akan membawa konsekuensi tertentu berupa terhambatnya realisasi hak-hak lain. Selain itu, dalam konteks di mana suatu kota mempunyai keterbatasan sumber daya dan kapasitas, institusionalisasi hak akan kota juga haruslah mengantisipasi peluang kompromi dan substitusi. Dalam buku ini, hak akan kota difokuskan terutama sebagai hak akan keamanan bermukim. Karena itu, catatan-catatan tersebut haruslah senantiasa disadari dan diperhatikan.

Untuk merekonsiliasi

berbagai pertentangan

yang mungkin terjadi

dalam pelaksanaan

hak akan kota,

pengertian tentang

hak akan kota harus

diangkat levelnya

agar dia mampu

(49)

Gambar 1.1 Kurangnya ketersediaan lahan komunal pada permuki-man informal di Lima, Peru.

(50)

BAB II

PENGATURAN PEMERINTAH

DALAM HAK BERMUKIM

HAK BERMUKIM

Paradigma kepemilikan tanah di Indonesia masih mengalami kerancuan. Status tanah yang hanya diakui oleh negara atau lembaga pertanahan, apabila masyarakat memiliki legalitas yang dibuktikan dengan sertifikat. Sedangkan kepemilikan tanah tidak sah juga marak terjadi di Indonesia, pada saat masyarakat mengakuisisi lahan strategis tanpa ada kepemilikan yang sah. Kepemilikan pada lahan tersebut di-tandai dengan pendirian bangunan permanen beserta aktivitasnya. Kejadian tersebut telah berlangsung secara turun temurun, hingga penghuni telah merasa bahwa tanah tersebut adalah hak mereka. Per-masalahan tersebut tidak hanya muncul di tanah adat daerah, tapi juga tanah-tanah di perkotaan.

Pengaturan Penguasaan atas Tanah

(51)

reformasi mendorong pihak yang lemah untuk berani menuntut hak yang dirampas oleh pihak yang kuat (Wulan dkk, 2004).

Tanah adat sebagai aset masyarakat lokal banyak yang dijual ke perusahaan untuk dialihfungsikan sebagai komoditas perekonomian. Masyarakat lokal semakin termajinalkan dengan kondisi tersebut. Ma-syarakat merasa bahwa pemerintah telah merampas hak milik mereka. Bahkan sebagai akibat alih fungsi lahan tersebut sering menimbulkan bencana bagi masyarakat lokal. Sedangkan perusahaan terkait tidak mau bertanggung jawab. Kondisi di daerah yang sangat ironis terse-but tidak mendapat perlindungan dari pemerintah. Eksploitasi lahan tanpa henti semakin merusak kondisi alam di daerah tersebut. Terlebih lagi eksploitasi tersebut mengakibatkan pelanggaran adat dan perma-salahan tata batas. Hingga saat ini, permaperma-salahan tersebut masih me-nimbulkan konflik antar daerah, masyarakat dengan pemerintah, dan sebagainya.

Permasalahan semakin kompleks terjadi di perkotaan ketika muncul berbagai intervensi dari pihak yang terkait. Displacement se-bagai akibat dari proses gentrifikasi yang menambah buruk kualitas hunian bagi masyarakat miskin. Slum and squatter bermunculan di kawasan perkotaan terutama di pusat kota. Ruang-ruang publik yang tidak boleh diakuisisi oleh individu atau kelompok. Pemerintah tidak tegas terhadap inventarisasi dan pendisiplinan status tanah publik.

Timbulnya permukiman kumuh dan liar bagaikan fenomena gunung es. Permasalahan tersebut tidak disadari pada awalnya dalam skala kecil, tetapi pada saat permasalahan mulai meluas, barulah disa-dari bahwa status tanah menjadi permasalahan signifikan di kawasan perkotaan.

(52)

bertambah banyaknya jual beli, sewa menyewa, pewarisan, pemberian kredit, bahkan timbulnya hubungan hukum dengan orang atau badan hukum asing.

Peralihan status tanah menjadi hak individu bukanlah perkara yang mudah. Pelaksanaannya menimbulkan berbagai masalah atau sengketa mengenai kepentingan-kepentingan terhadap tanah, maka diperlukan adanya pengaturan yang tegas dan landasan hukum yang kuat dibidang pertanahan. Sesuai dengan sifat-sifat dari ketentuan di atas masalah agraria menjadi tugas dari pemerintah pusat. Adanya we-wenang dan tugas yang dimiliki pemerintah mengenai masalah agraria ini memberikan konsekuensi bahwa pemerintah pusat harus menyu-sun kebijaksanaan dalam rangka menyumenyu-sun politik hukum dibidang agraria. Kebijaksanaan yang dimaksud adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang berisi mengenai Inventarisasi tanah-tanah di seluruh wilayah Indonesia.

Sebagaimana dinyatakan dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pa-sal 19 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut “Untuk menjamin kepas-tian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah. Adapun

Peralihan status tanah menjadi hak

individu bukanlah perkara yang mudah.

Pelaksanaannya menimbulkan berbagai

masalah atau sengketa mengenai

kepentingan-kepentingan terhadap tanah,

maka diperlukan adanya pengaturan yang

tegas dan landasan hukum yang kuat

(53)

yang bertugas untuk melakukan pendaftaran peralihan hak yang ada sekarang ini ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Pemerintah sebatas melakukan administrasi tanpa adanya upaya untuk legalisasi tanah dalam konteks pemberian perlindungan kepada masyarakat miskin. Gebrakan baru yang dapat menjadi formula pe-ngentasan kemiskinan dan mengurangi keberadaan kumuh atau liar adalah melalui perluasan konteks slum upgrading. Apabila pada peri-ode sebelumnya slum upgrading hanya ditujukan pada penataan fisik kawasan kumuh, saat ini slum upgrading memasukkan parameter kele-galan tanah untuk meningkatkan kualitas hunian masyarakat. Keaman-an bermukim masyarakat juga tidak hKeaman-anya diukur dari kepemilikKeaman-an sertifikat saja, tetapi juga ketersediaan infrastruktur.

Penguasaan atas tanah diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:

1. Penguasaan Tanah Beraspek Hidup

(54)

2. Penguasaan Fisik atas Tanah

Penjelasan mengenai penguasaan fisik atas tanah terkait de-ngan konsep yang terkandung pada pengertian istilah hu-kum: occupation, possesion, seizin dan bezit. Pengertian occu­ pation, possesion, seizin, dan bezit menurut Al-Rashid (1997) dapat dilihat dalam skema berikut.

Skema 2.1 Occupation, Possesion, Seizin, dan Bezit

(55)

3. Penguasaan Yuridis atas Tanah

Penguasaan yuridis atas tanah terkait dalam hak bermukim menyangkut hak-hak tanah sebagai hak milik, hak guna usa-ha, hak guna bangun, hak pakai. Hak milik sebagai hak turun temu run, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara selama jangka wak-tu tertenwak-tu. Subjek hukum dari hak guna bangunan adalah warga negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia. Hak guna ba ngunan adalah hak untuk mendirikan dan mempu-nyai bangun an di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu yaitu 20 tahun atau 30 tahun.

Subjek hukum dari Hak Guna Bangunan adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah mi-lik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam Surat Keputusan Pemberian hak atau per-janjian dengan pemiliknya yang bukan sewa menyewa atau perjanjian pengolahan.

Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah untuk pertama kali menurut Pasal 1 ayat 9 PP No. 24 Tahun 1997 adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Ta-nah atau Peraturan Pemerintah ini.

(56)

mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak bersangkutan. Dalam pendaftaran tanah juga tersedia informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan pembuatan hukum menge-nai bidang-bidang tanah. Terselenggaranya tertib administrasi perta-nahan perlu dipertegas dalam pendaftaran tanah.

Pasal 13 PP No. 24 Tahun 1997 bahwa pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadis.

Pada pendaftaran tanah pertama kali secara sistematik keg-iatan pendaftaran tanah menurut Pasal 46 s/d Pasal 72 Per-aturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997, yaitu:

Berdasarkan PP No 24 Tahun 1997,

dinyatakan bahwa pendaftaran tanah

bertujuan untuk memberikan kepastian

hukum dan perlindungan kepada pemegang

hak atas suatu bidang tanah agar dengan

mudah membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak bersangkutan

Pendaftaran Tanah secara sistematik adalah ke-giatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum di-daftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan. Dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik kepala kantor pertanahan dibantu oleh panitia Ajudi-kasi yang dibentuk oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk

(57)

Penetapan lokasi pendaftaran tanah secara sistematik oleh Menteri atas usulan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertana-han Nasional. Pemerintah diwajibkan melakukan kegiatan pendaftaran terhadap seluruh bidang tanah di wilayah Indonesia dalam suatu rangkaian kegiatan secara berurut-an menjadi satu kesatuberurut-an rberurut-angkaiberurut-an yberurut-ang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan.

Penyiapan peta pendaftaran berupa peta dasar yang ber-bentuk peta garis atau peta foto serta biaya pendaftaran dibiayai dari anggaran pemerintah swadaya. Pendaftaran peta perlu menyiapkan peralatan yang diperlukan, seperti peta garis atau peta foto. Peta tersebut sebagai gambaran umum kondisi tanah yang didaftarkan.

Pembentukan panitia ajudikasi dan satuan tugas. Proses pendaftaran tanah dilakukan oleh panitia ajudikasi maupun sporadik inisiatif pemilik tanah sendiri di kantor pertanahan. a. Penyelesaian permohonan yang ada pada saat

mu-lainya pendaftaran tanah secara sistematik. Dengan didaftarkannya tanah secara sistematik maka ma-syarakat akan memperoleh kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Pendaftaran tanah akan menghasilkan sertifikat tanah yang diberikan kepada pemilik tanah.

b. Penyuluhan mengenai akan adanya pendaftaran se-cara sistematik. Sebelum adanya persyaratan pendaf-taran pertanahan perlu adanya penyuluhan kepada masyarakat, sehingga masyarakat mengerti prosedur pelaksanaan administratif.

(58)

juga merupakan bank data yang meliputi informasi tata guna lahan dan sumber daya alam. Pengukuran digunakan untuk mendapatkan data yang diperlukan. d. Pengumpulan data fisik dan data yuridis. Data fisik

dan yuridis yang telah terkumpul dalam lembaga per-tanahan dapat sebagai informasi perper-tanahan yang dapat diakses oleh publik. Akan tetapi, pembatasan dilakukan untuk keperluan pelaksanaan tugas instan-si pemerintah.

e. Pengumpulan dan pengolahan data fisik meliputi: i) Pengukuran dan pemetaan, ii) Pembuatan peta dasar pendaftaran, iii) Penetapan batas-batas bidang tanah, iv) Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, v) Pembuatan daf-tar tanah, dan vi) Pembuatan surat ukur (Pasal 14 PP No. 24 Tahun 1997).

f. Dalam kegiatan pengumpulan data yuridis diadakan perbedaan antara pembuktian hak baru dan hak-hak lama. Hak-hak-hak baru adalah hak-hak-hak-hak yang baru diberikan atau diciptakan sejak mulai berlakunya PP No. 24 Tahun 1997. Sedangkan hak-hak lama adalah hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak yang ada pada waktu mulai berlakunya UUPA dan hak-hak yang ada pada waktu mulai berlakunya UUPA dan hak-hak yang belum didaftar menurut PP No. 10 Tahun 1961.

g. Pengumuman data fisik dan data yuridis di kantor aju-dikasi/desa/kelurahan selama 30 hari. Updating data fisik dan yuridis dilakukan hingga skala kelurahan/ desa untuk menjamin inventarisasi tanah.

Gambar

Gambar 1.1. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia
Tabel 1.2 Hak yang Dijamin dalam Keamanan Bermukim
Gambar 1.1 Kurangnya ketersediaan lahan komunal pada permuki-man informal di Lima, Peru.
Tabel 2.1 Posibilitas Implementasi Land Information System
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dari data dan hasil analisis perhitungan yang dilakukan terhadap pertumbuhan penduduk di 5 kecamatan Kota Binjai dalam kurun waktu 10 tahun sebelumnya (tahun 2004

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGELUARAN PEMERINTAH ACEH TERHADAP PENDAPATAN ASLI.. DAERAHPROVINSI ACEH

Komponen tersebut sangat dibutuhkan manakala seseorang akan memulai berwirausaha, namun demikian permasalahannya adalah tidak semua lembaga penyandang cacat baik dari

Latar Belakang www.themegallery.com PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA METODE PENELITIAN PENUTUP

Dalam penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada estimasi skewness (kemiringan) dengan menggunakan metode Bootstrap dan metode Jackknife sebagai metode

Jika anda tidak dapat menyelesaikan tugas tepat waktu, dosen bisa memberikan sanksi pengurangan poin nilai atau menambahkan beban tugas lagi yang harus diselesaikan.. Dosen

Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan sikap percaya diri dan keterampilan berbicara siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas IVB melalui model

Tujuan pengembangan desain ini adalah mengembangkan desain Batik Makassar yang berfokus pada pengolahan visual (motif) dengan memanfaatkan potensi visual warisan