• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Terumbu Buatan ( Artificial Reef )

Pencegahan dan mitigasi degradasi terumbu karang sesungguhnya lebih penting daripada membangun sebuah proyek restorasi terumbu karang, terlebih lagi proyek semacam ini membutuhkan biaya tinggi sehingga tidak dapat diaplikasikan pada area yang luas (Yeemin et al. 2006). Namun, mengingat proses pemulihan alami terumbu karang sangat lambat, maka diperlukan upaya- upaya rehabilitasi yang inovatif untuk mempercepat proses pemulihan (recovery) terumbu karang yang rusak. Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa terumbu buatan efektif sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan (artificial fish shelter) sehingga banyak digunakan sebagai alat pengumpul ikan (fish aggregating device) oleh nelayan. Penggunaan substrat buatan untuk settlement karang merupakan salah satu teknik dan metode untuk memanfaatkan larva planula alami dalam merestorasi terumbu karang (Yeemin 2006).

Menurut European Artificial Reef Research Network, terumbu buatan adalah suatu struktur buatan manusia dari benda-benda keras yang sengaja ditempatkan di dasar perairan dengan meniru beberapa karakteristik terumbu karang alami (Pickering et al. 1998; Baine 2001), berfungsi sebagai habitat tempat berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi berbagai biota laut (Reppie 2006), dan perlindungan pantai (Hutomo 1991). Menurut Yeemin (2006), metode restorasi terumbu karang yang menggunakan substrat keras, seperti terumbu buatan, sebaiknya diaplikasikan pada area di mana ketersediaan larva baik tetapi habitat yang sesuai untuk settlement karang terbatas, dan terdapat hambatan untuk terjadinya rekrutmen alami. Kegiatan restorasi sebaiknya dilaksanakan pada daerah yang terlindung sehingga mudah dikontrol dan dikelola untuk kepentingan restorasi ekosistem, pendidikan, penelitian, dan ekowisata (Yeemin 2006).

Walaupun perkembangan awal komunitas bentik pada terumbu buatan telah secara intensif diteliti pada beberapa dekade terakhir, pengetahuan tentang tahap akhir perkembangan dari komunitas pada terumbu buatan masih kurang. Monitoring jangka panjang terhadap komunitas pada terumbu buatan sangat diperlukan untuk memahami proses-proses ekologisnya dan untuk mengevaluasi

kondisi mereka dan dampak yang mungkin terjadi pada lingkungan alami sekitarnya (Perkol-Finkel et al. 2006).

Menurut Ilyas (2000) keberhasilan dalam Penerapan teknologi terumbu karang buatan ditentukan oleh jenis dan bentuk material Terumbu Karang Buatan, kesesuaian parameter lingkungan perairan, dan terutama peruntukan program terumbu buatan itu sendiri. Hasil monitoring 1,5 tahun penenggelaman terumbu buatan beton di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa terumbu buatan sebagai habitat buatan memungkinkan untuk dapat menstimulasi pertumbuhan karang dan menyediakan habitat untuk ikan dan orgnisme akuatik lainnya. Alga berkapur, sponge, juvenile ikan karang, dan organism lain telah ditemukan di dalam dan disekitar terumbu buatan (Ilyas et al. 2003).

2.2.1 Perkembangan Terumbu Buatan

Sejarah terumbu buatan berasal dari Jepang pada abad XVIII. Berawal dari tingginya hasil tangkapan ikan di sekitar kapal tenggelam (Whitmarsh et al. 2008), para nelayan kemudian menenggelamkan rangka kayu pada kedalaman 36 m dengan beban pasir dan ternyata mendapatkan hasil yang juga tinggi (Wasilun et al. 1995, in Risamasu, 2000). Selanjutnya, terumbu buatan terus berkembang dan dalam kurun waktu 11 tahun (1976-1987), Pemerintah Jepang telah mengeluarkan dana sekitar 4,2 milyar US dolar untuk mengembangkan terumbu buatan di area seluas sekitar 9,3% wilayah paparannya atau 1 257 km2.

Di Malaysia perkembangan terumbu buatan dimulai sejak tahun 1976 dan dalam kurun waktu 12 tahun, antara tahun 1976 dan 1988, telah mengeluarkan dana sekitar 8.88 juta ringgit (Wasilun et al. 1995, in Risamasu 2000). Thailand mengembangkan terumbu buatan sejak tahun 1978, dan sampai 1991 pemerintah menyediakan dana sebesar 200 juta Baht (Wasilun et al. 1995, in Risamasu 2000). Sebagian besar teknik rehabilitasi seperti transplantasi karang atau penenggelaman struktur buatan, adalah padat karya, mahal dan seringkali kurang berhasil (Raymundo et al. 2007). Beberapa metode biayanya dapat mencapai 13 000 US dolar sampai lebih dari 100 juta US dolar per hektar.

Di Indonesia, perkembangan program terumbu buatan telah dimulai saat Pemda DKI Jakarta menenggelamkan ribuan becak hasil operasi penertiban ke Teluk Jakarta sebagai rumpon ikan pada tahun 1989. Pada awalnya hal ini merupakan solusi untuk menyingkirkan ribuan becak hasil sitaan yang menumpuk. Hingga akhir tahun 1989, sudah sekitar 60 ribu becak yang dijadikan

rumpon. Bila setiap becak dihargai 100 ribu rupiah (kenyataannya banyak yang berharga 200 ribu rupiah), berarti pembuatan rumpon becak di Teluk Jakarta sudah mencapai 6 milyar rupiah pada 1990 (www.majalah.tempointeraktif.com). Sejak tahun 2001 sampai 2008, Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah menenggelamkan terumbu buatan beton dengan jumlah lebih dari 1 700 unit di 29 lokasi (kabupaten/kota) dengan jumlah anggaran diperkirakan lebih dari 5,3 milyar rupiah (Data diolah Dit. PPK-DKP 2008).

2.2.2 FungsiTerumbu Buatan

Terumbu buatan digunakan dalam manajemen pesisir dengan tujuan umumnya untuk meningkatkan produksi dan hasil perikanan (Jepang), selam rekreasi (USA), mencegah penggunaan trawl (Eropa), pemulihan efek over- fishing (Hong Kong), budidaya laut, wisata dan konservasi sumberdaya (Baine 2001; Whitmarsh et al. 2008). Terumbu buatan memiliki beberapa fungsi, yaitu: 1) menyediakan substrat sebagai tempat organisme menempel, 2) meningkatkan kompleksitas habitat dengan menyediakan ruang vertikal tertentu, 3) mengubah pola arus dan gelombang (Mottet 1981). Menurut White et al. (1990), ada empat fungsi terumbu buatan yaitu: 1) mengumpulkan organisme laut (atraktan) untuk meningkatkan efisiensi penangkapan, 2) melindungi dan menyediakan area asuhan, 3) meningkatkan produktivitas alami dengan menyediakan habitat baru yang permanen bagi biota penempel (sessile), dan 4) menjaga keseimbangan siklus rantai makanan, menyediakan habitat dan simulasi karang alami untuk spesies tertentu. Terumbu buatan juga dapat meningkatkan keanekaragaman lokal dan ketersediaan ruang dengan menambah habitat asli, meningkatkan produksi dan memperkaya keragaman jenis (Perkol-Finkel & Benayahu 2004).

2.2.3 Struktur, Desain dan Material

Struktur terumbu buatan dapat dibagi menjadi tiga kategori fungsional yaitu: 1) blok substrat (substrate blocks), 2) struktur kamar (chamber blocks), dan 3) blok pemecah ombak (breakwater blocks). Material Beton (reinforced concrete) merupakan material yang paling utama digunakan untuk konstruksi terumbu buatan dalam bentuk kubus, blok dan pipa (Baine 2001), hal ini karena beton mudah untuk dibentuk, dapat disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan dan relatif murah. Desain dan ukuran terumbu buatan, terutama material beton dalam bentuk block sangat beragam di berbagai tempat di dunia, baik ditumpuk

berbentuk piramid maupun disebarkan secara terpisah pada fishing ground (Reppie 2006).

Metode yang digunakan dalam program restorasi terumbu karang sebaiknya sederhana, menggunakan material yang murah serta tersedia di daerah lokal (Yeemin 2006). Sejauh ini, material terumbu buatan yang paling disenangi adalah beton, termasuk kubus, balok dan pipa, dan kombinasinya dengan kapal (bekas), batuan galian dan ban (Baine 2001). Berdasarkan sejumlah uji coba terumbu buatan menunjukkan bahwa concrete tahan lama di laut, mudah dibentuk dalam berbagai spesifikasi, serta mempunyai perkembangan komunitas yang serupa dengan terumbu karang alami (Delmendo 1991; Omar et al. 1994). Tujuan pengembangannya adalah untuk recruitment dan survival dari juvenile (Spanier et al. 1990). Terumbu buatan beton berfungsi dengan baik sebagai habitat target spesies; tidak mengeluarkan racun dan aman bagi lingkungan; mudah dalam penanganan, transportasi dan penebaran di laut; stabil dan tidak mudah terbalik atau terseret gelombang dan arus (Reppie 2006).

Gambar 2 Contoh terumbu buatan beton yang ditenggelamkan di perairan Pulau Pramuka tahun 2001 (foto: Aziz 2010).

Desain terumbu buatan juga dapat dikombinasikan dengan metode transplantasi karang untuk meningkatkan pemulihan terumbu karang. Walaupun efektivitas transplantasi masih diperdepatkan, mahal dan jangkauannya terbatas, cara ini baik untuk memperbaiki kerusakan lokal yang spesifik, misalnya area kapal yang kandas, daripada sebagai cara untuk mitigasi dampak kejadian skala besar, seperti pemutihan karang massal (Grimsditch & Salm 2006). Jika benar- benar diperlukan karena terbatasnya rekrutmen alami dan tingginya variasi tahunan, transplantasi sebaiknya menggunakan karang masif yang tumbuh lambat daripada karang bercabang yang tumbuh cepat untuk sukses jangka

panjang yang lebih besar (Edwards & Clark 1999). Keberhasilan transplantasi sangat bergantung pada banyak faktor, seperti lokasi, kondisi lingkungan perairan lokal, kedalaman transplan, spesies karang, dan sejarah strategi hidupnya (Grimsditch & Salm 2006).

Transplantasi karang di beberapa negara, didasarkan pada alasan sebagai berikut: 1) mempercepat pemulihan terumbu karang (Indonesia, Filipina), 2) mengganti karang yang mati oleh limbah panas dan polutan lainnya (Guam), 3) melindungi komunitas karang dari jenis-jenis langka yang terancam oleh pencemaran, reklamasi pantai atau pembangunan dermaga (Singapura, Florida), 4) introduksi kembali spesies kedalam area yang sebelumnya tercemar (Hawaii), 5) mempercepat pemulihan karang akibat kapal kandas (Florida- Cayman islands), 6) meningkatkan daya tarik wisata (Gulf of Aqaba), 7) merehabilitasi terumbu yang rusak akibat wisatawan dan membuat terumbu buatan untuk penyelam (Eilat), 8) merehabilitasi terumbu karang akibat pemanasan El-Nino, blooming dinoflagellata, dan Crown-of-thorns (Costa Rica, Great Barrier Reef) (Edwards & Clark 1999).

Efektivitas terumbu buatan untuk meningkatkan produktivitas perairan sangat bergantung pada desain dan struktur terumbu, terutama apakah desain tersebut dapat memenuhi kebutuhan spesifik dari individu spesies target (Jensen & Collins 1996, in Reppie 2006). Desain terumbu yang sederhana di Jepang seperti bentuk kubus dan tube atau silinder disebut block (Grove et al. 1991, in Reppie 2006). Untuk tujuan mengumpulkan ikan, sebagai shelter ikan dan kerang serta mencegah illegal trawling, di laut Mediterranean, Italia, dan Perancis telah ditetapkan desain habitat buatan berukuran 1-2 m dari kubus beton berlubang sebagai pilihan bentuk, ukuran dan material terumbu buatan (Bombace 1989, in Reppie 2006). Desain terumbu bentuk blok sangat bervariasi, baik ditumpuk dalam bentuk piramida maupun disebarkan terpisah pada fishing ground, atau menggunakan kombinasi keduanya.

2.2.4 Pembentukan Komunitas pada Terumbu Buatan

Suksesi merupakan kemampuan organisme laut (karang, ikan karang, non-ikan seperti moluska, krustasea, perifiton, makro algae, kerang dan biota air lainnya dalam membentuk komunitas baru (Kan et al. 1987, in Samidjan 2005). Pola suksesi dan struktur komunitas organisme laut seperti bakteri, larva karang, perifiton, makroalga dan biota penempel lainnya pada terumbu buatan, sangat ditentukan oleh suhu perairan, salinitas, oksigen terlarut, BOD, COD, nitrit, nitrat,

phospat, silikat dan unsur kimia lendir permukaan terumbu, serta pemangsaan (Samidjan 2005). Penempelan larva karang (planula) pada terumbu buatan diawali dengan proses suksesi pada permukaan terumbu buatan seperti penempelan bakteri, bahan organik dan zat terlarut dalam air (Samidjan 2005).

Bakteri sangat penting dalam mendegradasi bahan organik dan anorganik melalui proses diagenesis, yaitu proses perubahan kimia, biokimia dan fisika menjadi unsur kimia yang sederhana CO2 dan H2O dan unsur sederhana lainnya (Gumbira et al. 1996, in Samidjan 2005). Kondisi ini merupakan awal terjadinya suksesi dalam kondisi yang stabil, diikuti munculnya coraline algae dan menempelnya larva planula karang yang diikuti oleh organisme air lainnya seperti perifiton dan makroalga. Alga berkapur (coraline algae) sangat penting bagi proses pertumbuhan karang karena akan bersimbiosis dengan karang (Austin 1988 in Samidjan 2005). Juvenil karang sangat membutuhkan unsur N, P, K, SiO2, C, Ca, terutama unsur SiO2 sangat dibutuhkan oleh larva planula karang untuk menetap dalam bentuk juvenil karang (Samidjan 2005).

Gambar 3 Koloni karang rekrut pada terumbu buatan beton (foto: Aziz 2010).

Ket.: kiri jenis Porites, kanan jenis Symphyllia.

Dokumen terkait