• Tidak ada hasil yang ditemukan

Management Implication of Corals Settlement on Concrete Artificial Reefs in Pramuka Island Waters, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Management Implication of Corals Settlement on Concrete Artificial Reefs in Pramuka Island Waters, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

TERUMBU BUATAN BETON DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA,

KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

ARIF MIFTAHUL AZIZ

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Implikasi Manajemen Penempelan Karang pada Terumbu Buatan Beton di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

(3)

vii

ABSTRACT

ARIF MIFTAHUL AZIZ. Management Implication of Corals Settlement on Concrete Artificial Reefs in Pramuka Island Waters, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Under supervision of MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL and NEVIATY PUTRI ZAMANI

Latest stage development of coral recruits community on concrete artificial reefs were observed for nine months (from October 2009 to July 2010) by visual census and underwater photography methods. Amounts of 10 units of concrete artificial reef deployed in Pramuka Island waters and Gosong Pramuka in 2001 were used as an objects in this research. As a comparation, the condition of coral coverage and reef fishes in natural reef were observed by line intercept transect, quadrate transect, visual census, and underwater photography methods. In order to measure coral coverage area we used ImageJ 1. 42q software. In March 2010, amounts 457 coral colonies from 21 genera and 216 coral colonies from 16 genera were found in Station 1 and Station 2 respectively. In July 2010, the percentage of coral coverage on concrete artificial reefs reaches 41.46±13.37% (mean±SD) in Station 1 and 20.38±6.08% (mean±SD) in Station 2, while the percentage of coral coverage on natural reefs were 23.14% and 40.43% in Station 1 and 2 respectively. The coral recruits coverage on concrete artificial reefs had a strong positive relationship with its fish abundance in Station 1 where coefficient of determination (R2) reached 0.71.

(4)

viii

RINGKASAN

ARIF MIFTAHUL AZIZ. Implikasi Manajemen Penempelan Karang pada Terumbu Buatan Beton di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dibimbing oleh MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL dan NEVIATY PUTRI ZAMANI

Kondisi ekosistem terumbu karang yang rusak di Indonesia saat ini telah mencapai 32,05% akibat berbagai aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan. Dikawasan pulau-pulau kecil padat penduduk dengan aktivitas ekonomi tinggi seperti Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu kondisi tutupan karangnya bahkan hanya 16,01% pada tahun 2005. Kondisi tersebut menjadi dasar bagi dilakukannya berbagai upaya rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang, mengingat fungsinya yang sangat penting baik secara ekologis maupun ekonomis. Terumbu buatan (artificial reef) merupakan salah satu metode alternatif untuk merehabilitasi terumbu karang dengan mengurangi tekanan akibat penangkapan melalui penciptaan daerah tangkapan ikan baru yang produktif serta mempercepat proses pemulihan melalui penyediaan substrat penempelan (settlement) dan pertumbuhan larva karang.

Untuk mengetahui perkembangan jangka panjang dari komunitas yang terbentuk pada terumbu buatan, maka melalui penelitian ini dilakukan kajian terhadap kondisi terumbu buatan beton tipe piramid yang ditenggelamkan pada tahun 2001 di 2 lokasi yaitu terumbu tepi Pulau Pramuka dan Gosong Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober 2009, Maret 2010, dan Juli 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas terumbu buatan dalam memicu pemulihan kondisi terumbu karang yang rusak, serta merumuskan adaptasi manajemen sebagai implikasi dari penempelan karang pada permukaan terumbu buatan beton tersebut. Metode pengambilan data dilakukan dengan teknik fotografi bawah air dan sensus visual, sementara data parameter fisika-kimia perairan diukur secara in situ dan beberapa parameter dianalisis di laboratorium. Pengolahan data dilakukan dengan software ImageJ 1.42q dan microsoft excel. Analisis data dilakukan dengan analisis ragam (two-way Anova) dengan ulangan, uji-t, dan regresi polinomial.

Hasil analisis parameter fisika-kimia perairan menunjukkan bahwa kondisi perairan di sekitar Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu masih cukup baik dan mendukung kehidupan dan pertumbuhan terumbu karang. Pemangsaan ikan-ikan herbivore terhadap label koloni yang ditumbuhi alga menyebabkan kerusakan hingga 42,11% pada bulan Maret 2010 di Stasiun 2 dan lepasnya label sebesar 56,58% pada bulan Juli 2010 di Stasiun 1.

(5)

ix

Porites dengan rataan persentase setiap musim 35,73%, Pocillopora 14,25%, dan Cyphastrea 9,83%.

Analisis terhadap persen tutupan karang rekrut menunjukkan bahwa tutupan koloni karang rekrut pada terumbu buatan di Stasiun 1 lebih tinggi secara signifikan (P<0,01) dibandingkan Stasiun 2. Persen tutupan koloni karang rekrut per modul di Stasiun 1 mencapai 32,94±11,65% (rataan±Sb), 38,29±13,37%, dan 41,46±13,37% berturut-turut pada bulan Oktober 2009, Maret 2010, dan Juli 2010. Di Stasiun 2 persen tutupannya mencapai 17,26±6,45%, 19,45±7,28%, dan 20,38±6,08% berturut-turut pada bulan Oktober 2009, Maret 2010, dan Juli 2010. Total luas koloni karang rekrut pada bulan Juli 2010 mencapai 57 965,67 cm2 di Stasiun 1 dan 31 972,74 cm2 di Stasiun 2. Distribusi persen tutupan koloni karang rekrut di kedua lokasi penelitian didominasi oleh karang dari genus Porites dan Acropora.

Komposisi tutupan substrat dasar di kedua Stasiun didominasi oleh patahan karang (rubble) dan karang mati yang mencapai 70,5% di Stasiun 1 dan 55,59% di Stasiun 2. Persen tutupan karang hidup di Stasiun 2 lebih tinggi (40,43%) daripada Stasiun 1 (23,14%). Acropora dan Porites menjadi yang paling dominan di Stasiun 1 dengan persentase masing-masing 6,6% dan 5,53%. Sebaliknya di Stasiun 2, Montipora dan Porites menjadi yang paling dominan dengan tutupan 20,31% dan 7,64%. Hasil analisis persen tutupan substrat abiotik berdasarkan diameter substrat menunjukkan bahwa kedua stasiun didominasi oleh substrat dengan diameter 10-100 mm yang umumnya terdiri dari rubble dan karang mati masing-masing sebesar 50,77% di Stasiun 1 dan 56,35% di Stasiun 2. Hal ini menunjukkan bahwa substrat dasar di kedua Stasiun tidak cukup stabil untuk terjadinya rekrutmen alami.

Kelimpahan ikan di terumbu buatan bersifat fluktuatif menurut musim. Kelimpahan tertinggi di kedua Stasiun dicapai pada Maret 2010 dengan kelimpahan masing-masing 82±13,16 ekor/modul (rataan±Sb) di Stasiun 1 dan 87±23,97 ekor/modul di Stasiun 2. Kelimpahan jenis ikan di kedua stasiun didominasi oleh ikan-ikan dari famili Pomacentridae seperti Pomacentrus, Abudefduf dan Chromis. Kelimpahan ikan karang pada terumbu buatan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi terumbu alami di sekitarnya dan jaraknya dari terumbu buatan.

Regresi polynomial antara persentase tutupan karang hidup (x) dan kelimpahan ikan (y) di terumbu buatan Stasiun 1 memiliki hubungan positif yang cukup kuat (r=0,84) dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,71, sedangkan di Stasiun 2, hubungan antara x dan y hampir tidak ada (sangat kecil). Hasil analisis statistika menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara kelimpahan koloni rekrut dan persen tutupan karang pada terumbu buatan di Stasiun 1 dan 2 pada taraf α 0,05 dan α 0,01. Sementara itu kelimpahan ikan hanya berbeda nyata antar musim pada α 0,01 (F=26,61; P<0,01; df=1,16) dan tidak berbeda nyata antar stasiun.

Berdasarkan analisis data, terumbu buatan beton mampu memperbaiki kondisi terumbu karang alami dan efektif dalam meningkatkan persentase tutupan karang hidup pada ekosistem yang rusak. menciptakan habitat baru bagi ikan-ikan karang, sebagai tempat berlindung dan mencari makan. Adapun perbedaan nilai kelimpahan dan persen tutupan dengan Stasiun 2 yang lebih rendah, tampaknya lebih disebabkan oleh faktor lingkungan dan kondisi lokasi penenggelaman. Dengan demikian, dalam pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang, penenggelaman buatan beton dapat digunakan sebagai pilihan jika prasyarat-prasyarat yang dibutuhkannya terpenuhi.

(6)

x

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

xi

IMPLIKASI MANAJEMEN PENEMPELAN KARANG PADA

TERUMBU BUATAN BETON DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA,

KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

ARIF MIFTAHUL AZIZ

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

xii

(9)

xiii

Judul Tesis : Implikasi Manajemen Penempelan Karang pada Terumbu Buatan Beton di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

Nama : Arif Miftahul Aziz NRP : C252080314

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M. Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

xiv

PRAKATA

Penenggelaman terumbu buatan merupakan salah satu opsi dalam upaya rehabilitasi terumbu karang dimana coral settlement (penempelan karang) pada permukaan terumbu buatan menjadi tahapan penting dalam perkembangan koloni karang yang baru. Melalui penelitian yang berjudul Implikasi Manajemen Penempelan Karang pada Terumbu Buatan Beton di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ini, penulis berusaha menjawab beberapa permasalahan yang terkait dengan penempelan karang pada terumbu buatan dari bahan beton tersebut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010 di perairan Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. dan Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M. Sc. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan masukan, koreksi, dan saran yang sangat berharga bagi perbaikan tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Coral Reefs Rehabilitation and Management Program (COREMAP) Phase II World Bank, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan beasiswa kepada penulis serta membiayai penelitian ini. Penghargaan dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Beginer Subhan, S.Pi., M.Si., Dondy Arafat, S.Pi., M.Si., dan Ahmad Taufik Ghozali, S.Pi, dari Laboratorium Hidrobiologi Laut Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan-IPB; Alimuddin, S.Pi., Lukmanul Hakim, S.Pi., Riza Pasaribu, S.Pi., dan Aditya Bramandito, yang telah banyak membantu dalam penyediaan peralatan penelitian dan pengambilan data di lapangan. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Hawis Maduppa, M. Si yang telah memberikan saran, koreksi dan masukan berharga pada versi awal naskah ini. Penulis juga berterimakasih kepada Ibu Ana Mariana dan Ibu Wulan dari Laboratorium Produktifitas Lingkungan dan Perairan–IPB atas bantuannya dalam penyediaan peralatan penelitian dan analisis data kualitas air, Dudu Najmudin, S. Pi atas bantuan petanya, dan Ibu Teguh atas bantuannya menyediakan akomodasi selama penelitian. Terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada ayah dan ibu yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan pendidikan yang baik, serta kepada Erna Yuniarsih, S. Pi, atas do’a, kesabaran dan kesediaannya membantu menerjemahkan naskah ini ke dalam versi Bahasa Inggris. Atas segala rahmat dan nikmat-Nya, penulis senantiasa memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi upaya-upaya rehabilitasi maupun restorasi terumbu karang di Indonesia.

Bogor, September 2010

(11)

xv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 8 Juni 1979 sebagai anak keenam dari delapan bersaudara dari ayah Sukadir al Abdul Qodir dan Ibu Juchanah.

Setelah menamatkan pendidikan di SMU Negeri 1 Banjarnegara pada tahun 1997, penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada tahun yang sama pada Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan lulus pada tahun 2002. Selama berkuliah di IPB, penulis aktif di HIMITEKINDO (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia), klub selam ilmiah Mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan FDC (Fisheries Diving Club), dan Koperasi Mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan (KOPMARIKAN).

Penulis bekerja sebagai PNS pada Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak Desember tahun 2002 sebagai pelaksana pada Subdit Rehabilitasi Ekosistem Pulau-pulau Kecil (2003-2005) dan pelaksana pada Subdit Pengelolaan Ekosistem Pulau-pulau Kecil (2005-sekarang). Selama bekerja penulis aktif mengikuti kegiatan dan pelatihan diantaranya Ekspedisi Wallacea Indonesia di Sulawesi tahun 2004 sebagai anggota Tim Toponim, pelatihan selam A2 (Two Star SCUBA Diver) di IPB dan Kepulauan Seribu, Jakarta tahun 2006, pelatihan fotografi bawah air di Bali tahun 2007, dan pelatihan konservasi dan pengelolaan terumbu karang terpadu tahun 2007. Pada tahun 2008, penulis mengikuti Marine Environment Protection Training yang dilaksanakan oleh KOICA-KORDI di Seoul, Korea Selatan.

(12)

xvi

2.1.4 Proses Pengendapan CaCO3 pada Karang (Kalsifikasi) ... 11

2.1.5 Bentuk Pertumbuhan Karang ... 13

2.1.6 Reproduksi Karang ... 14

2.1.7 Rekrutmen dan Penempelan Karang ... 15

2.2 Terumbu Buatan (Artificial Reef) ... 18

2.2.1 Perkembangan Terumbu Buatan ... 19

2.2.2 Fungsi Terumbu Buatan ... 20

2.2.3 Struktur, Desain dan Material ... 20

2.2.4 Pembentukan Komunitas pada Terumbu Buatan ... 22

2.3 Struktur Komunitas ... 23

2.4 Hasil-hasil Penelitian tentang Terumbu Buatan ... 24

2.5 Stabilitas Substrat ... 27

3.6.2 Karang Rekrut dan Biota Penempel Lainnya ... 35

3.6.3 Substrat Dasar di Sekitar Terumbu Buatan ... 35

3.6.4 Diameter Substrat Alami di Sekitar Terumbu Buatan ... 36

3.6.5 Ikan Karang di Terumbu Buatan ... 36

3.6.6 Ikan Karang di Terumbu Karang Alami ... 36

(13)

xvii 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Lingkungan Perairan... 45

4.2 Jenis-jenis Biota yang Ditemukan di Terumbu Buatan ... 46

4.3 Kondisi Label Penanda Koloni ... 48

4.4 Kelimpahan dan Kepadatan Koloni Karang Rekrut ... 48

4.5 Tutupan Koloni Karang Rekrut pada Terumbu Buatan ... 52

4.6 Pertumbuhan Karang Rekrut pada Permukaan Terumbu Buatan ... 55

4.7 Fenomena Pemutihan Karang Rekrut ... 60

4.8 Tutupan Substrat Dasar di Terumbu Karang Alami ... 61

4.9 Diameter Substrat di Sekitar Terumbu Buatan ... 64

4.10 Kelimpahan Ikan Karang di Terumbu Buatan ... 65

4.11 Kelimpahan Jenis Ikan Karang di Terumbu Karang Alami ... 68

4.12 Hubungan Persentase Tutupan Karang dengan Kelimpahan Ikan ... 71

4.13 Analisis Statistika ... 72

4.14 Implikasi Manajemen ... 73

4.14.1 Dasar Pengambilan Kebijakan ... 73

4.14.2 Analisis Manajemen ... 74

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 77

5.2 Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(14)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian... 4

2. Contoh terumbu buatan beton yang ditenggelamkan di perairan Pulau Pramuka tahun 2001 ... 21

3. Koloni karang rekrut pada terumbu buatan beton ... 23

4. Peta lokasi penelitian ... 32

5. Model terumbu buatan beton objek penelitian ... 33

6. Contoh cara pemotretan koloni rekrut pada terumbu buatan ... 35

7. Ilustrasi cara pengambilan data substrat dasar ... 36

8. Ilustrasi pengambilan data diameter substrat ... 36

9. Ilustrasi cara pengambilan data ikan dengan sensus visual ... 37

10. Contoh tampilan penentuan skala pada software ImageJ ... 38

11. Contoh tampilan hasil pengukuran luas dengan software ImageJ ... 38

12. Karamba jaring apung di sekitar Gosong Pramuka ... 45

13. Biota-biota yang ditemukan di terumbu buatan beton ... 46

14. Rerata kelimpahan dan kepadatan koloni per-musim ... 48

15. Persentase kelimpahan koloni karang rekrut berdasarkan genus ... 49

16. Kelimpahan total koloni rekrut berdasarkan genus ... 49

17. Beberapa karang rekrut pada terumbu buatan ... 50

18. Persentase tutupan karang rekrut pada terumbu buatan ... 51

19. Persentase tutupan karang rekrut pada bulan Oktober 2009 dan Maret 2010 ... 53

20. Persentase tutupan karang rekrut pada bulan Juli 2010 ... 53

21. Perubahan luas genus karang rekrut di Stasiun 1 ... 54

22. Perubahan luas genus karang rekrut di Stasiun 2 ... 54

23. Koloni Cyphastrea sp. yang memperlihatkan pertumbuhan cukup cepat . 55 24. Koloni Acropora millepora di stasiun 2 yang mati akibat ditumbuhi alga ... 56

25. Kompetisi antara karang Favia sp. dan turf alga ... 57

26. Kolonisasi Pocillopora damicornis oleh soft coralLitophyton... 57

27. Beberapa koloni karang rekrut yang memutih (bleached) di Stasiun 1 ... 59

28. Persentase tutupan substrat di terumbu karang alami ... 61

29. Persentase tutupan karang hidup di terumbu alami menurut genus ... 62

30. Persentase tutupan substrat dasar abiotik berdasarkan diameter ... 63

(15)

xix

32. Persentase kelimpahan jenis ikan di terumbu buatan Sta. 1 per musim .. 65

33. Persentase kelimpahan jenis ikan di terumbu buatan Sta. 2 per musim .. 65

34. Kelimpahan jenis ikan di terumbu alami di sekitar terumbu buatan ... 67

35. Persentase kelimpahan jenis ikan di terumbu alami pada Maret 2010 ... 68

36. Persentase kelimpahan jenis ikan di terumbu alami pada Juli 2010 ... 68

37. Hubungan persen tutupan koloni dengan jumlah individu ikan Sta. 1 ... 70

38. Hubungan persen tutupan koloni dengan jumlah individu ikan Sta. 2 ... 71

(16)

xx

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Posisi geografis stasiun penelitian ... 31

2. Contoh struktur data penelitian ... 43

3. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan ... 44

4. Jenis-jenis biota non-karang yang hadir di terumbu buatan ... 47

5. Perkembangan kondisi label koloni karang rekrut di terumbu buatan ... 47

6. Nilai indeks struktur komunitas ikan karang di terumbu buatan ... 66

(17)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data kelimpahan koloni karang rekrut di Stasiun 1 ... 87

2. Data kelimpahan koloni karang rekrut di Stasiun 2 ... 88

3. Data luas koloni karang rekrut di Stasiun 1 ... 89

4. Data luas koloni karang rekrut di Stasiun 2 ... 90

5. Data tutupan substrat dasar di Stasiun 1 ... 91

6. Data tutupan substrat dasar di Stasiun 2 ... 93

7. Data kelimpahan jenis ikan di terumbu buatan bulan Oktober 2009 ... 95

8. Data kelimpahan jenis ikan di terumbu buatan bulan Maret 2010 ... 96

9. Data kelimpahan jenis ikan di terumbu buatan bulan Juli 2010 ... 98

10. Data diameter substrat abiotik di sekitar terumbu buatan ... 99

11. Tabel analisis statistika ... 100

12. Suhu permukaan laut di Indonesia pada waktu tertentu yang diduga terjadi bleaching ... 103

13. Terumbu buatan beton yang menjadi objek penelitian (Stasiun 1) ... 106

14. Terumbu buatan beton yang menjadi objek penelitian (Stasiun 2) ... 107

15. Proses pengambilan data di lapangan ... 108

16. Penghitungan luas foto transek kuadrat dengan software ImageJ ... 109

(18)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi

ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi

masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang matapencahariannya bergantung

pada perikanan laut dangkal (nelayan tradisional). Terumbu karang termasuk

ekosistem yang rentan terhadap perubahan lingkungan perairan baik yang

disebabkan oleh faktor alami (autogenic) seperti gempa bumi, badai, tsunami,

pemangsaan, pemanasan global dan pengaruh perubahan iklim lainnya, maupun

oleh faktor manusia (anthropogenic). Di Indonesia, kerusakan ekosistem terumbu

karang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia seperti: penambangan

batu karang; penangkapan ikan menggunakan bahan peledak, zat beracun dan

alat tangkap yang pengoperasiannya merusak terumbu karang; pencemaran

perairan oleh limbah domestik, pertanian dan industri dari kegiatan di darat (land

base activities), maupun di laut (marine base activities); siltasi dan sedimentasi

akibat erosi tanah di daratan, penambangan, abrasi dan reklamasi pantai di

sekitar terumbu karang (Dahuri et al. 1996).

Berdasarkan pengamatan oleh LIPI antara tahun 1993 dan 2007 di

seluruh perairan Indonesia, diketahui bahwa 32,05% terumbu karang Indonesia

dalam kondisi buruk, 37,33% sedang, 25,11% baik, dan hanya 5,51% dalam

kondisi sangat baik (Suharsono 2008a). Dikawasan Barat Indonesia, kondisinya

tidak jauh berbeda walaupun secara umum menunjukkan tren yang meningkat.

Di kawasan pulau-pulau kecil padat penduduk dengan aktivitas ekonomi yang

tinggi seperti di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, kondisi terumbu karangnya

lebih buruk. Hasil pengamatan Proyek Pengembangan TNL Pulau Seribu pada

tahun 1995, menyatakan bahwa rerata persen tutupan karang batu di Pulau

Pramuka pada kedalaman 3 m dan 10 m hanya sekitar 2,00-17,34%, atau masuk

dalam kategori buruk (Andono 2004). Hasil pengamatan terumbu karang oleh

Dinas Perikanan DKI Jakarta dan PKSPL-IPB pada tahun 2001 di seluruh pulau

di Kelurahan Pulau Panggang (13 pulau), memperlihatkan bahwa persen tutupan

karang hidup berkisar 2,61-37,50% yang berarti termasuk kategori buruk hingga

sedang (Andono 2004).

Kerusakan ekosistem terumbu karang akan menurunkan fungsi-fungsi

(19)

ketidakseimbangan lingkungan. Ekosistem terumbu karang pada dasarnya

mampu memperbaiki dirinya sendiri apabila diberi perlindungan dari dampak

negatif kegiatan manusia, namun pemulihannya memerlukan waktu yang lama.

Untuk mempercepat proses pemulihan terumbu karang, beberapa metode

rehabilitasi yang dapat dilakukan diantaranya dengan transplantasi karang dan

penenggelaman terumbu buatan. Terumbu buatan (artificial reef) merupakan

salah satu alternatif untuk mengurangi tekanan akibat penangkapan ikan dan

perusakan terumbu karang alami melalui penciptaan daerah penangkapan ikan

baru yang produktif (Reppie 2006). Terumbu buatan juga berfungsi untuk

mempercepat proses pemulihan (recovery) dari ekosistem terumbu karang yang

rusak melalui penyediaan media penempelan (settlement) dan pertumbuhan

larva karang.

1.2 Perumusan Masalah

Kerusakan terumbu karang Indonesia dapat menjadi ancaman bagi

keberlangsungan hidup perikanan pantai, industri perikanan, budidaya laut,

pariwisata bahari dan berbagai kegiatan yang secara langsung maupun tidak

langsung terkait dengan terumbu karang. Kerusakan terumbu karang di Pulau

Pramuka, Kepulauan Seribu diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti

penangkapan ikan dengan bom (blast fishing), penambangan batu karang,

penjangkaran (anchoring), pembuangan limbah organik dan kegiatan lainnya

yang menyebabkan sedimentasi seperti reklamasi pantai dan pembangunan

dermaga.

Untuk mempercepat proses pemulihan terumbu karang yang rusak,

diperlukan tindakan rehabilitasi, pengelolaan dan pengawasan yang terintegrasi,

terencana dengan baik, dan berkelanjutan. Sampai saat ini, beberapa metode

rehabilitasi karang telah diujicobakan di Pulau Pramuka, seperti transplantasi,

ecoreef, biorock, dan terumbu buatan. Beberapa teknik rehabilitasi tersebut

dapat memperbaiki terumbu karang, tetapi juga memberi tekanan terhadap

ekosistem lainnya atau yang berada di tempat lain (Zamani NP 8 Juli 2010,

komunikasi pribadi).

Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Direktorat Pendayagunaan

Pulau-pulau Kecil sejak tahun 2001 telah melakukan rehabilitasi terumbu karang

di beberapa lokasi, salah satunya di Pulau Pramuka, Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu melalui penenggelaman terumbu buatan beton. Namun

(20)

tentang penempelankarang dan perkembangannya dari bulan ke bulan dan data

tahunan masih terbatas. Beberapa kendala yang dihadapi umumnya terkait

dengan keterbatasan anggaran, peralatan SCUBA yang memadai di daerah, dan

sumberdaya manusia, sehingga kegiatan monitoring terhadap terumbu buatan

tersebut belum dapat dilakukan secara reguler dan menyeluruh. Monitoring

jangka panjang terhadap komunitas pada terumbu buatan sangat diperlukan

untuk memahami proses-proses ekologisnya dan untuk mengevaluasi kondisi

mereka dan dampak yang mungkin terjadi pada lingkungan alami sekitarnya

(Perkol-Finkel et al. 2006). Selain itu, perlu dilakukan uji keberhasilan untuk

mengetahui efektivitas terumbu buatan beton tersebut sebagai metode alternatif

untuk pemulihan kondisi terumbu karang.

1.3 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini didasari oleh pemikiran bahwa upaya-upaya rehabilitasi

terumbu karang serta pengembangan metode-metode pengelolaannya untuk

meningkatkan manfaat ekologis dan ekonomisnya perlu terus dikembangkan.

Penenggelaman terumbu buatan dari bahan beton merupakan salah satu cara

untuk merehabilitasi terumbu karang dengan menyediakan ruang dan substrat

keras bagi settlement (penempelan) larva karang. Proses penempelan larva

karang ini menjadi penting karena memperlihatkan kemampuan awal pemulihan

dari terumbu karang (Zamani NP 23 Maret 2010, komunikasi pribadi).

Penempelan karang pada terumbu buatan yang ditenggelamkan di dua lokasi

yang berbeda diduga dapat menjadi indikator untuk mengetahui efektivitas dari

model pengelolaan tersebut. Dengan demikian, kajian lebih detail terkait dengan

penempelan karang pada terumbu buatan beton dan perkembangan koloninya

pada dua lokasi tersebut perlu dilakukan. Bagan alur penelitian ini disajikan

dalam Gambar 1.

1.4 Tujuan dan Hipotesis Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1). Mengetahui efektifitas terumbu buatan beton untuk rehabilitasi karang

atas dasar kondisi karang rekrut sembilan tahun pasca penenggelaman.

2). Mengetahui struktur komunitas ikan karang di sekitar terumbu buatan

beton sembilan tahun pasca penenggelaman.

3). Merumuskan adaptasi manajemen sebagai implikasi dari penempelan

(21)

Hipotesis utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H0 = Terumbu buatan beton tidak mampu membantu memperbaiki kondisi

terumbu karang alami.

H1 = Terumbu buatan beton mampu membantu memperbaiki kondisi terumbu

karang alami.

(22)

1.5 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan diimplementasikan

dalam pengambilan kebijakan pengelolaan terkait dengan upaya rehabilitasi dan

restorasi terumbu karang, khususnya di pulau-pulau kecil.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup pengamatan dan pengukuran

biota-biota penempel pada permukaan luar terumbu buatan (modul) yang

menjadi objek penelitian, serta ikan-ikan karang yang berasosiasi dengan

terumbu buatan. Sebagai pembanding, dilakukan pengamatan persen tutupan

karang batu (hard coral), ikan karang dan diameter substrat abiotik pada terumbu

karang alami di sekitar terumbu buatan. Pada penelitian ini juga dilakukan

pengukuran parameter-parameter lingkungan perairan yang penting bagi

pertumbuhan karang di lokasi penelitian. Mengingat terbatasnya data awal pada

saat penenggelaman terumbu buatan, maka kajian pada penelitian ini dibatasi

hanya berdasarkan pada kondisi yang ada saat ini dan kajian literatur dari

penelitian sebelumnya sebagai pembanding.

Implikasi manajemen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu

adaptasi manajemen yang direkomendasikan sebagai implikasi dari hasil analisis

data penempelan karang dan perkembangan koloninya pada terumbu buatan

beton. Hal ini bertujuan meningkatkan manfaat dan efektivitas dari metode

pengelolaan yang dilakukan. Implikasi menunjukkan hubungan logis keterlibatan

atau sebab akibat antara dua proposisi (pernyataan) yang dalam logika

matematika sering dilambangkan dengan jika p maka q (p => q). Kata implikasi

juga mengandung makna sesuatu yang tersimpul atau yang disarankan atau

pernyataan adanya hubungan implikasi (http://www.merriam-webster.com/

dictionary/ 24 Maret 2010; http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/ 24 Maret 2010).

Di dalam manajemen, implikasi dapat merujuk kepada dua hal: pertama,

implikasi prosedural yang meliputi tata cara analisis, pilihan representasi,

perencanaan kerja dan formulasi kebijakan; kedua implikasi kebijakan yang

meliputi sifat substantif, perkiraan ke depan dan perumusan tindakan

(http://id.wikipedia.org/wiki/Implikasi, 24 Maret 2010).

Kriteria yang dijadikan parameter untuk penerapan pengelolaan sebagai

implikasi dari penempelan karang pada terumbu buatan beton di kedua stasiun

(23)

a. Hasil analisis data menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara persen

tutupan karang rekrut di terumbu buatan dan di terumbu karang alami.

b. Hasil analisis data secara signifikan menyatakan bahwa terdapat perbedaan

antara persen tutupan dan kelimpahan koloni rekrut pada terumbu buatan di

(24)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang terbentuk melalui proses

yang lama dan kompleks. Proses ini diawali dengan penempelan berbagai biota

penghasil kapur pada substrat keras, seperti karang batu (hard coral) dan alga

berkapur yang masing-masing berfungsi sebagai kerangka pembentuk terumbu

dan sebagai penyemen atau penyatu kerangka (Suharsono 2008b). Proses

pelekatan, pembentukan kerangka, sementasi, gradasi, erosi, dan akresi yang

terjadi berulang-ulang dalam kurun waktu jutaan tahun akhirnya membentuk

terumbu karang. Berdasarkan lokasi dan tahap pembentukannya, ada beberapa

tipe terumbu karang. Charles Darwin pada tahun 1842 membedakan tiga

kategori utama terumbu berdasarkan geomorfologinya, yaitu: fringing reefs

(terumbu tepi), barrier reefs (terumbu penghalang) dan atolls (terumbu cincin)

(Barnes & Hughes 1999), sedangkan terumbu karang yang berkembang di

paparan benua atau pulau namun belum mencapai permukaan laut disebut patch

reef atau terumbu karang gosong (Suharsono 2008b).

Terumbu didefinisikan sebagai endapan-endapan masif yang penting dari

kalsium karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh hewan karang (filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleractinia), dengan sedikit tambahan dari alga

berkapur dan organisme-organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat

(Nybakken 1982). Terumbu karang adalah suatu ekosistem laut tropis yang

dibentuk terutama oleh hewan karang (corals) penghasil kapur, khususnya

jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota lain yang

hidup di laut seperti moluska, krustacea, ekhinodermata, polikhaeta, porifera dan

tunikata, serta biota lain yang hidup bebas di perairan sekitar termasuk

jenis-jenis plankton dan ikan (Sukarno 1994).

Seperti halnya ekosistem yang memiliki gradien lingkungan, organisme

pada terumbu karang beradaptasi terhadap posisi yang berbeda sepanjang

gradien, sehingga mengikuti pola zonasi, walaupun secara ekstensif overlapping.

Pada terumbu karang, zonasi ini sangat nyata pada terumbu di daerah windward

yang sangat terbuka dan kurang nyata pada terumbu di daerah leeward yang

terlindung. Struktur pada puncak terumbu dan lereng terumbu yang mengarah ke

laut sangat berbeda antara terumbu di daerah windward dan leeward (Barnes &

(25)

windward cenderung didominasi oleh 1 atau 2 spesies karang, khususnya karang

bercabang yang kokoh seperti Acropora palmata di Atlantik, A. Cuneata di Pasifik

Barat, Pocillopora spp. di Pasifik Timur, atau oleh Millepora spp. di berbagai

tempat di bumi (Barnes & Hughes 1999).

2.1.1 Biologi Karang

Karang (corals) adalah hewan sederhana berbentuk tabung dengan mulut

berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus (Suharsono 1996; Castro &

Huber 2005). Disekitar mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi sebagai

penangkap makanan. Mulut terhubung dengan rongga perut (gastrovaskuler)

melalui tenggorokan yang pendek. Didalam rongga perut berisi semacam usus

yang disebut messentri filament yang berfungsi sebagai alat pencerna (Castro &

Huber 2005; Suharsono 2008b).

Individu hewan karang (polip) dapat hidup berkoloni maupun soliter

(Nybakken 1982). Polip-polip karang yang berkoloni biasanya mempunyai

diameter 1-3 mm, sedangkan diameter polip yang soliter/menyendiri dapat

berkembang jauh lebih besar (Barnes 1987, in http://coris.noaa.gov/ 9 Desember

2009). Polip karang memiliki tingkat perkembangan organ yang terbatas. Setiap

polip terdiri dari tiga lapis jaringan dasar yang disebut epidermis luar

(ektoderma), endoderma (lapisan dalam), dan mesoglea yang berada di

antaranya (Suharsono 2008b). Ektoderma terdiri dari berbagai jenis sel, antara

lain sel mucus dan nematocyst. Mesoglea berupa lapisan seperti jelly yang di

bagian luarnya terdapat sel semacam sel otot, sedangkan endoderma sebagian

selnya berisi sel algae (dinoflagellata) yang menjadi simbion karang (Suharsono

2008b).

Sel mucus memproduksi mucus untuk membantu menangkap makanan

dan membersihkan diri dari sedimen, adapun nematocyst adalah sel penyengat

untuk menangkap makanan khususnya zooplankton dan mempertahankan diri

(Castro & Huber 2005; Suharsono 2008b). Karang memiliki sistem syaraf,

jaringan otot dan reproduksi yang sederhana namun telah berkembang dan

berdungsi dengan baik (Suharsono 2008b). Organ reproduksi karang

berkembang diantara messentri filament. Jenis-jenis karang yang hidup di

daerah tropis, organ reproduksinya dapat ditemukan sepanjang tahun mengikuti

siklus reproduksinya (Suharsono 2008b). Dalam satu polip bisa terdapat organ

betina saja atau jantan saja atau keduanya, namun karang hermaprodit jarang

(26)

2.1.2 Faktor Pembatas

Terumbu karang merupakan ekosistem khas laut tropis yang terbuka dan

kompleks di mana struktur, fungsi, keragaman hayati, dan resiliensinya rentan

terhadap perubahan kualitas air dan biogeokimia serta aliran hidrologi (Hughes

et al. 1992; Done et al. 1996). Kerentanan terumbu karang terhadap perubahan

lingkungan perairan terutama adalah pada suhu, salinitas, sedimentasi dan

eutrofikasi. Terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan

perairan, di mana pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan kualitas

perairan yang alami (pristine) dan lingkungan yang miskin nutrien (oligotrofik)

(Veron 1995; Wallace 1998).

Terumbu karang umumnya hanya ditemukan di perairan tropis dan sub

tropis yang hangat, dangkal, jernih, dan rendah nutrien, dengan suhu optimum

berkisar 25-29 ºC (Buddemeier & Wilkinson 1994, in Grimsditch & Salm 2006;).

Karang pembentuk terumbu terbatas pada perairan hangat, dan dapat tumbuh

serta bereproduksi jika rerata suhu perairan di atas 20 oC (68 oF) (Barnes & Hughes 1999; Castro & Huber 2005). Batas atas suhu bagi karang bervariasi,

tetapi biasanya berkisar 30-35 oC (Castro & Huber 2005). Kondisi suhu air permukaan pada Musim Barat (Desember-Februari) berkisar 28,5–30 oC, pada Musim peralihan Barat-Timur (Maret-Mei) berkisar 29,5-30,7 oC, pada Musim Timur (Juni-Agustus) berkisar 28,5-31 oC, sedangkan pada Musim peralihan Timur-Barat (September-November) berkisar 28,5-31 oC (Suyarso 1995).

Karang hermatipik merupakan organisme laut sejati yang tidak bisa

bertahan pada salinitas air laut yang menyimpang dari salinitas normal

(32-350/00), namun di beberapa wilayah seperti Teluk Persia, terumbu karang dapat berkembang pada salinitas 42o/oo (Nybakken 1982). Kondisi salinitas di perairan sekitar Teluk Jakarta selama pergantian musim juga mengalami fluktuasi. Pada

Musim Barat (Desember-Februari) salinitas berkisar 25-32,5o/oo, pada Musim peralihan Barat-Timur (Maret-Mei) kisarannya 28-32,5o/oo, pada Musim Timur (Juni-Agustus) berkisar 29–32o/oo, dan pada Musim peralihan Timur-Barat kisaran salinitasnya 28-32o/

oo (Suyarso 1995).

Menurut Suharsono (1996), pertumbuhan, penutupan dan kecepatan

tumbuh karang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman. Pada laut

yang jernih, karang hermatipik bisa sampai kedalaman 70 m (Barnes & Hughes

1999), namun jarang yang dapat berkembang pada kedalaman lebih dari 50 m

(27)

berkembang pada daerah-daerah yang mengalami gelombang besar.

Gelombang tersebut mengalirkan sumber air yang segar, memberikan oksigen

dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada koloni. Gelombang juga

memberi plankton yang baru untuk makanan koloni karang (Nybakken 1982).

Arus bermanfaat untuk pemindahan nutrien, larva dan sedimen, juga untuk

menghalau dan membersihkan kotoran/sampah. Kecepatan air dan turbulensi

juga memiliki pengaruh kuat terhadap morfologi umum dan komposisi taksonomi

dari ekosistem terumbu karang (Tomascik et al. 1997). Karakteristik pasang surut

di perairan Kepulauan Seribu termasuk jenis campuran (mix tide) cenderung

diurnal dengan kisaran pasang surut sampai 80 cm, sedangkan arah arus secara

umum dominan dari Timur Laut sampai Tenggara (Retraubun & Atmini 2004).

Terumbu karang hanya dapat berkembang dengan baik di daerah tropik.

Hal ini disebabkan oleh adanya dua kelompok karang yaitu karang hermatipik

(penghasil terumbu) dan ahermatipik (bukan penghasil terumbu). Karang

hermatipik hanya ditemukan di wilayah tropik atau terbatas di daerah hangat

dengan penyinaran cukup, sedangkan ahermatipik ditemukan di seluruh dunia, di

tempat yang tak terbatas (Nybakken, 1982; Suharsono, 1996). Karang hermatipik

memproduksi rangka kalsium karbonat dengan bantuan alga fotosintetik

(dinoflagellata) bersel tunggal, Symbiodinium spp., yang juga dikenal sebagai

zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dalam jaringan karang (Castro & Huber

2005; Burkepile & Hay 2008). Polip dapat menerima sampai 95% karbon hasil

fotosintesis zooxanthellae untuk digunakan sebagai makanan. Makanan ini

adalah sumber energi bagi karang, yang digunakan untuk tumbuh, bereproduksi,

berkompetisi dengan karang dan hewan lain serta untuk mendepositkan kalsium

karbonat membentuk rangka (Musso & Hutchison 1996).

Dalam kondisi perairan tertentu, zooxanthellae dapat keluar dari karang

misalnya sebagai akibat dari tekanan lingkungan atau adanya penyakit yang

menimpa karang tersebut dan menyebabkan karang menjadi putih yang disebut

coral bleaching (Veron 1986; Barnes & Hughes 1999). Penyebab stress pada

terumbu karang dapat berupa nutrien, sedimen, suhu, salinitas, dan polutan

lainnya (hidrokarbon, logam, pestisida, herbisida dan klorin) yang semuanya

bersumber dari polutan (Hawker & Connel, 1992). Kondisi ekosistem terumbu

karang di Kepulauan Seribu telah mengalami peningkatan dalam penambahan

materi organik dan anorganik terutama dari daratan (Dupra 2002, in Paonganan

(28)

menunjukkan estimasi Dissolve Inorganic Nitogen (DIN) yang masuk ke perairan

Teluk Jakarta dari 3 sungai besar mencapai 21 260 ton per tahun. Total fosfat

yang masuk ke Teluk Jakarta mencapai 6 741 ton per tahun, adapun silikat

mencapai 52 417 ton per tahun. Sebaran nitrat di perairan Teluk Jakarta yang

diukur selama setahun memiliki kisaran tertinggi di daerah pantai dengan

konsentrasi berkisar 0,58–35,17 µgA-NO3 l-1 dan terendah di daerah offshore berkisar 0,02-3,62 µgA-NO3 l-1 (Damar 2003, in Paonganan 2008).

2.1.3 Pertumbuhan Karang

Kebutuhan utama untuk aktifnya pertumbuhan karang adalah cahaya untuk

kepentingan zooxanthellae dalam berfotosintesis (Nybakken 1982). Tingkat

pertumbuhan mungkin juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti panjang hari,

suhu perairan, suplai makanan, sedimentasi, pemangsaan dan kompetisi (Wood

1983). Koloni-koloni karang mungkin lebih cepat dan lebih mudah bertambah

dalam ukuran karena terdiri atas polip-polip karang. Setiap polip karang

mempunyai kemampuan untuk menumbuhkan polip lain. Budding adalah

pertumbuhan luar yang sederhana di dalam jaringan polip yang membentuk polip

baru (Musso & Hutchison 1996).

Laju pertumbuhan pada koloni-koloni karang dapat berbeda satu sama

lain, karena perbedaan spesies, umur koloni, dan daerah suatu terumbu. Koloni

yang muda dan kecil cenderung untuk tumbuh lebih cepat daripada koloni-koloni

yang lebih tua, sedangkan koloni bercabang-cabang atau yang seperti daun

cenderung untuk tumbuh lebih cepat daripada karang masif (Nybakken 1982).

Karang dengan kerangka berongga (porous) memiliki pertambahan ukuran lebih

cepat daripada yang padat (solid) (Wood 1983). Pertumbuhan karang di perairan

dangkal terutama ke atas, sedangkan karang di perairan dalam pertumbuhannya

cenderung ke samping. Pertumbuhan yang picak di kedalaman yang lebih jauh

dapat menyediakan lebih banyak daerah permukaan untuk menampung cahaya

dan lebih sedikit memerlukan bahan kerangka daripada bentuk yang bundar di

air dangkal (Mc. Connaughey & Zottoli 1983).

2.1.4 Proses Pengendapan CaCO3 pada Karang (Kalsifikasi)

Laju pertumbuhan karang dipengaruhi oleh proses kalsifikasi, yaitu proses

mineralisasi kalikoblast epidermis yang menggunakan hasil sekresi metabolisme

(29)

1984). Berdasarkan pengamatan laboratorium, terbentuknya endapan kalsium

karbonat (CaCO3) adalah sebagai berikut:

Ca2+ + 2HCO

3- Ca(HCO3)2 CaCO3 + H2CO3

CaCO3 (aroganit kristal) inilah yang mengendap dan membentuk terumbu (Sya’rani 1982).

Bertambahnya konsentrasi CO2 di atmosfer merupakan ancaman bagi terumbu karang karena menyebabkan perubahan kimia air laut, mengurangi

konsentrasi ion-ion karbonat, dan mendorong menurunnya laju kalsifikasi karang,

laju pertumbuhan dan kekuatan struktur rangka kapur. Struktur rangka yang

lemah membuat karang mudah rusak akibat gelombang, turis yang ceroboh,

bioerosi, dan penangkapan ikan yang merusak (Buddemeier et al. 2004, in

Grimsditch & Salm 2006).

Air laut menyerap CO2 untuk memproduksi asam karbonat (H2CO3), bikarbonat (HCO3-) and ion karbonat (CO32-) (Buddemeier et al. 2004, in Grimsditch & Salm 2006). Asam karbonat (H2CO3) berubah menjadi ion Hidrogen (H+) dan Karbonat (HCO

3-) yang cenderung berubah menjadi H2O dan CO2. Di dalam tubuh karang, reaksi pembentukan H2O dan CO2 ini dipercepat oleh

enzym anhydrase (Mapstone 1990). Zooxanthellae memanfaatkan hasil

metabolisme dan respirasi karang (CO2) untuk proses fotosintesa. Bentuk ion karbonat 2HCO3- dalam air tidak stabil, sehingga mengikat ion Kalsium (Ca2+) dari perairan dan membentuk Ca(HCO3)2 yang stabil (Suharsono 1984). Jika proses ini berjalan cepat, maka keseimbangan akan bergeser ke arah kanan dan

terurai menjadi CaCO3 dan H2CO3. Proses ini terjadi setiap hari di mana puncak pendepositan kalsium karbonat terjadi pada siang hari saat proses asimilasi

mencapai level tertinggi (Mapstone 1990).

Dalam kondisi perairan tertentu, algae simbion karang (zooxanthellae)

dapat keluar dari karang sebagai akibat dari tekanan lingkungan atau adanya

penyakit yang menimpa karang tersebut dan menyebabkan karang menjadi putih

(Veron 1986). Pemutihaan karang (bleaching) didefinisikan sebagai respon

terhadap stres, yang sering diikuti dengan kematian yang luas, berkurangnya laju

pertumbuhan, dan menurunnya kesuburan (fecundity) (Baird & Marshall 2002;

Douglas 2003, in Hughes et al. 2003). Sumber stres yang dapat menyebabkan

pemutihan karang (coral bleaching) terutama adalah perubahan cahaya dan

(30)

Adanya konsentrasi nutrien yang tinggi, sedimen, dan polutan lainnya

(hidrokarbon, logam, pestisida, herbisida dan klorin) yang berasal dari

pencemaran dapat berbahaya bagi pertumbuhan karang karena dapat

menyebabkan eutrofikasi dan mempengaruhi keseimbangan ekologis komunitas,

karena terumbu karang umumnya tumbuh dalam perairan yang secara alami

rendah nutrien (Hawker & Connel 1992; Castro & Huber 2005). Penyebab

eutrofikasi yang paling penting adalah nitrogen dan fosfor yang umumnya

berasal dari sumber-sumber pertanian dan kegiatan domestik disekitar perairan

(Oksanen 2000, in Rudi 2006).

Eutrofikasi akan memacu pertumbuhan seaweeds atau alga lebih cepat

dan menutupi karang yang tumbuh lambat (Castro & Huber 2005). Kompetisi

antara karang batu (scleractinian corals) dan alga bentik adalah penting dalam

struktur komunitas terumbu karang dan merupakan fase kritis dalam degradasi

terumbu karang (McCook et al. 2001). Kemampuan karang untuk berkompetisi

dengan alga juga berbeda secara signifikan diantara bentuk pertumbuhan karang

(coral life forms). Jelasnya, jenis karang dan alga yang berbeda akan memiliki

kemampuan berbeda atau, rentan terhadap mekanisme yang berbeda, bergantung

pada faktor-faktor seperti ukuran, struktur, kondisi, bentuk pertumbuhan, pola

pertumbuhan, ukuran polip dan tentakel, dan jenis kelamin dan mekanisme

reproduksi vegetatif, demikian juga dengan faktor-faktor lingkungan seperti

nutrien, herbivora (pemakan alga) dan level cahaya (McCook et al. 2001).

Mekanisme kompetisi antara karang dan alga dapat berupa pertumbuhan

yang terlalu cepat (overgrowth), peneduhan (shading), kimiawi, penghalangan

rekrutmen (recruitment barrier), pengelupasan ephithel, allelopathy, dan sekresi

mucus (McCook et al. 2001). Penelitian yang dilkukan oleh Jompa dan McCook

(2003) di Great Barrier Reef, Australia tentang kemampuan kompetisi alga merah

Anotrichium tenue terhadap koloni karang masif Porites spp. menunjukkan bahwa,

sebagian besar jaringan karang hidup yang ditumbuhi oleh Anotrichium tenue mati

dengan cepat. Umumnya, pola yang cukup seragam adalah Anotrichium tenue

mengolonisasi jaringan karang hidup di perbatasan antara rangka karang yang

mati dan alga. Jaringan karang yang terkolonisasi kemudian memutih dan pada

akhirnya mati.

2.1.5 Bentuk Pertumbuhan Karang

Rangka karang membentuk hampir keseluruhan koloni dan dapat terdiri

(31)

tipis di permukaan. Pertumbuhan karang dapat berbentuk seperti piring (

plate-like), foliaceous (seperti daun), encrusting, massive, branching, columnar, dan

free living (soliter) (Castro & Huber 2005). English et al. (1997) membagi bentuk

pertumbuhan karang batu (stony corals) atas karang Acropora dan

non-Acropora. Karang non-Acropora terdiri atas:

ƒ Karang bercabang (coral branching), bentuknya seperti ranting pohon

ƒ Karang masif (coral massive), bentuknya seperti batu besar yang padat

ƒ Karang mengerak (coral encrusting), berbentuk merayap, hampir seluruh

bagian koloni menempel pada substrat.

ƒ Karang sub-masif (coral submassive), berbentuk kokoh dengan

tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil.

ƒ Karang lembaran (coral foliaceous), berbentuk seperti lembaran daun.

ƒ Karang jamur (coral mushroom), berbentuk menyerupai jamur.

ƒ Karang api (Millepora), semua jenisnya dapat dikenali dengan adanya

warna kuning di ujung koloni dan rasa seperti terbakar jika tersentuh.

ƒ Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dari warna biru pada skeletonnya.

Khusus untuk Acropora, bentuk percabangan dan bentuk radial koralit

dibedakan menjadi: arboresen (arborescent), kapitosa (caepitose), kapito

korimbosa (caepito-corymbosa), arboresen meja (arborescent table), sikat botol

(bottle brush), korimbosa (corymbose), digitata (digitate), dan meja (table)

(Suharsono 2008b).

2.1.6 Reproduksi Karang

Karang mempunyai bentuk reproduksi secara seksual dan aseksual.

Reproduksi aseksual dapat berlangsung dengan fragmentasi dan pertunasan/

pembelahan polip (Richmond & Hunter 1990, in Rudi 2006). Reproduksi seksual

menghasilkan larva planula yang berenang bebas, dan bila larva itu menetap di

dasar (substrat keras) maka akan berkembang menjadi koloni baru. Kebanyakan

karang mencapai dewasa secara seksual pada usia 7-10 tahun (Nybakken

1982). Untuk memungkinkan pelekatan larva planula dan pembentukan koloni

baru, diperlukan substrat yang kuat dan bersih dari lumpur yang memungkinkan

larva karang batu melekatkan diri (Sukarno 1983). Karang yang hidup di daerah

tropis dapat bereproduksi sepanjang tahun, berbeda dengan karang di daerah

subtropis yang organ reproduksinya dapat menghilang pada saat-saat tertentu

(32)

Organ reproduksi karang berkembang di antara mesentri filamen. Karang

yang hidup di daerah tropis organ reproduksinya dapat ditemukan sepanjang

tahun karena siklus reproduksinya terjadi sepanjang tahun dengan puncak

reproduksi dua kali dalam setahun (Suharsono 1996). Karang dapat bersifat

gonokhoris maupun hermaprodit (dioecious), di mana dalam satu polip dapat

ditemukan organ betina saja atau jantan saja atau kedua-duanya, namun karang

hermaprodit jarang mempunyai tingkat pematangan seksual yang bersamaan

(Suharsono 1996). Pembuahan umumnya terjadi di dalam ruang gastrovaskuler

induk betina dan sperma yang dilepaskan ke dalam air akan masuk ke dalam

ruang gastrovaskuler ini. Telur-telur yang telah dibuahi biasanya ditahan sampai

perkembangannya mencapai stadium larva planula. Planula kemudian

dilepaskan dan berenang dalam perairan terbuka untuk menetap dan memulai

suatu koloni baru (Nybakken 1982).

Menurut Veron (1995), sebagian besar spesies karang akan melepaskan

telur dan spermanya atau memijah (spawning) dibandingkan dengan cara

mengerami larva (brooding). Karang yang memijah memiliki fekunditas yang

tinggi, sedangkan yang mengerami larva menghasilkan larva dengan jumlah

lebih sedikit, namun berukuran lebih besar dan berkembang lebih baik. Hasil

pengamatan terhadap 210 spesies karang yang sudah dipelajari sifat

reproduksinya menunjukkan bahwa sebagian besar atau 131 spesies bersifat

hermaprodit broadcast spawners, 11 spesies hermaprodit brooders, 37 spesies

gonochoris broadcaster, dan 7 spesies gonochoris brooders (Richmond & Hunter

1990, in Rudi 2006). Sifat dan cara reproduksi secara umum adalah konservatif

dalam spesies, genus, dan famili.

Sebagian besar spesies karang melakukan reproduksi seksual melalui

pemijahan massal. Dalam selang waktu 24 jam, seluruh karang dari satu spesies

atau bahkan satu genus dapat melepaskan telur dan spermanya pada saat

bersamaan. Hal ini umumnya terjadi pada spesies-spesies dari genus

Montastrea, Montipora, Platygyra, Favia, dan Favites (Harrison & Wallace 1990,

in Rudi 2006).

2.1.7 Rekrutmen dan Penempelan Karang

Rekrutmen juvenile karang (coral recruitment) dan kematian pasca

penempelan (settlement) adalah proses yang penting dalam dinamika populasi

(33)

vital dalam distribusi dan kelimpahan spesies (Connel et al. 1997, in Soong et al.

2003). Proses menempelnya juvenil karang yang mengakhiri kehidupannya

sebagai organisme planktonik pada substrat yang cocok untuk memulai fase

hidup baru sebagai bagian dari komunitas di terumbu karang disebut dengan

proses rekrutmen karang. Rekrutmen karang yang didefinisikan sebagai

penempelan larva dan pertumbuhan ukuran yang dapat dilihat dengan mata

telanjang, adalah proses penting dari dinamika populasi yang mendasari

keberlanjutan eksistensi terumbu karang (Moulding 2005). Laju penempelan

karang sering dipercepat oleh kehadiran alga berkapur mengerak (calcareous

encrusting algae), sedangkan pasir yang lembut, endapan dan lumpur cenderung

menghalangi penempelan karang batu (McManus 2001).

Kolonisasi merupakan salah satu proses penting dalam rekrutmen

karang, yaitu proses juvenil karang mulai menempati suatu habitat untuk menjadi

organisme bentik. Dua hal penting yang menentukan dalam proses ini adalah

ketersediaan larva dan substrat tempat menempel yang sesuai. Proses

identifikasi tempat yang sesuai untuk menempel oleh larva karang sangat

dipengaruhi oleh kemampuan larva dalam pengenalan dan pencarian substrat

(Richmond 1997, in Rudi 2006). Larva karang juga sensitif terhadap komposisi

substrat, lingkungan sekitar, kondisi cahaya dan orientasi substrat (Soong 2003).

Kepadatan dan komposisi dari karang rekrut juga berbeda antar musim dan antar

tahun (Soong 2003). Pembentukan komunitas karang pada permukaan terumbu

buatan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan yang optimal bagi

kehidupan dan pertumbuhan hewan karang secara umum.

Efektivitas terumbu buatan sebagai media rekrutmen larva karang sangat

dipengaruhi oleh material dasar penyusunnya, kondisi lingkungan perairan

seperti arus, salinitas, sedimentasi, kecerahan, temperatur, DO, pH, BOD, COD

dan adanya terumbu karang alami sebagai induk atau sumber larva karang

(Reppie 2006). Pengamatan karang rekrut dengan diameter kurang dari 5 cm

juga dilakukan oleh Moulding (2005) pada kedalaman 3-8 meter menggunakan

transek kuadrat yang ditempatkan secara acak di upper keys, middle keys dan

lower keys of Florida. Karang rekrut dihitung, diukur dan diidentifikasi sampai

genus. Moulding (2005) menemukan 14 genera karang dari seluruh site dengan

kelimpahan berkisar 5-13 genera per site. Kepadatan berkisar 6,29 ±1,92 sampai

(34)

non-masif yang berkontribusi relatif kecil terhadap keseluruhan proses pembentukan

terumbu, sedangkan jenis karang masif ditemukan lebih sedikit di upper keys

dibandingkan dengan di middle dan lower keys (Moulding, 2005). Pola rekrutmen

karang di upper keys berpotensi menghalangi kemampuan mereka untuk pulih

dari tekanan dan gangguan (Moulding 2005).

Monitoring rekrutmen dan kelangsungan hidup juvenile karang oleh Smith

(1992) di Bermuda dan sekitarnya menunjukkan bahwa Poritesastreoides, yang

bereproduksi dengan cara melepaskan brooded planulae, menjadi spesies rekrut

dominan di semua lokasi. Hal ini karena planula tersebut dapat menetap (settle)

pada substrat dengan cepat. Sementara, karang yang dominan di terumbu

Bermuda, Diploria spp., hanya sedikit mendapat rekrut baru, diduga karena cara

bereproduksi spesies ini mengeluarkan sperma/telur (broadcaster) (Smith 1992).

Namun demikian, Diploria spp. memiliki laju kematian juvenile yang lebih rendah

dibandingkan dengan P. astreoides (Smith 1992).

Karang yang memproduksi planula (brooding corals), terutama agaricidae

menjadi karang rekrut yang dominan di terumbu Atlantik dibandingkan dengan

laju rekrutmen yang tinggi dari acroporidae (spawner) di Pasifik. Kelompok yang

disebut terakhir juga mengalami kematian pasca penemeplan yang tinggi

dibandingkan dengan brooding corals baik di Atlantik maupun Pasifik (Smith

1992). Karang masif di kedua lautan umumnya memiliki laju rekrutmen yang

rendah, terkait cara mereka bereproduksi dengan mengeluarkan telur, dan

rendahnya laju kematian pasca settlement (Smith 1992).

Beberapa kriteria tempat yang cocok bagi penempelan larva karang

adalah tipe substrat, pergerakan air, salinitas, ketersediaan cahaya, tingkat

sedimentasi, dan tersedianya lapisan biologis atau spesies mikroalga tertentu.

Langkah pemilihan substrat oleh larva planula yang siap menempel dimulai

dengan kecenderungan untuk berenang menuju dasar untuk melakukan kontak

dengan permukaan substrat keras yang sesuai atas dasar signal kimia yang

mempengaruhi reseptor yang terletak di permukaan luar larva. Prosedur

pencarian substrat yang cocok dapat dilakukan berulang-ulang sampai

mendapatkan substrat yang benar-benar cocok, misalnya pada Pocillopora

damicornis (Harrison & Wallace 1990, in Rudi 2006). Jika substrat memiliki

tekstur yang baik/cocok dan dilingkupi oleh lapisan biologis, planula lalu akan

(35)

melakukan kontak, melepaskan lapisan matriks organik dan diikuti dengan

deposisi rangka karbonat (Richmond 1997, in Rudi 2006).

2.2 Terumbu Buatan (Artificial Reef)

Pencegahan dan mitigasi degradasi terumbu karang sesungguhnya lebih

penting daripada membangun sebuah proyek restorasi terumbu karang, terlebih

lagi proyek semacam ini membutuhkan biaya tinggi sehingga tidak dapat

diaplikasikan pada area yang luas (Yeemin et al. 2006). Namun, mengingat

proses pemulihan alami terumbu karang sangat lambat, maka diperlukan

upaya-upaya rehabilitasi yang inovatif untuk mempercepat proses pemulihan (recovery)

terumbu karang yang rusak. Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa

terumbu buatan efektif sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan (artificial fish

shelter) sehingga banyak digunakan sebagai alat pengumpul ikan (fish

aggregating device) oleh nelayan. Penggunaan substrat buatan untuk settlement

karang merupakan salah satu teknik dan metode untuk memanfaatkan larva

planula alami dalam merestorasi terumbu karang (Yeemin 2006).

Menurut European Artificial Reef Research Network, terumbu buatan

adalah suatu struktur buatan manusia dari benda-benda keras yang sengaja

ditempatkan di dasar perairan dengan meniru beberapa karakteristik terumbu

karang alami (Pickering et al. 1998; Baine 2001), berfungsi sebagai habitat

tempat berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi berbagai biota laut

(Reppie 2006), dan perlindungan pantai (Hutomo 1991). Menurut Yeemin (2006),

metode restorasi terumbu karang yang menggunakan substrat keras, seperti

terumbu buatan, sebaiknya diaplikasikan pada area di mana ketersediaan larva

baik tetapi habitat yang sesuai untuk settlement karang terbatas, dan terdapat

hambatan untuk terjadinya rekrutmen alami. Kegiatan restorasi sebaiknya

dilaksanakan pada daerah yang terlindung sehingga mudah dikontrol dan

dikelola untuk kepentingan restorasi ekosistem, pendidikan, penelitian, dan

ekowisata (Yeemin 2006).

Walaupun perkembangan awal komunitas bentik pada terumbu buatan

telah secara intensif diteliti pada beberapa dekade terakhir, pengetahuan tentang

tahap akhir perkembangan dari komunitas pada terumbu buatan masih kurang.

Monitoring jangka panjang terhadap komunitas pada terumbu buatan sangat

(36)

kondisi mereka dan dampak yang mungkin terjadi pada lingkungan alami

sekitarnya (Perkol-Finkel et al. 2006).

Menurut Ilyas (2000) keberhasilan dalam Penerapan teknologi terumbu

karang buatan ditentukan oleh jenis dan bentuk material Terumbu Karang

Buatan, kesesuaian parameter lingkungan perairan, dan terutama peruntukan

program terumbu buatan itu sendiri. Hasil monitoring 1,5 tahun penenggelaman

terumbu buatan beton di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa

terumbu buatan sebagai habitat buatan memungkinkan untuk dapat

menstimulasi pertumbuhan karang dan menyediakan habitat untuk ikan dan

orgnisme akuatik lainnya. Alga berkapur, sponge, juvenile ikan karang, dan

organism lain telah ditemukan di dalam dan disekitar terumbu buatan (Ilyas et al.

2003).

2.2.1 Perkembangan Terumbu Buatan

Sejarah terumbu buatan berasal dari Jepang pada abad XVIII. Berawal

dari tingginya hasil tangkapan ikan di sekitar kapal tenggelam (Whitmarsh et al.

2008), para nelayan kemudian menenggelamkan rangka kayu pada kedalaman

36 m dengan beban pasir dan ternyata mendapatkan hasil yang juga tinggi

(Wasilun et al. 1995, in Risamasu, 2000). Selanjutnya, terumbu buatan terus

berkembang dan dalam kurun waktu 11 tahun (1976-1987), Pemerintah Jepang

telah mengeluarkan dana sekitar 4,2 milyar US dolar untuk mengembangkan

terumbu buatan di area seluas sekitar 9,3% wilayah paparannya atau 1 257 km2. Di Malaysia perkembangan terumbu buatan dimulai sejak tahun 1976 dan

dalam kurun waktu 12 tahun, antara tahun 1976 dan 1988, telah mengeluarkan

dana sekitar 8.88 juta ringgit (Wasilun et al. 1995, in Risamasu 2000). Thailand

mengembangkan terumbu buatan sejak tahun 1978, dan sampai 1991

pemerintah menyediakan dana sebesar 200 juta Baht (Wasilun et al. 1995, in

Risamasu 2000). Sebagian besar teknik rehabilitasi seperti transplantasi karang

atau penenggelaman struktur buatan, adalah padat karya, mahal dan seringkali

kurang berhasil (Raymundo et al. 2007). Beberapa metode biayanya dapat

mencapai 13 000 US dolar sampai lebih dari 100 juta US dolar per hektar.

Di Indonesia, perkembangan program terumbu buatan telah dimulai saat

Pemda DKI Jakarta menenggelamkan ribuan becak hasil operasi penertiban ke

Teluk Jakarta sebagai rumpon ikan pada tahun 1989. Pada awalnya hal ini

merupakan solusi untuk menyingkirkan ribuan becak hasil sitaan yang

(37)

rumpon. Bila setiap becak dihargai 100 ribu rupiah (kenyataannya banyak yang

berharga 200 ribu rupiah), berarti pembuatan rumpon becak di Teluk Jakarta

sudah mencapai 6 milyar rupiah pada 1990 (www.majalah.tempointeraktif.com).

Sejak tahun 2001 sampai 2008, Direktorat Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil,

Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah menenggelamkan terumbu

buatan beton dengan jumlah lebih dari 1 700 unit di 29 lokasi (kabupaten/kota)

dengan jumlah anggaran diperkirakan lebih dari 5,3 milyar rupiah (Data diolah

Dit. PPK-DKP 2008).

2.2.2 FungsiTerumbu Buatan

Terumbu buatan digunakan dalam manajemen pesisir dengan tujuan

umumnya untuk meningkatkan produksi dan hasil perikanan (Jepang), selam

rekreasi (USA), mencegah penggunaan trawl (Eropa), pemulihan efek

over-fishing (Hong Kong), budidaya laut, wisata dan konservasi sumberdaya (Baine

2001; Whitmarsh et al. 2008). Terumbu buatan memiliki beberapa fungsi, yaitu:

1) menyediakan substrat sebagai tempat organisme menempel, 2) meningkatkan

kompleksitas habitat dengan menyediakan ruang vertikal tertentu, 3) mengubah

pola arus dan gelombang (Mottet 1981). Menurut White et al. (1990), ada empat

fungsi terumbu buatan yaitu: 1) mengumpulkan organisme laut (atraktan) untuk

meningkatkan efisiensi penangkapan, 2) melindungi dan menyediakan area

asuhan, 3) meningkatkan produktivitas alami dengan menyediakan habitat baru

yang permanen bagi biota penempel (sessile), dan 4) menjaga keseimbangan

siklus rantai makanan, menyediakan habitat dan simulasi karang alami untuk

spesies tertentu. Terumbu buatan juga dapat meningkatkan keanekaragaman

lokal dan ketersediaan ruang dengan menambah habitat asli, meningkatkan

produksi dan memperkaya keragaman jenis (Perkol-Finkel & Benayahu 2004).

2.2.3 Struktur, Desain dan Material

Struktur terumbu buatan dapat dibagi menjadi tiga kategori fungsional

yaitu: 1) blok substrat (substrate blocks), 2) struktur kamar (chamber blocks), dan

3) blok pemecah ombak (breakwater blocks). Material Beton (reinforced

concrete) merupakan material yang paling utama digunakan untuk konstruksi

terumbu buatan dalam bentuk kubus, blok dan pipa (Baine 2001), hal ini karena

beton mudah untuk dibentuk, dapat disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan

dan relatif murah. Desain dan ukuran terumbu buatan, terutama material beton

(38)

berbentuk piramid maupun disebarkan secara terpisah pada fishing ground

(Reppie 2006).

Metode yang digunakan dalam program restorasi terumbu karang

sebaiknya sederhana, menggunakan material yang murah serta tersedia di

daerah lokal (Yeemin 2006). Sejauh ini, material terumbu buatan yang paling

disenangi adalah beton, termasuk kubus, balok dan pipa, dan kombinasinya

dengan kapal (bekas), batuan galian dan ban (Baine 2001). Berdasarkan

sejumlah uji coba terumbu buatan menunjukkan bahwa concrete tahan lama di

laut, mudah dibentuk dalam berbagai spesifikasi, serta mempunyai

perkembangan komunitas yang serupa dengan terumbu karang alami (Delmendo

1991; Omar et al. 1994). Tujuan pengembangannya adalah untuk recruitment

dan survival dari juvenile (Spanier et al. 1990). Terumbu buatan beton berfungsi

dengan baik sebagai habitat target spesies; tidak mengeluarkan racun dan aman

bagi lingkungan; mudah dalam penanganan, transportasi dan penebaran di laut;

stabil dan tidak mudah terbalik atau terseret gelombang dan arus (Reppie 2006).

Gambar 2 Contoh terumbu buatan beton yang ditenggelamkan di perairan Pulau Pramuka tahun 2001 (foto: Aziz 2010).

Desain terumbu buatan juga dapat dikombinasikan dengan metode

transplantasi karang untuk meningkatkan pemulihan terumbu karang. Walaupun

efektivitas transplantasi masih diperdepatkan, mahal dan jangkauannya terbatas,

cara ini baik untuk memperbaiki kerusakan lokal yang spesifik, misalnya area

kapal yang kandas, daripada sebagai cara untuk mitigasi dampak kejadian skala

besar, seperti pemutihan karang massal (Grimsditch & Salm 2006). Jika

benar-benar diperlukan karena terbatasnya rekrutmen alami dan tingginya variasi

tahunan, transplantasi sebaiknya menggunakan karang masif yang tumbuh

lambat daripada karang bercabang yang tumbuh cepat untuk sukses jangka

(39)

panjang yang lebih besar (Edwards & Clark 1999). Keberhasilan transplantasi

sangat bergantung pada banyak faktor, seperti lokasi, kondisi lingkungan

perairan lokal, kedalaman transplan, spesies karang, dan sejarah strategi

hidupnya (Grimsditch & Salm 2006).

Transplantasi karang di beberapa negara, didasarkan pada alasan

sebagai berikut: 1) mempercepat pemulihan terumbu karang (Indonesia,

Filipina), 2) mengganti karang yang mati oleh limbah panas dan polutan lainnya

(Guam), 3) melindungi komunitas karang dari jenis-jenis langka yang terancam

oleh pencemaran, reklamasi pantai atau pembangunan dermaga (Singapura,

Florida), 4) introduksi kembali spesies kedalam area yang sebelumnya tercemar

(Hawaii), 5) mempercepat pemulihan karang akibat kapal kandas

(Florida-Cayman islands), 6) meningkatkan daya tarik wisata (Gulf of Aqaba), 7)

merehabilitasi terumbu yang rusak akibat wisatawan dan membuat terumbu

buatan untuk penyelam (Eilat), 8) merehabilitasi terumbu karang akibat

pemanasan El-Nino, blooming dinoflagellata, dan Crown-of-thorns (Costa Rica,

Great Barrier Reef) (Edwards & Clark 1999).

Efektivitas terumbu buatan untuk meningkatkan produktivitas perairan

sangat bergantung pada desain dan struktur terumbu, terutama apakah desain

tersebut dapat memenuhi kebutuhan spesifik dari individu spesies target (Jensen

& Collins 1996, in Reppie 2006). Desain terumbu yang sederhana di Jepang

seperti bentuk kubus dan tube atau silinder disebut block (Grove et al. 1991, in

Reppie 2006). Untuk tujuan mengumpulkan ikan, sebagai shelter ikan dan

kerang serta mencegah illegal trawling, di laut Mediterranean, Italia, dan

Perancis telah ditetapkan desain habitat buatan berukuran 1-2 m dari kubus

beton berlubang sebagai pilihan bentuk, ukuran dan material terumbu buatan

(Bombace 1989, in Reppie 2006). Desain terumbu bentuk blok sangat bervariasi,

baik ditumpuk dalam bentuk piramida maupun disebarkan terpisah pada fishing

ground, atau menggunakan kombinasi keduanya.

2.2.4 Pembentukan Komunitas pada Terumbu Buatan

Suksesi merupakan kemampuan organisme laut (karang, ikan karang,

non-ikan seperti moluska, krustasea, perifiton, makro algae, kerang dan biota air

lainnya dalam membentuk komunitas baru (Kan et al. 1987, in Samidjan 2005).

Pola suksesi dan struktur komunitas organisme laut seperti bakteri, larva karang,

perifiton, makroalga dan biota penempel lainnya pada terumbu buatan, sangat

Gambar

Gambar 2  Contoh terumbu buatan beton yang ditenggelamkan di perairan Pulau Pramuka tahun 2001 (foto: Aziz 2010)
Tabel 1  Posisi geografis stasiun penelitian.
Gambar 5  Model terumbu buatan beton objek penelitian (foto: Aziz 2010).
Gambar 6  Contoh cara pemotretan koloni rekrut pada terumbu buatan
+7

Referensi

Dokumen terkait