• Tidak ada hasil yang ditemukan

tetap sehat.

Dalam dokumen Mediakom Edisi 23 April 2010 - [MAJALAH] (Halaman 34-36)

Media Utama

No.XXIII/APRIL/2010Mediakom Merekapun mengenal dua mata

uang, rupiah dan ringgit.

Kemenkes pun bertindak

Daerah perbatasan memang bukan persoalan biasa, oleh karenanya perlu upaya pembangunan yang tidak seperti biasa. Masalah kesehatan adalah masalah hak asasi. Apapun kondisi daerah yang ada, upaya kesehatan harus tetap dijalankan agar rakyat tetap sehat. Menyadari hal itu, Kemenkes telah membuat berbagai program untuk pembangunan kesehatan di wilayah tersebut. Pengiriman tenaga kesehatan di DTPK telah menjadi program 100 hari bidang kesehatan pada Kabinet Indonesia II. Target yang ingin dicapai sebanyak 131 tenaga kesehatan di 35 Puskesmas di 12 Provinsi.

Sulitnya ketersediaan dokter, sementara pelayanan kesehatan harus tetap dilakukan menuntut kompetensi tenaga kesehatan medis non dokter yang bertugas di DTPK harus ditingkatkan. Untuk itu akan segera diterbitkan Permenkes yang mengatur tindakan medis bagi perawat dan bidan yang bertugas, demikian dijelaskan oleh Kepala Pusrengun. Menurut dr. Mayang Sari dari Dit. Komunitas Kemenkes yang ikut dalam tim monev menjelaskan bahwa beberapa program peningkatan tenaga kesehatan di DTPK meliputi pelatihan GELS bagi dokter dan perawat , disamping program lain seperti peningkatan fungsi puskesmas menjadi puskesmas perawatan, bantuan operasional kesehatan, dan bantuan

operasional posyandu.

Program lama yang masih terus dilanjutkan adalah pemberian

insentif bagi tenaga kesehatan yang ditugaskan di DTPK. Untuk dokter/dokter gigi sebesar Rp. 5 juta, bidan Rp.2,5 juta, bahkan untuk dokter spesialis Rp.7,5 juta. Agar tidak terjadi kecemburuan dan memenuhi rasa keadilan bagi PNS yang bekerja di DTPK maka akan segera diterbitkan Permenkes yang mengatur pemberian

insentif tenaga kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan. Lebih lanjut dikatakan oleh Kepala Pusrengun bahwa ketiga Permenkes tersebut merupakan program 100 hari bidang kesehatan pada KB II yang tentunya akan segera diterbitkan sebelum 1 Februari 2010.

Selama kunjungan di berbagai puskesmas tersebut, tidak nampak satupun dari tenaga kesehatan yang merasa kecewa karena ditempatkan di daerah perbatasan. Hampir semua tenaga yang ikut program penugasan khususnya tenaga non dokter ingin memperpanjang penugasannya hingga suatu saat nanti dapat diangkat menjadi PNS. Mereka membutuhkan pelatihan, seperti bagaimana melakukan promosi dan pemberdayaan masyarakat yang benar.

Perlu upaya yang komprehensif

Penanganan masalah daerah perbatasan tidak dapat dilakukan secara parsial dan sektoral. Jelas, upaya ini hanyalah membuang- buang anggaran. Paling tidak ada 16 Kementerian teknis yang mesti terlibat secara bersama-sama dalam menuntaskan persoalan di daerah perbatasan.

Hadirnya Undang-Undang No. 43 tahun 2008 tentang

Wilayah Batas Negara nampaknya belum menjadi dasar untuk mengembangkan daerah perbatasan. Penguatan dan pemberdayaan warga perbatasan kurang diupayakan, termasuk di bidang kesehatan. Masyarakat setempat harus terus diupayakan agar mereka mampu mempraktekkan hidup sehat. Hal ini mengingat keterbatasan dan mahalnya pelayanan kesehatan akibat infra struktur yang buruk. Sesuai amanat UU tersebut, pemerintah akhirnya menerbitkan Keppres tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) untuk memaksimalkan pengelolaan wilayah RI baik perbatasan darat maupun laut. Dengan Keppres itu, diharapkan adanya koordinasi dengan baik dari seluruh instansi yang terkait dalam membangun wilayah perbatasan. Mudah- mudahan keberadaan BNPP dapat menghilangkan praktik menjual isu kemiskinan dan ketertinggalan untuk mendapatkan anggaran yang mungkin dilakukan oleh penentu kebijakan baik di Pusat maupun di Daerah.

Bagi Kemenkes, masalah daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan telah menjadi prioritas pembangunan keseahtan. Sehingga keberadaan BNPP akan sangat diharapkan untuk berkonstribusi dalam menangani masalah kesehatan di daerah tersebut.

Perlukah membuat asosiasi puskesmas daerah perbatasan Kalbar untuk menyuarakan aspirasi? Paling tidak gagasan ini telah disampaikan oleh penulis yang ikut serta dalam tim monev pada tulisan ini.nRk

Media Utama

Mediakom No.XXIII/APRIL/2010

L

etak geograis yang

sulit, sumber daya manusia rendah dan sangat terbatas akses transportasi dan informasi. Kondisi seperti ini menjadi serba sulit untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakatnya. Banyak pengorbanan pikiran, tenaga, dana dan perasaan yang harus dikerahkan. Sudah begitupun hasilnya belum tentu optimal. Tapi apa daya itulah faktanya, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari pulau- pulau. Apapun risikonya tetap harus dibela, bukti rasa persaudaraan dan nasionalisme.

Rapat koordinasi teknis (rakontek) pelayanan kesehatan daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK) pada 10-13 maret 2010, yang diselenggarakan di Bandung, telah menjadi saksi hidup suka duka pelayanan kesehatan diberbagai daerah terpencil dan perbatasan di Indonesia. Para utusan

menceritakan betapa sulitnya menembus daerah perbatasan, karena jalan yang berlumpur dan terjal, jarak yang jauh dan sedikit penduduknya. Apalagi daerah tersebut juga belum ada listrik penerang, lengkap sudah suka duka itu. Ada sebagian petugas yang kapok, tidak sanggup menempuh beratnya medan perjalanan.

Pelaksanaan rakontek tak lepas dari suka duka. Panitia sudah mengirim surat kepada seluruh peserta pertemuan DTPK 15 hari sebelumnya, tapi ada saja daerah yang belum menerima sampai hari H pelaksanaan. Banyak juga yang menerima pemberitahuan menjelang hari H. Sehingga mereka tidak cukup waktu untuk mempersiapkan keberangkatan menghadiri pertemuan. Ada peserta yang mengabarkan kepada panitia, kalau dirinya tertahan di kabupaten karena masih harus menunggu pesawat esok hari. Bila perjalanan tersebut dilanjutkan, maka sampai di Bandung pertemuan sudah ditutup.

”Panitia meminta peserta datang ke Direktorat Bina Kesehatan Komunitas Kementerian Kesehatan”, ujar

penanggung jawab program DTPK, drg Kartini Rustandi.

Menurut Direktur Bina Kesehatan Komunitas, dr. Bambang Sardjono, MPH pertemuan rakontek bertujuan untuk mensosialisasikan kebijakan pelayanan kesehatan (yankes) di DTPK, sekaligus untuk memperoleh masukan, masalah dan hambatan yang dihadapi para pelaksana yankes dilapangan. Selain itu, juga membahas persiapan pelaksanaan pelatihan penanggulangan gawat darurat dan penandatanganan kerjasama pelaksanaan bantuan sosial DTPK di 25 provinsi.

Menurut drg Kartini, pertemuan rakontek ini dihadiri oleh pengelola yankes DTPK provinsi yang terdiri dari 1 orang dinkes provinsi dan 1 orang tim pengelola yankes provinsi), 45 orang dinkes kabupaten / kota dan 37 Bappeda kabupaten / kota. npra

Suka Duka Pelayanan Kesehatan

Dalam dokumen Mediakom Edisi 23 April 2010 - [MAJALAH] (Halaman 34-36)

Dokumen terkait