• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tifoid

distribusi umur dan jenis kelamin?

b. Seperti apakah pola pengobatan kasus penderita tifoid yang meliputi kelas terapi, golongan dan jenis obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008?

c. Apakah ada DTPs yang meliputi: terapi obat tanpa indikasi, perlu tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, adverse drug reaction, dosis terlalu tinggi?

d. Seperti apakah outcome kasus tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008?

2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, evaluasi DTPs pada pengobatan pasien tifoid di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008 belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai tifoid yang pernah dilakukan adalah Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid bagi Pasien Anak di Rumah Sakit Panti Rapih Periode Januari 2000-Desember 2001 (Triana,2003) dan

Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Tahun 2004 (Restiarti, 2005). Perbedaan dengan penelitian ini yaitu dilakukan evaluasi DTPs terhadap pengobatan pasien tifoid di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Juli 2007-Juni 2008.

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Dapat menjadi referensi untuk mendeskripsikan DTPs yang terjadi pada pengobatan pasien tifoid di Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman.

b. Manfaat Praktis

Dapat memberi informasi serta masukan bagi praktek kefarmasian di Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman dalam meningkatkan kualitas pengobatan pasien tifoid.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi DTPs pada pengobatan pasien tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui profil kasus penderita tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin.

b. Mengetahui pola pengobatan kasus penderita tifoid yang meliputi kelas terapi, golongan dan jenis obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008.

c. Mengevaluasi DTPs yang meliputi: terapi obat tanpa indikasi, perlu tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, adverse drug reaction, dosis terlalu tinggi.

d. Mengetahui outcome kasus tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008.

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tifoid 1. Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi). Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, disebabkan adanya bakteremia dan invasi bakteri sekaligus berkembang biak ke dalam sel fagosit mononuklear dari organ hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch (Soedarmo et al., 2008). Plak Peyer atau Peyer’s patch merupakan bercak kecil berbentuk oval yang menonjol pada folikel limfoid mukosa usus halus yang berkumpul menjadi satu (Kumala, Komala, Santoso, Sulaiman dan Rienita, 1998).

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. Demam paratifoid yang disebabkan oleh Salmonella enteriditis terdiri dari 3 bioserotipe yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S. Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S. Hirschfeldii) (Soedarmo et al., 2008).

1. Etiologi

Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain yang adalah bakteri

Gram-negatif, berbentuk batang, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak

membentuk spora, fakultatif anaerob (bisa menyesuaikan diri pada keadaan tertentu

yang tidak membutuhkan oksigen). Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari

oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen

(K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida

kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin.

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik (Soedarmo et al., 2008).

2. Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan empat proses kompleks mengikuti

ingesti organisme yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2)

bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus

limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial

(3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang

meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya

elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal (Soedarmo et al., 2008).

Periode inkubasi, gejala, dan keparahan penyakit bergantung pada jumlah

dari organisme. Bahan yang diperlukan dalam inokulasi untuk infeksi diperkirakan

kurang dari 1000 organisme, dan tingkat infeksi ini rendah pada pasien dengan

mukosal akan dimulai. Setelah penetrasi, terjadi translokasi mikroorganisme pada

folikel limfoid usus dan mesenterik nodus limfa dan juga pada sel-sel

retikuloendotelial dari hati dan limfa, oleh karena itu kemampuan organisme untuk

selamat dan berkembangbiak dalam sel-sel fagositik mononuklear dari folikel

limfoid, hati dan limfa memainkan suatu alur instrumental dalam patogenesis. Ketika

jumlah kritik organisme tercapai, maka bakteri akan dilepaskan dalam aliran darah

dan gejala demam enterik akan ditunjukkan (DiPiro, 2005).

3. Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh

melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak

bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus

halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan

menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyenum. Sel-sel M, sel epitel khusus

yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi.

Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe

mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di

organ hati dan limpa. S. typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit

mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya

ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka S. typhi

akan ke luar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi

tempat yang disukai oleh S. typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung

empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi

baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograde dari empedu. Ekskresi

organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui

tinja (Soedarmo et al., 2008).

4. Peran Endotoksin

Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut

terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui

pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi

makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe

mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah

yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam,

depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem

imunologik (Soedarmo et al., 2008).

5. Respon Imunologik

Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di

tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme

imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap S. typhi

tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan.

Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid.

Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella

virulen melewati usus tiap hatinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki

epitel pejamu (Soedarmo et al., 2008)

6. Manifestasi Klinik

Masa inkubasi dapat berlangsung 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid

sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus

sampai dengan berat sehingga harus di rawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor

galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.

Pada era pemakaian antibiotik belum seperti saat ini, penampilan demam pada kasus

demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart (grafik

tahap kenaikan suhu) yang ditandai dengan demam yang dating tiba-tiba, kemudian

naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu

pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun

perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses

jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak yang melaporkan demam lebih

tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi harinya. Pada saat demam tinggi,

pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran

berkabut (delirium) atau penurunan kesadaran (obtundasi) mulai apati (tanpa perasaan

atau emosi) sampai koma (Soedarmo et al., 2008).

Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,

malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan (Soedarmo

yang umum terjadi adalah demam, headache, malaise, anoreksia dan myalgia.

Demam bisa mencapai 104˚F (40˚C). Gejala lain yang ditemukan perasaan dingin disertai badan menggigil, nausea (rasa tidak nyaman pada lambung dan perut),

muntah, batuk, kelelahan, dan sakit tenggorokan. Gejala-gejala akan turun secara

perlahan dalam 4 minggu (DiPiro, 2005).

Pada kasus klinis yang berat, pada saat demam tinggi akan tampak sakit

berat. Bahkan dapat dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok

hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala

gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pemeriksaan fisik sangat

penting dilakukan. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi dan pada sebagian pasien

lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan.

Kadang pula dijumpai rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah

dengan ukuran 1-5 mm, yang dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan

punggung pada orang kulit putih. Sering pula bronkitis, dan bradikardia yang sering

terjadi pada orang dewasa dan relatif jarang dijumpai pada anak-anak (Soedarmo et

al., 2008).

Hepatomegali (pembesaran hati), splenomegali (pembesaran limpa) atau

anemia normokromik kadang juga ditemukan. Leukopenia merefleksikan penurunan

relatif leukosit polimorfonuklear. Jumlah sel darah putih berada dalam rentang dari

1.200-20.000 sel/mm3. Satu dari tiga pasien menunjukan peningkatan jumlah

7. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan

gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan

kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid.

Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi Salmonella typhi dari darah. Pada dua

minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien

lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses,

kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi

sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90%

kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek

sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang

diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik (Soedarmo et al.,

2008).

Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi

aglutinasi terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang banyak dipakai untuk

membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin

≥ 1/40 dengan memakai uji Widal slide agglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila

hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak

menyingkirkan dugaan tersebut. Pusat penelitian kesehatan menyepakati, apabila titer

O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan

paska imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi agglutinin dipakai pada deteksi

pembawa kuman (karier) S. typhi (Soedarmo et al., 2008).

Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat

dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat

timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

(Soedarmo et al., 2008).

Uji serologik Widal memiliki moderate sensitifitas dan spesifisitas. Hasil

negatif yang ditimbulkan bisa dikarenakan penggunaan terapi antibiotik sebelumnya.

Di sisi lain, ikatan antara antigen O dan H dari S. typhi dengan serotipe Salmonela

lainnya dan adanya reaksi silang epitop dengan Enterobacteriacae yang dapat

menyebabkan hasil positif palsu. Uji ini masih digunakan, mengingat metode

diagnostik lain sangat mahal (Anonim, 2003a).

Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk

mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah,

serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan feses. Polymerase chain

reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella serotipe typhi secara

spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam.

Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah, walaupun

laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang

tidak salah satupun dipakai secara luas (Soedarmo et al., 2008).

Tes diagnostik baru yang sedang berkembang yang dengan cepat, mudah

adalah tes IDL Tubex®, yang dapat mendeteksi antibodi IgM O9 dalam beberapa

menit. IDL Tubex® mempunyai sensitivitas dan spesifisitas >95% mendeteksi S.

typhi. Sensitivitas ditunjukkan dengan pemisahan partikel yang terwarnai secara

cepat didalam larutan dan spesifisitas ditunjukkan dengan pendeteksian antibodi

hanya dari satu antigen tunggal S. typhi. Antigen O9 spesifik, karena hanya

ditemukan dalam serogrup salmonella D tapi tidak pada organisme lainnya. Antigen

O9 mampu menstimulasi sel B tanpa bantuan sel T dan konsekuensinya respon

anti-O9 berlangsung dengan cepat. Selain itu juga terdapat tes Typhidot® yang mampu

mendeteksi antibodi spesifik IgM dan IgG yang melawan antigen S. typhi (Anonim,

2003a).

8. Pencegahan

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi,

maka setiap individu harus memperlihatkan kualitas makanan dan minuman yang

mereka konsumsi. S. typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57˚C

untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57˚C beberapa menit secara merata juga dapat mematikan kuman S. typhi. Penurunan endemisitas suatu negara /

daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan

pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Pada

anak, imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid

B. Penatalaksanaan Terapi Tifoid

Dokumen terkait