EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PADA PENGOBATAN KASUS TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI
KALASAN SLEMAN PERIODE JULI 2007-JUNI 2008
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Lusia Lero Maya Sari 058114109
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2009
EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PADA PENGOBATAN KASUS TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI
KALASAN SLEMAN PERIODE JULI 2007-JUNI 2008
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Lusia Lero Maya Sari NIM: 058114109
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2009
Persetujuan Skripsi
EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PADA PENGOBATAN KASUS TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI
KALASAN SLEMAN PERIODE JULI 2007-JUNI 2008
Oleh :
Lusia Lero Maya Sari NIM: 058114109
Skripsi ini telah disetujui oleh:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
v
Tuhan, Engkau yang buatku kuat lewati semua Engkau pertolonganku, tempat harapanku Tuhan, kupercaya janji-Mu dalam hidupku
Kau beri kemenangan
Tuhan, Kau selalu setia didalam hidupku
Kau berharga bagiku, Kaulah jaminanku dalam hidupku (Maria Shandi)
Kupersembahkan skripsi ini bagi:
Tritunggal Mahakudus
Bapa dan Mama tercinta; Kakak-kakakku tersayang
Sahabat-sahabat yang kukasihi; Komunitas Sant’ Egidio
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan rahmat dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Therapy Problems Pada Pengobatan Kasus Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008” ini dengan baik.
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana farmasi pada program studi Ilmu Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini bukanlah sesuatu hal yang mudah, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing pertama, yang telah setia membimbing penulis serta banyak memberikan saran, dan dukungan dalam proses penyusunan skripsi.
2. dr.Fenty, M.Kes., Sp.PK. selaku dosen pembimbing kedua, yang telah setia membimbing penulis serta banyak memberikan saran, dan dukungan dalam proses penyusunan skripsi.
3. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi dan dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang berharga dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Drs. Mulyono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang berharga dalam proses penyusunan skripsi ini.
5. Direktur Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rini.
6. Kepala dan staf Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman dan para perawat atas bantuan yang diberikan selama penulis melakukan pengambilan data penelitian.
7. Ayahanda Alexander Bati dan Ibunda Xaveriana Maru tercinta yang telah membesarkan dan mendidik penulis, selalu memberikan kasih sayang, perhatian, pengorbanan serta doa yang tulus sepanjang hidup penulis.
8. Saudara dan saudari penulis yang tercinta, Kak Chris, Kak Selvi dan keluarga, Kak Manzhie, Kak Stevin, Kak Vera dan keluarga, buat semua dukungan, perhatian, kasih sayang dan doa yang tulus bagi penulis, tanpa kalian semua hidup penulis terasa tidak berwarna, karena kalian guru hidup terbaik yang penulis miliki. Penulis sangat bersyukur akan ini semua. Terimakasih kak.
9. Cory selaku teman seperjuangan penulis dalam menghadapi segala tantangan hidup, terimakasih buat doa, perhatian, dukungan dan persahabatan kita.
10. Bon-bon, Jesmon, Weli, Sisca, Tara, Melda, Fani, Sarah, Flora, yang setia memberi dukungan, perhatian, pengorbanan untuk mengantarkan dan meminjamkan penulis buku serta memberikan semangat di kala penulis merasa patah semangat dan putus asa. Terimakasih teman.
11. Teman-teman kelas B 2005, kelompok praktikum D 2005, dan FKK 2005 selaku teman-teman seperjuangan di Fakultas Farmasi, terimakasih buat perhatian dan persahabatan kita selama ini. Perpisahan bukan akhir segalanya. Reuni masih menanti.
12. Semua teman Kost Canna yang masih bertahan hingga saat ini, Ivon, Widya, Lia, Mba Nana, Mba Nur, Mba Tinul, Fani dan mereka yang telah pergi Mba Marta dan Mba Uthe selaku teman penulis, yang setia memberi bantuan di kala penulis kesulitan, dan yang bisa memberi kegembiraan dalam melewati hari-hari yang menjemukkan di kost.
13. Keluarga besar Komunitas Sant’ Egidio khususnya di Yogyakarta, selaku sahabat dan saudara-saudari dari penulis, yang telah mengajarkan makna hidup yang sebenarnya. Kita semua satu Bapa, tapi beda ayah. Tuhan tahu apa yang kita buat dan Dia setia menyertai kita. Terimakasih buat semua pengalaman hidup yang sangat berwarna, layaknya Pelangi.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Keterbatasan pikiran, waktu, dan tenaga membuat penulisan skripsi ini tidak sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini lebih baik lagi. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan.
Penulis
INTISARI
Tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif Salmonella typhi, yang merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara yang sedang berkembang dengan angka mortalitasnya >10%. Hal ini terjadi karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Gejala-gejalanya adalah demam, nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan.
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)
pada pengobatan Pasien Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini dengan melihat profil kasus tifoid berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin; pola pengobatan kasus tifoid yang meliputi kelas terapi, golongan dan jenis obat, mengevaluasi DTPs melalui penelusuran pustaka dengan menggunakan metode
Subjective-Objective-Assessment-Rekomendasi dan menggolongkan outcome kasus tifoid. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif, dengan menggunakan bahan penelitian yaitu lembar rekam medik kasus tifoid.
Jumlah kasus yang diteliti adalah 45 kasus. Kasus terbanyak adalah kelompok dewasa (17 - <65 tahun) sebanyak 40 kasus (89%), dan jenis kelamin terbanyak perempuan sebanyak 24 kasus (53%). Kelas terapi terbanyak adalah obat antiiinfeksi golongan antibakteri (Tiamfenikol) dan obat gizi dan darah (100%). Jenis
DTPs yang terjadi, yaitu: dosis terlalu rendah sebanyak 10 kasus dan potensial interaksi obat sebanyak 28 kasus. Outcome kasus tifoid yaitu sembuh 9 kasus (20%), membaik 34 kasus (76%), dan belum sembuh 2 kasus (4%).
Kata Kunci : Drug Therapy Problems, tifoid
ABSTRACT
Typhoid is an acute systemic infection disease that caused by bacteria gram-negative, Salmonella typhi, which is an important health problem in many developed countries and the mortality is more than 10%. Those things are caused by the lateness of diagnostic, cure and treatment. It’s symptoms are fever, headache, malaise, anorexia, nausea, myalgia, stomach pain and throat inflammation.
The purpose of this research is to evaluate Drug Therapy Problems (DTPs) at the treatment of typhoid patients at instalation ward at Panti Rini Hospital by observation on typhoid case profile based on age distribution and sex, pattern of typhoid treatment case include therapy class, groups and kind of drugs, evaluate DTPs through library research by using Subjective-Objective-Assesment and Recommendation method and classify the outcome of those typhoid case. This research is a non experimental one with descriptive and evaluative design and retrospectifly characterized, by using medical record of typhoid cases as research materials.
This reseach included 45 cases, most of the case came from adults group (17 - <65 years) that are about 40 cases (89%), and the most sex are women about 24 cases (53%). Most of the therapy class are antiinfection drugs, antibacterial groups (Tiamfenikol) and nutrient and blood drugs.
The kind of DTPs that happenned are 10 cases of too low dosage and 28 cases of potential interaction drugs. The outcome of typhoid case are recovered 9 cases (20%), getting better 34 cases (76%) and not yet recovered 2 cases (4%).
Key words : Drug Therapy Problems, typhoid
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………..………..………. …….. HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… …….. HALAMAN PENGESAHAN…...………..……… HALAMAN PERSEMBAHAN………..………..………….. LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... PRAKATA………..………..…… ………... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..……….. …….. INTISARI………..………..……….. …….. BAB I. PENDAHULUAN………….………..
A. Latar Belakang……….
1. Perumusan masalah………
2. Keaslian penelitian………. 3. Manfaat penelitian……….
B. Tujuan Penelitian……….
2. Tujuan khusus……… BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA………...
A. Tifoid……….………...
1. Definisi………...
2. Etiologi………...
3. Patogenesis………..………...
4. Jalur masuknya bakteri ke dalam tubuh……….……….... 5. Peran Endotoksin………... 6. Respon Imunologik...……… 7. Manifestasi Klinik………...………...
8. Diagnosis………
9. Pencegahan………
B. Penatalaksanaan Terapi Tifoid………. 1. Tatalaksana secara umum……….. 2. Terapi Antimikrobial……….
C. Drug Therapy Problems………..
D. Keterangan Empiris……….
BAB III. METODE PENELITIAN………..…………... A. Jenis dan Rancangan Penelitian………... B. Definisi Operasional………
C. Subjek Penelitian……….
D. Bahan Penelitian………..
E. Lokasi Penelitian………..
F. Tata Cara Penelitian……….
1. Tahap perencanaan…….………
g. Obat Hormonal………. h. Obat lain-lain………... C. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)……….……..
1. Dosis terlalu rendah………...
2. Interaksi obat………..
D. Outcome Kasus Penderita Tifoid……….
E. Rangkuman Pembahasan……….
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………... …….
A. Kesimpulan………..
B. Saran………
DAFTAR PUSTAKA……… …….. LAMPIRAN………. BIOGRAFI PENULIS………... ……..
46 47 48 49 50 55 56 59 59 60 61 63 111
DAFTAR TABEL
Tabel I Rekomendasi Terapi Antibiotik... 17 Tabel II Kategori dan Penyebab Umum Drug Therapy Problems... 23 Tabel III Distribusi Kelas Terapi Obat pada kasus penyakit tifoid di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008... 37 Tabel IV Golongan dan Jenis Obat Antiinfeksi yang Diterima Kasus
Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008... 38 Tabel V Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem
neuromuskular yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008... 40 Tabel VI Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem saluran
pencernaan yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008... 41 Tabel VII Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem saluran
pernapasan yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008... 43 Tabel VIII Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem
kardiovaskular yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008... 44 Tabel IX Golongan dan Jenis Obat Gizi dan darah yang Diterima
Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008... 45 Tabel X Golongan dan Jenis Obat Hormonal yang Diterima Kasus
Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008... 46 Tabel XI Golongan dan Jenis Obat lain-lain yang Diterima Kasus
Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008... 47 Tabel XII Kasus DTPs Dosis Terlalu rendah pada Kasus Tifoid di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008... 49 Tabel XIII Kasus DTPs Interaksi obat pada Kasus Tifoid di Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008... 50
Tabel XIV Kajian DTPs Kasus 1 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007... 65 Tabel XV Kajian DTPs Kasus 2 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 66 Tabel XVI Kajian DTPs Kasus 3 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 67 Tabel XVII Kajian DTPs Kasus 4 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 68 Tabel XVIII Kajian DTPs Kasus 5 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 69 Tabel XIX Kajian DTPs Kasus 6 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 70 Tabel XX Kajian DTPs Kasus 7 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 71 Tabel XXI Kajian DTPs Kasus 8 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 72 Tabel XXII Kajian DTPs Kasus 9 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 73 Tabel XXIII Kajian DTPs Kasus 10 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 74 Tabel XXIV Kajian DTPs Kasus 11 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 75 Tabel XXV Kajian DTPs Kasus 12 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 76 Tabel XXVI Kajian DTPs Kasus 13 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 77 Tabel XXVII Kajian DTPs Kasus 14 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 78
Tabel XXVIII Kajian DTPs Kasus 15 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007... 79 Tabel XXIX Kajian DTPs Kasus 16 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 80 Tabel XXX Kajian DTPs Kasus 17 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 81 Tabel XXXI Kajian DTPs Kasus 18 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 82 Tabel XXXII Kajian DTPs Kasus 19 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 83 Tabel XXXIII Kajian DTPs Kasus 20 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 84 Tabel XXXIV Kajian DTPs Kasus 21 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 85 Tabel XXXV Kajian DTPs Kasus 22 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 86 Tabel XXXVI Kajian DTPs Kasus 23 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 87 Tabel XXXVII Kajian DTPs Kasus 24 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 88 Tabel XXXVIII Kajian DTPs Kasus 25 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 89 Tabel XXXIX Kajian DTPs Kasus 26 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 90 Tabel XL Kajian DTPs Kasus 27 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 91 Tabel XLI Kajian DTPs Kasus 28 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 92
Tabel XLII Kajian DTPs Kasus 29 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007... 93 Tabel XLIII Kajian DTPs Kasus 30 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 94 Tabel XLIV Kajian DTPs Kasus 31 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 95 Tabel XLV Kajian DTPs Kasus 32 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 96 Tabel XLVI Kajian DTPs Kasus 33 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 97 Tabel XLVII Kajian DTPs Kasus 34 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 98 Tabel XLVIII Kajian DTPs Kasus 35 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 99 Tabel XLIX Kajian DTPs Kasus 36 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 100 Tabel L Kajian DTPs Kasus 37 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 101 Tabel LI Kajian DTPs Kasus 38 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 102 Tabel LII Kajian DTPs Kasus 39 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 103 Tabel LIII Kajian DTPs Kasus 40 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 104 Tabel LIV Kajian DTPs Kasus 41 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 105 Tabel LV Kajian DTPs Kasus 42 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 106
Tabel LVI Kajian DTPs Kasus 43 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 107 Tabel LVII Kajian DTPs Kasus 44 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 108 Tabel LVIII Kajian DTPs Kasus 45 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ... 109
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Distribusi Umur... 35 Gambar 2 Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Jenis Kelamin... 36 Gambar 3 Persentase Kejadian DTPs pada Pengobatan Tifoid di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008... 48 Gambar 4 Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Outcome... 55
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I ABBREVIATIONS………...…64 Lampiran II Kajian DTPs 45 kasus...65-109 Lampiran III Surat Keterangan Penelitian di Rumah Sakit Panti Rini
Kalasan Sleman...110
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Tifoid atau demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi). Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara yang sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus demam tifoid dan kultur darah positif demam tifoid adalah 1026 dari 100.000 kasus per tahun (Soedarmo, Gama, Hadinegoro, Satari, 2008).
Di negara maju, angka mortalitas < 1% sedangkan di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, umumnya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Di Indonesia, rata-rata kejadian demam tifoid dari 900.000 kasus pertahun lebih dari 20.000 kasus meninggal dunia (Anonim, 2003a). Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau pendarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas tinggi (Soedarmo et al., 2008).
Pengobatan demam tifoid dapat dilakukan dengan terapi suportif maupun terapi antimikrobial. Terapi suportif penting dalam manajemen penyakit demam tifoid seperti hidrasi oral maupun intravena, penggunaan obat antipiretik, dan pemberian nutrisi, sedangkan terapi antimikrobial merupakan petunjuk terapetik untuk pengobatan demam tifoid untuk semua kelompok umur. Dalam hal ini harus ditekankan, bagaimanapun strategi terapi untuk anak dibawah remaja, seperti pemilihan antibiotik, penyesuaian dosis dan durasi terapi, boleh jadi berbeda dari dewasa (Anonim, 2003b).
Ketepatan terapi dalam pengobatan pasien tifoid mendorong dilakukannya evaluasi terkait penggunaan obat salah satunya dengan melakukan evaluasi DTPs
untuk melihat adanya suatu permasalahan atau kejadian yang tidak diharapkan atau yang kemungkinan akan dialami pasien selama proses terapi akibat penggunaan obat, sehingga mengganggu tujuan terapi yang diinginkan (Cipolle, Strand, dan Morley, 2004).
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini karena penyakit tifoid termasuk dalam 15 penyakit terbesar yang terjadi di Rumah Sakit Panti Rini, selain itu belum pernah dilakukan penelitian seperti ini sebelumnya.
1. Perumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
a. Seperti apakah profil kasus penderita tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin?
b. Seperti apakah pola pengobatan kasus penderita tifoid yang meliputi kelas terapi, golongan dan jenis obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008?
c. Apakah ada DTPs yang meliputi: terapi obat tanpa indikasi, perlu tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, adverse drug reaction, dosis terlalu tinggi?
d. Seperti apakah outcome kasus tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008?
2. Keaslian Penelitian
Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Tahun 2004 (Restiarti, 2005). Perbedaan dengan penelitian ini yaitu dilakukan evaluasi DTPs terhadap pengobatan pasien tifoid di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Juli 2007-Juni 2008.
3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
Dapat menjadi referensi untuk mendeskripsikan DTPs yang terjadi pada pengobatan pasien tifoid di Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman.
b. Manfaat Praktis
Dapat memberi informasi serta masukan bagi praktek kefarmasian di Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman dalam meningkatkan kualitas pengobatan pasien tifoid.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui profil kasus penderita tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin.
b. Mengetahui pola pengobatan kasus penderita tifoid yang meliputi kelas terapi, golongan dan jenis obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008.
c. Mengevaluasi DTPs yang meliputi: terapi obat tanpa indikasi, perlu tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, adverse drug reaction, dosis terlalu tinggi.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tifoid 1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi). Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, disebabkan adanya bakteremia dan invasi bakteri sekaligus berkembang biak ke dalam sel fagosit mononuklear dari organ hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch (Soedarmo et al., 2008). Plak Peyer atau Peyer’s patch merupakan bercak kecil berbentuk oval yang menonjol pada folikel limfoid mukosa usus halus yang berkumpul menjadi satu (Kumala, Komala, Santoso, Sulaiman dan Rienita, 1998).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. Demam paratifoid yang disebabkan oleh Salmonella enteriditis terdiri dari 3 bioserotipe yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S. Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S. Hirschfeldii) (Soedarmo et al., 2008).
1. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain yang adalah bakteri
Gram-negatif, berbentuk batang, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, fakultatif anaerob (bisa menyesuaikan diri pada keadaan tertentu
yang tidak membutuhkan oksigen). Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen
(K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida
kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik (Soedarmo et al., 2008).
2. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan empat proses kompleks mengikuti
ingesti organisme yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus
limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial
(3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal (Soedarmo et al., 2008).
Periode inkubasi, gejala, dan keparahan penyakit bergantung pada jumlah
dari organisme. Bahan yang diperlukan dalam inokulasi untuk infeksi diperkirakan
kurang dari 1000 organisme, dan tingkat infeksi ini rendah pada pasien dengan
mukosal akan dimulai. Setelah penetrasi, terjadi translokasi mikroorganisme pada
folikel limfoid usus dan mesenterik nodus limfa dan juga pada sel-sel
retikuloendotelial dari hati dan limfa, oleh karena itu kemampuan organisme untuk
selamat dan berkembangbiak dalam sel-sel fagositik mononuklear dari folikel
limfoid, hati dan limfa memainkan suatu alur instrumental dalam patogenesis. Ketika
jumlah kritik organisme tercapai, maka bakteri akan dilepaskan dalam aliran darah
dan gejala demam enterik akan ditunjukkan (DiPiro, 2005).
3. Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak
bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus
halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan
menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyenum. Sel-sel M, sel epitel khusus
yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi.
Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe
mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di
organ hati dan limpa. S. typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka S. typhi
akan ke luar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi
tempat yang disukai oleh S. typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi
baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograde dari empedu. Ekskresi
organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui
tinja (Soedarmo et al., 2008).
4. Peran Endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi
makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah
yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam,
depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik (Soedarmo et al., 2008).
5. Respon Imunologik
Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di
tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme
imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap S. typhi
tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan.
Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid.
Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella
virulen melewati usus tiap hatinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki
epitel pejamu (Soedarmo et al., 2008)
6. Manifestasi Klinik
Masa inkubasi dapat berlangsung 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid
sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus
sampai dengan berat sehingga harus di rawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor
galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Pada era pemakaian antibiotik belum seperti saat ini, penampilan demam pada kasus
demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart (grafik
tahap kenaikan suhu) yang ditandai dengan demam yang dating tiba-tiba, kemudian
naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun
perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses
jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak yang melaporkan demam lebih
tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi harinya. Pada saat demam tinggi,
pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran
berkabut (delirium) atau penurunan kesadaran (obtundasi) mulai apati (tanpa perasaan
atau emosi) sampai koma (Soedarmo et al., 2008).
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,
malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan (Soedarmo
yang umum terjadi adalah demam, headache, malaise, anoreksia dan myalgia.
Demam bisa mencapai 104˚F (40˚C). Gejala lain yang ditemukan perasaan dingin
disertai badan menggigil, nausea (rasa tidak nyaman pada lambung dan perut),
muntah, batuk, kelelahan, dan sakit tenggorokan. Gejala-gejala akan turun secara
perlahan dalam 4 minggu (DiPiro, 2005).
Pada kasus klinis yang berat, pada saat demam tinggi akan tampak sakit
berat. Bahkan dapat dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok
hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala
gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pemeriksaan fisik sangat
penting dilakukan. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi dan pada sebagian pasien
lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan.
Kadang pula dijumpai rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah
dengan ukuran 1-5 mm, yang dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan
punggung pada orang kulit putih. Sering pula bronkitis, dan bradikardia yang sering
terjadi pada orang dewasa dan relatif jarang dijumpai pada anak-anak (Soedarmo et
al., 2008).
Hepatomegali (pembesaran hati), splenomegali (pembesaran limpa) atau
anemia normokromik kadang juga ditemukan. Leukopenia merefleksikan penurunan
relatif leukosit polimorfonuklear. Jumlah sel darah putih berada dalam rentang dari
1.200-20.000 sel/mm3. Satu dari tiga pasien menunjukan peningkatan jumlah
7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan
kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi Salmonella typhi dari darah. Pada dua
minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien
lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses,
kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi
sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90%
kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek
sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik (Soedarmo et al.,
2008).
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi
aglutinasi terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang banyak dipakai untuk
membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin
≥ 1/40 dengan memakai uji Widal slide agglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila
hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan dugaan tersebut. Pusat penelitian kesehatan menyepakati, apabila titer
O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali
paska imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi agglutinin dipakai pada deteksi
pembawa kuman (karier) S. typhi (Soedarmo et al., 2008).
Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat
dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat
timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
(Soedarmo et al., 2008).
Uji serologik Widal memiliki moderate sensitifitas dan spesifisitas. Hasil
negatif yang ditimbulkan bisa dikarenakan penggunaan terapi antibiotik sebelumnya.
Di sisi lain, ikatan antara antigen O dan H dari S. typhi dengan serotipe Salmonela
lainnya dan adanya reaksi silang epitop dengan Enterobacteriacae yang dapat
menyebabkan hasil positif palsu. Uji ini masih digunakan, mengingat metode
diagnostik lain sangat mahal (Anonim, 2003a).
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk
mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah,
serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan feses. Polymerase chain
reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella serotipe typhi secara
spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam.
Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah, walaupun
laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang
tidak salah satupun dipakai secara luas (Soedarmo et al., 2008).
Tes diagnostik baru yang sedang berkembang yang dengan cepat, mudah
adalah tes IDL Tubex®, yang dapat mendeteksi antibodi IgM O9 dalam beberapa
menit. IDL Tubex® mempunyai sensitivitas dan spesifisitas >95% mendeteksi S.
typhi. Sensitivitas ditunjukkan dengan pemisahan partikel yang terwarnai secara
cepat didalam larutan dan spesifisitas ditunjukkan dengan pendeteksian antibodi
hanya dari satu antigen tunggal S. typhi. Antigen O9 spesifik, karena hanya
ditemukan dalam serogrup salmonella D tapi tidak pada organisme lainnya. Antigen
O9 mampu menstimulasi sel B tanpa bantuan sel T dan konsekuensinya respon
anti-O9 berlangsung dengan cepat. Selain itu juga terdapat tes Typhidot® yang mampu
mendeteksi antibodi spesifik IgM dan IgG yang melawan antigen S. typhi (Anonim,
2003a).
8. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi,
maka setiap individu harus memperlihatkan kualitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi. S. typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57˚C
untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57˚C beberapa menit secara
merata juga dapat mematikan kuman S. typhi. Penurunan endemisitas suatu negara /
daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan
pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Pada
anak, imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid
B. Penatalaksanaan Terapi Tifoid 1. Tatalaksana secara umum
Dalam menyeleksi terapi antimikrobial didasarkan pada beberapa faktor
yaitu sebagai berikut :
a. Menentukan dengan jelas cara penyebaran infeksi yang dapat menyebabkan
beberapa tingkatan penyakit (misalnya keparahan penyakit, penyakit autoimun).
b. Identifikasi bagian yang terinfeksi.
c. Secara langsung tanda dan gejala oleh dokter menjadi sumber yang penting.
Karena beberapa patogen yang diketahui berhubungan dengan bagian yang
terinfeksi, dengan terapi dapat secara langsung melawan organisme tersebut.
d. Tambahan tes laboratorium, meliputi bakteri gram positif atau negatif (bintik
gram), serologi, dan tes kepekaan antimikrobial, secara umum mengidentifikasi
patogen utama.
e. Meskipun beberapa antimikrobial secara potensial dapat dipertimbangkan,
spektrum aktifitasnya, kemanjuran secara klinik, profil efek samping, disposisi
farmakokinetik dan pertimbangan harga akhirnya merupakan pedoman untuk
pemilihan terapi.
f. Setiap agen obat yang dipilih, dosisnya harus didasarkan pada berat badan pasien,
bagian yang terinfeksi, rute eliminasi dan faktor-faktor lainnya (Kimble et al.,
2005).
Terapi suportif penting didalam tatalaksana demam tifoid, seperti hidrasi
dan transfusi darah jika diperlukan. Lebih dari 90% pasien dapat diobati di rumah
dengan antibiotika oral, perawatan yang terpercaya, dan tindakan lanjutan pengobatan
untuk komplikasi atau kegagalan respon terapi. Bagaimanapun, pasien yang muntah
terus menerus, diare berat dan distensi abdominal membutuhkan perawatan di rumah
sakit dan terapi antibiotik secara parenteral (Anonim,2003a).
Untuk beberapa kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan
cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul komplikasi
dapat dilakukan dengan seksama (Soedarmo et al., 2008).
2. Terapi Antimikrobial
Kemanjuran, ketersediaan dan harga adalah kriteria penting dalam
menyeleksi antibiotika lini pertama yang digunakan di negara-negara berkembang.
Perlu ditekankan bahwa strategi terapi untuk anak, seperti pemilihan antibiotik,
pengaturan dosis dan durasi terapi boleh jadi berbeda dengan dewasa (Anonim,
2003a).
Demam enterik yang disebabkan oleh serotipe typhi disebut demam tifoid,
namun bila disebabkan oleh serotipe lainnya, ini diartikan sebagai demam paratifoid.
Berikut adalah rekomendasi terapi antibiotik untuk demam enterik (tifoid maupun
Tabel I. Rekomendasi Terapi Antibiotik
Bakteri patogen Agen lini pertama Agen alternatif Salmonela
Demam enterik Siprofloksasin 500 mg secara oral dua kali sehari selama 3-14 hari (ofloksasin dan pefloksasin memiliki kemanjuran yang sama)
Azitromisin 1000 mg secara oral sehari, diikuti 500 mg sehari selama 5 hari; atau sefiksim, sefotaksim, dan
sefurok-sim; atau kloramfenikol 500 mg
empat kali sehari secara oral atau IV selama 14 hari a. Flurokuinolon
Fluorokuinolon merupakan golongan kuinolon terbaru yang memiliki cincin
piperazin yang berdekatan dengan substituen 6-fluoro yang mampu meningkatkan
aktivitas melawan bakteri gram negatif. Fluorokuinolon bekerja dengan menghambat
DNA girase sehingga menghambat lepasnya untai-untai DNA yang terbuka pada
proses superkoil (Neal, 2005).
Fluorokuinolon penetrasi mencapai jaringan, membunuh Salmonella typhi
pada tingkat stasioner intraseluler didalam monosit/makrofag dan mencapai
konsentrasi zat aktif yang lebih tinggi dalam kantung empedu daripada obat-obat
lainnya. Fluorokuinolon menghasilkan respon terapetik yang cepat, seperti
menghilangkan demam dan gejala-gejala dalam 3-5 hari, dan rendahnya laju karier
setelah pengobatan (Anonim,2003a).
Fluorokuinolon secara luas dianggap optimal untuk mengobati demam tifoid
pada dewasa. Golongan ini relatif murah, ditoleransi dengan baik dan lebih cepat dan
terpercaya efektif daripada obat-obat lini pertama, seperti kloramfenikol, ampisilin,
Bagaimanapun kelompok organisme dalam spesies (strains) yang multi drug resistant
(MDR), menurunkan pemilihan antibiotik di banyak daerah. Ada dua kategori
resisten obat yaitu: resisten terhadap antibiotik seperti kloramfenikol, ampisilin dan
trimetoprim-sulfametoksazol (MDR strains) dan resisten terhadap obat-obat
fluorokuinolon. Beberapa daerah di Asia juga melaporkan adanya isolat yang resisten
terhadap sefalosporin generasi ketiga.
Keberadaan fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin, fleroksasin,
perfloksasin, pefloksasin) sangat aktif dan kemanjurannya juga sama (kecuali
norfloksasin yang bioavailabilitas oral tidak adekuat dan tidak digunakan pada
demam tifoid). Siprofloksasin, ofloksasin, perfloksasin, dan fleroksasin secara umum
efektif, selain itu siprofloksasin, ofloksasin dan perfloksassin juga tersedia untuk
penggunaan intravena (Anonim,2003a).
b. Kloramfenikol
Kloramfenikol masih merupakan lini pertama pada pengobatan penderita
demam tifoid. Kloramfenikol memiliki aktifitas antimikrobial yang luas, menghambat
bakteri aerob dan anaerob gram positif dan gram negatif, juga bersifat bakteriostatik
terhadap Enterobacteriaceae sedangkan Salmonella typhi termasuk dalam famili ini.
Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat aktivitas peptidil transferase dari
subunit ribosom 50S yang berperan dalam sintesis protein bakteri (Brody, et al.,
1994).
Dosis yang dianjurkan untuk dewasa adalah 500 mg yang diberikan empat
Kelemahan penggunaan kloramfenikol adalah tingginya angka kejang, waktu
pengobatan yang lama (10-14 hari) dan frekuensi penemuan tingkat karier pada
dewasa (Anonim,2003a). Di Indonesia beredar pula dengan nama Tiamfenikol
(Anonim, 2000).
c. Penisilin
Golongan penisilin bekerja dengan mekanisme aksi menghambat sintesis
atau merusak dinding sel bakteri. Dalam terapi demam tifoid, jenis obat ampisilin dan
amoksisilin (sering disebut golongan aminopenisilin) juga digunakan, karena aktif
melawan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif termasuk spesies Salmonella
(Brody, et al., 1994).
Dosisnya 50-100 mg/kgBB/hari secara oral, intramuskular, atau intravena
yang terbagi dalam tiga atau empat dosis. Ampisilin memberikan respons perbaikan
klinis yang kurang apabila dibandingkan Kloramfenikol (Anonim,2003a). Dosis
amoksisilin untuk dewasa diberikan 250-500 mg setiap 8 jam atau 500-875 mg dua
kali sehari. Dosis ampisilin dewasa peroral yaitu 250-500 mg tiap 6 jam (Lacy, et al.,
2006).
d. Trimetoprim-sulfametoksazol
Kombinasi Trimetoprim-sulfametoksazol merupakan obat yang efektif
melawan infeksi saluran kemih, pernapasan dan gastrointestinal, namun juga
merupakan terapi efektif dalam melawan infeksi Salmonella sistemik (tifoid).
Trimetoprim bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase yang
aksi yang sinergistik dan meningkatkan aktifitas melawan bakteri tertentu (Brody, et
al., 1994).
Trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMZ) digunakan secara oral atau
intravena pada dewasa dengan dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali
sehari atau pada anak-anak 4 mg TMP/kg dan 20 mg SMZ/kg selama 14 hari
(Anonim,2003a).
e. Sefalosporin
Sefalosporin terdiri dari empat generasi atau turunan sebagai berikut:
(i) Sefalosporin generasi satu
Aktif melawan bakteri gram positif dan beberapa bakteri gram negatif.
Termasuk di dalamnya adalah obat sefalotin, sefazolin, sefadroksil,
sefaleksin, sefprozil, sefradin dan lorakarbef.
(ii) Sefalosporin generasi kedua
Aktif melawan bakteri gram positif namun lebih banyak gram negatif.
Termasuk didalamnya adalah obat sefamandol, sefuroksim, sefonisid,
sefoksitin, dan sefotetan.
(iii) Sefalosporin generasi ketiga
Aktif melawan bakteri gram negatif tapi kurang melawan bakteri gram
positif. Termasuk didalamnya adalah obat sefotaksim, seftriakson, sefiksim,
seftrisoksim, sefoperazon, seftazidim (Brody, et al., 1994).
(iv) Sefalosporin generasi keempat
Aktif melawan bakteri aerob gram negatif. Bila digabungkan dengan
sefalosporin generasi ketiga akan meningkatkan stabilitas dari hidrolisis
oleh plasmid dan kromosomal yang diperantarai β-laktamase. Termasuk
didalamnya adalah obat sefepim (Limbird, H., Ruddon, M., Gilman, 1996).
Mekanisme aksi sefalosporin yaitu dengan menghambat sintesis dinding sel
bakteri. Sefalosporin generasi ketiga (seperti seftriakson, sefiksim, sefotaksim, dan
sefoperazol) dan azitromisin juga obat yang efektif untuk tifoid (DiPiro, 2005).
Sefalosporin generasi ketiga yang digunakan biasanya Sefiksim oral (15-20
mg/kg/hari untuk dewasa, 100-200 mg dua kali sehari), obat lain seperti sefodoksim
juga baik melawan demam tifoid (Anonim,2003a).
Jika antibiotik intravena dibutuhkan, seperti golongan sefalosporin dapat
diberikan dengan dosis sebagai berikut: seftriakson, 50-70 mg/kg/hari (2-4 gram/hari
untuk dewasa) dalam satu atau dua dosis; sefotaksim, 40-80 mg/kg/hari (2-4
gram/hari untuk dewasa) dalam dua atau tiga dosis; sefoperazon, 50-100 mg/kg/hari
(2-4 gram/hari untuk dewasa) dalam dua dosis (Anonim,2003a).
f. Azitromisin
Azitromisin termasuk golongan makrolida yang bekerja dengan cara
menghambat sintesis protein bakteri karena berikatan dengan subunit 50S dan
menghambat proses translokasi (Neal, 2005).
Azitromisin dosis 500 mg (10 mg/kg) diberikan satu kali sehari selama 7
menurunkan demam dengan waktu yang sama dengan kloramfenikol. Dosis 1 gram
perhari selama 5 hari juga efektif bagi dewasa (Anonim,2003a).
Dewasa dan anak-anak dengan demam enterik yang berat ditandai dengan
delirium, obtundation, stupor, koma atau syok diberikan deksametason 1 mg/kg
setiap 6 jam untuk 24 atau 48 jam (DiPiro, 2005). .
Tiga macam vaksin melawan S.typhi yang telah dilisensi oleh negara
Amerika Serikat adalah: vaksin parenteral heat-phenol-inactivated (vaksin
tifoid,USP), vaksin oral (Ty21a, Vivotif Berna) dan vaksin polisakarida parenteral
(ViCPS, Typhim Vi). Ketiga vaksin ini mampu menjaga imunitas selama 3-5 tahun.
Vaksin parenteral inaktif lebih banyak sebabkan efek samping dibandingkan dua
vaksin lainnya namun perlindungannya bisa lebih lama. Vaksin Ty21a dan Vi
direkomendasikan bagi para pengunjung di daerah penyakit endemic dan kelompok
resiko tinggi (DiPiro, 2005).
C. Drug Therapy Problems (DTPs)
Identifikasi Drug Therapy Problems merupakan fokus penentuan dan
keputusan akhir yang dibuat dalam tahapan proses pelayanan pasien. Drug Therapy
Problems merupakan konsekuensi dari kebutuhan akan obat yang kurang tepat, yang
juga merupakan pusat dalam pharmaceutical care practice. Drug Therapy Problems
adalah suatu permasalahan atau kejadian yang tidak diharapkan atau yang
kemungkinan akan dialami pasien selama proses terapi akibat penggunaan obat,
bertanggungjawab untuk membantu pasien yang memerlukan tenaga profesional
dalam hal mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah yang dialami
pasien. Identifikasi Drug Therapy Problems merupakan pharmaceutical care yang
membuat diagnosis medis untuk pelayanan medis (Cipolle, Strand dan Moley, 2004).
Tabel II. Kategori dan Penyebab Umum Drug Therapy Problems(DTPs)
(Cipolle, et.al., 2004)
No. Jenis DTPs Penyebab Umum DTPs
1 Unnecessary drug
therapy
•Tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan saat itu
•Banyaknya produk obat yang digunakan untuk kondisi yang hanya membutuhkan terapi obat tunggal
•Kondisi medis lebih sesuai diobati tanpa terapi obat
•Terapi obat diberikan untuk mengobati adverse reaction yang dihubungkan dengan obat lain
•Penyalahgunaan obat, merokok, dan penggunaan alkohol dapat menjadi masalah
2 Need for additional drug therapy
•Kondisi medis membutuhkan terapi obat pada awalnya
•Pencegahan terapi obat dibutuhkan untuk mengurangi resiko berkembangnya kondisi baru
•Kondisi medis membutuhkan farmakoterapi tambahan untuk mencapai efek sinergis atau adiktif
3 Ineffective drug
•Obat yang digunakan tidak lebih efektif untuk mengatasi masalah medis
•Kondisi medis yang sukar disembuhkan dengan produk obat
•Bentuk sediaan dari produk obat yang tidak tepat
•Produk obat bukanlah produk yang efektif untuk indikasi yang dialami
4 Dosage too low
•Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan
•Interval dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan
•Interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif yang tersedia
•Durasi terapi obat yang terlalu pendek untuk menghasilkan respon yang diinginkan
5 Adverse drug reaction
•Produk obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis
•Produk obat yang lebih aman diperlukan terhadap faktor resiko
•Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis
•Cara pengaturan frekuensi dan jumlah obat (dosage regimen) yang terlalu cepat untuk diberikan atau terlalu cepat berubah
•Produk obat menyebabkan reaksi alergi
•Produk obat cenderung kontraindikasi dengan faktor resiko
6 Dosage too high
•Dosis terlalu besar
•Frekuensi pemakaian obat terlalu singkat
•Durasi terapi obat terlalu panjang
•Terjadi interaksi obat yang menghasilkan reaksi toksik dari produk obat
•Dosis obat diberikan terlalu cepat
7 Noncompliance
•Pasien tidak mengerti akan perintah
•Pasien memilih untuk tidak menggunakan obat
•Pasien lupa untuk menggunakan obat
•Produk obat terlalu mahal untuk pasien
•Pasien tidak dapat menelan atau memakai sendiri obat secara tepat
Untuk mengidentifikasi, menentukan dan mencegah terjadinya Drug
Therapy Problems, seorang praktisi kesehatan harus mengerti bagaimana Drug
Therapy Problems dapat muncul pada proses pengobatan pasien. Pasien yang
mengalami Drug Therapy Problems biasanya mempunyai tiga komponen utama,
yaitu :
a. Peristiwa yang tidak diinginkan atau resiko terhadap terapi yang diterima pasien
b. Terapi obat (obat dan/atau regimen dosis)
c. Hubungan yang terjadi (atau kemungkinan terjadi) antara peristiwa yang tidak
diinginkan pasien dengan terapi obat (Cipolle et al., 2004).
D. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi DTPs yaitu tidak butuh terapi
obat (unnecessary drug therapy), butuh tambahan terapi obat (need for additional
drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage
too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi
(dosage too high) pada pengobatan pasien tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan rancangan penelitian
Penelitian mengenai Evaluasi Kejadian DTPs pada pengobatan Pasien Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007 - Juni 2008 merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Penelitian non eksperimental merupakan penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri (variabel) subjek menurut keadaan apa adanya (in nature), tanpa adanya manipulasi atau intervensi peneliti (Pratiknya, 2001). Rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena penelitian hanya bertujuan melakukan eksplorasi deskriptif atau membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif, kemudian melakukan penilaian terhadap gambaran tersebut (Notoatmodjo, 2005) kemudian mengevaluasi data dari lembaran rekam medik berdasarkan studi pustaka kemudian dijabarkan dalam bentuk tabel. Penelitian ini menggunakan data secara retrospektif dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu, yaitu melalui lembar rekam medik pasien tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007- Juni 2008.
B. Definisi Operasional
1. Demam tifoid atau tifoid adalah yang menunjukkan tes Widal positif tifoid atau
paratifoid atau keduanya atau dengan kata lain berdasarkan diagnosa dokter
positif tifoid atau paratifoid atau keduanya.
2. Profil kasus penderita tifoid meliputi distribusi umur dan jenis kelamin.
3. Pola pengobatan kasus penderita tifoid digambarkan melalui kelas terapi obat,
golongan dan jenis obat yang digunakan berdasarkan buku acuan Informatorium
Obat Nasional Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7,
2007/2008.
4. Drug Therapy Problems (DTPs) adalah suatu keadaan yang tidak diinginkan yang
dialami oleh pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat sehingga dapat
mengganggu tercapainya tujuan terapi. DTPs dalam penelitian ini meliputi tidak
butuh terapi obat, butuh tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis
terlalu rendah, efek obat merugikan dan interaksi obat, dan dosis terlalu tinggi.
Interaksi obat diklasifikasikan menurut Cipolle,et al (1998).
5. Outcome adalah gambaran keadaan pasien saat meninggalkan Rumah Sakit Panti
Rini Kalasan Sleman setelah di rawat inap. Sembuh menunjukkan bahwa kasus
meninggalkan rumah sakit setelah melewati masalah-masalah perawatan pada
saat kasus dirawat atau dengan keadaan tidak lagi menunjukkan gejala-gejala
penyakit dan keluhan-keluhan. Membaik menunjukkan bahwa kasus
meninggalkan rumah sakit dengan keadaan yang sudah cukup baik, walaupun
menunjukkan bahwa kasus meninggalkan rumah sakit dengan keadaan belum
pulih, yang mana masalah-masalah perawatan belum tertangani secara tuntas,
sebagai contoh karena keinginan kasus ataupun keluarga untuk meninggalkan
rumah sakit secepat mungkin.
6. Lembar rekam medik adalah catatan medik pasien yang berisi tentang data nomor
rekam medik, umur, jenis kelamin, diagnosis masuk, diagnosis utama, diagnosis
lain, riwayat sakit pasien, riwayat alergi, lama perawatan, instruksi dokter, catatan
keperawatan, catatan penggunaan obat yang meliputi jenis obat, dosis obat, aturan
pakai obat yang diberikan selama terapi, dan hasil laboratorium yang didapatkan
di bagaian rekam medik Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman.
C. Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang digunakan adalah kasus dengan kategori remaja
hingga geriatri yaitu yang berumur diatas 11 tahun yang di rawat di instalasi rawat
inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman pada periode Juli 2007 - Juni 2008.
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medik kasus tifoid
atau demam tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman
E. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rini,
Jalan Solo Km. 12,5 Tirtomartani Kalasan Sleman Yogyakarta.
F. Tata Cara Penelitian
Ada tiga tahapan yang dijalani dalam penelitian ini, yaitu tahap
perencanaan, tahap pengumpulan data dan tahap penyelesaian data.
1. Tahap perencanaan
Pada tahap ini dimulai dengan menentukan dan menganalisis masalah yang
akan digunakan sebagai bahan penelitian, kemudian dilakukan analisis situasi yaitu
survei jumlah kasus tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan
Sleman pada periode Juli 2007 - Juni 2008 dan mengurus perijinan untuk melihat data
rekam medik kasus tersebut.
2. Tahap pengumpulan data
Pada tahap pengumpulan data diawali dengan melakukan penelusuran data
kasus tifoid selama periode Juli 2007-Juni 2008 kemudian dilakukan pengumpulan
data rekam medik dan mencatat data kedalam lembar laporan.
a. Proses pencarian data diperoleh dengan melihat laporan instalasi rekam medik,
yang memuat laporan mengenai jumlah kasus tifoid pada Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008. Selanjutnya dilakukan
b. Pencatatan data kedalam lembar laporan dilakukan dengan melihat data yang
tertera pada data rekam medik kasus tifoid tersebut. Data yang diambil meliputi
data nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, diagnosis masuk, diagnosis
utama, diagnosis lain, riwayat sakit pasien, riwayat alergi, lama perawatan,
instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan penggunaan obat yang meliputi
jenis obat, dosis obat, rute pemakaian obat, aturan pakai obat yang diberikan
selama terapi, dan hasil laboratorium.
3. Tahap Penyelesaian data a. Pengolahan data
Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel umum dengan
beberapa keterangan yang meliputi keterangan identitas kasus terkait umur,
jenis kelamin, diagnosis, keluhan masuk, lama perawatan, nama dan dosis
obat, lama pemakaian obat dan outcome kasus tifoid. Dari tabel ini
kemudian disajikan dalam bentuk diagram yang menampilkan distribusi
umur, jenis kelamin, dan outcome kasus. Kemudian pola pengobatan kasus
tifoid yang meliputi distribusi kelas terapi, golongan dan jenis obat serta
evaluasi mengenai Drug Therapy Problems yang dijabarkan menggunakan
metode Subjective, Objective, Assessment and Recommendation disajikan
dalam bentuk tabel.
b. Evaluasi data
Pola pengobatan kasus tifoid yang meliputi distribusi kelas terapi, golongan
Nasional Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7,
2007/2008. Evaluasi pengobatan tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Panti Rini dilakukan dengan mengidentifikasi Drug Therapy Problems
(DTPs) yang terjadi berdasarkan penelusuran pustaka Drug Information
Handbook 14th edition (Lacy et.al., 2006), British National Formulary 48,
Drug Interaction Fact (Tatro, 2006), Informatorium Obat Nasional
Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7,
2007/2008. Evaluasi dilakukan secara kasus per kasus.
G. Tata Cara Analisis Hasil Untuk tata cara analisis hasil dilakukan sebagai berikut :
1. Profil kasus penderita tifoid
a. Persentase distribusi umur kasus dikategorikan ke dalam tiga kelompok
yaitu kelompok remaja (12-16 tahun), dewasa (17 - < 65 tahun) dan geriatri
(≥ 65 tahun), yang dihitung dengan cara membagi jumlah kasus pada tiap
kelompok usia dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.
b. Persentase jenis kelamin dikelompokkan menjadi jenis kelamin laki-laki dan
perempuan, dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap
kelompok jenis kelamin dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian
2. Pola pengobatan kasus tifoid
a. Persentase kelas terapi obat dikelompokkan menjadi delapan kelas terapi,
dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus yang mendapat obat
pada kelas terapi tertentu dengan jumlah keseluruhan kasus dalam penelitian
kemudian dikalikan 100%.
b. Persentase jenis obat yang digunakan pada masing-masing kelas terapi
dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap jenis zat aktif
dalam kelas terapi tertentu dengan jumlah keseluruhan kasus yang
mendapat jenis obat pada kelas terapi tersebut kemudian dikalikan 100%.
3. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) diawali dengan penghitungan
persentase terjadinya DTPs dan tidak terjadinya DTPs dari keseluruhan kasus
yang dianalisis kemudian dilakukan pembahasan masing-masing kasus dengan
menggunakan metode Subjective, Objective, Assessment and Recommendation
karena penelitian bersifat retrospektif. Bagian Subjective diterangkan mengenai
jenis kelamin, usia, diagnosis masuk, diagnosis utama, diagnosis lain (bila ada),
keluhan utama, penyakit yang pernah diderita, riwayat penyakit keluarga,
riwayat alergi, keadaan umum, dan outcome kasus. Bagian Objective
digambarkan dengan tabel mengenai data laboratorium maupun tanda vital yang
dilengkapi dengan pemberian terapi selama perawatan, sedangkan DTPs akan
dijabarkan pada Assessment yang kemudian akan dipecahkan melalui
Rekomendasi. Sesudah dilakukan pembahasan tiap kasus, kemudian dirangkum
DTPs beserta jenis obat disertai penilaian dan Recommendation terhadap
terjadinya Drug Therapy Problems.
4. Outcome kasus tifoid terbagi dalam tiga golongan yaitu sembuh, membaik dan
belum sembuh, yang persentase tiap golongan dihitung dengan cara membagi
jumlah kasus pada tiap golongan outcome dengan jumlah keseluruhan kasus
kemudian dikalikan 100%.
H. Kesulitan Penelitian
Selama pengumpulan data hingga penyelesaian data, peneliti menemui
beberapa kesulitan, antara lain: kurangnya pengalaman peneliti dalam membaca
tulisan dokter maupun perawat pada lembar rekam medik, dan terdapat beberapa
istilah maupun lokal terminologi dalam lembar rekam medik yang tidak dimengerti
oleh peneliti. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat diatasi dengan bantuan perawat
maupun petugas administrasi rekam medik di Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit
Panti Rini Kalasan Sleman.
Kesulitan lain juga dihadapi peneliti saat melakukan evaluasi data. Hal ini
dikarenakan terdapat beberapa data yang tidak lengkap dalam lembar rekam medik,
seperti dosis obat, catatan perjalanan penyakit pasien, dan beberapa data
laboratorium. Kesulitan yang dihadapi dalam penelitian ini juga diakibatkan karena
penelitian dilakukan secara retrospektif dimana peneliti tidak dapat mengamati
perkembangan kondisi pasien yang sebenarnya berkaitan dengan analisis DTPs yaitu
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang diangkat dengan judul “Evaluasi Drug Therapy Problems
pada Pengobatan Pasien Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007- Juni 2008” ini terbagi dalam empat kategori yang memuat tentang profil kasus penderita tifoid, pola pengobatan kasus penderita tifoid, evaluasi Drug Therapy Problems(DTPs) dan outcome kasus penderita tifoid di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini.
Profil kasus penderita tifoid dibagi dalam 2 subkategori yang dibagi berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin. Pada pola pengobatan kasus penyakit tifoid terbagi dalam 3 subkategori yang memuat tentang pembagian obat berdasarkan kelas terapi, golongan dan jenis obat. Pada evaluasi DTPs akan diterangkan dengan menggunakan metode Subjective, Objective, Assessment, and Recommendation yang ditampilkan dalam bentuk tabel. Pada outcome kasus penderita tifoid akan terbagi dalam 3 subkategori yaitu sembuh, membaik dan belum sembuh yang menunjukkan keadaan kasus saat keluar rumah sakit.
Pada penelitian ini, evaluasi dilakukan pada 45 kasus penderita tifoid yang dirawat di instalasi rawat inap rumah sakit Panti Rini Kalasan, Sleman.