• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Perlu penataan ulang kebijakan nasional secara menyeluruh yang menjadi akar permasalahan degradasi dan kebakaran lahan dan hutan gambut, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi politik kebakaran dan aspek kejahatan lingkungan di tingkat lokal, nasional dan regional. Fenomena yang terjadi saat ini sudah memasuki aspek keamanan dan ketahanan nasional (national security and resilience) baik dari segi ekonomi, lingkungan maupun hubungan antar-negara. Langkah antisipatif harus dilakukan untuk menanggulangi kebakaran yang ada sekarang dan mencegah terulangnya kejadian ini pada tahun-tahun mendatang.

2. Perlu dilakukan penataan ulang pengelolaan ekosistem gambut secara komprehensif yang sifatnya permanen. Namun demikian perlu diatasi adanya persoalan pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem gambut yang dikaitkan dengan governance

dalam perspektif pencegahan degradasi dan kebakaran lahan gambut. Ketiadaan

(vacuum) pengetahuan harus diisi, agar proses pengambilan keputusan dapat berlangsung secara tepat dilandaskan pada ilmu pengetahuan. Dihindari jangan sampai kebijakan yang dibuat akibat pemanfaatan lahan gambut mempunyai dampak negatif yang luas.

3. Pemerintah perlu membangun “persepsi krisis yang sama” terhadap kondisi sumber daya alam termasuk ekosistem gambut. Sangat penting untuk membangun perubahan

mindset dan komitmen yang sama diantara jajaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, para pengusaha, ilmuwan dan peneliti, LSM serta masyarakat.

4. Untuk penataan ulang pengelolaan

ekosistem gambut perlu memperhatikan unit pengelolaan dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dan perlu menetapkan fungsi lindungnya dengan mempertahankan kubah gambut yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan air serta penataan ulang

kanal-kanal yang sudah terbangun saat ini. Penataan ulang tersebut ditujukan agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun, kelembaban pada lahan gambut selalu terjadi, terhindar dari banjir dan kekeringan serta kebakaran.

5. Perlu dilakukan pemetaan regulasi secara menyeluruh yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. hal ini akan dijadikan landasan untuk sinkronisasi dan penyempurnaan regulasi terutama dari perspektif pencegahan degradasi dan kebakaran lahan gambut.

6. Perlu mendelineasi kawasan dengan fungsi lindung dan budidaya pada setiap kubah gambut berdasarkan long term impact projection (sampai 50 – 100 tahun ke depan) untuk menghindari:

1) Alokasi fungsi budidaya yang pada akhirnya berakibat pada umur pakai yang pendek (drainage elevation limit tercapai dalam waktu yang pendek).

2) Kawasan dengan fungsi lindung terkena dampak besar dari kawasan fungsi budidaya sekitarnya (creeping impact). 3) Beneit jangka panjang yang hilang

melebihi beneit jangka pendek. Kajian

long term impact projection perlu dilakukan oleh suatu tim multidisiplin, minimal: ahli lingkungan, ahli gambut, ahli hidrologi dan ahli ekonomi.

7. Mengkaji ulang pakem 30% kawasan fungsi lindung. Bila suatu kawasan fungsi lindung pada kubah gambut tidak bisa lestari (berdasarkan long term impact projection) maka proporsi ini perlu dinaikkan.

8. Segera dibuat turunan PP No. 71 /2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, antara lain berupa:

a. Pedoman rehabilitasi dan restorasi ekosistem gambut yang telah terdegradasi dengan tujuan utama membasahi gambut sebagai langkah awal dalam pemulihan,

b. Pedoman teknis tata kelola air pada lahan gambut,

c. Pedoman pemantauan status pengelolaan ekosistem gambut oleh penanggung jawab usaha.

9. Perlu implementasi pedoman bagi pemerintah pusat dan daerah sebagai dasar pembinaan, pemantauan dan pengawasan, serta perlu dilakukan pembinaan kepada dunia usaha dan masyarakat untuk mengoperasionalkan pedoman.

10. Perlu ada tindakan tegas dari Menteri terhadap tim yang bertugas memantau kejadian kebakaran, karena terdapat perbedaan yang cukup besar antara luas area yang terbakar tahun 2015 dengan hasil rekapitulasi per provinsi dengan keadaan di lapangan. Hal ini dimaksudkan agar proses penegakan hukum dan pencegahan kebakaran berjalan efektif.

11. Perlu dilakukan inventori perizinan secara menyeluruh yang terletak pada lahan gambut termasuk monitoring tentang pola pengelolaan ekosistem gambut dan status kualitas ekosistem gambut pada perusahaan didasarkan pada syarat-syarat yang diberlakukan. Dari hasil monitoring tersebut, apabila tidak memenuhi syarat, maka izin akan dicabut.

12. Perlu pengetatan terhadap Penundaan Pemberian Izin Baru Pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Pengawasan terhadap Moratorium / Penundaan Pemberian Izin Baru Pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut harus lebih di kuatkan baik di level pusat maupun daerah. Perusahaan yang telah memiliki Ijin harus segera direview untuk menghindarkan pembukaan lahan di Hutan alam dan lahan Gambut.

13. Penataan ulang konsesi yang sudah terlanjur berada di lahan gambut dan berdempetan / berdampingan dengan kawasan konservasi maupun terletak pada lahan gambut dengan fungsi lindung. Konsesi yang sudah terlanjur berada di lahan gambut dan berdempetan / berdampingan dengan kawasan konservasi maupun terletak pada lahan gambut dengan

fungsi lindung harus ditata ulang untuk dirubah menjadi bagian dari buffer zone yang melindungi kawasan konservasi.

14. Menghentikan sementara seluruh aktiitas di

konsesi yang ada di gambut, sampai peta satu kesatuan hidrogis gambut dan peta kawasan lindung dan budidaya di lahan gambut selesai dibuat.

15. Perlu sistem monitoring yang baik dan dilaksanakan secara terus menerus dengan melibatkan pemda dan masyarakat secara proaktif, dengan memperkuat early warning system. Konsentrasi penanganan siaga darurat pada 7 (tujuh) provinsi yaitu: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.

16. Perlu dilakukan pemetaan yang harus masuk dalam sistem one map policy antara lain tentang :

a. pemetaan kesatuan hidrologi gambut (KHG),

b. pemetaan seluruh lahan gambut dan non gambut, baik milik pemerintah, konsesi swasta, adat maupun individu (yang potensial akan dialihfungsikan untuk menjadi lahan perkebunan; indikasi lokasi tidak jauh dari Mills PKS, pertanian dan HTI).

c. pemetaan tingkat degradasi atau kerusakan gambut,

d. pemetaan konigurasi kanal-kanal yang

ada ,

e. pemetaan rehabilitasi dan restorasi yang perlu dilakukan.

f. pemetaan titik – titik lokasi MILLS pengolahan kelapa sawit (koordinat, nama desa, nama pemilik usaha), sebagai indikasi akan terjadinya potensi pembukaan lahan di sekitarnya untuk kebun sawit;

g. pemetaan sebaran dan lokasi titik hot spot sejak masa lalu hingga kini (sejarah hot spots).. Karena bahan bakar (sisa tanaman yang belum habis terbakar),

akan terbakar kembali saat musim kemarau yang akan datang.

17. Pasal 49 UU No. 41 / 1999 berbunyi

"Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya” harus diterapkan sebagai langkah pertama jika terjadi kebakaran. Peta penguasaan lahan dan tanggung jawab kebakaran lahan harus segera dibuat untuk memastikan insentif dan disinsentif pengelolaan lahan, hutan dan gambut untuk implementasi pasal 49 ini dan menyongsong pengurangan kebakaran pada tahun 2016. 18. Perlu memfokuskan juga pikiran dan

tindakan untuk memulihkan kembali lahan gambut yang sudah terdegradasi atau rusak, dengan memperluas pelaksanaan tabat / sekat dan penanaman vegetasi yang adaptif di lahan gambut. Pemulihan kerusakan perlu mempertimbangkan hasil kajian / penelitian, belajar dari keberhasilan dan kegagalan yang telah dilakukan beberapa pihak, serta mempertimbangkan penguatan masyarakat. 19. Perlu ada aturan dan direktif untuk konsesi

yang sudah ada tentang penataan ulang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut antara lain meliputi kewajiban yang harus dilakukan, infrastruktur yang harus dimiliki, personil yang memadai untuk operasional dalam pencegahan, penanggulangan dan pemulihan ekosistem gambut di area konsesinya.

20. Perlu pengawasan secara konsisten dan terus menerus dengan format yang ditentukan kemudian.

21. Perlu penguatan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam pengawasan penerapan instrumen pencegahan dan penanggulangan degradasi dan kebakaran ekosistem gambut. Kapasitas KLHK, kejaksaan, kepolisian dan hakim untuk mengatasi kejahatan lingkungan perlu ditingkatkan melalui pelatihan dan kerjasama

dengan KPK. KLHK bekerja sama dengan pemerintah daerah, kepolisian dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyelidiki dugaan terjadinya kejahatan lingkungan yang terorganisasi (organized crime) di semua tingkat dalam pembakaran dan transaksi kepemilikan lahan.

22. KLHK dan pemerintah daerah meyakinkan DPR dan DPRD untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk pencegahan kebakaran (fire prevention – 80%) daripada pemadaman kebakaran (fire suppression - 20%). Kerugian kebakaran di setiap provinsi setiap tahun bisa mencapai angka belasan trilyun rupiah. Investasi untuk pencegahan kebakaran untuk seluruh Indonesia harus mencapai angka puluhan trilyun rupiah. Dana ini bisa bersumber pada anggaran pemerintah pusat dan daerah, pihak swasta dan bantuan pihak lain yang tidak mengikat. 23. Memastikan perusahaan menjalankan good

corporate governance untuk mencegah staf dan pihak yang terkait dengan perusahaan tersebut mencari keuntungan pribadi dalam pengelolaan lahan termasuk pembakaran lahan, transaksi lahan dan kepemilikan lahan secara tidak legal dan tidak etis.

24. Perlu dibangun interaksi dan kolaborasi yang kuat untuk pengelolaan ekosistem gambut yang terintegrasi dalam satu kesatuan hidrologis gambut, untuk perlindungan air maupun berbagi air antar pihak yang memanfatkan ekosistem gambut.

25. Perlu membangun publikasi dan display yang tepat dan efektif terutama untuk tujuan

awareness bagi seluruh stakeholder sesuai dengan kelompok sasarannya, termasuk kelompok sasaran generasi lingkungan. 26. Perlu memperkuat ketahanan masyarakat

dengan membangun aliansi masyarakat di masing-masing layer terutama yang sudah mempunyai kelembagaan yang baik.

27. Perlu mempelajari fenomena sosial dalam penanganan pencegahan dan pemulihan ekosistem gambut paska kebakaran.

28. membuat tim kecil untuk merangkum rencana kerja dan perumusan kebijakan yang relevan dengan panataan ulang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut terutama dari perspektif pencegahan.

29. meminta pandangan khusus dari senior karena sudah termasuk ke dalam Keamanan Nasional.

30. partisipasi publik secara aktif harus dibuka, untuk mewujudkan tata kelola yang akuntabel berupa keterbukaan informasi atau transparansi data.

31. Perlu tanggung jawab bersama antara Indonesia, Singapura dan Malaysia dalam penanggulangan dan pencegahan kebakaran dan asap yang bisa diwujudkan dalam aksi kerjasama bilateral maupun regional (ASEAN).

Dokumen terkait