• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Penyiksaan

Dalam dokumen Catatan R KUHP Final (Halaman 89-96)

Tindak pidana Penyiksaan merupakan aturan yang baru dalam hukum pidana Indonesia secara keseluruhan. Kemunculan pengaturan mengenai tindak pidana penyiksaan ini tidak lepas dari kewajiban Indonesia setelah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (Konvensi) melalui UU Nomor 5 Tahun 1998.115 Dalam Konvensi tersebut disebutkan bahwa salah satu kewajiban Negara Pihak adalah mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai kejahatan penyiksaan.

Dalam R KUHP, kejahatan penyiksaan diatur dalam dua Pasal, yaitu dalam Bab XXXII tentang Tindak Pidana Jabatan dalam Pasal 669116, yang menyebutkan:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun setiap pejabat atau orang-orang lain yang bertindak dalam suatu kapasitas pejabat resmi atau setiap orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan seorang pejabat publik, yang melakukan perbuatan yang menimbulkan penderitaan atau rasa sakit yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang dengan tujuan untuk memperoleh dari orang tersebut atau pihak ketiga informasi atau pengakuan, menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau dicurigai telah dilakukan atau dengan tujuan untuk melakukan intimidasi atau memaksa orang-orang tersebut atau atas dasar suatu alasan diskriminasi dalam segala bentuknya.

Berdasarkan rumusan tersebut bisa dilihat elemen-elemen utamanya yakni: a. setiap pejabat atau

b. orang-orang lain yang bertindak dalam suatu kapasitas pejabat resmi atau

c. setiap orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan seorang pejabat publik

d. Melakukan perbuatan yang menimbulkan penderitaan

e. atau rasa sakit yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang f. dengan tujuan untuk memperoleh dari orang tersebut atau pihak ketiga g. informasi

h. atau pengakuan,

i. menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau dicurigai telah dilakukan

j. atau dengan tujuan untuk melakukan intimidasi k. atau memaksa orang-orang tersebut

l. atau atas dasar suatu alasan diskriminasi dalam segala bentuknya

115

UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).

116

Rumusan ini bila dilihat secara sepintas hampir sama dengan rumusan dengan Pasal 1 Convention against Torture, and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, namun jika dilihat lebih cermat rumusan ini juga mengurangi pengertian dari Konvensi tersebut. Pasal 1 ayat (1) Konvensi, yang menyebutkan:

Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konvensi, penyiksaan terdiri dari lima elemen penting, yakni:

a. rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani; b. dilakukan dengan sengaja;

c. untuk memperoleh pengakuan atau keterangan, menghukum, atau mengancam atau memaksa, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi; d. ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat

publik;

e. tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.

Rumusan dalam Pasal 669 R KUHP ini sebagaimana kewajiban terhadap ratifikasi konvensi, seharusnya tidak mengurangi pengertian penyiksaan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi,117 Tampak bahwa rumusan dalam R KUHP telah menghilangkan beberapa rumusan penting yang berkaitan dengan penyiksaan. Di antaranya: menghilangkan kata e ga a ,

persetujua , dankalimat terakhir Pasal 1 ayat (1) Konvensi, yakni: Hal itu tidak eliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sa ksi huku ya g erlaku . Adanya penghilangan kata dan kalimat kunci dari pengertian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi akan mengurangi makna dari kejahatan penyiksaan itu sendiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan tindak pidana penyiksaan di dalam R KUHP walaupun telah mencoba mengadopsi dari konevnsi namun belum sejalan dengan ketentuan Konvensi Menentang Penyiksaan.

Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 669 R KUHPidana, ketentuan tersebut e upaka ti dak pida a a g dike al de ga a a To tu e . Ti dak pida a i i sudah e jadi salah satu tindak pidana internasional melalui konvensi internasional Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 10 December … . Apa ila kita pe hatika se a a seksa a, judul da i Ko e si Me e ta g Pe iksaa

117

pada hakikatnya tidak hanya mengatur mengenai kejahatan penyiksaan, tetapi juga perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Disamping itu, sangat disayangkan, ketentuan Pasal 669 R KUHP hanyalah memberikan penekanan atas kejahatan penyiksaan menurut Pasal 1 Konvensi dan tidak mengatur mengenai jenis kejahatan yang kedua sebagaimana tercantum di dalam Pasal 16 ayat (1) Konvensi yang berbunyi:

Setiap Negara Pihak harus berusaha untuk mencegah, di dalam wilayah jurisdiksinya, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1, apabila tindakan semacam itu dilakukan oleh, atau atas hasutan dari, atau dengan persetujuan atau sepengetahuan, seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik. Secara khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam Pasal 10, 11, 12 dan 13 berlaku sebagai pengganti acuan pada tindak penyiksaan atau acuan pada perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.

Pasal 16 menjadi penting terkait dengan kriminalisasi terhadap kejahatan-kejahatan lain yang tidak jatuh dalam kategori kejahatan penyiksaan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi. Memang Pasal 669 R KUHP telah secara parsial, mengadopsi definisi penyiksaan dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi, namun hal itu tidaklah cukup. Oleh karena itu, seharusnya R KUHP, a g a ti a aka e pe a se agai pa u g huku da i se ua pe atu a pe u da g- undangan di Indonesia, mengadopsi ketentuan-ketentuan Konvensi Menentang Penyiksaan secara komprehensif.

Kejahatan penyiksaan memang harus dibedakan dari bentuk perlakuan sewenang-wenang (ill- treatment) lainnya, karena terdapat kewajiban-kewajiban hukum pidana yang melekat secara khusus pada penyiksaan, misalnya penerapan jurisdiksi universal. Satu-satunya sumber yang dapat dipakai sebagai acuan secara universal berkaitan dengan definisi penyiksaan adalah Konvensi Menentang Penyiksaan. Namun, Konvensi ini masih dirasa kurang memadai karena Konvensi ini tidak menyediakan definisi yang jelas mengenai perlakuan sewenang-wenang lainnya.118

Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee), melalui Komentar Umum No. 20, e ataka ah a Ko e a tidak e uat defi isi apapu e ge ai ko sep a g te akup dalam Pasal 7, dan Komite tidak menganggap bahwa adalah penting untuk menyusun sebuah daftar tentang tindakan-tindakan yang dilarang atau untuk menetapkan pembedaan yang tajam antara pelbagai jenis penghukuman atau perlakuan; pembedaan akan tergantung pada sifat dasar, tujua da kekeja a pe lakua .119 Hal serupa juga ditegaskan oleh Sir Nigel Rodley, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, mengedepankan tiga bagian terkait dengan definisi penyiksaan, yakni: (1) intensitas relatif dari kesakitan atau penderitaan yang

118

Sejak tahun 2000, Komite Menentang Penyiksaan (CAT) mulai mendiskusikan perlu atau tidaknya mengadopsi satu Komentar Umum (General Comment) tentang Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan. Komentar Umum ini menjadi penting di dalam pengimplementasian Konvensi Menentang Penyiksaan di dalam hukum domestik Negara-Negara Pihak pada Konvensi.

119

Komentar Umum No. 20: Menggantikan Komentar Umum No. 7 mengenai Pelarangan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam (Pasal 7), Sesi ke-empatpuluh empat, 10/03/92.

ditimbulkan; (2) tujuan dari kesakitan atau penderitaan itu; dan (3) status si pelaku, misalnya pelaku bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik.120

Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan marta at a usia pada u u a di edaka da i ti gkat kekeja a da tujua . Ba ak pe dapat a g e gi te p etasika pe iksaa se agai e tuk perlakua

yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dengan tingkat kekejaman (severity) yang jauh le ih erat .121 Akibatnya, perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dianggap sebagai bentuk perlakuan sewenang-wenang yang tidak cukup serius untuk dikategorikan sebagai penyiksaan.122 Lebih lanjut, perlakuan yang merendahkan dapat diklasifikasikan sebagai perlakuan yang tidak manusiawi, dan jika sudah mencapai taraf yang paling serius, dapat diklasifikasikan sebagai penyiksaan. Bertolak belakang dari beberapa pendapat tersebut di atas, beberapa pakar menganggap bahwa pendekatan ti gkat kekeja a da tujua sa gat p o le atik da pe e tuka hi a ki a ta a penyiksaan dan bentuk-bentuk lain dari perlakuan sewenang-wenang (ill-treatment) harus dihindari.123

Berbagai pendekatan terhadap definisi penyiksaan juga telah dipakai, baik oleh badan-badan internasional maupun regional. Sebagai contoh, Komite tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Komite Hak Asasi Manusia (HRC) melihat mutilasi alat kelamin perempuan (Female Genital Mutilation, FGM) dari sudut pandang yang berbeda. CEDAW, berdasarkan Rekomendasi Umum No. 14 dan 19124, mempertimbangkan FGM sebagai bentuk diskriminasi, bukan penyiksaan atau perlakuan sewenang-wenang. Sedangkan HRC mempertimbangkan FGM sebagai berdasarkan Komentar Umum No. 20 mengenai Pelarangan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Pasal 7 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik).125 Dalam konteks hukum pidana Indonesia, khususnya R KUHP, masuknya ketentuan mengenai perlakuan sewenang-wenang lainnya di luar penyiksaan sangat penting mengingat definisi penyiksaan yang cukup sempit. Oleh karena itu, beberapa catatan penting perlu diberikan berkenaan dengan Pasal 669 R KUHP, yaitu: Pertama, jika merupakan R KUHP dipandang sebagai satu bentuk implementasi dari dan sebagai konsekuensi atas ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dalam UU No. 5 tahun 1998, maka kejahatan ini tidak perlu ditempatkan dalam BAB XXXII walaupun kejahatan ini termasuk ke dalam international crime dan bahkan serious crime126 tetapi lebih tepat ditambahkan atau disandingkan dengan kejahatan penganiayaan agar dapat

120

Lihat Christian M. De Vos, Mind the Gap: Purpose, Pain, and the Difference between Torture and Inhuman Treatment, hlm. 1. Tersedia di www.wcl.american.edu/hrbrief/14/2devos.pdf?rd=1.

121

Lihat Greek Case dan Ireland v UK, www.worldlii.org.

122

Lihat Pasal 1 Deklarasi PBB tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Dijadikan Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Declaration on the Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), disahkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 3452 (xxx), 09 Desember 1975.

123

Lihat Association for the Prevention of Torture, the Definition of Torture: Proceedings of an Expert Seminar, APT, Geneva, 2001, hlm. 18.

124

Lihat CEDAW General Recommendation No. 14 (ninth session, 1990), Fe ale Cir u isio dan General Recommendation No. 19 (eleventh session, 1992), Viole e agai st Wo e .

125

Lihat General Comment No. 20: Replaces General Comment 7concerning Prohibition of Torture and Cruel Treatment or Punishment (Art. 7), 10/03/92.

126

Lihat Princenton Principles, P i iple : “e ious C i es U de I te atio al La , uti a g e u i: Fo purposes of these principles, serious crimes under international law include: (1) piracy; (2) slavery; (3) war crimes; (4)

menjangkau pejabat publik orang yang bertindak dalam kapasitas publik. Hal ini dimaksudkan agar lebih mengekfektifkan ketentuan tentang larangan penyiksaan yang memang sudah ada (punishable) dalam hukum pidana semua negara127. Kedua, agar sesuai dengan judul lengkap Konvensi, yaitu UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatmen or Punishment, maka perlu juga dimasukkan ketentuan mengenai perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.

127

Pasal Catatan Rekomendasi Pasal 669

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun setiap pejabat atau orang-orang lain yang bertindak dalam suatu kapasitas pejabat resmi atau setiap orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan seorang pejabat publik, yang melakukan perbuatan yang menimbulkan penderitaan atau rasa sakit yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang dengan tujuan untuk memperoleh dari orang tersebut atau pihak ketiga informasi atau pengakuan, menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau dicurigai telah dilakukan atau dengan tujuan untuk melakukan intimidasi atau memaksa orang-orang tersebut atau atas dasar suatu alasan diskriminasi dalam segala bentuknya.

kata rasa sakit yang hebat berasal dari kata se e e a g dapat dia tika dalam bahasa Indonesia, berat, hebat, keras, bengis atau sangat. Namun tidak diperlukan pengertian rasa sakit yang berat yang berakibat gangguan tetap pada fisik atau mental supaya masuk dala katego i e at atau de ga kata lain, dapat mencakup pula, adanya tekanan atau kasarnya perbuatan, atau periode perbuatan dilakukan.

Rumusan dalam RUU KUHP telah menghilangkan beberapa rumusan penting yang berkaitan dengan penyiksaan. Di antaranya: menghilangkan kata e ga a

u tuk e ga tika melakukan

i ti idasi

Pasal 1 ayat (1) Konvensi, yang menyebutkan:

U tuk tujua Ko e si i i, istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi

Diselaraskan dengan ketentuan Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan

huku a g e laku.

Adanya perubahan kata dan kalimat kunci dari pengertian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi harus dipastikan sama maksudnya agar tidak mengurangi makna dari kejahatan penyiksaan itu sendiri.

Perlu juga dimasukkan ketentuan mengenai perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia

Bagian Ke 5

Dalam dokumen Catatan R KUHP Final (Halaman 89-96)