• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.2 Tindak Tutur Konvivial

2.2.1 Tindak Tutur Konvivial Mengajak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018: 28), mengajak adalah a) meminta (menyilakan, menyuruh, dan sebagainya) supaya turut (datang dan sebagainya), b) menantang (berkelahi dan sebagainya), c) membangkitkan hati supaya melakukan sesuatu. Dapat disimpulkan mengajak berarti meminta atau membangkitkan perasaan orang lain agar melakukan sesuatu. Berikut ini dijabarkan contoh wacana yang berjenis konvivial mengajak.

(3) Henry Ford… ini bukan yang menciptakan mobil ya, tapi yang mengindustrialkan mobil. Dia yang memustuskan untuk membuat industri mobil, mobil dalam jumlah banyak. Hendry Ford konon kabarnya pernah punya sebuah kutipan dia bilang “Kalau saya tanya apa yang konsumen saya mau, jawabanya adalah kuda-kuda yang lebih cepat.” Kenapa? Karena saat itu mobil hanya dimiliki ama orang kaya, yang menengah kebawah, naiknya kuda. Mereka nggak tau apa-apa kan tentang mobil kan, orang mereka nggak mampu. Justru Hendry Ford bilang, “Ah kayanya gua mau produksi massal supaya biayanya bisa rendah, supaya orang bisa beli,” gitu. Nah kalau ditanya sama konsumennya, “Eh kalo lu dari titik A ke titik B, kira-kira lu butuh improvement apa nih biar lebih baik?” Gitu. Pasti jawabannya, “Kuda-kuda yang lebih cepat.” Tapi nggak kan, Hendry Ford memutuskan untuk berinovasi. Tapi lu bayangin kalau misalkan Hendry Ford nurut kata konsumennya, nggak akan pernah ada industri mobil, lu semua kesini naik kuda. Lu kesini ni, naik kuda, lu parkir kuda lo. Pulang acara, Lu ke parkiran lu bingung, kuda gua yang mana ni? Kuda kan, kalau nggak putih, cokelat, item. Akhirnya, kuda-kuda pada dimodif. Ada kuda ceper. “Heh, kuda lu ceper?”/ “Yoi, gua potong kakinye.” “Berangkat dulu yaa…” Kudanya… Kudanya, melata… “Etukutuktuk” Gitu. Nggak ada yang mau parkir di basement karena bau tai kuda. Mahasiswa turun ke jalan…”Turunkan harga rumput dunia!” Ada polisi nyetop, “Mohon maaf pak, bole lihat SIM dan STNK?” “Mm sorry banget ni pak ya, ini di STNK bapak tulisannya kuda bapak cokelat nih, saya lihat io metalik pak.”/ “Saya modif pak.”/ “O iyaiya.”

(4) Tapi ya, karena gua udah keliling Indonesia, abis itu keliling dunia… gua menyadari betul ada satu hal yang bangsa lain sudah lakukan, yang bangsa kita belum lakukan, sehingga kita tidak semaju bangsa itu. Satu hal bangsa lain sudah lakuin, bangsa kita belum lakuin, sehingga bangsa kita nggak semaju bangsa itu. Ada yang tau nggak apa? Tebak. Teriak aja. Terima kasih atas partisipasinya! Thank you banget loh. Hening aja nih, penonton. Ayo apa? Teriakin aja, it’s okay. Ayo apa? Apa yang kira-kira bangsa lain udah lakuin, bangsa kita belum lakuin, sehingga kita nggak semaju bangsa itu? Nggak apa-apa, ayo teriakin, apa? Ganja? Lu liat ngga mukanya? “Ganya… Ganya!” Hampir! Hampir. Ayo yang laen. Agama!/ “Agama!” Kayak di yakin, “Gua nggak mungkin salah nih, jawaban gua. Gua akan teriakan dengan lantang! Agama!” Hampir… Hampir! “Gay!”/ Gay? Lu tau kan, lu nggak seharusnya meneriakan di antar 3500 orang? “Gay!” Kok lu tepuk tangan sih? Ini orang lagi ngetawain lu loh. Hampir,

hampir. Nggak ada yang tau nih? (…) Sumpah gua tadi dengernya, “paksipakpak.” Hampir… Tau nggak kenapa gua ngomongnya hampir dari tadi? Ini untuk siapapun yang guru disini. Karena kalo di kelas gitu, murid jawab terus dibilang “salah. Dia langsung, “aduh salah.” Gitu. Tapi kalau dibilang, “hampir.” “Hampir apa ya,” otaknya muter terus gitu. “Hah apa ya?” “Hampir loh.” Gitu. Bagus. Silakan guru-guru, pakai, pakai… Ya, jadi nggak takut anak. Heh, ni lama nih, tiba-tiba subuh. Langsung gua kasih tau aja ya. Satu hal yang bangsa lain sudah lakuin, yang bangsa kita belum lakuin, sehingga kita tidak semaju bangsa itu adalah bangsa lain sudah mulai berkarya, bangsa kita masih pada bekerja. Bahkan kebanyakan ngerjain karyanya orang lain di luar negeri. Oke.

(5) Tapi ada satu penghalang lagi, dari orang yang berkarya. Takut nggak laku. Apalagi kalo lu bikin karya pakai hati, kalo nggak laku tuh, lu merasa kayak personal gitu. Kenapa sih barang gua nggak laku? Kenapa sih emang dianggak suka sama gue? Gak ada urusannya padahal. Dengerin ya, dengerin nih. Nggak ada barang yang nggak laku, adanya barang yang dipasarkan secara salah. Sekali lagi, nggak ada barang nggak laku, adanya barang yang dipasarkan secara salah. Nih ada barang nih, “ngejokrok” nih, nggak laku… bisa laku kalo dipasarkannya bener. Apapun bisa lu jual, laku… Kalo lu ngerti cara memasarkannya. Contoh… hati-hati ya, pegangan… tai kebo… tai kebo, lu jual, laku! Kalo lu pasarkan sebagai…? Pupuk. Pupuk kan tai kebo. Tai kebo nih, tai kebo… Lu, lu, kumpulin, trus masukin karung, tulisin “pupuk”. Lu jual, lu pasarkan sebagai pupuk. Ya laku. Kecuali kalo misalkan tai kebo lu taro nampan, masuk bus kota, “yang tai kebo, tai kebo, tai kebo, tai kebo… Bapak-bapak, ibu-ibu, ini tai kebo bukan sembarang tai kebo ya. Silakan dipegang dulu bapak. Dirasain teksturnya nih haaa… yak, dipegang dulu bapak.” Ya nggak ada yang mau beli! Tergantung gimana cara memasarkannya.

(6) Kunci dari berkarya adalah mulai dulu aja, lalu bikin yang lebih baik. Kunci dari berkarya adalah berproses. Lu nggak akan punya karya yang keren kalo lu nggak mulai bikin yang alay, yang jelek. Nggak apa-apa! Orang Indonesia tu kayak orang kaya yang punya kebon pisang. Oke. Suatu hari dia bilang, ‘Ah gua pengen makan pisang goreng ah”. Dia petik pisang di kebonnya, dia jual ke tetangga, duitnya dia pake untuk beli pisang goreng di ujung jalan.

Padahal tukang pisang goreng, pisangnya dari tetangga kita. Bego nggak? Bego. Itu kita. Lah kalo kita punya kebon pisang, pengen makan pisang goreng, yang kita lakuin apa? Ya goreng, bikin sendiri. Nggak tau caranya? Ya belajar. Nggak punya alatnya? Oke. Pisang lu petik, jual dapet duit, duitnya untuk belanja modal. Bikin! Goreng pisang untuk pertama kali, “ssssh”, makan, “hap”. Perasaan tadi gua goreng pisang… kok rasanya kaya tai? Nggak apa-apa.

(7) Ini kunci dari berkarya, terutama di era digital: Sedikit lebih baik… eh.. “sedikit lebih beda, lebih baik daripada sedikit lebih baik”, gua ulang, “sedikit lebih beda, lebih baik daripada sedikit lebih baik ”. Kalo lo bikin karya ni, trus bedanya cuma lebih baik dikit orang ngga akan notice… tapi kalo beda, orang akan, “Ih apaan ni, kok beda?” gitu. Gua ambil contoh ya, Ipod. Waktu Ipod keluar pertama kali, its hardly revolusionally sebenarnya, karna udah ada pemutar musik digital sebelumnya. Sony udah pernah bikin, Samsung udah pernah bikin, bahkan produsen cina udah ngeluarin mp3 player, iya kan? Tapi ada satu hal yang Ipod lakuin yang beda, sehingga menarik perhatian orang. Untuk pertama kalinya ada sebuah produsen yang memutuskan untuk earplug-nya dibikin warnanya putih. Cuma warna putih doang. Disaat semua produsen lain menganggap kabel itu gangguan dan dicet hitam, Ipod memutuskan untuk dibikin putih. Justru biar orang notice yang di dalemnya itu Ipod. Makanya kalo lo liat iklannya, iklannya kan cuma siluet orang trus putih disinikan? Dan ngetren banget, orang akhirnya beli “ininya” doang putih ni. Iya, ditaro kesini, supaya orang mikir kalo itu Ipod, padahal “Chiang Tjung Tse” merk Cina apa gitu, disini ni. “Chiangchocebebebsialakbayaoo”. (8) Tetapi, ada satu hal lagi yang nggak pernah lakukan, bahkan

memilih untuk nggak melakuin. Biasanya mereka pikir kalo sudah tau passion-nya, selese idup gua. Nggak. Ada satu hal yang ngebedain, yang ngerti passion lu.. dan dia yang ngerti passion-nya tapi sukses… disiplin. Disiplin berarti harus melakukan hal-hal yang lu nggak mau lakuin, tapi mesti. Disiplin ketika disebut orang selalu merasa, “Aduh…” Kenapa gini gaya gua ya? Disiplin itu, kesannya mengekang, sebaliknya justru membebaskan. Kalo lu disiplin melakukan sesuatu, kelak lu akan bebas merdeka, bisa ngerjainn apapun. Kayak contohnya gua, dulu kalo gua disiplin ngaji… sekarang gua bisa dengan bebas merdeka ngaji dengan benar. Arab gundul, gua sikat tuh, gua baca tuh. Tapi dulu waktu gua kecil, disuruh les ngaji… Setiap kali guru les ngaji gua dateng, gua naik genteng, “bilang nggak ada!” Dan gua menyesal. Siapa tau ada FPI di antar kita. Saya menyesal, oke, bapak ibu sekalian. Dulu, gua tuh disuruh les piano, nggak les piano sih, les organ.

Cuma kalo gua sebut organ kesannya tua banget, yak? Dulu gua les orgen gitu. Tapi gua males-malesan, coba gua disiplin… Sekarang gua udah bisa menggubah lagu gua, ngapain gua melawak keliling dunia. Gua bikin lagu, kalah Kevin Aprilio sama gue. Gua lebih ekspresif. Heee pijit.. eeekk… Kevin Aprillio kan kalo main piano kayak notulen rapat tuh.

Wacana (3), (4), (5), (6), (7), (8) memuat jenis tindak tutur konvivial mengajak. Wacana (3) ditandai dengan tuturan “Tapi lu bayangin kalau misalkan Hendry Ford nurut kata konsumennya, nggak akan pernah ada industri mobil, lu semua kesini naik kuda.” Dilihat dari tuturannya, tuturan tersebut secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk berani berinovasi seperti Hendry Ford. Dalam tuturan disebutkan bahwa inovasi yang dilakukan Hendry Ford telah memberikan hasil positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat hingga sekarang, sehingga diharapkan masyarakat juga mau berinovasi.

Wacana (4) ditandai dengan tuturan “Satu hal yang bangsa lain sudah lakuin, yang bangsa kita belum lakuin, sehingga kita tidak semaju bangsa itu adalah bangsa lain sudah mulai berkarya, bangsa kita masih pada bekerja.” Dilihat dari tuturannya, tuturan tersebut secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk mulai berkarya. Dalam tuturan disebutkan penyebab bangsa Indonesia tidak semaju bangsa lain karena masyarakat Indonesia masih belum berkarya tetapi hanya bekerja, sehingga diharapkan masyarakat mulai berkarya jika ingin semaju bangsa lain.

Wacana (5) ditandai dengan tuturan “Tapi ada satu penghalang lagi, dari orang yang berkarya. Takut nggak laku. Apalagi kalo lu bikin karya pakai hati, kalo

nggak laku tuh, lu merasa kayak personal gitu. Kenapa sih barang gua nggak laku? Kenapa sih emang dia nggak suka sama gue? Gak ada urusannya padahal. Dengerin ya, dengerin nih. Nggak ada barang yang nggak laku, adanya barang yang dipasarkan secara salah.” Dilihat dari tuturannya, tuturan tersebut secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk tidak takut karyanya tidak laku. Dalam tuturan disebutkan bahwa semua karya pasti bisa laku jika cara memasarkan karya tersebut sudah tepat, sehingga diharapkan masyarakat tidak takut lagi karyanya tidak laku.

Wacana (6) ditandai dengan tuturan “Kunci dari berkarya adalah berproses. Lu nggak akan punya karya yang keren kalo lu nggak mulai bikin yang alay, yang jelek. Nggak apa-apa!” Dilihat dari tuturannya, tuturan tersebut secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk tidak takut gagal dalam berkarya. Dalam tuturan disebutkan bahwa gagal merupakan bagian dari proses berkarya, sehingga diharapkan masyarakat tidak takut gagal dalam berkarya.

Wacana (7) ditandai dengan tuturan “Ini kunci dari berkarya, terutama di era digital: Sedikit lebih baik… eh.. “sedikit lebih beda, lebih baik daripada sedikit lebih baik”, gua ulang, “sedikit lebih beda, lebih baik daripada sedikit lebih baik ”. Kalo lo bikin karya ni, trus bedanya cuma lebih baik dikit orang ngga akan notice… tapi kalo beda, orang akan, “Ih apaan ni, kok beda?” gitu.” Dilihat dari tuturannya, tuturan tersebut secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk membuat sesuatu yang berbeda pada karyanya. Dalam tuturan disebutkan bahwa sebuah karya yang berbeda akan membuat orang penasaran dan tertarik dibanding karya

yang tidak jauh berbeda dengan yang lainnya, sehingga diharapkan masyarakat berani membuat sesuatu yang berbeda.

Wacana (8) ditandai dengan tuturan “Ada satu hal yang ngebedain, yang ngerti passion lu.. dan dia yang ngerti passion-nya tapi sukses… disiplin. Disiplin berarti harus melakukan hal-hal yang lu nggak mau lakuin, tapi mesti.” Dilihat dari tuturannya, tuturan tersebut secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk disiplin terhadap keinginan yang ingin dicapainya. Dalam tuturan disebutkan bahwa keinginan yang ditekuni akan menghasilkan sebuah kesuksesan, meskipun tidak menyenangkan untuk dilakukan, sehingga diharapkan masyarakat mulai disiplin pada passion-nya.

Dokumen terkait