BAB II STUDI KEPUSTAKAAN
2.2 Landasan Teori
2.2.2 Tindak Tutur
Tindak tutur adalah pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar. Teori tindak tutur ini dikemukakan
pertama kali oleh Austin (dalam Rahardi, 2009: 17) dalam bukunya berjudul Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language menyatakan bahwa pada praktik penggunaan bahasa yang sesungguhnya itu terdapat tiga macam tindak tutur yakni (1) tindak tutur lokusi, (2) tindak ilokusi, dan (3) tindak perlokusi. Tindak lokusi adalah tindakan menyampaikan informasi yang disampaikan oleh penutur. Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh kepada sang mitra tutur oleh penutur.
Chaer (2010: 27) menyimpulkan bahwa tindak tutur merupakan tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu. Serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event). Lalu, tindak tutur dan peristiwa tutur ini menjadi dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni komunikasi. Jadi, tindak tutur adalah kegiatan seseorang dalam berbahasa pada lawan tutur dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu. Apa makna yang dikomunikasikan tidak hanya dapat dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur tersebut tetapi juga ditentukan oleh aspek-aspek komunikasi secara komprehensif, termasuk aspek-aspek situasional komunikasi.
Yule (2006: 82-84) mendefinisikan tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Tindak tutur inilah yang memungkinkan penutur dan mitra tutur terlibat dalam percakapan sekaligus melakukan suatu tindakan tertentu. Dalam berkomunikasi, penutur dan mitra tutur menampilkan suatu tindak tutur khusus yang hanya dimengerti dan dipahami oleh kedua belah pihak. Yule
menyebut bahwa tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan mengandung tiga tindakan yang saling berhubungan. Tiga Tindakan itu antara lain; (1) tindak lokusi merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna. (2) Tindak ilokusi adalah tindakan yang ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Tindak ilokusi ini membentuk tuturan dengan beberapa fungsi di dalam pikiran. (3) tindak perlokusi adalah tindak tutur yang menciptakan efek atau akibat dari tuturan itu.
Tindak tutur (speech atcs) adalah ujaran yang dibuat sebagai bagian dari interaksi sosial. Pranowo (2009: 4) menjelaskan bahwa tindak tutur dibagi menjadi tiga yaitu; tindak lokusi adalah ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur. Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang menyatakan maksud yang terkandung dalam ujaran. Tindak perlokusi ialah efek yang ditimbulkan oleh ujaran.
Berdasarkan pendapat para ahli bahasa tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah pengujaran kata atau kalimat oleh seseorang untuk menyatakan suatu maksud supaya diketahui oleh orang lain. Tindak tutur mengaplikasikan penggunaan bahasa secara sistematis dan terstruktur yang diwujudkan dalam bentuk tuturan.
2.2.3 Konteks
Kesesuaian antara kalimat-kalimat yang diujarkan oleh pengguna bahasa dengan konteks tuturannya merupakan hal yang penting. Kehadiran konteks sebagai penentu dalam memahami dan menafsirkan maksud dan tujuan ujaran yang sedang berlangsung. Konteks dimengerti sebagai situasi yang ada
hubungannya dengan pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur. Situasi dan peristiwa bahasa yang sedang terjadi dalam interaksi antar manusia mengharuskan kehadiran konteks demi mendukung dan menambah kejelasan makna.
Tuturan dapat dipandang sebagai akibat dari konteks yang melatarbelakanginya. Di dalam sebuah komunikasi tidak ada pembicaraan tanpa konteks. Artinya kehadiran konteks membangun dan menandai maksud yang hendak dipahami dalam sebuah tuturan. Maksud dan tujuan komunikasi itu hanya dapat diidentifikasi melalui konteks yang membangun percakapan tersebut. Maka dari itu Mey (dalam Nadar, 2009: 3-4) mendefinisikan konteks sebagai situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan membuat ujaran mereka dapat dipahami. Kegiatan tuturan pertama-tama memperhatikan situasi lingkungan dimana interaksi itu sedang berlangsung. Hal ini bertujuan agar makna dan tujuan tuturan itu dapat dimengerti oleh kedua pihak yakni penutur dan mitra tuturnya.
Konteks dalam sebuah tuturan dibahasakan secara berbeda oleh Leech yaitu Speech Situation atau situasi tuturan (Rustono, 1999: 27-31). Komponen situasi tutur meliputi lima hal yaitu: (a) penutur dan mitra tutur. Yakni orang yang menyatakan fungsi pragmatis tertentu dalam peristiwa komunikasi. Sedangkan mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam penuturan. (b) konteks tuturan. Konteks tuturan yakni semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur. Konteks mencakup fisik dan sosial. Konteks fisik disebut ko-teks, sedangkan konteks
sosial disebut konteks. (c) tujuan tuturan. Tujuan tuturan adalah sesuatu yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. (d) tindak tutur sebagai bentuk tindakan. Maksudnya menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan sebuah tindakan. (e) tuturan merupakan hasil tindakan dalam bentuk produk verbal. Artinya produk verbal yang dihasilkan dalam tuturan terdiri atas tindakan verbal dan tindakan non verbal.
Menurut Huang (dalam Rahardi, 2015: 18) konteks merupakan seperangkat latar belakang asumsi yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur. Atau dengan kata lain konteks merupakan pengetahuan umum atau pengetahuan bersama. Pernyataan Huang ini diperjalas lagi oleh Clark (dalam Rahardi, 2015: 18-19) yang mengatakan konteks itu perlu dimaknai dari dua kategori yakni (1) commmunal common ground dan (2) personal common ground. Latar belakang pengetahuan yang pertama menunjuk pada seperangkat asumsi pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh komunitas tertentu sedangkan latar belakang pengetahuan yang disebut kedua menunjuk pada seperangkat asumsi pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh individu-individu yang menjadi warga komunitas tertentu.
Pengetahuan bersama dan individu inilah yang menjadi penentu dalam memaknai setiap tuturan yang sedang berlangsung. Asumsi-asumsi atau pun latar belakang pengetahuan harus terlebih dahulu dimiliki bersama-sama oleh penutur dan mitra tutur. Hal ini bertujuan agar konteks pembicaraan yang sedang berlangsung dapat diterima dan dipahami oleh kedua belah pihak. Hal mendasar
yang perlu diperhatikan oleh penutur dan mitra tutur adalah pembangun konteks dalam tuturan yakni seperangkat asumsi dan latar belakang pengetahuan bersama. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah seperangkat asumsi dan pengetahuan yang sudah dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur dalam membangun komunikasi. Kesinambungan percakapan atau pembicaraan itu tergantung kepada seberaba jauh latar belakang pengetahuan yang telah dimiliki oleh penutur dan mitra tutur. Konteks memberi signal yang kuat dalam mencerna maksud yang terkandung dalam penanda kalimat yang diujarkan.