• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

3. Tingkat Kesejahteraan

Kesejahteraan meliputi seluruh bidang kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, iptek, hankamnas, dan lain sebagainya. Bidang-bidang kehidupan tersebut meliputi jumlah dan jangkauan pelayanannya. Pemerintah memiliki kewajiban utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Tingkat kesejahteraan masyarakat seringkali ditentukan oleh besarnya pendapatan per kapita. Kelemahan dari pengukuran pendapatan per kapita adalah ketidakmampuannya untuk menunjukkan bagaimana pendapatan ini terdistribusi di masyarakat. Selain itu tingkat kesejahteraan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan, melainkan juga oleh faktor-faktor lain. Berdasarkan keadaan ini maka diperlukan suatu pendekatan berbeda untuk melengkapi cara pengukuran tingkat kesejahteraan yang biasanya cenderung dilakukan dengan tingkat pendapatan per kapita. Morris (1979) dalam Giyarsih (2000 : 91) mengungkapkan bahwa untuk menentukan tingkat kesejahteraan diusulkan pendekatan yang disebut "pertumbuhan dengan keadilan" (growth with equity).

Dalam pendekatan ini diperlukan indikator yang dapat menggambarkan kesejahteraan, yaitu dengan menggunakan indikator sosial disamping indikator ekonomi. Indikator sosial dapat dianggap sebagai petunjuk singkat dari pembangunan atau usaha perbaikan bidang sosial.

commit to user

Secara umum terdapat hubungan yang erat antara tingkat kesejahteraan masyarakat dengan tingkat perkembangan desa (Tjokroamidjojo, 1980 dalam Giyarsih, 2000 : 90), karena tingkat kesejahteraan yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk meningkatkan potensi dan mengelola wilayah dengan baik. Lebih lanjut dalam lingkup pembangunan perdesaan tersebut akan dinilai apakah kemajuan pembangunan yang dialami di bidang ekonomi juga disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan tujuan pembangunan secara menyeluruh.

Membangun keluarga sejahtera pada hakekatnya merupakan upaya mengentaskan keluarga dari kemiskinan. Sedangkan hingga saat ini belum ada satupun yang pasti dan dapat digunakan sebagai tolok ukur kemiskinan di Indonesia. Para ahli memberikan tingkatan tentang kemiskinan di Indonesia melalui pendekatan yang berbeda-beda, sehingga tingkatan kemiskinan yang diperoleh juga beraneka ragam.

a. Indikator Kesejateraan menurut Sayogyo

Pada awal tahun 1970-an, Sayogyo (1971) dalam Kurniawan dan Saleh (2010 : 54) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan, yang dibedakan atas daerah pedesaan dan perkotaan. Perbedaan desa kota dilakukan dengan mendorong garis kemiskinan ke atas sebesar 50 %. Berdasarkan metode ini kemiskinan rumah tangga dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu :

1) Sangat miskin, yaitu rumh tangga dengan pendapatan per kapita tahunan di bawah nilai 240 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk perkotaan.

2) Miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di bawah nilai 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk perkotaan.

3) Hampir miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan dengan nilai antara 320-480 kg beras untuk pedesaan dan 480-720 kg beras untuk perkotaan.

commit to user

4) Tidak miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di atas nilai 480 kg beras untuk pedesaan dan 720 kg beras untuk perkotaan.

b. Indikator Kesejahteraan menurut BPS

Dimensi kesejahteraan sangat luas dan kompleks sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Berbagai aspek yang diamati yaitu kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, kondisi rumah tangga dan perumahan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kesejahteraan diturunkan dari konsumsi makanan pokok yang mencerminkan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.

Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan. Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.

Garis Kemiskinan Makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkalori perkapita per hari. Garis Kemiskinan Bukan Makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

c. Indikator Kesejahteraan menurut BKKBN

Pengukuran kesejahteraan menurut BAPPENAS menggunakan berbagai aspek sebagai indikator dalam pengukuran sosial hasil pembangunan. Berbagai indikator tersebut adalah kependudukan, kesehatan, tenaga kerja, pendidikan dan

commit to user

kebudayaan, kesejahteraan sosial, perumahan, agama, keamanan dan ketertiban masyarakat (Jayadinata dan Pramandika, 2008 : 115).

Dalam penelitian ini, tingkat kesejahteraan diukur berdasarkan tingkatan dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) karena pendataan dilakukan secara rutin setiap tahun dan memiliki tingkat detail sampai pada tingkat desa bahkan sampai pada tingkat Rukun Tetangga. BKKBN membagi tingkatan kesejahteraan keluarga dengan menggunakan tingkatan keluarga sejahtera berdasarkan pemenuhan terhadap 22 indikator yang terbagi dalam 5 tahapan secara garis besar sebagai berikut :

1) Keluarga Pra Sejahtera

Yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic need) secara minimal seperti kebutuhan akan pangan, sandang, papan, dan kesehatan. Tahapan ini dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga pra sejahtera karena alasan ekonomi dan kelurga pra sejahtera karena alasan non ekonomi.

2) Keluarga Sejahtera I

Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya (social psychological need), seperti kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi.

Ada 5 (lima) indikator untuk mengetahui keluarga sejatera I yaitu :

a) Anggota keluarga melakukan ibadah menurut agamanya masing-masing. b) Pada umumnya seluruh keluarga makan dua kali sehari atau lebih.

c) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah dan bepergian.

d) Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

e) Bila anak sakit dan atau Pasangan Usia Subur (PUS) ingin ber-KB dibawa ke sarana/petugas kesehatan.

commit to user

3) Keluarga Sejahtera II

Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan perkembangannya (developmental need), seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. Keluarga sudah dapat memenuhi indikator tahapan Keluarga Sejahtera I (indikator 1 - 5) dan indikator berikut :

a) Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

b) Paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan daging/ikan/ telur.

c) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu pasang pakaian baru dalam setahun.

d) Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk setiap penghuni rumah. e) Tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat, sehingga dapat

melaksanakan tugas/fungsi masing-masing.

f) Ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk memperoleh penghasilan.

g) Seluruh anggota keluarga umur 10 - 60 tahun bisa baca tulis. h) Anak usia 10-12 tahun bersekolah.

4) Keluarga Sejahtera III

Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya, kebutuhan psikologisnya, dan kebutuhan pengembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat, seperti acara teratur memberikan sumbangan dalam bentuk material dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan serta berperan serta secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan sosial; keagamaan, kesenian, olahraga, pendidikan, dan sebagainya. Keluarga ini sudah memenuhi indikator tahapan Keluarga Sejahtera I dan indikator Keluarga Sejahtera II (Indikator 1 - 13) dan indikator berikut :

commit to user

a) Pasangan usia subur dengan anak dua atau lebih menggunakan alat/obat kontrasepsi.

b) Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama.

c) Sebagian penghasilan keluarga ditabung dalam bentuk uang atau barang. d) Kebiasaan keluarga makan bersama paling kurang seminggu sekali

dimanfaatkan untuk berkomunikasi.

e) Keluarga ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal. f) Keluarga memperoleh informasi dari surat kabar / majalah / radio /

televisi.

g) Keluarga dapat mengakses sarana transportasi (angkutan). 5) Keluarga Sejahtera III Plus

Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun yang bersifat pengembangan, serta telah data pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat. Keluarga ini dapat memenuhi indikator tahapan Keluarga Sejahtera I, indikator Keluarga Sejahtera II dan indikator Keluarga Sejahtera III (indikator 1 - 20) dan indikator berikut :

a) Keluarga secara teratur dengan suka rela memberikan sumbangan materiil untuk kegiatan sosial.

b) Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan sosial/yayasan/ institusi masyarakat.

Dokumen terkait