• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TIPOLOGI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN DESA-DESA PESISIR KABUPATEN KENDAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS TIPOLOGI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN DESA-DESA PESISIR KABUPATEN KENDAL"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

ANALISIS TIPOLOGI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

DESA-DESA PESISIR KABUPATEN KENDAL

TAHUN 2012

SKRIPSI

Oleh:

Nuzul Wachidah

K5408043

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

ii

ANALISIS TIPOLOGI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

DESA-DESA PESISIR KABUPATEN KENDAL

TAHUN 2012

Oleh:

Nuzul Wachidah

K5408043

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar

Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Geografi

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)

commit to user

(4)

commit to user

(5)

commit to user

v

ABSTRAK

Nuzul Wachidah, ANALISIS TIPOLOGI DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN DESA-DESA PESISIR KABUPATEN KENDAL TAHUN 2012.Skripsi.Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Agustus 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengetahui tipologi desa-desa pesisir di Kabupaten Kendal berdasarkan pada aspek sosial ekonomi dan budaya. (2) Mengetahui tingkat kesejahteraan desa-desa pesisir di Kabupaten Kendal. (3) Mengetahui hubungan antara tipologi desa dengan tingkat kesejahteraan masyarakat desa pesisir kabupaten Kendal. (4) Menyusun strategi pengembangan desa-desa pesisir di Kabupaten Kendal.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Populasi adalah desa-desa pesisir di Kabupaten Kendal, sejumlah 26 desa. Teknik sampling yang digunakan adalah area sampling (sampel daerah) dengan jumlah informan 130 orang. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan dokumentasi, observasi langsung, dan wawancara.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan : (1) Tipologi desa-desa pesisir di Kabupaten Kendal terdiri dari dua tipologi yaitu tipologi desa transisi sebanyak sembilan desa dan tipologi desa berkembang sebanyak 17 desa. (2) Tingkat kesejahteraan desa-desa pesisir Kabupaten Kendal terbagi menjadi tiga yaitu tingkat kesejahteraan tinggi yang terdiri dari tujuh desa (26.9 %), tingkat kesejahteraan sedang terdiri dari 18 desa (69.2 %) dan tingkat kesejahteraan rendah terdiri satu desa (3.8 %). (3) Berdasarkan analisis overlay peta tipologi desa dengan peta tingkat kesejahteraan maka terdapat hubungan antara tipologi desa dengan tingkat kesejahteraan. (4) Strategi pengembangan yang dapat dilakukan berdasarkan analisis SWOT meliputi aspek-aspek sebagai berikut yaitu kelembagaan, sarana dan prasarana, penataan ruang, dan sosial ekonomi.

(6)

commit to user

vi

ABSTRACT

Nuzul Wachidah, TYPOLOGYCAL ANALYSIS AND STRATEGY

DEVELOPMENT IN THE COASTAL VILLAGES OF THE KENDAL REGENCY IN 2012. Thesis. Surakarta : Teacher Training and Education Faculty of Sebelas Maret University on August 2012.

The aim of research is to : (1) know typology of the coastal villages in Kendal Regency based on social economic and cultural aspects. (2) know the welfare level of the coastal villages in Kendal Regency. (3) determine the relationship between the tipology of village with the welfare level of the coastal villages in Kendal Regency. (4) arrange development strategy of the coastal villages in Kendal Regency.

This research uses descriptive qualitative method. The populations are the coastal villages in Kendal Regency, as much as 26 villages. Sampling technique used is area sampling, by the number of informants 130 people. Data collection techniques uses interview, direct observation, and documentation.

Based on the result of research, it can be concluded : (1) Typology of the coastal villages in Kendal Regency is belong to two typologies, which there are 9 villages including the village typology of transition and 17 villages including the village typology developed. (2) The welfare level of the coastal villages in Kendal Regency is belong to three levels, which there are seven villages (26.9%) had high levels of welfare, 18 villages (69.2%) had moderate level of welfare and prosperity of the village (3.8%) had low levels of welfare. (3) Based on the analysis of overlay maps typology villages with maps of the welfare levels there is a relationship between the tipology with level of welfare. (4)Development strategies that can be done based on the SWOT analysis covers the following aspects of the institutional, infrastructure, spatial, social and economic.

(7)

commit to user

vii

MOTTO

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

( QS. Al-Insyirah : 5)

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat

Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat

Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”

(QS. Al Kahfi : 109)

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

With thankful to God Allah SWT

Saya persembahkan karya sederhana ini kepada :

Ibunda dan Ayahanda tercinta yang selalu tercurah cinta, kasih sayang, dan doa,

untuk semua pengorbanan yang penuh ikhlas dan sabar.

Ibu Kas dan Ayah Sofwan tercinta yang telah memberikan kasih sayang dan

dukungan yang tulus.

Adikku tersayang.

Kakek dan Nenek tersayang.

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT telah melimpahkan

segala nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan

skripsi ini. Dalam penulisan ini, penulis menyadari bahwa penulis tidak mungkin

dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan berbagai pihak. Maka dalam

kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS. Selaku Rektor Universitas Sebelas Maret

yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.

2. Bapak Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah

memberikan ijin untuk pengadaan penelitian dan penyusunan skripsi.

3. Bapak Drs. H. Syaiful Bachri, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial memberikan ijin untuk penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Moh. Gamal Rindarjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Geografi yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta ijin

dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Moh. Gamal Rindarjono, M.Si., selaku Pembimbing I, atas ilmu,

bimbingan, motivasi, inspirasi dan kesabaran dalam membimbing.

6. Ibu Rahning Utomowati, S.Si., M.Sc., selaku Pembimbing II, atas ilmu,

bimbingan, motivasi, inspirasi dan kesabaran dalam membimbing.

7. Ibu Rahning Utomowati, S.Si., M.Sc., selaku Pembimbing Akademik.

8. Bapak/Ibu dosen program studi Pendidikan Geografi, atas ilmu dan pengalaman

yang diberikan.

9. Masyarakat pesisir Kabupaten Kendal, atas kesediaan dalam memberikan data

dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

10.Mas Danang Tri Wibowo, Elpe, Eka, dan Yoga atas semangat dan bantuannya

dalam pengumpulan data.

(10)

commit to user

x

12.Sahabat INEM, Cece lead dance, Noona lead vocal dan Ahjuma happy virus

atas doa, bantuan dan semangat luar biasa yang diberikan.

13.Sahabat-sahabatku di Pendidikan Geografi 2008 atas doa, semangat dan

motivasi tiada henti.

14.My Strong Ve yang setia menemani di setiap perjalanan penulis.

15.Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah

membantu sehingga terselesaikannya laporan observasi ini.

Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapat imbalan yang

berlipat dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini

belum sempurna. Akan tetapi dari ketidaksempurnaan ini, kiranya dapat diambil

hikmah dan pelajaran yang berharga sehingga tidak terulang kesalahan untuk kedua

kalinya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun tetap penulis harapkan.

Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, pengembangan

ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu geografi pada khususnya.

Surakarta, Agustus 2012

Penulis

Nuzul Wachidah

(11)

commit to user

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PENGAJUAN ………. ii

HALAMAN PERSETUJUAN ………. iii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iv

HALAMAN ABSTRAK ………. v

HALAMAN MOTTO ………... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……… viii

KATA PENGANTAR ……….. ix

DAFTAR ISI ……… xi

DAFTAR TABEL ……… xiv

DAFTAR GAMBAR ……….. xvi

DAFTAR PETA ………. xvii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xviii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ……….... 1

B. Perumusan Masalah ……… 7

C. Tujuan Penelitian ……… 7

D. Manfaat Penelitian ……… 7

BAB II LANDASAN TEORI ……… 9

A. Tinjauan Pustaka ……… 9

1. Desa ………. 9

2. Pesisir ……… 19

3. Tingkat Kesejahteraan ………. 21

B. Penelitian yang Relevan ………. 26

(12)

commit to user

xii

BAB III METODE PENELITIAN ……… 33

A. Daerah Penelitian ……… 33

B. Waktu Penelitian ……… 33

C. Metode Penelitian ……….. 34

D. Populasi dan Sampel ……….. 34

1. Populasi ……… 34

2. Sampel ………. 34

E. Sumber dan Jenis Data ……… 35

F. Teknik Pengumpulan Data ……… 36

G. Teknik Analisis Data ………. 37

1. Tipologi Desa-desa Pesisir ……….. 37

2. Tingkat Kesejahteraan Desa-desa Pesisir ………. 42

3. Hubungan Antara Tipologi Desa dengan Tingkat Kesejahteraan ……….. 43

4. Strategi Pengembangan Desa-desa Pesisir ……….. 43

H. Prosedur Penelitian ……… 44

I. Diagram Alir Penelitian ………. 47

BAB IV HASIL PENELITIAN ………. 48

A. Deskripsi Wilayah Penelitian ……… 48

1. Letak dan Luas ……… 48

2. Penggunaan Lahan ……….. 50

3. Iklim ………. 54

4. Kondisi Geologi ……… 59

5. Gambaran Umum Penduduk ……… 60

a. Jumlah Penduduk ………. 60

b. Komposisi Penduduk ………. 62

6. Kondisi Sosial ……….. 65

7. Kondisi Fasilitas Umum ……….. 66

a. Fasilitas Pendidikan ……….. 66

(13)

commit to user

xiii

c. Fasilitas Perekonomian ………. 69

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan ……….. 70

1. Tipologi Desa-desa Pesisir ……….. 70

2. Tingkat Kesejahteraan Desa-desa Pesisir ………. 93

3. Hubungan Antara Tipologi Desa dengan Tingkat Kesejahteraan ……….. 99

4. Strategi Pengembangan Desa-desa Pesisir ……….. 105

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ………. 112

A. Kesimpulan ……… 112

B. Implikasi ……… 113

C. Saran ………. 113

DAFTAR PUSTAKA ………. 115

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Tingkat Perkembangan Desa ……… 15

Tabel 2. Perbandingan Penelitian Sebelumnya ………. 29

Tabel 3. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ………. 33

Tabel 4. Teknik Pengumpulan Data ……….. 35

Tabel 5. Pedoman Wawancara ………. 36

Tabel 6. Kriteria dan Skor Mata Pencaharian ……… 37

Tabel 7. Kriteria dan Skor Produksi Desa ……….. 38

Tabel 8. Klasifikasi Adat Istiadat dan Kepercayaan ……… 38

Tabel 9. Klasifikasi Kelembagaan ………. 38

Tabel 10. Kriteria Pendidikan ………. 39

Tabel 11. Tingkatan Gotong Royong ………. 39

Tabel 12. Skor Prasarana Perhubungan ……….. 40

Tabel 13. Skor Prasarana Produksi ………. 40

Tabel 14. Kriteria dan Skor Sistem Budidaya Tanaman ………. 41

Tabel 15. Skor Prasarana Pemasaran ………. 41

Tabel 16. Skor Prasarana sosial ………... 41

Tabel 17. Klasifikasi Prasarana Umum ……….. 41

Tabel 18. Ketentuan Nilai Skor Tingkat Perkembangan Desa ……… 42

Tabel 19. Metode Analisis SWOT ……… 44

Tabel 20. Pembagian Administratif Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal .. 50

Tabel 21. Jenis Penggunaan Lahan di Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal 51 Tabel 22. Curah Hujan Bulanan Kabupaten Kendal Tahun 2000-2010 ... 55

Tabel 23. Klasifikasi Tipe Curah Hujan menurut Schimdt dan Ferguson .... 57

Tabel 24. Jumlah KK, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ... 61

Tabel 25. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ... 63

(15)

commit to user

xv

Tabel 27. Jumlah Keluarga Menurut Tahapan di Desa-desa Pesisir

Kabupaten Kendal ... 66

Tabel 28. Banyaknya Sekolah di Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ... 67

Tabel 29. Fasilitas Kesehatan di Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ... 68

Tabel 30. Fasilitas Perekonomian di Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal.. 69

Tabel 31. Mata Pencaharian Masyarakat Desa-desa Pesisir Kabupaten

Kendal ... 71

Tabel 32. Produksi Desa dalam Rupiah di Desa-desa Pesisir Kabupaten

Kendal ... 73

Tabel 33. Jumlah Kelembagaan di Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal .... 77

Tabel 34. Persentase Penduduk yang Tamat SD ke atas ... 80

Tabel 35. Prasarana Perekonomian yang Terdapat di Desa-desa Pesisir

Kabupaten Kendal ... 83

Tabel 36. Prasarana Sosial yang Terdapat di Desa-desa Pesisir

Kabupaten Kendal ... 85

Tabel 37. Tipologi Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ... 88

Tabel 38. Proporsi Keluarga Miskin di Desa-desa Pesisir Kabupaten

Kendal ... 94

Tabel 39. Hasil Overlay Antara Tipologi Desa dengan Tingkat Kesejahte-

raan di Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ... 101

(16)

commit to user

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bentuk Desa Pantai ………. 11

Gambar 2. Bentuk Desa Terpusat ………. 11

Gambar 3. Bentuk Desa Linier di Dataran Rendah …..………. 12

Gambar 4. Bentuk Desa Mengelilingi Fasilitas ……… 13

Gambar 5. Diagram Alir Kerangka Pemikiran ……….. 32

Gambar 6. Diagram Alir Penelitian ………..……… 47

Gambar 7. Grafik Persentase Perbandingan Penggunaan Lahan di Desa- Desa Pesisir Kabupaten Kendal ……….. 51

Gambar 8. Tipe Iklim Lokasi Penelitian ……… 56

Gambar 9. Diagram Tipe Curah Hujan Lokasi Penelitian ………. 58

Gambar 10. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ……… 64

Gambar 11. Prosentase Perbandingan Mata Pencaharian di Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ……… 72

Gambar 12. Lembaga Ekonomi Berupa Bank yang Berada di Desa Gempolsewu ……… 78

Gambar 13. Perbandingan Tingkat Pendidikan Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ……… 81

Gambar 14. Salah Satu Pasar yang Terdapat di Desa Kaliayu Kecamatan Cepiring ……….. 84

(17)

commit to user

xvii

DAFTAR PETA

Halaman

Peta 1. Administrasi Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ……… 49

Peta 2. Penggunaan Lahan Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ……… 53

Peta 3. Tipologi Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal ……….... 87

Peta 4. Tingkat Kesejahteraan Desa-desa Pesisir Kabupaten Kendal …… 97

Peta 5. Analisis Tipologi dengan Tingkat Kesejahteraan Desa-desa

(18)

commit to user

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Instrument Penelitian

Lampiran 2. Daftar Informan

Lampiran 3. Skor Mata Pencaharian

Lampiran 4. Perhitungan Output/Produksi Desa Dalam rupiah

Lampiran 5. Skor Output/Produksi Desa Dalam rupiah

Lampiran 6. Skor Kelembagaan

Lampiran 7. Skor Pendidikan

Lampiran 8. Skor Prasarana Desa

Lampiran 9. Skoring Tipologi Desa

Lampiran 10. Tabulasi Tingkat Kesejahteraan

Lampiran 11. Dokumentasi penelitian

(19)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih kurang 17.508

pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai 81.000 km dan luas laut 3,1 juta

km2 yang terdiri dari 0,3 juta km2 perairan territorial dan 1,8 juta km2 perairan

nusantara atau 62 % luas teritorialnya. Persentase luas perairan yang besar

tersebut, memberi konsekuensi pada luasnya wilayah pesisir dan lautan (Dahuri,

H.R., Rais, J., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J., 1996 : 1).

Secara geografis letak kepulauan Indonesia sangat strategis yakni di daerah

tropis yang diapit oleh dua benua (Asia dan Australia), dua samudera (Pasifik dan

Hindia), serta merupakan pertemuan tiga lempeng besar di dunia (Eurasia,

Indo-Australia dan Pasifik) menjadikan kepulauan Indonesia dikaruniai kekayaan

sumberdaya kelautan yang berlimpah, baik berupa sumberdaya hayati dan

non-hayati, maupun jasa-jasa lingkungan. Oleh karena itu Indonesia merupakan suatu

karakteristik unik yang di dalamnya terdapat jutaan potensi sumber daya alam

yang dapat termanfaatkan untuk kepentingan bangsa dan anak cucu bangsa yang

akan datang.

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut dengan batas

ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun perairan yang masih

mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan

air laut dan vegetasi yang khas. Ke arah laut, perairan pesisir mencakup bagian

batas terluar dari daerah paparan benua yang masih dipengaruhi oleh

proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar

(Departemen Dalam Negeri dan BCEOM, 1998 dalam Khakhim, 2009 : 7).

Dalam tahun-tahun terakhir disadari bahwa aset dan sumber daya pesisir dan

lautan memiliki peluang yang terlalu besar untuk ditinggalkan. Pengembangan

wilayah pesisir dan laut merupakan isu dan bahasan yang merupakan suatu

(20)

commit to user

pesisir dan lautan tidak memperoleh perhatian yang cukup akibat interaksi

keputusan politik yang dilandasi kepentingan agraris semata.

Ketertinggalan pembangunan wilayah pesisir dan laut sebagai sumber daya

ekonomi, merupakan indikator bahwa sektor kelautan selama ini belum menjadi

sektor prioritas dalam pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan

ekonomi. Begitu sumberdaya alam lainnya (seperti hutan dan minyak bumi) sudah

mengarah pada beban pembangunan karena sulit diperbaharui sebagai akibat

pengelolaan yang kurang bijaksana, maka sumberdaya pesisir dan laut merupakan

pilihan berikutnya karena keberlimpahan sumberdaya yang ada serta belum

dikelola secara optimal dan profesional.

Wilayah pesisir merupakan suatu ekosistem khas yang dapat dilihat dari

berbagai sudut pandang. Wilayah pesisir memiliki ekosistem yang unik,

berpotensi secara ekonomis, memiliki sosial budaya yang khas, sumber konflik

dan arah datangnya ancaman, mempunyai produktivitas tinggi dan berpeluang

mendapat tekanan dari darat maupun laut (Gunawan, T., Santosa, L.W., dan

Muta’ali L., 2001 : 2). Wilayah pesisir tersebut mempunyai nilai yang strategis

karena mengandung potensi sumberdaya pesisir baik sumberdaya hayati dan non

hayati, serta jasa-jasa lingkungan yang sangat rentan terhadap berbagai perubahan

akibat pembangunan. Demikian pula rentan terhadap bencana alam yang

kemungkinan dapat terjadi di wilayah pesisir yang berupa gelombang pasang

(tsunami), banjir, erosi dan badai.

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan

antara ekosistem darat dan laut yang berkesinambungan. Di wilayah pesisir ini

terdapat sumber daya pesisir berupa sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang

sangat kaya. Kekayaan sumberdaya pesisir tersebut menimbulkan daya tarik bagi

berbagai pihak untuk mengeksploitasinya dan berbagai instansi berkepentingan

untuk meregulasi pemanfaatannya. Sumberdaya tersebut dapat dibagi dalam

empat kategori, yaitu : (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources) seperti sumberdaya ikan, mangrove dan terumbu karang; (2) sumberdaya tidak dapat

(21)

commit to user

garam; dan (3) jasa lingkungan kelautan (enviromental services ) seperti wisata bahari, transportasi laut dan energi kelautan serta (4) benda berharga tenggelam.

Eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir menjadi salah satu permasalahan

dalam pembangunan daerah. Di satu sisi, upaya tersebut dilakukan oleh

masyarakat dan daerah untuk menggerakkan roda perekonomian, namun di sisi

lain sumberdaya perikanan semakin berkurang karena dieksploitasi secara

berlebihan serta mengalami kerusakan. Upaya pengelolaan yang selama ini

dilakukan belum menunjukkan hasil yang positif.

Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2006) tercatat 8.090 desa

pesisir yang tersebar di seluruh pulau besar maupun kecil. Di dalamnya terdapat

sekitar 16 juta jiwa dengan berbagai pekerjaan; 4 juta nelayan, 2,6 juta

pembudidaya ikan, dan lainnya 9,7 juta. Ironisnya, di antara 16 juta jiwa tersebut,

sekitar 5,2 juta tergolong miskin. Di era otonomi daerah, pembangunan wilayah

pesisir dan laut sebagai salah satu sumberdaya potensial kerap pula memunculkan

beberapa permasalahan, antara lain hubungan antara daerah dan pusat,

pembangunan ekonomi yang berkait dengan kemiskinan, serta eksploitasi

sumberdaya alam tanpa memperhatikan kelestariannya.

Kabupaten Kendal tidak hanya terdiri dari daratan tetapi juga laut 12 mil

seluas 941,28 km² dengan panjang pantai 41 km yang membentang dari

Kaliwungu sampai Rowosari. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah

selatan berbatasan dengan Kabupaten Temanggung, sebelah timur berbatasan

dengan Kota Semarang, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Batang.

Wilayah pesisir Kabupaten Kendal merupakan pesisir landai dengan material

didominasi lumpur dan sebagian kecil pasir. Pada daerah ini umumnya berupa

rataan lumpur apabila tidak ada vegetasi apapun dan berupa rawa payau jika di

atas lumpur tumbuh vegetasi seperti bakau atau tumbuhan lainnya. Kondisi pesisir

Kabupaten Kendal yang demikian menyebabkan keadaan fisiknya hampir

seragam sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi fisik pesisirnya adalah

homogen.

Kondisi alam Kabupaten Kendal yang berbatasan langsung dengan laut

(22)

commit to user

Angka Kabupaten Kendal 2009 melaporkan bahwa volume produksi perikanan

tangkap Kabupaten Kendal 2009 memberikan kontribusi sebesar 1.321,149 ton

(6,75 %) terhadap total volume produksi perikanan tangkap Jawa Tengah 2009

sebesar 195.635,7 ton. Produksi ini diperoleh dari tiga wilayah yaitu Kendal,

Cepiring dan Rowosari dengan volume masing-masing berturut-turut 63,424 ton,

20,047 ton dan 1.237,678 ton. Dilaporkan pula bahwa volume produksi perikanan

tangkap Kabupaten Kendal dalam lima tahun terakhir, yaitu periode 2006 – 2010,

mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebanyak 82.995,75 kg atau sebesar

7,27%. Nilai produksi perikanan tangkap Kabupaten Kendal pada 2009 mencapai

Rp 7.253.967.000,00 atau 0,66 % dari total nilai produksi perikanan tangkap Jawa

Tengah sebesar Rp 1.103.715.212.000,00. Dalam lima tahun terakhir yaitu

periode 2006-2010, perkembangan nilai produksi perikanan tangkap di Kabupaten

Kendal mengalami kenaikan rata-rata sebanyak Rp 531.783.750,00 atau 10,22 %.

Wilayah pesisir Kendal yang kaya potensi, mendorong berbagai pihak

pengguna untuk mengeksploitasinya secara berlebihan sesuai dengan kepentingan

masing-masing. Ancaman terhadap status kawasan ini dapat berupa abrasi dan

sedimentasi. Ancaman tersebut berasal dari ulah manusia dengan melakukan

pembangunan dan pemanfaatan lahan pesisir tanpa memperhatikan aspek-aspek

lingkungan. Pemilik tambak melakukan pembukaan lahan baru di sepanjang

pantai dengan membatasi hutan bakau untuk lahan budidaya tambak. Mereka

merasa untung karena lahan tambak mereka bertambah luas, namun di pihak lain

budidaya tambak tersebut ternyata telah menimbulkan bahaya yang lebih besar

yang akibatnya terjadi abrasi di sepanjang pantai yang terbuka. Keadaan demikian

kurang disadari oleh masyarakat. Ancaman status kawasan tersebut merupakan

akibat dari tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat, khususnya rumah tangga

nelayan di desa pesisir.

Menurut BPS Kabupaten Kendal, jumlah penduduk Kabupaten Kendal pada

tahun 2009 mencapai 964.568 jiwa. Sekitar 10,6 % dari total penduduknya atau

102.491 jiwa tinggal di daerah pesisir. Hal ini menunjukkan bahwa pesisir

merupakan kawasan yang memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat

(23)

commit to user

sumberdaya alam yang besar, seharusnya memberikan kehidupan yang baik bagi

warganya, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa desa-desa pesisir sangat

mengenaskan. Sebagian besar nelayan belum terangkat kehidupan ekonominya

dari batas garis kemiskinan. Desa Gempolsewu misalnya yang merupakan salah

satu desa pesisir di Kabupaten Kendal. Dari hasil penelitian yang dilakukan

sebelumnya menunjukkan bahwa Desa Gempolsewu merupakan desa nelayan

dengan 65,80% kepala keluarga hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih lanjut

data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Kendal menunjukkan bahwa pada

tahun 2010, 15.522 KK atau 53,4 % dari keluarga di desa-desa pesisir Kabupaten

Kendal merupakan keluarga miskin. Hal ini menunjukkan bahwa desa pesisir

merupakan salah satu bagian pesisir yang sangat terbelakang. Kesulitan mengatasi

masalah kemiskinan di desa-desa pesisir menjadikan wilayah pesisir termasuk

wilayah yang rawan di bidang sosial ekonomi. Kerawanan di bidang sosial

ekonomi dapat menimbulkan kerawanan-kerawanan di bidang kehidupan yang

lain.

Kerawanan sosial ekonomi yang dihadapi oleh rumah tangga nelayan di desa

pesisir berasal dari faktor-faktor yang saling terkait. Faktor tersebut dapat berupa

faktor alamiah dan faktor non alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi

musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor non

alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan,

ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja

yang pasti, lemahnya jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi

nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan. Inilah

kenyataan dan persoalan yang dihadapi nelayan bangsa kita. Kenyataan ini pula

yang seharusnya mendorong pemerintah terus mengupayakan adanya peningkatan

kesejahteraan masyarakat pesisir maupun nelayan. Oleh karena itu, maka perlu

dilakukan kajian mengenai kesejahteraan masyarakat pesisir sehingga dapat

dirumuskan strategi pengembangannya untuk meningkatkan kesejahteraan.

Adanya berbagai permasalahan di wilayah pesisir tersebut, maka diperlukan

strategi yang tepat untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir secara optimal. Salah

(24)

commit to user

laut Kabupaten Kendal secara optimal, professional dan tepat dengan

mengembangkan desa-desa pesisir yang ada di pesisir Kendal. Akar permasalahan

dan potensi desa-desa pesisir seharusnya perlu diketahui dalam rangka

pengembangan desa-desa pesisir. Pemahaman yang menyeluruh tentang kondisi

ini dapat dikembangkan untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara

berkelanjutan.

Langkah awal dalam upaya pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Kendal

secara berkelanjutan adalah dengan penyusunan tipologi desa-desa pesisir

berdasarkan aspek sosial ekonomi dan budaya. Berdasarkan aspek-aspek tersebut

akan dihasilkan tipologi desa dilihat dari tingkat perkembangannya. Tingkat

perkembangan desa merupakan suatu keadaan tertentu yang dicapai oleh

penduduk desa yang bersangkutan dalam menyelenggarakan kehidupannya serta

mengelola sumberdayanya. Berdasarkan tingkat perkembangan desa dapat

ditentukan usaha untuk meningkatkan desa tradisional menjadi desa maju melalui

desa transisi. Tingkat perkembangan desa ini berkaitan erat dengan tingkat

kesejahteraan masyarakat karena tingkat kesejahteraan yang tinggi akan

mendorong masyarakat untuk meningkatkan potensi dan mengelola wilayah

dengan baik. Lebih lanjut dalam lingkup pembangunan perdesaan akan dinilai

apakah kemajuan pembangunan yang dialami di bidang ekonomi juga disertai

dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan pembangunan

secara menyeluruh, kemudian dilanjutkan dengan identifikasi potensi dan masalah

yang dimiliki desa-desa pesisir pada masing-masing tipologi. Penyusunan tipologi

bermaksud untuk mengelompokkan desa-desa pesisir berdasarkan karakter

tertentu sehingga memudahkan dalam penyusunan strategi pengembangannya

sesuai dengan karakteristik, potensi dan masalah masing-masing tipologi. Oleh

karena itu penulis bermaksud melakukan penelitian yang berjudul “Analisis

(25)

commit to user B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah maka dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana tipologi desa-desa pesisir di Kabupaten Kendal?

2. Bagaimana tingkat kesejahteraan desa-desa pesisir Kabupaten Kendal?

3. Bagaimana hubungan antara tipologi desa dengan tingkat kesejahteraan

masyarakat desa pesisir Kabupaten Kendal?

4. Bagaiman strategi pengembangan desa-desa pesisir di Kabupaten Kendal?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui tipologi desa-desa pesisir di Kabupaten Kendal berdasarkan

pada aspek sosial ekonomi dan budaya.

2. Mengetahui tingkat kesejahteraan desa-desa pesisir di Kabupaten Kendal.

3. Mengetahui hubungan antara tipologi desa dengan tingkat kesejahteraan

masyarakat desa pesisir Kabupaten Kendal.

4. Menyusun strategi pengembangan desa-desa pesisir di Kabupaten Kendal.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan tentang kajian ilmu pembangunan wilayah, khususnya

tipologi desa pesisir dan pengembangannya.

b. Kajian tentang sosial ekonomi dari hasil penelitian yaitu tipologi desa

kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat

mendukung penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan

pengembangan wilayah.

2. Manfaat Praktis

Aplikasi praktis dalam konteks kehidupan dari hasil penelitian ini

(26)

commit to user

a. Dapat memberikan gambaran tentang potensi pengembangan

desa-desa pesisir Kabupaten Kendal menuju pembangunan yang

berkelanjutan.

b. Dapat memberikan masukan tentang arahan pengembangan desa-desa

pesisir di Kabupaten Kendal melalui pendekatan analisis sosial

ekonominya.

c. Dapat digunakan sebagai bahan ajar pada mata pelajaran Geografi di

(27)

commit to user

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Desa

Menurut Bintarto (1983 : 11) desa adalah suatu hasil perpaduan antara

kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu

ialah suatu ujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh

unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi

antarunsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain.

Selanjutnya Kartohadikusumo (1953) dalam Bintarto (1983 : 13) mengemukakan

“Desa ialah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri”.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005

tentang desa, mendefinisikan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat

setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai

kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan SDA, dengan susunan fungsi

kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan,

pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa desa

merupakan suatu wilayah dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya adalah

hasil interaksi kegiatan manusia dengan lingkungan dan terdapat kesatuan hukum

yang mengatur kepentingan masyarakat setempat.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yang berkaitan dengan desa,

ialah unsur-unsur desa. Menurut Bintarto (1983 : 14), unsur-unsur desa adalah

(28)

commit to user

1) Daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak beserta

penggunaannya, termasuk unsur lokasi atau letak, luas dan batas yang

merupakan lingkungan geografis setempat.

2) Penduduk yang meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan, persebaran

dan mata pencaharian penduduk setempat.

3) Tata kehidupan dalam arti pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan

pergaulan warga desa.

Ketiga unsur desa ini merupakan suatu kesatuan dan tidak dapat berdiri

sendiri sehingga tidak dapat lepas satu sama lain. Unsur daerah, penduduk dan

tata kehidupan merupakan suatu kesatuan hidup.

“Daerah menyediakan kemungkinan hidup, penduduk menggunakan

kemungkinan yang disediakan oleh daerah itu guna mempertahankan hidup. Tata

kehidupan dalam artian yang baik memberikan jaminan akan ketenteraman dan

keserasian hidup bersama di desa” (Bintarto, 1977 dalam Bintarto, 1983 : 14).

Menurut uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam suatu desa pasti

terdapat manusia, alam serta interaksi baik interaksi antarmanusia maupun

interaksi manusia dengan alam.

a. Bentuk dan Pola Desa

Menurut Daldjoeni (1998 : 60), bentuk-bentuk desa secara sederhana dapat

dikemukakan sebagai berikut :

1) Bentuk desa menyusur sepanjang pantai

Desa dengan bentuk memanjang tampak pada desa-desa nelayan dimana laut

merupakan sumber mata pencaharian. Jika desa pantai tersebut berkembang, maka

tinggal meluas dengan cara menyambung mmenyusur pantai sampai bertemu

(29)

commit to user

Keterangan :

Arah pengembangan permukiman

Daerah kawasan Industri kecil

Daerah permukiman penduduk

Keterangan :

Arah perkembangan untuk permukiman penduduk

Daerah kawasan Industri kecil desa

Daerah permukiman penduduk

Gambar 1. Bentuk Desa Pantai

Sumber : Beratha dalam Daldjoeni, 1998 : 60

2) Bentuk desa yang terpusat

Bentuk desa terpusat biasanya terletak di daerah pegunungan. Penduduk

umumnya berasal dari satu keturunan. Pemusatan tempat tinggal didorong oleh

sikap kegotongroyongan. Apabila jumlah penduduknya bertambah kemudian

terjadi pemekaran desa ke segala arah tanpa adanya rencana seperti pada Gambar

2.

Gambar 2. Bentuk Desa Terpusat

Sumber : Beratha dalam Daldjoeni, 1998 : 61 3

2 2 2

Laut

(30)

commit to user

3) Bentuk desa linier

Permukiman di dataran rendah umumnya memanjang sejajar jalan raya yang

menembus desa yang bersangkutan. Apabila ada pemekaran desa yang tidak

direncakan maka lahan pertanian di luar desa sepanjang jalan raya menjadi

permukiman baru.

Keterangan :

Arah perkembangan untuk permukiman/perluasan

Jalan tembus

Daerah kawasan Industri kecil

Daerah permukiman penduduk

Daerah pertanian

Gambar 3. Bentuk Desa Linier di Dataran Rendah

Sumber : Beratha dalam Daldjoeni, 1998 : 62

4) Bentuk desa yang mengelilingi fasilitas

Bentuk desa ini hampir sama dengan bentuk desa terpusat, yang biasanya terdapat

di dataran rendah, hanya saja di tengah-tengah desa terdapat fasilitas-fasilitas

(31)

commit to user

pemekarannya dapat ke segala arah. Industri-industri kecil dapat tersebar di

mana-mana sesuai dengan keinginan seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Bentuk Desa Mengelilingi Fasilitas

Sumber : Beratha dalam Daldjoeni, 1998 : 63

Di samping adanya berbagai bentuk desa di atas, masih ada pula yang disebut pola

desa. Bintarto (1977) dalam Daldjoeni (1998 : 65) mengemukakan adanya enam

pola desa dengan rincian sebagai berikut :

1) Memanjang jalan

2) Memanjang sungai

3) Radial

4) Tersebar

5) Memanjang pantai

6) Memanjang pantai dan sejajar jalan kereta api

b. Tipologi Desa

Tipologi desa merupakan cara untuk mengenal desa-desa yang begitu

banyak jumlahnya dan beragam bentuknya. Tipologi menggambarkan tipe atau

pola, ataupun sebagai pencerminan model berdasarkan ciri-ciri, potensi dan

sumberdaya yang dimiliki suatu desa. Tipologi dari masyarakat desa dilihat dari

kegiatan pokok yang ditekuni masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup 4

4

1

4

(32)

commit to user

sehari-hari, selain itu tipologi desa bisa dilihat dari segi pemukiman maupun dari

tingkat perkembangan masyarakat desa itu sendiri.

Apabila dilihat dari segi mata pencaharian pokok yang dikerjakan

berdasarkan kriteria Kawasan Terpilih Pusat Pengembangan Desa (KTP2D),

tipologi masyarakat desa terbagi menjadi enam tipologi yaitu desa pertanian, desa

industri, desa perkebunan, desa perikanan, desa pariwisata/jasa, dan desa

peternakan. (http://desablimbing.wordpress.com/).

Dalam penelitian ini, penyusunan tipologi dibuat berdasarkan tingkat

perkembangan desa. Tipologi desa berdasarkan tingkat perkembangannya dibagi

menjadi tiga, yang disajikan dalam Tabel 1.

Variabel yang digunakan untuk menyusun tipologi desa berdasarkan faktor

tingkat perkembangan desa yang semuanya berjumlah tujuh faktor. Pada

hakekatnya ketujuh faktor tersebut merupakan aspek-aspek kehidupan yang

merupakan produk dari usaha-usaha manusia di dalam mengelola lingkungannya

(Yunus, 1987 : 8). Ke tujuh faktor tersebut adalah mata pencaharian, produksi

desa, adat istiadat, kelembagaan, pendidikan, gotong royong, dan

prasarana/fasilitas umum.

1) Mata pencaharian

Mata pencaharian penduduk digolongkan menjadi tiga sektor, yaitu :

a) Sektor pertanian (primer) adalah penduduk yang mempunyai mata

pencaharian pokok bertani (petani pemilik, petani penggarap, buruh

tani), peternak, pencari hasil hutan, pecari bahan galian, nelayan.

b) Sektor kerajinan/industri (sekunder) adalah penduduk yang mempunyai

mata pencaharian pokok di bidang kerajinan tangan (pengrajin), dan

industri kecil.

c) Sektor jasa dan perdaganan (tersier) adalah penduduk yang mempunyai

mata pencaharian pokok di bidang perdagangan, warung, dokter, bidan,

(33)

commit to user

Tabel 1. Tingkat Perkembangan Desa

No. Tahapan

Perkembangan

Ciri-ciri

1. Desa Tradisional Adat istiadat bersifat mengikat terhadap

berbagai kegiatan manusia, hubungan antara

manusia yang satu dengan yang lain sangat erat,

pengawasan sosial didasarkan atas keluarga,

mata pencaharian penduduk masih bersifat

homogeny dan hanya cukup untuk memenuhi

kebutuhan primer, tingkat teknologi yang masih

sederhana, tingkat produktivitasnya kurang dan

keadaan prasarana yang masih sangat kurang.

2. Desa Transisi Desa yang mempunyai adat istiadat yang

mengalami perubahan, pengaruh luar mulai

masuk, perubahan berpikir dan berkembangnya

lapangan pekerjaan, mata pencaharian

berkembang ke sektor sekunder, produktivitas

meningkat dibarengi pemanfaatan teknologi

yang tepat, keadaan prasaranan lebih baik dan

memenuhi kebutuhan.

3. Desa Berkembang Adat istiadat tidak mengikat, hubungan antar

warga rasional, mata pencaharian bervariasi ke

tersier, teknologi baru dimanfaatkan untuk

usaha pertanian/kerajinan dan industr pedesaan,

produktivitas tinggi, diimbangi prasarana dan

sarana yang cukup dan memadai.

Sumber : Yunus, 1987 : 9-11

2) Produksi Desa

Produksi desa adalah jumlah total produk barang dan jasa yang

dihasilkan oleh unit-unit produksi yang beroperasi di wilayah desa tersebut

(34)

commit to user

Dalam nilai produksi desa yang dihitung adalah nilai tambah kotor dari

sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, bahan galian,

industri, dan kerajinan, perdagangan, komunikasi dan angkutan, jasa,

bangunan, sewa rumah, listrik, bank, lembaga-lembaga lain, jasa-jasa

pemerintah dalam satu tahun.

Harga produk komoditi, dihitung berdasarkan basic value dalam rupiah ditingkat pasar local desa/kecamatan, atau pasar sub regional (kabupaten/kota)

maupun pasar regional (propinsi) yang berlaku.

3) Adat Istiadat dan Kepercayaan

Upacara tradisional antara lain :

a) Upacara kelahiran bayi

b) Upacara peralihan anak ke dewasa

c) Upacara perkawinan

d) Upacara kematian

e) Upacara pergaulan antara pria dan wanita

f) Upacara yang berhubungan dengan pertanian sawah, pembangunan

irigasi dan lainnya

g) Upacara pantangan-pantangan

h) Upacara sistem hubungan keluarga dan lain-lain.

4) Kelembagaan

Kelembagaan yang dilihat adalah :

a) Lembaga pemerintahan (kepala desa, pamong desa, musyawarah desa

dan lain-lain).

b) Lembaga perekonomian (koperasi, bank, lumbung desa, BUUD/KUD).

c) Lembaga sosial (LSD, panti asuhan).

d) Lembaga pendidikan (pesantren, madrasah dan lain-lain).

e) Lembaga kesehatan (Rumah Sakit, BKIA, Poliklinik).

f) Lembaga kesenian (Olah raga, tari, wayang dan lain-lain).

g) Lembaga gotong royong (subak, arisan dan lain-lain).

h) Lembaga keamanan (hansip, hanra, ronda dan lain-lain).

(35)

commit to user

5) Pendidikan

Tingkat pendidikan diperhitungkan dari persentase jumlah penduduk

yang tamat SD ke atas terhadap jumlah penduduk seluruhnya.

6) Gotong Royong

Tingkat gotong royong masyarakat diperhitungkan berdasarkan kesadaran

masyarakat terhadap suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan

bersifat suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancar,

mudah dan ringan. Ciri-ciri gotong royong adalah sebagai berikut :

a) Tahap tersembunyi, cirinya adalah : kehendak atau keinginan pimpinan

menentukan perkembangan swadaya, potensi manusia, alam dan

kebudayaan belum dimanfaatkan secara intensif serta jenis dan kuantitas

usaha pembangunan cenderung pada bangunan-bangunan fisik non

produktif.

b) Tahap transisi, cirinya adalah : terdapat perencanaan pembangunan yang

riil baik jangka panjang maupun jangka pendek, proses pembuatan

keputusan melalui musyawarah dan rapat-rapat pertemuan dan adanya

usaha-usaha pembangunan sebagai kehendak bersama.

c) Tahap manifest, cirinya adalah : terdapat keterampilan dalam

penggunaan potensi pembangunan, partisipasi masyarakat secara terbuka

dalam pelaksanaan dan evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan

pembangunan dan pelaksanaan sesuai dengan rencana dan fungsinya.

7) Prasarana

Prasarana umum terdiri dari :

a) Prasarana perhubungan (jalan aspal, jalan batu dan jalan tanah)

b) Prasarana produksi (bangunan air dan salurannya)

c) Prasarana pemasaran (pasar, bank, toko/kios)

d) Prasarana sosial (meliputi 6 kelompok yaitu Gedung pemerintah desa,

Gedung LSD, Gedung Sekolah, Puskesmas/RS/Poliklinik,

(36)

commit to user

c. Potensi Desa

Desa mempunyai potensi fisik dan potensi non fisik. Potensi fisik desa

meliputi :

1) Tanah, yang berarti sumber tambang dan mineral, sumber tanaman yang

merupakan sumber mata pencaharian dan penghidupan.

2) Air, dalam arti sumber air, keadaan dan kualitas air dan tata airnya untuk

kepentingan irigasi, pertanian dan keperluan sehari-hari.

3) Iklim, yang merupakan peranan penting bagi desa agraris.

4) Ternak, dalam artian fungsi ternak di desa sebagai sumber tenaga, sumber

bahan makanan dan sumber keuangan.

5) Manusia, dalam arti tenaga kerja sebagai pengolah tanah dan produsen.

Selain potensi fisik di atas, desa juga mempunyai potensi non fisik, meliputi :

1) Masyarakat desa yang hidup berdasarkan gotong royong dan dapat

merupakan suatu kekuatan berproduksi dan kekuatan membangun atas

dasar kerja sama dan saling pengertian.

2) Lembaga-lembaga sosial, pendidikan dan organisasi-organisasi sosial desa

yang dapat memberikan bantuan sosial desa serta bimbingan dalam arti

positif.

3) Aparatur atau pamong desa yang kreatif dan berdisiplin sumber kelancaran

dan tertibnya pemerintahan desa. (Bintarto, 1977 dalam Bintarto, 1983 :

15-16).

d. Permasalahan Desa

Secara umum permasalahan-permasalahan yang yang erat kaitannya

dengan pembangunan desa dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain :

1) Dari segi masyarakatnya masih ada beberapa daerah yang kekurangan

pangan dan gizi, terutama pada anak-anak balita, penduduknya yang

jarang dan terpencar-pencar, tingkat kesehatan yang rendah serta tingkat

pendidikan yang rendah pula

2) Dari segi pemerintahan desanya, struktur dan aparatur masih selalu perlu

(37)

commit to user

sebagaimana mestinya, ditambah belum mantapnya koordinasi pelayanan

pemerintah yang dilaksanakan oleh berbagai unsur aparatur vertical dan

daerah

3) Dari segi geografisnya, keadaan lingkungan beberapa daerah pedesaan

yang masih kurang memenuhi persyaratan sebagai lingkungan yang sehat

dengan lingkungan hidup yang tidak sehat sedangkan teknologi yang

dimiliki justru membahayakan lingkungan hidup di sekelilingnya.

4) Dari segi kelembagaan, perlu adanya peningkatan organisasi yang selalu

dipantau secara teratur demi ketertiban dan kelancaran fungsinya.

2. Pesisir

Menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mendefinisikan wilayah pesisir adalah

daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan

di darat dan laut (http://bk.menlh.go.id, 10 Oktober 2011).

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas

darat dapat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih

mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air

laut. Ke arah laut, perairan pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah

paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di

darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar ( Departemen Dalam Negeri dan

BCEOM, 1998 dalam Khakhim, 2009 : 7). Menurut beberapa pengertian di atas

maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua proses yaitu proses yang mendapat

pengaruh sifat laut dan proses yang mendapat sifat darat.

Menurut Dahuri et al (1996 : 5-6), hingga saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia

bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.

(38)

commit to user

Lebih lanjut dikemukakan oleh Sekretariat Proyek MREP (1997) bahwa

kawasan pesisir (coastal areas) adalah kawasan yang secara geografi membentuk antar muka antara daratan dan lautan, dimana proses-proses fisik dan biologi yang

berperan di kawasan itu membuktikan betapa eratnya hubungan

terrestrial-akuatik, dan secara ekologi berupa kawasan yang mengandung sejumlah habitat

terrestrial dan akuatik yang pokok penting, yang meliputi ekosistem unik

mengandung bermacam-macam sumberdaya alam berharga. Ekosistem-ekosistem

yang saling berhubungan ini juga terkait erat dengan sistem-sistem sosial ekonomi

yang membentuk sistem-sistem sumberdaya (resources sistem).

Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir

ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan dan batas untuk wilayah

pengaturan. Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan

dimana terdapat kegiatan manusia yang dapat menimbulkan dampak secara nyata

terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas

wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan. Dari uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa batas wilayah pesisir ini belum dapat dilihat secara jelas, batas

ini dapat ditentukan dengan melihat ada tidaknya proses-proses yang mencirikan

wilayah pesisir.

Wilayah pesisir memainkan peran yang cukup penting bagi kesejahteraan

masyarakat, khususnya masyarakat pesisir. Bagian dari wilayah pesisir yang

menghubungkan ekosistem terestial dan laut merupakan wilayah yang sangat

penting bagi penyediaan barang dan jasa untuk kebutuhan masyarakat dan

merupakan komponen yang esensial dalam “human survival” . Ekosistem pesisir

selain berfungsi secara hidrobiologis, juga menyediakan manfaat ekonomi bagi

masyarakat meski kita sendiri tidak menyadarinya.

Untuk mencapai pembangunan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan

secara optimal, berkelanjutan dan andal, salah satu aspek yang sangat penting

adalah aspek sosial, ekonomi dan budaya. Aspek ini mensyaratkan bahwa

masyarakat pesisir sebagai pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan wilayah

pesisir dan lautan harus mendapatkan manfaat terbesar dari kegiatan

(39)

commit to user

keuntungan yang didapatkan justru dinikmati oleh penduduk di luar wilayah

pesisir. Oleh karena itu kebijakan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya di

wilayah pesisir yang harus diterapkan adalah :

a. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir dan

memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari

kegiatan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

b. Meningkatkan peran serta masyarakat pesisir dalam pembangunan dan

pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan.

c. Memasyarakatkan pembangunan masyarakat pesisir yang berwawasan

lingkungan yang diikuti oleh peningkatan pendapatan.

3. Tingkat Kesejahteraan

Kesejahteraan meliputi seluruh bidang kehidupan manusia, mulai dari

ekonomi, sosial, budaya, iptek, hankamnas, dan lain sebagainya. Bidang-bidang

kehidupan tersebut meliputi jumlah dan jangkauan pelayanannya. Pemerintah

memiliki kewajiban utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Tingkat kesejahteraan masyarakat seringkali ditentukan oleh besarnya

pendapatan per kapita. Kelemahan dari pengukuran pendapatan per kapita adalah

ketidakmampuannya untuk menunjukkan bagaimana pendapatan ini terdistribusi

di masyarakat. Selain itu tingkat kesejahteraan masyarakat tidak hanya ditentukan

oleh tingkat pendapatan, melainkan juga oleh faktor-faktor lain. Berdasarkan

keadaan ini maka diperlukan suatu pendekatan berbeda untuk melengkapi cara

pengukuran tingkat kesejahteraan yang biasanya cenderung dilakukan dengan

tingkat pendapatan per kapita. Morris (1979) dalam Giyarsih (2000 : 91)

mengungkapkan bahwa untuk menentukan tingkat kesejahteraan diusulkan

pendekatan yang disebut "pertumbuhan dengan keadilan" (growth with equity).

Dalam pendekatan ini diperlukan indikator yang dapat menggambarkan

kesejahteraan, yaitu dengan menggunakan indikator sosial disamping indikator

ekonomi. Indikator sosial dapat dianggap sebagai petunjuk singkat dari

(40)

commit to user

Secara umum terdapat hubungan yang erat antara tingkat kesejahteraan

masyarakat dengan tingkat perkembangan desa (Tjokroamidjojo, 1980 dalam

Giyarsih, 2000 : 90), karena tingkat kesejahteraan yang tinggi akan mendorong

masyarakat untuk meningkatkan potensi dan mengelola wilayah dengan baik.

Lebih lanjut dalam lingkup pembangunan perdesaan tersebut akan dinilai apakah

kemajuan pembangunan yang dialami di bidang ekonomi juga disertai dengan

peningkatan kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan tujuan pembangunan secara

menyeluruh.

Membangun keluarga sejahtera pada hakekatnya merupakan upaya

mengentaskan keluarga dari kemiskinan. Sedangkan hingga saat ini belum ada

satupun yang pasti dan dapat digunakan sebagai tolok ukur kemiskinan di

Indonesia. Para ahli memberikan tingkatan tentang kemiskinan di Indonesia

melalui pendekatan yang berbeda-beda, sehingga tingkatan kemiskinan yang

diperoleh juga beraneka ragam.

a. Indikator Kesejateraan menurut Sayogyo

Pada awal tahun 1970-an, Sayogyo (1971) dalam Kurniawan dan Saleh

(2010 : 54) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai

indikator kemiskinan, yang dibedakan atas daerah pedesaan dan perkotaan.

Perbedaan desa kota dilakukan dengan mendorong garis kemiskinan ke atas

sebesar 50 %. Berdasarkan metode ini kemiskinan rumah tangga dibedakan

menjadi empat kelompok, yaitu :

1) Sangat miskin, yaitu rumh tangga dengan pendapatan per kapita tahunan

di bawah nilai 240 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk

perkotaan.

2) Miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan di

bawah nilai 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg beras untuk

perkotaan.

3) Hampir miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita

tahunan dengan nilai antara 320-480 kg beras untuk pedesaan dan

(41)

commit to user

4) Tidak miskin, yaitu rumah tangga dengan pendapatan perkapita tahunan

di atas nilai 480 kg beras untuk pedesaan dan 720 kg beras untuk

perkotaan.

b. Indikator Kesejahteraan menurut BPS

Dimensi kesejahteraan sangat luas dan kompleks sehingga suatu taraf

kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu.

Berbagai aspek yang diamati yaitu kependudukan, kesehatan, pendidikan,

ketenagakerjaan, kondisi rumah tangga dan perumahan. Menurut Badan Pusat

Statistik (BPS), tingkat kesejahteraan diturunkan dari konsumsi makanan pokok

yang mencerminkan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan

ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak mampuan dari sisi ekonomi untuk

memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi

pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung persentase penduduk miskin

terhadap total penduduk.

Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK) yang

terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan dan Garis

Kemiskinan Bukan Makanan. Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara

terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah

penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis

Kemiskinan.

Garis Kemiskinan Makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan

minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkalori perkapita per hari.

Garis Kemiskinan Bukan Makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan,

sandang, pendidikan, dan kesehatan.

c. Indikator Kesejahteraan menurut BKKBN

Pengukuran kesejahteraan menurut BAPPENAS menggunakan berbagai

aspek sebagai indikator dalam pengukuran sosial hasil pembangunan. Berbagai

(42)

commit to user

kebudayaan, kesejahteraan sosial, perumahan, agama, keamanan dan ketertiban

masyarakat (Jayadinata dan Pramandika, 2008 : 115).

Dalam penelitian ini, tingkat kesejahteraan diukur berdasarkan tingkatan

dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) karena pendataan

dilakukan secara rutin setiap tahun dan memiliki tingkat detail sampai pada

tingkat desa bahkan sampai pada tingkat Rukun Tetangga. BKKBN membagi

tingkatan kesejahteraan keluarga dengan menggunakan tingkatan keluarga

sejahtera berdasarkan pemenuhan terhadap 22 indikator yang terbagi dalam 5

tahapan secara garis besar sebagai berikut :

1) Keluarga Pra Sejahtera

Yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya

(basic need) secara minimal seperti kebutuhan akan pangan, sandang, papan, dan kesehatan. Tahapan ini dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga pra

sejahtera karena alasan ekonomi dan kelurga pra sejahtera karena alasan non

ekonomi.

2) Keluarga Sejahtera I

Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya

secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya

(social psychological need), seperti kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat

tinggal dan transportasi.

Ada 5 (lima) indikator untuk mengetahui keluarga sejatera I yaitu :

a) Anggota keluarga melakukan ibadah menurut agamanya masing-masing.

b) Pada umumnya seluruh keluarga makan dua kali sehari atau lebih.

c) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di

rumah, bekerja, sekolah dan bepergian.

d) Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.

e) Bila anak sakit dan atau Pasangan Usia Subur (PUS) ingin ber-KB

(43)

commit to user

3) Keluarga Sejahtera II

Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga

psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan

perkembangannya (developmental need), seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. Keluarga sudah dapat memenuhi indikator

tahapan Keluarga Sejahtera I (indikator 1 - 5) dan indikator berikut :

a) Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan

agama dan kepercayaan masing-masing.

b) Paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan

daging/ikan/ telur.

c) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu pasang

pakaian baru dalam setahun.

d) Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk setiap penghuni rumah.

e) Tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat, sehingga dapat

melaksanakan tugas/fungsi masing-masing.

f) Ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk

memperoleh penghasilan.

g) Seluruh anggota keluarga umur 10 - 60 tahun bisa baca tulis.

h) Anak usia 10-12 tahun bersekolah.

4) Keluarga Sejahtera III

Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan

dasarnya, kebutuhan psikologisnya, dan kebutuhan pengembangannya, namun

belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) yang maksimal terhadap

masyarakat, seperti acara teratur memberikan sumbangan dalam bentuk

material dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan serta

berperan serta secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan

atau yayasan sosial; keagamaan, kesenian, olahraga, pendidikan, dan

sebagainya. Keluarga ini sudah memenuhi indikator tahapan Keluarga

Sejahtera I dan indikator Keluarga Sejahtera II (Indikator 1 - 13) dan indikator

(44)

commit to user

a) Pasangan usia subur dengan anak dua atau lebih menggunakan alat/obat

kontrasepsi.

b) Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama.

c) Sebagian penghasilan keluarga ditabung dalam bentuk uang atau barang.

d) Kebiasaan keluarga makan bersama paling kurang seminggu sekali

dimanfaatkan untuk berkomunikasi.

e) Keluarga ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal.

f) Keluarga memperoleh informasi dari surat kabar / majalah / radio /

televisi.

g) Keluarga dapat mengakses sarana transportasi (angkutan).

5) Keluarga Sejahtera III Plus

Yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya,

baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, maupun yang bersifat

pengembangan, serta telah data pula memberikan sumbangan yang nyata dan

berkelanjutan bagi masyarakat. Keluarga ini dapat memenuhi indikator

tahapan Keluarga Sejahtera I, indikator Keluarga Sejahtera II dan indikator

Keluarga Sejahtera III (indikator 1 - 20) dan indikator berikut :

a) Keluarga secara teratur dengan suka rela memberikan sumbangan

materiil untuk kegiatan sosial.

b) Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan

sosial/yayasan/ institusi masyarakat.

B. Penelitian yang Relevan

Rahmalia, Evi (2003) melakukan penelitian dengan judul Analisis Tipologi

dan Pengembangan Desa-desa Pesisir Kota Bandar Lampung. Tujuan penelitian

ini adalah : (1) mendeskripsikan persepsi stakeholder mengenai pengelolaan

desa-desa pesisir di Kota Bandar Lampung, (2) menganalisis keragaan relatif tingkat

perkembangan desa-desa pesisir dibandingkan desa/kelurahan pada umumnya di

Kota Bandar Lampung, dan (3) memberikan arahan strategi pengembangan

desa-desa pesisir di kota Bandar lampung. Metode yang digunakan adalah metode

(45)

commit to user

untuk menjawab tujuan pertama, analisis tipologi wilayah (metode analisis

skalogram dan analisis multivariate : PCA, Analisis Kelompok, Analisis

Diskriminasi) dan SIG untuk menjawab tujuan kedua serta analisis deskriptif

untuk menjawab tujuan ketiga. Hasil penelitian tersebut adalah urutan prioritas

pengembangan desa-desa pesisir dimana sektor industri merupakan prioritas

utama pengembangan, berdasarkan analisis tipologi sebagian besar desa pesisir

tergolong tipologi II yaitu wilayah dengan tingkat perkembangan rendah atau

kurang maju dibandingkan kelurahan-kelurahan lain di Bandar Lampung, arahan

pengembangan yang disesuaikan dengan tipologi wilayah.

Junaidi, Ichwan Arief (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Penyusunan

Prioritas Arahan Pengembangan Desa-desa Pesisir Menggunakan AHP (Analyical Hierarchy Process) dengan tujuan : (1) menganalisis kondisi eksisting pemanfaatan lahan pesisir dan rencana pengembangan desa-desa pesisir di

Kabupaten Kulon Progo, (2) mengetahui persepsi stakeholder terhadap prioritas

pengembangan yang paling tepat untuk dikembangkan pada desa-desa pesisir di

Kabupaten Kulon Progo, dan (3) menyusun arahan pengembangan desa-desa

pesisir di Kabupaten Kulon Progo ke depannya berdasarkan hasil AHP dan

analisis kondisi eksisting. Metode yang digunakan adalah studi literature dan

analisis deskriptif data-data yang diperoleh dari data primer maupun sekunder

dianalisis untuk menjawab tujuan pertama, survey wawancara dengan kuesioner

AHP yang selanjutnya hasil kuesioner diolah dengan software Expert Choiche

untuk menjawab tujuan kedua serta analisis deskriptif berdasarkan hasil AHP

untuk menjawab tujuan ketiga. Hasil kajian penelitian ini ialah (1) setiap desa

pesisir mempunyai karakteristik, potensi dan permasalahan wilayah yang berbeda,

berdasarkan potensi yang ada maka pengembangan pertanian menjadi prioritas

utama, (2) berdasarkan hasil AHP menurut persepsi gabungan stakeholder

diperoleh hasil bahwa aspek ekonomi menjadi prioritas utama yang

dikembangkan dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan desa

pesisir. Dari hasil tersebut akhirnya diperoleh hasil mengenai urutan prioritas

pengembangan desa pesisir dengan prioritas pertama hingga terakhir secara

(46)

commit to user

perikanan, peternakan, perhubungan, permukiman, tambang dan industri, militer.

Prioritas utama pengembangan klaster 1 desa pesisir ialah untuk pengembangan

kawasan pertanian lahan pantai terbatas, klaster 2 untuk pengembangan kawasan

perikanan laut dan klaster 3 untuk pengembangan pertanian lahan basah (3)

konsep pengelolaan desa pesisir adalah focus pada karakteristik wilayah dari

pesisir itu sendiri, yang merupakan kombinasi dari pembangunan adaptif,

terintegrasi antara aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Adapun secara singkat

(47)

29

Tabel 2. Perbandingan Penelitian Sebelumnya

Nama Evi Rahmalia (2003) Ichwan Arief Junaidi (2011) Nuzul Wachidah (2012)

Judul Analisis Tipologi dan Pengembangan Desa-desa Pesisir Kota Bandar Lampung

Penyusunan Prioritas Arahan

Tujuan 1. Mendeskripsikan persepsi stakeholder mengenai pengelolaan desa-desa pesisir di Kota Bandar Lampung. 2. Menganalisis keragaan relatif tingkat

perkembangan desa-desa pesisir dibandingkan desa/kelurahan pada umumnya di Kota Bandar Lampung. 3. Memberikan arahan strategi

pengembangan desa-desa pesisir di kota Bandar lampung.

1.Menganalisis kondisi eksisting

pemanfaatan lahan pesisir dan rencana pengembangan desa-desa pesisir di Kabupaten Kulon Progo.

2.Mengetahui persepsi stakeholder terhadap prioritas pengembangan yang paling tepat untuk dikembangkan pada desa-desa pesisir di Kabupaten Kulon Progo.

3.Menyusun arahan pengembangan desa-desa pesisir di Kabupaten Kulon Progo ke depannya berdasarkan hasil AHP dan analisis kondisi eksisting.

Metode 1. proses hirarki analitik

2. analisis tipologi wilayah (metode analisis skalogram dan analisis multivariate : PCA, Analisis

Kelompok, Analisis Diskriminasi) dan SIG

3. analisis deskriptif

1. studi literature dan analisis deskriptif 2. survey wawancara dengan kuesioner

AHP yang selanjutnya diolah dengan software Expert Choiche

3. analisis deskriptif hasil AHP

1. analisis skoring 2. analisis kuantitatif 3. overlay

Gambar

Gambar 1. Bentuk Desa Pantai
Gambar 3. Bentuk Desa Linier di Dataran Rendah
Gambar 4. Bentuk Desa Mengelilingi Fasilitas
Tabel 2. Perbandingan Penelitian Sebelumnya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah desa yang termasuk cluster I sebanyak 50 desa (10 diantaranya adalah desa pesisir) dengan karakteristik yaitu: akses terhadap kantor camat paling baik, jumlah

Keragaan Relatif Tingkat Perkembangan Desa- desa Pesisir Dibandingkan dengan Desa pada Umumnya di Kabupaten Batu Bara Berdasarkan Hasil Analisis Analisis Skalogram....

Walaupun sebagian besar desa pesisir berstatus desa mina mandiri, namun tingkat keragaman antar desa cukup tinggi, tidak hanya dilihat dari angka TSS saja, tetapi juga pada aspek

Desa-desa pesisir di Kecamatan Palangga Selatan diidentifikasikan menjadi 3 karakteristik, yaitu (1) desa pesisir yang mayoritas wilayah desanya berupa dataran rendah, yaitu

Desa-desa pesisir di Kecamatan Palangga Selatan diidentifikasikan menjadi 3 karakteristik, yaitu (1) desa pesisir yang mayoritas wilayah desanya berupa dataran rendah, yaitu

Desa-desa pesisir di Kecamatan Palangga Selatan diidentifikasikan menjadi 3 karakteristik, yaitu (1) desa pesisir yang mayoritas wilayah desanya berupa dataran rendah, yaitu

Jumlah desa yang termasuk cluster I sebanyak 50 desa (10 diantaranya adalah desa pesisir) dengan karakteristik yaitu: akses terhadap kantor camat paling baik, jumlah

HASIL Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Pesisir Melalui Pengembangan Destinasi Ekowisata Pantai di Desa Botutonuo, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango Berdasarkan