• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG SADAR WISATA DI KAWASAN PARIWISATA KUTA LOMBOK

Sapta Pesona merupakan jabaran konsep sadar wisata khususnya terkait dukungan dan peran masyarakat sebagai tuan rumah (host) dalam upaya kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Sapta pesona adalah unsur yang penting dalam mengembangkan suatu objek wisata. Citra dan mutu pariwisata di suatu daerah atau objek wisata pada dasarnya ditentukan oleh keberhasilan dalam perwujudan sapta pesona daerah tersebut. Sapta pesona merupakan tujuh kondisi yang harus diwujudkan dan dibudayakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai salah satu upaya untuk memperbesar daya tarik dan daya saing pariwisata Indonesia khususnya Kabupaten Lombok Tengah.

Keberadaan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di Lombok Tengah merupakan wujud kepedulian dan partisipasi masyarakat untuk turut serta mensukseskan pengembangan pariwisata. Pada tahun 2008 jumlah pokdarwis tercatat sebanyak delapan kelompok, kemudian pada tahun 2013 meningkat menjadi tiga puluh kelompok dengan 967 orang anggota (Statistik Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah, Tahun 2013).

Selain pokdarwis yang dibangun atas dasar kesadaran dari masyarakat, pemerintah Kabupaten Lombok Tengah membentuk kelompok Pengamanan Pariwisata (PAM Wisata/Satpam Pantai).

Pemerintah ataupun pelaku usaha pariwisata harus menjadikan sapta pesona sebagai tolak ukur untuk menilai apakah potensi wisata tersebut layak atau tidak dijadikan sebagai objek wisata tetapi juga sebagai dasar membentuk dan menjalankan manajemen pariwisata serta masyarakat di sekitar kawasan melakasankan unsur sapta pesona dalam kegiatan sehari-hari (A. Rudolf Smit, 2013). Tujuan dasar pemahaman terhadap unsur sapta pesona adalah untuk cara berpikir masyarkat, paradigma, serta pola pikir masyarkat. Sehingga untuk menganalisis tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok, maka digunakan unsur sapta pesona sebagai tolak ukur terhadap pemahaman masayarakat.

6.1 Aman (Keamanan) dan Tertib (Ketertiban)

Kenyamanan dan keamanan merupakan faktor yang dominan bagi wisatawan untuk berkunjung ke suatu destinasi pariwisata (Othman, et. al. 2012:93). Keamanan adalah keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis atau bisa juga keadaan aman dan tentram (Potter & Perry, 2005). Partisipasi masyarakat terhadap rasa aman di kawasan pariwisata Kuta Lombok sangat diperlukan, sehingga masyarakat mampu memahami arti keamanan secara utuh. Indikator keamanan secara umum pada objek wisata, yaitu sikap tidak mengganggu wisatawan, menjaga keamanan lingkungan, tidak ada premanisme dan hal yang berkaitan dengan keamanan fisik. Hasil penelitian mengenai pemberian rasa aman dari wawancara yang dilakukan seperti pernyataan berikut dan dipaparkan pada Gambar 6.1.

“……masalah parkir saq muqte tangani jeq langsung kance karcis (kartu retribusi) saq muqte beng terus mun wah majah tame, mbe-mbe taoqn pade mele parkir montorn. Araqn batur (preman) mungutn kepeng parkir, laguq tedoq-tedoq ntan, pengereqn mun arak tamu saq tamu ojoq pante ndeq langan gate, halisn siqn pade ngenem demen malem. Ndeqte tao balaqn, anuq batur (preman) nini”. (Wawancara, tgl 2 April 2014).

Gambar 6.1 Kondisi Penjagaan Pintu Masuk ke Pantai Sumber: Peneliti, 2013

Penciptaan rasa aman dari segi pengelolaan parkir serta pedagang asong di kawasan pariwisata Kuta Lombok belum maksimal. Berdasar pada Gambar 6.1 bahwa penempatan tempat pengambilan tiket sebagai wujud retribusi terhadap objek wisata hanya dibuat ala kadar. Kondisi tersebut dibenarkan petugas satpam pantai yang menyatakan bahwa areal parkir di setiap pintu masuk objek wisata hanya diberikan penghalang yang terbuat dari bambu, kemudian wisatawan atau pengunjung bebas mengambil parkir dimana mereka inginkan. Masalah pemberian rasa aman

kepada wisatawan tentu tidak sebatas pemberian tiket dan pungutan retribusi. Akan tetapi, wisatawan mengharapkan areal yang lebih tertib dalam penentuan areal parkir.

Pengelolaan areal parkir, pemberian tanda informasi seperti toilet umum, pemberian tanda atau pembatas keamanan ketika wisatawan berenang serta penertiban pedagang asongan merupakan indikator penting dalam penciptaan rasa aman. Indikator tersebut memerlukan pemahaman dari pelaku pariwisata dan khususnya masyarakat di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Upaya penertiban terhadap pedagang asongan yang dilakukan adalah merelokasi dengan membuat pasar seni yang berada di samping jalan raya Kuta. Akan tetapi, menurut seorang pelaku pariwisata selaku anggota masyarakat Kuta bahwa tempat tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan para pedagang.

Gambar 6.2 Pasar Seni Mandalika Resort sebagai Tempat Relokasi Pedagang di Pantai Kuta Sumber: Peneliti, 2013

“……..araqn tesediaaq ang taoq relokasi saq bedagang-bedagang kun pante iku, laguq ye wah mereto’ ruen, iniq laloqn tinggangan

rurung siq taoqn saq bdaagang? Edaq taon yeqn uni bbalaq, anuq ndeqn sesuai ruen. Dait endah eto taoqn, edaq tamu dateng,,”. (Wawancara, tgl 18 April 2014).

Keterangan yang diberikan tersebut menjelaskan bahwa tempat relokasi yang disediakan dengan tujuan untuk penertiban pedagang asongan yang ada pada tiga pantai di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Akan tetapi, dilihat pada Gambar 6.2 dapat dipahami kesulitan dalam mengatur dan menertibkan pelaku pariwisata yang dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan wisatawan karena kebutuhan akan rasa aman merupakan aspek dalam pertahanan jangka panjang.

6.2 Bersih (Kebersihan)

Sorotan lain pada suatu destinasi wisata yang menjadi daya saing adalah masalah kebersihan lingkungan. Disamping masyarakat sebagai objek wisata, lingkungan alam sekitar perlu diperhatikan agar tidak rusak dan tercemar (Agustini, dkk. 2013;20-21). Lalu lintas dan aktivitas manusia yang terus meningkat dari tahun ke tahun dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem fauna dan flora di sekitar objek wisata. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya menjaga kelestarian lingkungan melalui penegakan berbagai aturan dan persyaratan dalam pengelolaan di kawasan pariwisata Kuta Lombok.

Faktanya, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, tingkat kesadaran masyarakat serta pemahaman masyarakat terhadap kebersihan masih kurang. Kurangnya pemahaman tentang arti kebersihan jika dipandang dari sudut pandang

kesehatan lingkungan bahwa membuang sampah sembarangan dapat menyebabkan penyakit dan dapat merusak ekosistem yang ada di sekitar. Masalah kebersihan lingkungan menjadi hal yang sangat serius pada suatu objek wisata seperti ditemukannya banyak sampah yang terdapat di sepanjang pantai, di pinggir jalan bahkan di tempat umum seperti yang tampak pada Gambar 6.3.

Gambar 6.3 Perilaku Masyarakat dan Kondisi Sampah di Sepanjang Pantai Sumber: Peneliti, 2014

Dalam konteks tersebut sangat diperlukan kesadaran masyarakat selaku tuan rumah (host) untuk selalu menjaga lingkungan agar tetap bersih. Dalam ranah tersebut tidak hanya kesadaran dari masyarakat lokal setempat, tetapi juga pelaku wisata yang berasal dari luar kawasan, wisatawan serta pemerintah Kabupaten Lombok Tengah yang mempunyai peranan yang besar dalam menentukan kebijakan untuk mengatur dan mengelola Kawasan Pariwisata Kuta Lombok.

Perihal masyarakat membuang sampah sembarangan dan sebagai tanggung jawab petugas satpam pantai untuk menjaga kebersihan menegaskan.

“…..perilaku masyarakat mengenai membuang sampah dikarenakan kebiasaan dan juga kami menimbun sampah yang datang dari laut dengan menimbunnya dengan pasir karena tidak ada tempat pembuangan sampah yang telah ditetapkan”. (Wawancara, tgl 6 April 2014).

Dari penjelasan yang diberikan mengindikasikan perlunya pemahaman dari masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan. Kebersihan di kawasan pariwisata Kuta Lombok, kepala desa mengakui bahwa masalah kebersihan masih menjadi tanggungjawab pihak desa dan bekerjasama dengan dinas kesehatan disela penjelasan mengenai perkembangan pariwisata di Kuta Lombok.

“……masalah kebersihan memang masih menjadi kendala yang membutuhkan dukungan dan kesadaran masyarakat terutama di sekitar kampung nelayan. Kemarin kantor desa terletak di sekitar kampung nelayan dan pasar tradisional, terkait dengan berbagai pertimbangan termasuk masalah kebersihan sehingga kami sepakat untuk memindahan kantor desa di dekat jalan raya dan bersebelahan dengan sektor Kuta. Kami berharap masalah kebersihan datang dari kesadaran masyarakat sendiri”. (Wawancara, tgl 10 Maret 2014).

Dengan demikian, kesadaran masyarakat lokal merupakan faktor kunci dari keberhasilan dalam menjaga lingkungan. Masyarakat secara empiris mempunyai peranan penting dalam menjaga lingkungan dan menjadi subjek aktif dari upaya pembangunan yang dijadikan sebagai tujuan utama dari strategi partisipatif (The Mountain Institute, 2000;19). Hal ini memberikan kejelasan bahwa masyarakat

mempunyai peranan dalam menciptakan kondisi nyaman dan aman terkait dengan keberlangsungan pariwisata yang secara umum di kawasan pariwisata Kuta Lombok.

Pada sisi lain, permasalahan kebersihan tidak bisa diserahkan sepenuhanya kepada masyarakat. Perananan pemerintah sebagai pemegang kendali sangat dibutuhkan untuk membuat kebijakan dan program yang dapat menjadi acuan sehingga masyarakat dapat memahami lingkungan mereka. Lebih lanjut, kerjasama dan dukungan steakholder merupakan bentuk kerjasama yang maksimal dalam menjaga lingkungan dengan mengetahui fungsi masing-masing sosial masyarakat untuk menciptakan kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok.

6.3 Sejuk (Kesejukan) dan Indah (Keindahan)

Lingkungan yang serba hijau memberikan suasana atau keadaan yang sejuk, nyaman dan tentram. Bentuk perwujudan dalam menciptakan suasana sejuk adalah dengan memelihara kelestarian lingkungan dan penghijauan. Kesadaran masyarakat untuk mempelopori kegiatan penghijauan dan memelihara kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal merupakan bentuk dari pemahaman pada diri sebagai insan pariwisata. Hal ini berkaitan erat dengan terwujudnya keindahan lingkungan yang dapat menarik perhatian wisatawan pada objek wisata.

Kawasan pariwisata Kuta Lombok sebagai destinasi pariwisata di Kabupaten Lombok Tengah bagian selatan, secara geografis memiliki ketinggian 5–30 dpl, dengan topografi daratan yang datar dan bergelombang serta suhu udara rata 180C –

340C dengan curah hujan 125 mm/thn tipe D (Profil Desa Kuta, 2012-2013) yang berarti memiliki musim kemarau kering (hujan tropis). Oleh sebab itu, suasana yang didapat pada kawasan pariwisata Kuta Lombok sangat kering. Berdasarkan hasil survey di lapangan, pada musim kemarau persediaan air terbatas sehingga pihak penyedia akomodasi berupaya memenuhi kebutuhan tamu dengan mengambil dari bendungan Batu Jai (salah satu DAM di kabupaten Lombok Tengah), sehingga memerlukan persediaan air yang banyak. Perbedaan kontras musim kemarau dan musim hujan tampak pada Gambar 6.4.

“…..mun musim kering, edaq ngalir aiq pam, mun araq dengan mele ndaus ato ngulu (untuk shalat) jeq, muqte timbaq ang siqte ngisiq jeding. Mun yaq maraq Tasturan, Novotel jeq ye saq te angsuhan aiq jangke telu empat tengki saq sejelo, lumayan munte yaq itung biayen jeq. Meriku juaq sumur batur nini, anuq nsat. Mun lulo saq bau tahen panas jeq saq beleq-beleq maraq banten, nyiur. Lulo saq keceq-keceq jaq mate n”. (Wawancara, tgl 2 April 2014).

Gambar 6.4 Kondisi Musim Kemarau dan Musim Hujan Sumber: Peneliti, 2014

Dalam konteks ini, hal yang ditekankan adalah pemahaman masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian lingkungan agar tetap sejuk dan indah untuk mencapai pariwisata yang berkelanjutan. Istilah Green Tourism berkembang atas dasar dampak aktivitas manusia yang semakin meningkat terhadap ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan (Furqan et al, 2010). Sehingga diharapkan masyarakat memiliki kesadaran dalam menjaga kelestarian lingkungan untuk mempertahankan kesejukan dan keindahan secara berkelanjutan.

Hasil observasi di lapangan memberikan gambaran bahwa masyarakat lokal setempat masih kurang sadar dalam hal pelestarian lingkungan. Akan tetapi berbeda dengan hasil wawancara yang didapat bahwa terdapat beberapa alasan yang diungkapkan.

“…..di sini kan daerah kering, masyarakat sebenarnya berharap pemerintah mengadakan program penghijauan. Kalau masyarakat sendiri, mungkin hanya sekedar di rumah saja, itu juga kadang-kadang tidak diurus. Dalam jumlah besar, kan perlu perawatan dan tau sediri keadaan air seperti apa di daerah selatan”. (Wawancara, tgl 18 April 2014).

Analisis hasil wawancara kepada Lalu Amanah bahwa masyarakat berharap pemerintah membuat suatu program yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Di samping itu, masyarakat memerlukan antusiasme dari steakholer yang lain untuk turut serta dalam program pelestarian secara berkelanjutan. Pegembangan pariwisata berkelanjutan membutuhkan paritisipasi informasi dari semua pihak terkait agar prosesnya berkesinambungan dan memerlukan pemantauan konstan terhadap dampak yang ditimbulkan (UNEP and UNWTO, 2005, p.11-12). Dengan demikian tingkat

kepuasan wisata akan terjamin dan menjadikan wisatawan sebagai media promosi terhadap kenyamanan yang didapatkan.

6.4 Ramah (Keramah tamahan)

Pariwisata merupakan kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat (Pitana dan Gayatri, 2005:109). Hal tersebut menimbulkan hubungan antara masyarakat lokal dan wisatawan terjadi proses komoditisasi dan komersialisasi keramahtamahan masyarakat lokal secar evolutif (Greenwood, 1977). Akan tetapi, pada hakikatnya ramah tamah yaitu sikap dan perilaku masyarakat yang ramah dan sopan dalam berkomunikasi, memberikan pelayanan serta ringan tangan untuk membantu tanpa pamrih. Ramah tamah merupakan watak dan budaya bangsa Indonesia pada umumnya, selalu menghormati tamunya dan dapat menjadi tuan rumah yang baik. Sikap ramah tamah ini merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi destinasi wisata.

Faktanya, dalam hubungan evolusi sikap masyarakat terhadap wisatawan, terjadi perubahan sikap yang mula-mula positif menjadi negatif seiring dengan pertambahan jumlah wisatawan (Pitana, 2005). Perkembangan pariwisata yang diiringi meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan menyebabkan terjadinya sikap ramah mulai memudar sehingga membuat wisatawan merasa tidak nyaman dan aman. Hasil yang ditemukan dari observasi lapangan yang dilakukan memberikan kejelasan bahwa masyarakat telah mengalami perubahan pola fikir sehingga secara tidak

langsung dapat mengganggu kenyamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok.

“……iku (seraya menunjuk dua orang wisatawan asal Jerman) masih keceq-kecek. Aluh rayun iraqn “?????”, nyerang iraqn kelining-kelining melen wah”. (Observasi, 12 Oktober 2014).

Pernyataan di atas dilontarkan kepada salah seorang temannya yang juga sebagai salah satu pedagang asongan di pantai Aan. Analisis pernyataan tersebut memberikan makna bahwa sikap masayarakat telah mulai berubah dengan memandang wisatawan sebagai subjek untuk mendapatkan keuntungan tanpa memikirkan keberlanjutan pariwisata seperti pada Gambar 6.5.

Gambar 6.5 Tampak Pedagang Asongan Menawarkan Barang Sumber: Peneliti, 2014

Perilaku masyarakat lokal tersebut ditinjau dari intensitas interaksi menyebabkan hilangnya nilai keramah-tamahan. Teori indeks iritasi dari Doxey menjelaskan bawah masyarakat pada konteks ini menerima wisatawan sebagai

sesuatu yang lumrah, dan hubungan antara masyarakat (host) dengan wisatawan (guest) didominasi oleh hubungan komersial atau disebut dengan istilah Apathy (Doxey, 1976). Dengan demikian, diperlukan pelatihan sadar wisata terutama bagi pedagang asongan sebagai pelaku pariwisata yang memiliki kontak langsung dengan wisatawan. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan dan menciptakan sikap ramah tamah dan tidak selalu berorientasi pada keuntungan materi. Perilaku ramah merupakan sifat mendasar yang harus diberikan kepada wisatawan yang kemudian dapat meningkatkan loyalitas wisatawan untuk datang kembali.

6.5 Kenangan

Setiap daerah tujuan wisata mempunyai image tertentu, yaitu mental maps seseorang terhadap suatu destinasi yang mengandung keyakinan, kesan, dan persepsi. Gambaran yang terbentuk di pasar merupakan kombinasi antara berbagai faktor yang ada pada destinasi yang bersangkutan seperti cuaca, pemandangan alam, keamanan, kesehatan dan situasi, keramahtamahan dan lain-lain (Pitana, 2005;64).

Kenangan merupakan unsur sapta pesona yang dijadikan sebagai penentu terhadap keberlangsungan suatu objek wisata. Artinya, evaluasi atau persepsi dari enam unsur sebelumnya yang menjadi gambaran kondisi objek wisata selama wisatawan tersebut tinggal. Jika ditinjau kembali terhadap pembahasan pada bab sebelumnya tentang faktor yang memengaruhi ketidak-nyamanan dan amanan, maka dapat digambarkan bahwa kenangan yang didapat wisatawan mengenai objek wisata

di Kuta Lombok menjadi kurang baik dan dapat menyebabkan turunnya tingkat kunjungan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara.

Keterlibatan masyarakat lokal secara langsung dengan wisatawan sebagai dampak perkembangan pariwisata Kuta Lombok menyebabkan dua katagori kenangan yang didapat, yaitu kenangan yang bersifat positif dan negatif. Wawancara dengan Lalu Rian yang berprofesi sebagai freeland driver sering mendapatkan keluahan dari tamu ketika check-out ke bandara, salah satunya seperti pada penggalan hasil wawancara berikut.

“…..pernah dulu saya antar tamu ke bandara, kemudian saya bertanya bagaimana Lombok menurut dia. Ternyata jawabannya sangat mengejutkan saya, dia bilang orang Lombok tidak ramah (kesan memaksa) apalagi di Lembar. Kalau masalah pemandangan alam, katanya Lombok masih alami dan tenang. dia tamu dari Amerika”. (Wawancara, tgl 18 April 2014).

Dilihat makna dari hasil wawancara yang dilakukan tersebut, persepsi yang diberikan oleh wisatawan asal Amerika tersebut mendapatkan pengalaman yang kurang berkenan dari masyarakat lokal. Sebaliknya, wisatawan tersebut memandang bahwa faktor keindahan alam yang dimiliki merupakan potensi yang besar untuk menarik minat wisatawan. Analisis isi pada pernyataan di atas terdapat dua jenis respon yang diberikan selama berada di Lombok secara umum. Pernyataan tentang sikap masyarakat lokal mendapatkan respon negatif (kenangan yang bersifat negatif). Sedangkan aspek potensi wisata alam, mendapatkan antusiasme yang tinggi dan tamu tersebut memiliki keinginan untuk datang kembali (kenangan yang bersifat positif) bagi keberlangsungan pariwisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok.

Pernyataan yang diberikan merupakan (Robins, 1999;124) persepsi dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indra mereka untuk memberikan makna terhadap lingkunanannya. Respon positif terhadap keindahan alam di kawasan pariwisata Kuta Lombok merupakan kenangan yang mampu memberikan kenyamanan psikologis sehingga wisatawan dapat mengabadikannya sebagai kenangan yang indah. Potensi alam tersebut merupakan aset yang sangat berharga bagi Kabupaten Lombok Tengah khususnya mayarakat lokal yang berada di desa Kuta Lombok, keindahan alam seperti tampak pada Gambar 6.6. menjadi pengalaman positif yang dapat membuat wiatawan untuk kembali dan berpotensi menjaring wisatawan potensial yang berimplikasi positif pada publisitas mulut ke mulut (Machado, et al., 2009:86).

Gambar 6.6 Kenangan yang Bersifat Positif Sumber: Dokumen Peneliti, 2013

Gambar 6.6 adalah potensi wisata alam yang menjadi potensi utama pariwisata di Kuta Lombok. Setiap orang (masyarakat) berkewajiban menjaga dan

melestarikan daya tarik wisata dan membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih dan berperilaku santun dan menjaga kelestarian lingkungan destinasi wisata (Undang-Undang Kepariwisataan RI No.10 tahun 2009). Komponen tersebut merupakan kewajiban yang harus dilakukan masyarakat di kawasan pariwisata Kuta Lombok sehingga tercipta kesan yang baik sehingga membuat wisatawan datang kembali. Tampak pada Gambar 6.6 potensi wisata pantai dengan pasir putih yang serupa dengan biji merica, bentang pantai dengan pasir putih dan keunikan pemandangan matahari terbenam dari atas bukit di Pantai Aan.

Disisi lain, yang menjadi sorotan adalah perilaku pelaku pariwisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok yang terkesan agresif dan hanya mementingkan keuntungan sepihak, hal tersebut tampak pada Gambar 6.7.

Gambar 6.7 Kenangan yang Bersifat Negatif Sumber: Dokumen Peneliti, 2014

Tampak pada gambar 6.7 sikap pedagang asongan yang menjajakan barangnya dan ada yang sedang menunggu jemputan untuk pulang. Hal yang paling unik disini adalah bahwa pedagang asongan tidak kalah dengan wisatawan yang

datang. Mereka dijemput menggunakan mobil (sejenis inova), lebih lanjut hasil penelitian yang dilakukan mendapatkan bahwa jenis barang yang dijual seperti kain dan baju kaos mereka ambil dengan modal (budget) yang sangat rendah. Jenis baranya yang ditawarakan seperti tampak pada Gambar 6.7 yaitu pasir putih yang dimasukkan kendalam botol mineral dan karang yang dapat diambil di pantai. Seperti petikan penuturan salah seorang pedagang asongan.

“....mun model barang saq muqte dagang iku jeq mbait kun cakre, ajin muraq munte itung skitar due pulu telung dase paling mahel mun tangkong dait kereng, mun songket sesek jaq mahel. Kadang njauq laun laguq jarangn laku. Andente mauq bedagang maksimaln lime sejelo, wah tulak stenge modal. Ape lagi demen musim libur, munte rate-rateang jeq selame sebulan mauqte kurang lebihn sejute sejelo.” (Wawancara, tgl 13 Oktober 2013).

Pernyataan di atas menjelaskan tentang barang daganga yang dijual diambil dari toko di Cakra. Harga pengambilan barang berupa baju dan kain jika dihitung antara dua puluh hingga tiga puluh ribu. Sedangkan kain tenun (kain sesek) sangat mahal, dan jarang dibawa karena alasan mahal. Pedagang tersebut menambahkan jika dapat menjual lima barang perhari, bisa dibilang setengah modal sudah kembali. Apalagi pada hari libur, jika dirata-ratakan hasil satu hari kurang lebih satu juta.

Berdasarkan pernyataan tersebut jika di analisis dari sudut pandang ekonomi, tentu saja dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal. Analisis dalam pernyataan yang diberikan mengindikasikan prinsip ekonomi yang secara teoritis dampak pariwisata terhadap ekonomi masyarakat. Pada bagian ini terdapat dua kemungkinan yang terjadi ketika wisatawan kembali ke tempat asal. Pemberian

persepsi tersebut dapat berdampak bagi kelangsungan objek wisata tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut dibutuhkan pemahaman masyarakat terhadap unsur sapta pesona. Dengan demikian, Tefler (2000) menjelaskan bahwa sikap tersebut akan menimbulkan efek timbal balik, yang diartikan bahwa wisatawan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat lokal serta komunitas setempat mendapatkan dampak dari pelayanan dalam berbagai konteks secara berkelanjutan.

BAB VII

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP

Dokumen terkait