• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengembalian Pasar (selama tahun 2004 hingga 2007) 2007)

III. METODOLOGI PENELITIAN

1. Tingkat pengembalian masing-masing saham

4.1.4. PT HM Sampoerna Tbk (HMSP)

4.2.1.2. Tingkat Pengembalian Pasar (selama tahun 2004 hingga 2007) 2007)

Analisis pasar dilakukan melalui penghitungan rata-rata return pasar per kuartal. Data yang digunakan adalah data Indeks Harga Saham Gabungan per bulan di Bursa Efek Indonesia periode 2004-2007. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dapat mencerminkan kondisi investasi di Indonesia.

Tingkat pengembalian pasar yang dihitung berdasarkan IHSG dapat mencerminkan ekspektasi investor terhadap kondisi pasar.

Selama periode 2004 hingga 2007, IHSG terus mengalami fluktuasi (Tabel 9). Pada kuartal ke dua tahun

2004, tingkat pengembalian pasar menurun hingga -0,86%.

Hal ini disebabkan oleh menurunnya IHSG pada bulan Mei 2004 sebesar 49,42 poin ke level 733.99 dari 783.41 di bulan April 2004 dan pada bulan Juni 2004 IHSG juga menurun sebesar 1,59 poin ke level 732.4.

Pada kuartal ke tiga tahun 2005, tingkat pengembalian pasar juga menurun hingga -1,02%. Hal ini disebabkan oleh menurunnya IHSG pada bulan Agustus 2005 sebesar 132.21 poin ke level 1050.09 dari 1182.3 di bulan Juli 2005.

Tingkat pengembalian pasar tertinggi selama periode 2004 hingga 2007, terletak pada kuartal pertama tahun 2004 yaitu sebesar 8.38%. Hal ini mencerminkan kondisi perekonomian saat itu sangat baik untuk berinvestasi.

Sedangkan jika tingkat pengembalian pasar sedang menurun hal itu mencerminkan bahwa kondisi perekonomian sedang mengalami penurunan dan sangat beresiko untuk berinvestasi.

Tabel 9. Tingkat Pengembalian Pasar Per Kuartal Periode 2004-2007

Kuartal (Q)/tahun return market (%)

Q1/2004 8,382

4.2.2. Analisis Industri (Sektor)

Industri rokok berada di dalam sektor barang konsumsi yang diklasifikasikan oleh Bursa Efek Indonesia. Indeks Harga sektoral mencerminkan kondisi suatu sektor. Analisis Industri menurut Husnan, (2001) dimulai dengan mengidentifikasi tahap kehidupan produknya, kemudian menganalisis industri dalam kaitannya dengan kondisi perekonomian, lalu melakukan analisis kualitatif terhadap industri tersebut.

Berdasarkan tahapan tersebut, Analisis Sektor Barang Konsumsi (khususnya industri rokok) adalah:

1. Tahap kehidupan produk dari Sektor Barang Konsumsi termasuk pada Tahap kedewasaan. Pada tahap ini, pertumbuhan penjualan masih terjadi, tetapi sudah dalam tingkatan yang lebih rendah daripada tahap pertumbuhan. Hampir seluruh produk yang ada di sektor barang konsumsi ada pada tahap ini. Namun, ada yang berbeda dengan produk industri rokok. Produk Sigaret Kretek Tangan (SKT) telah memasuki tahap penurunan, sedangkan produk Sigaret Kretek Mesin (SKM) masih berada dalam tahap kedewasaan. Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan rokok banyak yang melakukan pengurangan biaya tenaga kerja, sehingga produk SKT telah berkurang cukup banyak.

2. Hubungan antara kemampuan operasi perusahaan dalam sektor barang konsumsi dengan kondisi perekonomian makro tidak selalu berjalan searah. Hal ini terlihat dari tingkat pengembalian sektoral dan tingkat pengembalian pasar tidak selalu searah (Gambar 7).

Pada kuartal kedua tahun 2004 tingkat pengembalian pasar menurun hingga melewati garis nol, namun tingkat pengembalian sektor barang konsumsi meningkat. Pada kuartal ketiga 2004 justru tingkat pengembalian pasar meningkat, tetapi tingkat pengembalian sektor barang konsumsi menurun. Pada kuartal pertama 2005, tingkat pengembalian pasar menurun, tetapi tingkat pengembalian sektor barang konsumsi meningkat. Kuartal pertama 2006 juga terjadi perbedaan arah antara tingkat pengembalian pasar yang meningkat

dengan tingkat pengembalian sektor barang konsumsi yang menurun. Pada kuartal yang lainnya, tingkat pengembalian pasar dan sektor barang konsumsi berjalan searah.

Gambar 7. Perbandingan Tingkat Pengembalian Sektor Barang Konsumsi dan Tingkat Pengembalian Pasar Per Kuartal

3. Aspek kualitatif yang digunakan dalam analisis industri terdiri dari kinerja historis, persaingan, kebijakan pemerintah, dan perubahan struktural.

a. Kinerja perusahaan-perusahaan yang ada dalam sektor barang konsumsi khususnya industri rokok selama periode 2004-2007 mengalami naik turun. Dari keempat perusahaan yang ada dalam industri rokok hanya dua perusahaan yang harga sahamnya terus meningkat yaitu PT Bentoel International Investama dan PT HM Sampoerna. Sedangkan dua perusahaan lainnya yaitu PT BAT Indonesia dan PT Gudang Garam cenderung mengalami penurunan harga saham.

b. Persaingan didalam industri rokok selama ini berjalan dengan cukup sehat dan ketat. Pada empat tahun terakhir, produk-produk yang diluncurkan para produsen rokok memiliki kemiripan dan dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini

menunjukkan bahwa persaingan di industri rokok ini cukup ketat. Para produsen rokok juga tidak saling menyerang satu sama lain dalam publikasi maupun iklannya di media. Hal ini menunjukkan persaingan dalam industri rokok cukup sehat.

c. Namun kebijakan pemerintah selama ini sangat merugikan dan menjatuhkan Industri Rokok. Kebijakan tersebut antara lain, Pemerintah mulai awal 2007 memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 134/ PMK.04/2007 tentang Perubahan ketiga atas PMK Nomor 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam aturan ini, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok per batang atau tarif cukai spesifik menjadi 11 kali lipat per batang. Namun, kebijakan ini tidak banyak mempengaruhi produksi dan penjualan rokok di Indonesia.

d. Tidak banyak perubahan struktural yang terjadi di dalam industri rokok. Inovasi yang ada dalam industri ini hanyalah peralihan proses produksi dari jenis produk sigaret kretek tangan ke sigaret kretek mesin. Hal ini dapat mengurangi biaya tenaga kerja.

Analisis industri menurut Porter’s Five Forces dilakukan dengan menganalisis lima kekuatan yang mempengaruhi suatu industri. Hasil analisis industri rokok dengan Porter’s Five Forces sebagai berikut:

1. Hambatan bagi pemain baru (barrier to entry)

Pemain baru di industri rokok akan sulit masuk secara makro (skala besar) karena merk terkenal yang dikenal secara luas memiliki posisi yang kuat di benak konsumen. Namun untuk secara mikro (skala kecil), pemain baru bisa masuk dengan mudah terutama di daerah-daerah asli perkebunan tembakau (Sindo, 2007). Pemain besar dalam industri rokok dapat melakukan capital intensive dengan menggunakan teknologi mesin untuk meningkatkan produktivitas, sedangkan pemain kecil hanya dapat melakukan labour intensive yang menggunakan teknologi sederhana dalam

produksi rokok. Maka, hambatan bagi pemain baru dalam industri rokok cukup kuat jika ingin memasuki pasar secara luas.

2. Ancaman dari produk substitusi (threat of substitutes)

Produk rokok tidak memiliki produk substitusi yang cukup kuat untuk menggantikan posisinya di benak konsumen. Oleh sebab itu, ancaman dari produk substitusi untuk produk rokok sangat lemah.

3. Kekuatan tawar dari konsumen (bargaining power of buyer)

Walaupun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 134/

PMK.04/2007 tentang Perubahan ketiga atas PMK Nomor 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau menyebabkan kenaikkan harga jual eceran rokok, konsumsi rokok tidak menurun. Hal ini terlihat dari penjualan perusahaan rokok yang cenderung meningkat. Total penjualan GGRM pada 2007 mencapai Rp 28,158 triliun atau naik 7%

dibandingkan 2006 yang tercatat Rp 26,339 triliun (Sindo, 2008).

Pada tahun 2007 PT HM Sampoerna Tbk membayar cukai kepada negara sebesar Rp 17 triliun (TEMPOInteraktif, 2008), dengan penjualan yang meningkat dari Rp 29,5 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp 29,8 triliun pada tahun 2007 (Laporan Keuangan Kuartalan PT HM Sampoerna Tbk, 2007) . Pada tahun 2007, PT Bentoel Int. Inv. Tbk membukukan penjualan sebesar Rp 4,6 triliun yang naik dibandingkan dengan penjualan tahun 2006 sebesar Rp 3 triliun (Laporan Keuangan Kuartalan PT Bentoel Int. Inv. Tbk, 2007). Pada tahun 2007, PT BAT Indonesia Tbk mengalami kenaikkan penjualan dari tahun 2006 sebesar Rp 1,4 triliun menjadi Rp 1,6 triliun di tahun 2007 (Laporan Keuangan Kuartalan PT BAT Indonesia Tbk, 2007). Berapapun harga yang ditetapkan oleh produsen rokok, konsumen akan membelinya. Maka, kekuatan tawar dari konsumen terhadap industri rokok lemah.

4. Kekuatan tawar dari pemasok (bargaining power of supplier)

Dalam industri rokok, bahan baku tembakau didapatkan melalui perkebunan tembakau yang dimiliki oleh perusahaan.

Perusahaan-perusahaan rokok memiliki perkebunan sendiri untuk memasok bahan bakunya. Oleh sebab itu, kekuatan tawar dari pemasok terhadap industri rokok lemah.

5. Tingkat persaingan diantara pemain yang ada (rivalry among existing competitor)

a. Potensi pertumbuhan industri.

Kecenderungan konsumsi rokok tetap tinggi di Indonesia terutama konsumen dari kalangan menengah kebawah (TEMPOInteraktif, 2007). Namun pada tahun 2020, produksi rokok akan stagnan, hal ini dikarenakan pemerintah akan memprioritaskan kesehatan (detikFinance, 2008). Kampanye hidup sehat tanpa rokok juga akan berpengaruh negatif pada pertumbuhan industri rokok. Kemungkinan besar pertumbuhan industri rokok akan memburuk pada 10 tahun dari sekarang.

b. Beban tetap perusahaan.

Naik turunnya beban tetap perusahaan-perusahaan rokok bervariasi selama dua tahun terakhir. PT BAT Indonesia Tbk mengalami peningkatan beban tetap dari Rp 253 juta pada 2006 menjadi Rp 17,1 miliar pada tahun 2007, beban tetap PT Bentoel Int Inv. Tbk juga meningkat dari Rp 43 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp 92 miliar pada tahun 2007, PT Gudang Garam Tbk juga mengalami kenaikan beban tetap dari Rp 738 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp 746 miliar pada tahun 2007 dan namun beban tetap PT HM Sampoerna Tbk menurun dari Rp 228 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp 180 miliar pada tahun 2008 (Laporan Keuangan Kuartalan, 2007). Beban tetap yang dipikul oleh perusahaan-perusahaan rokok bervariasi diantara mereka.

c. Diferensiasi produk

Diferensiasi produk yang ada pada industri rokok tidak terlalu banyak. Para produsen rokok cenderung memproduksi jenis produk yang mirip satu sama lain. Setiap perusahaan rokok pasti memproduksi jenis rokok yang juga diproduksi oleh perusahaan

lain. Jenis-jenis rokok yang ada di pasar terdiri sigaret kretek tangan (SKT), sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). SKT lebih dikenal dengan nama rokok kretek, SKM lebih dikenal dengan nama rokok filter dan SPM lebih dikenal dengan nama rokok putih. SKM terdiri dari dua macam, SKM dengan kadar nikotin tinggi dan rendah (mild).

Belakangan ini juga, beberapa produsen rokok memproduksi jenis SKM yang ditujukan pada konsumen menengah kebawah dengan harga yang lebih terjangkau seperti Bentoel Sejati (PT Bentoel Int. Inv. Tbk) dan Kembang Gading (PT Gudang Garam Tbk).

d. Identitas merk (brand identity)

Merk yang dimiliki oleh produk-produk rokok masing-masing sangat kuat di benak konsumen. Konsumen yang telah lama mengkonsumsi rokok cenderung setia pada satu merk rokok.

Merk yang paling kuat untuk kategori rokok kretek adalah Dji Sam Soe (PT HM Sampoerna Tbk), untuk rokok filter adalah Djarum Super (PT Djarum), untuk rokok mild adalah Sampoerna A-mild (PT HM Sampoerna Tbk) dan untuk rokok putih adalah Marlboro (PT HM Sampoerna Tbk) (SWA, 2007).

e. Informasi yang dimiliki

Informasi yang ada diantara industri rokok sangat sulit diketahui. Namun perusahaan-perusahaan rokok cenderung memiliki racikan atau resep tradisionalnya sendiri dalam memproduksi rokok. Hal ini juga dipengaruhi oleh bahan baku tembakau yang digunakan oleh mereka. Daun tembakau yang dipakai oleh satu perusahaan berbeda dengan yang dipakai oleh perusahaan lain.

Berdasarkan analisis industri yang menggunakan Porter’s Five Forces dapat disimpulkan bahwa industri rokok memiliki kekuatan yang kuat dibandingkan dengan empat kekuatan lain yang

mempengaruhinya. Persaingan di dalam industri rokok sendiri berjalan ketat sehingga memperkuat posisi industri rokok dalam pasar.

4.2.3. Analisis Fundamental Perusahaan 4.2.3.1. PT BAT Indonesia Tbk

Berdasarkan pendekatan present value, harga saham PT BAT Indonesia,Tbk selama 16 periode kuartalan antara 2004-2007 rata-rata berada dalam posisi undervalued kecuali pada kuartal pertama 2006, kuartal ketiga dan keempat tahun 2006, kuartal pertama 2007, serta kuartal ketiga 2007.

Pada kuartal pertama tahun 2006, harga saham PT BAT Indonesia,Tbk ditutup pada level Rp 6.500, sedangkan perhitungan nilai intrinsik menghasilkan angka Rp 6.379.

Kuartal ketiga 2006 harga saham ditutup pada level Rp 6.000, nilai intrinsiknya menunjukkan angka Rp 4.541. Kuartal keempat 2006 harga saham PT BAT Indonesia,Tbk ditutup pada level Rp 4.000, namun nilai intrinsiknya menunjukkan angka Rp 2.712. Kuartal pertama 2007 harga saham PT BAT Indonesia,Tbk ditutup pada level Rp 5.600, namun nilai intrinsiknya menunjukkan angka Rp 5.159. Dan pada kuartal ketiga 2007, harga saham ditutup pada level Rp 4500, dan nilai intrinsiknya sebesar Rp 4.362. Perbandingan ini dapat dilihat pada Tabel 10.

Nilai intrinsik yang lebih sering pada posisi undervalued menunjukkan bahwa investor memiliki ketertarikan yang kecil untuk berinvestasi pada saham ini. Kinerja PT BAT Indonesia Tbk membuat ekspektasi investor terhadap saham mereka rendah.

Tabel 10. Perbandingan Harga Saham PT BAT Indonesia Tbk Periode 2004-2007 Per Kuartal (dalam rupiah)

Kuartal

(Q)/tahun Harga pasar nilai intrinsik keterangan

Q1/2004 9.100 10.410 undervalued

Q2/2004 8.350 11.845 undervalued

Q3/2004 8.200 9.495 undervalued

Q4/2004 9.000 9.374 undervalued

Q1/2005 7.900 9.814 undervalued

Q2/2005 8.000 8.910 undervalued

Q3/2005 7.500 7.696 undervalued

Q4/2005 7.500 7.728 undervalued

Q1/2006 6.500 6.379 overvalued

Q2/2006 6.050 6.084 undervalued

Q3/2006 6.000 4.541 overvalued

Q4/2006 4.000 2.712 overvalued

Q1/2007 5.600 5.159 overvalued

Q2/2007 5.000 5.039 undervalued

Q3/2007 4.500 4.362 overvalued

Q4/2007 4.600 4.979 undervalued

Dokumen terkait