• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Industri // Indiustry Review

Dalam dokumen ABM Investama Tbk 2015 (Halaman 140-143)

India dan Tiongkok masih menjadi dua negara pengimpor batubara terbesar di dunia. Impor batubara India naik 20% dari tahun 2014, dari 180 juta ton menjadi 200 juta ton di tahun 2015, mengalahkan Tiongkok untuk yang pertama kalinya. Impor batubara Tiongkok tahun 2015 menurun sekitar 50 juta ton atau seperempat volume impor tahun 2014. Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah Tiongkok untuk melindungi industri domestiknya dan mengurangi emisi karbon dari pembangkit listriknya. Di 2015, Tiongkok menutup 1.000 tambang nasional untuk mengurangi produksi sebesar 70 juta ton. Penggunaan batubara di Eropa juga mengalami penurunan. Di Eropa, listrik dari sumber batubara turun menjadi sekitar 12% dari total produksi listriknya sepanjang tahun 2015. Kondisi demikian menjadi faktor pendorong rendahnya harga batubara di pasar global. Indeks Batubara Newcastle (Newcastle Coal Index) mencatat harga batubara USD 48,5 per metrik ton pada akhir 2015, turun 26% dari USD 65,8 per metrik ton per akhir 2014. Penurunan ini, bagaimanapun juga, masih lebih rendah dibandingkan penurunan harga minyak sepanjang tahun 2015 yaitu rata-rata 30,4%.

Harga Batubara Acuan (HBA) Indonesia juga mengalami penurunan. Di tahun 2015, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), HBA rata-rata adalah USD 60,1 per metrik ton, turun sekitar 17,2% dari tahun 2014, yaitu USD 72,6 per metrik ton.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, dan Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), produksi batubara Indonesia tahun 2015 mencapai 392 juta ton, turun 14,4% dari 458 juta ton di 2014. Indonesia tetap merupakan negara penghasil batubara kalori rendah terbesar di dunia.

Volume ekspor batubara Indonesia di tahun 2015 mencapai 295 juta ton, turun 22,8% dari 382 juta ton pada tahun 2014. Batubara Indonesia diekspor dalam jumlah terbesar ke India, yaitu sebanyak 50 juta ton di tahun 2015, disusul oleh Tiongkok sebanyak 28 juta ton. Sementara itu, penggunaan

India and China remained the two largest coal importers in the world. India’s coal import volume rose 20% from 180 million tons in 2014 to 200 million tons in 2015, beating China’s coal import for the very irst time. China’s coal import in 2015 declined by 50 million tons or about a quarter of its import volume in 2014. This was in line with the Chinese government’s protectionist policy aimed at shielding its domestic industry and reducing carbon emissions from its power plants. In 2015, China closed down about 1,000 mines nationwide to reduce coal production by about 70 million tons. The use of coal in Europe also declined. In the European continent, electricity generated from coal declined to 12% of the total electricity generation in 2015.

These factors played out to weigh down on coal prices in the global markets. The Newcastle Coal Price Index stood at USD 48.5/metric ton at the end of 2015, down by 26% from USD 65.8/metric ton as at the end of 2014. This decline however remained lower than the contraction of oil price throughout 2015 by an average of 30.4%.

Indonesia’s Reference Coal Price (HBA) also declined. Based on the data from the Ministry of Energy and Mineral Resources (MEMR), in 2015 average HBA was USD 60.1/metric ton, 17.2% lower than average HBA in 2014 of USD 72.6/ metric ton.

According to data from the Directorate General of Minerals and Coal, Ministry of Energy and Mineral Resources (MEMR) of the Republic of Indonesia and the Association of Coal Producers in Indonesia (APBI), coal production in Indonesia in 2015 totaled 392 million tons, 14.4% lower than 458 million tons in 2014. Indonesia remained the biggest supplier of low-grade coal in the world.

Indonesia’s coal export volume in 2015 amounted to 295 million tons, down by 22.8% from 382 million tons in 2014. Indonesia’s coal was mostly exported to India, reaching 50 million tons in 2015, followed by 28 million tons to China. Domestic use

Turunnya harga sekaligus tingkat produksi dan ekspor batubara menjadi penyebab turunnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batubara pada tahun 2015. PNBP 2015 dari sektor ini adalah Rp30 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan target awal tahun, yaitu Rp52 triliun. Nilai ekspor ini tidak turun lebih dalam lagi, karena diangkat oleh pelemahan rupiah terhadap dolar AS, yaitu dari rata-rata Rp12.440 per dolar AS di tahun 2014 menjadi Rp13.900 per dolar AS di 2015. Melemahnya harga mendorong banyak pemilik tambang batubara yang operasinya kurang eisien di Indonesia untuk menghentikan operasinya sementara, menunggu hingga iklim industrinya membaik. Beberapa masih tetap beroperasi namun dengan margin usaha yang jauh lebih kecil, dan membebankan sebagian besar penurunan harga ini kepada kontraktor pertambangan, yang pada gilirannya perlu mencari cara untuk menekan biaya lebih lanjut lagi. Beberapa kontraktor pertambangan harus kehilangan pendapatan karena ditutupnya tambang, sementara yang lainnya berupaya terus meningkatkan eisiensi operasi mereka.

Kondisi usaha di sektor ini semakin pelik dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah tentang jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Perhubungan. Kebijakan baru ini berdampak pada bertambahnya beban yang harus ditanggung produsen batubara.

Prospek usaha di industri batubara di tahun 2016 masih akan dihambat oleh situasi harga yang rendah. Meskipun demikian, Indonesia masih akan menjadi negara ekportir batubara terbesar di dunia. Dari sisi permintaan, Tiongkok sebagai salah satu konsumen batubara terbesar akan mengurangi penggunaan batubaranya untuk kebutuhan pembangkitan listrik hingga 2%. Selain itu, pemerintah Tiongkok juga tidak akan memberi izin pembukaan tambang batubara baru hingga tiga tahun ke depan. Situasi industri ini semakin menantang dengan adanya kebijakan pemerintah India untuk mengoptimalkan potensi batubara dalam negerinya, sehingga banyak pelaku industri

The decline in prices as well as in production and export volume resulted in the drop in Non-Tax State Revenue (PNBP) from the minerals and coal sector in 2015. PNBP 2015 from this sector amounted to Rp30 trillion, far below the target set for the year, i.e. Rp52 trillion. The value in export did not slump further as there was an ofsetting efect of the rupiah’s weakening against the US dollar, from an average of Rp12,440/USD in 2014 to Rp13,900/ USD in 2015.

Lower prices prompted many coal mine concession holders in Indonesia whose operations were below optimal to suspend their production as they wait for an overall better business climate. However some remained in operations although with far lower margins, and these concession holders transferred the drop in margin to the mining contractors they employed, who in turn had to seek ways to lower their operating costs further. Various mining contractors had to lose their source of revenue as their mines were temporarily shut, while the others strived to increase their operational eiciency.

The business climate in this sector was

exacerbated by the issuance of the Government Regulation on the types and tarifs of Non-Tax State Revenue (PNBP) valid in the Ministry of Transportation. This new policy caused the expenses to be borne by coal producers to swell.

The prospect of the coal industry in 2016 will be still weighed down by the low price situation. However, Indonesia will remain the largest coal exporter in the world. From the demand side, China as one of the largest consumers of coal will reduce its coal usage for power generation purposes by 2%. In addition, the Chinese government had also pledged to enact a moratorium on new coal mines at least for the next three years. The industry becomes more challenging with the Indian government issuing a new policy to optimize its domestic coal potential, efectively reducing the amount of foreign investments from Indian

negeri.

Dengan mempertimbangkan kondisi yang saat ini sedang dihadapi industri batubara, para pelaku industri dan pemerintah menetapkan target produksi batubara untuk tahun 2016 diturunkan sebanyak 6 juta ton, dari 425 juta ton di tahun 2015 menjadi 419 juta ton. Diharapkan keputusan ini dapat membantu menstabilkan harga batubara di masa mendatang.

Dalam dokumen ABM Investama Tbk 2015 (Halaman 140-143)

Dokumen terkait