• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

C. Tinjauan Film

1. Definisi

Definisi film menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang

dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.34

Pengertian secara harfiah film adalah cinemathographie yang berasal dari cinema dan tho atau phytos yang berarti cahaya serta

graphie atau graph yang berarti gambar. Pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar dapat melukis gerak dengan cahaya seseorang harus menggunakan alat khusus, yang disebut dengan kamera. Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastik yang dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut seluloid. Bidang fotografi film ini menjadi media yang dominan digunakan untuk menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa.35 Bertolak dari pengertian ini maka film pada awalnya adalah karya sinematografi yang memanfaatkan media seluloid sebagai penyimpannya.

Secara umum, film dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. Keduanya saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolahnya. Film cerita, unsur naratif adalah perlakuan terhadap cerita filmnya, sedangkan unsur semantik merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film. Pratista dalam buku “Memahami Film” menyatakan bahwa secara umum film dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :

a. Film dokumenter

Fokus utama dalam film dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian namun merekam peristiwa yang sungguh- sungguh terjadi atau otentik. Film dokumenter dapat digunakan

34 Undang-undang RI Nomor 8 tahun 1992 35

untuk berbagai macam maksud dan tujuan seperti informasi atau berita, biografi, pengetahuan, pendidikan, hingga sebagai sarana propaganda dalam bidang politik.

b. Film fiksi

Film fiksi adalah film yang terikat oleh plot. Dari sisi cerita, film fiksi sering menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata serta memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal. Manajemen produksinya lebih kompleks karena biasanya menggunakan pemain serta kru dalam jumlah yang besar.

c. Film Eksperimental

Film eksperimental tidak memiliki plot namun memiliki struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi oleh insting subyektif sineas seperti gagasan, ide, emosi, serta pengalaman batin mereka. Film eksperimental umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena mereka menggunakan simbol- simbol personal yang mereka ciptakan sendiri.36

Rectoverso jika dilihat dari ketiga jenis film di atas, masuk ke dalam jenis film fiksi. Hal ini dikarenakan Rectoverso memiliki plot (alur) yang cukup kompleks, dan pemain ataupun tokoh yang dimunculkan pada setiap cerita yang disajikan pun berbeda. Ceritanya yang berasal dari sebuah cerita kumpulan cerpen fiksi, sehingga menjadikan film Rectoverso pun konsep ceritanya terkadang di luar kehidupan nyata atau keseharian.

Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat diproduksi tanpa menggunakan seluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang menggunakan media seluloid pada tahap pengambilan gambar. Tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat disimpan pada media yang fleksibel. Hasil

36

akhir karya sinematografi dapat disimpan pada media seluloid, analog maupun digital.

Film bisa membuat orang tertahan, setidaknya saat mereka mmemontonnya secara lebih intens disbanding medium lainnya. Bukan hal yang aneh jika seorang pengulas film menyarankan agar calon penonton membawa sapu tangan maupun tisu ketika menyaksikan film yang menyedihkan. Film memang memiliki pengaruh yang begitu kuat, namun hal ini terjadi saaat film ditayangkan di bioskop. Orang terpesona oleh film sejak penciptaan teknologi film itu, meskipun gambar itu tak lebih dari gambar putus-putus di tembok putih. Ketika masuknya suara pada akhir 1920-an dan kemudian warna serta banyak kemajuan teknis lainnya, film terus membuat orang terpesona.37

Film dapat berdampak buruk bagi siapa saja yang tidak mampu menyaring pesan dan informasi yang terkandung dalam sebuah film. Ini menyadarkan kita bahwa apa yang disajikan film tidak semuanya memiliki muatan positif. Merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat untuk lebih cerdas memilih tontonan yang berkualitas agar tidak terjebak dalam realitas dan lingkungan tiruan dari media yang kompleks.

2. Tema, Karakterisasi, Setting, Alur(Plot), Sudut Pandang

 Tema

Tema berfungsi sebagai faktor dasar pemersatu film. Menentukan tema sering merupakan sebuah proses yang sulit. Kita tidak bisa mengharapkan tema akan diungkap secara jelas di pertengahan film. Biasanya setelah melihat keseluruhan film kita akan mengetahui tema dari film tersebut. Penggunaan kata tema pada film, sama seperti penggunaan pada novel, drama atau puisi. Tema dapat berarti ide pokok, persoalan, pesan, atau suatu pernyataan yang mewakili

37

keseluruhan. Namun dalam ruang lingkup film terutama yang berkembang di Amerika, tema diartikan sebagai persoalan pokok atau sebuah fokus dimana film dibangun. Dalam film, persoalan pokok atau fokus dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Plot sebagai tema. Film yang dibangun dengan plot sebagai tema memberikan penekanan kepada peristiwa- peristiwa yang terjadi. Seperti misalnya film petualangan atau detektif, film-film seperti ini ditujukan memberikan kesempatan kepada kita untuk sejenak melarikan diri dari kebosanan dan kejemuan dari kehidupan sehari-hari. Kejadian dan aksi-aksi dalam film seperti ini harus mampu menggugah dan berlangsung cepat. Tokoh-tokoh, ide, dan efek emosional dari film ini ditentukan oleh plot dan yang terpenting dari film ini adalah hasil akhirnya.

2. Efek emosional/suasana sebagai tema. Pada film ini menggunakan efek emosional/suasana yang sangat khusus sebagai fokus atau landasan struktural. Biasanya tidak terlalu sulit untuk mengenali suasana atau emosi utama yang menguasai seluruh film.

3. Tokoh sebagai tema. Film dengan penggambaran suatu tokoh tunggal yang unik melalui akting dan dialog. Daya tarik dari tokoh ini terkandung dalam sifat dan ciri-ciri yang membedakan mereka dari orang-orang biasa. Tema film-film seperti ini dapat dikemukakan dalam pemaparan singkat dari tokoh utama, dengan memberikan tekanan pada aspek-aspek luar biasa dari kepribadian tokoh tersebut.

4. Ide sebagai tema. Film yang mengangkat berbagai aspek kehidupan dan pengalaman atau keadaan manusia menjadi sebuah tema film. Terkadang sangat sulit

menebak tema film jenis ini, namun dapat dilakukan dengan mengidentifikasi secara teliti subyek abstrak dari film tersebut dalam satu kata ataupun kalimat seperti misalnya: cemburu, kemunafikan, prasangka, dll.

Jika kita ingin mengembangkan penemuan tema terhadap film jenis ini, dapat dengan berpedoman pada kategori berikut:

1. Tema sebagai sebuah pernyataan moral. Film seperti ini memiliki maksud untuk meyakinkan kita tentang kebijaksanaan atau prinsip moral tertentu dan mengajak kita untuk menerapkan prinsip tersebut dalam tingkah laku kita.

2. Tema sebagai sebuah pernyataan tentang hidup. Film seperti ini memfokuskan diri pada penunjukan sebuah

“kebenaran tentang hidup”. Selain itu juga memberikan

komenar tentang fitrah pengalaman manusia atau penilaian tentang keadaan manusia. Umumnya film jenis ini mencoba menambah perbendaharaan baru pada pengertian kita tentang hidup tanpa memberikan suatu pernyataan moral yang khusus, tetapi dengan memberikan petunjuk-petunjuk.

3. Tema sebagai sebuah pernyataan tentang sifat manusia. Berbeda dengan film yang mengangkat tokoh sebagai tema dimana tokoh adalah seorang pribadi yang unik dan berbeda dari orang-orang biasa. Film ini justru menunjukkan sifat-sifat manusia yang universal dan mewakili sifat manusia secara umum.

4. Tema sebagai komentar sosial. Film ini ditujukan untuk membuat perubahan sosial.

5. Tema sebagai sebuah teka-teki moral atau falsafi. Film seperti ini berkomunikasi terutama melalui lambang-

lambang dan citra-citra . Untuk penafsiran pada film jenis ini sangat bersifat subyektif.

Karakterisasi

Karakter tokoh yang kuat dan jelas akan membantu pencapaian kesan dari tema yang disodorkan. Apapun bentuk dan wujud tokoh itu, apakah dia seorang manusia, binatang, benda mati seperti kayu atau batu, wayang, kartun, semua harus dapat diterima dan logis.

Masih ingat film animasi “Bolt”, di film ini hampir

semua diperankan oleh binatang. Namun karena karakter-karakternya dibuat secara logis, maka penonton dapat menerima dan tertarik mengikuti jalan ceritanya. Banyak cara untuk menggambarkan tokoh agar sesuai dengan tema yang dikemukakan. Yangpertama dapat dengan secara langsung diceritakan. Cara ini yang paling mudah namun memerlukan kejelian dalam mencari titik fokus penggambaran dan mencari kata-kata yang tepat untuk melukiskannya. Cara kedua adalah dengan dialog tokoh dengan lawan mainnya. Dari dialog dapat diketahui apakah tokoh temperamental, penyabar, pendendam, dll. Caraketiga dapat dengan cara menggambarkan tingkah laku tokoh. Ketika dia bereaksi terhadap suatu stimultan, gerak- geriknya ketika melakukan sesuatu, tergambarkan dengan jelas.danmasih banyak cara lainnya. Jika kita tidak memperhatikan unsur-unsur yang paling manusiawi dalam sebuah film, atau tidak tertarik pada tokoh-tokoh dan karakter-karakternya maka kecil kemungkinan bahwa kita akan tertarik pada film itu sebagai suatu keseluruhan. Supaya dapat menarik, tokoh-tokoh haruslah masuk akal, dapat difahami dan menonjol.

Karakterisasi dapat dilihat atau ditunjukkan melalui : 1. Penampilan, Karakter yang dapat direka dari

penampilan fisik (kesan visual) dari seorang tokoh, seperti pakaian yang dikenakannya, perawakan tubuhnya, dll. Dari penampilan dapat diketahui kaya atau miskin, baik atau jahat, rapi atau lusuh, menarik atau tidak menarik, dll.

2. Dialog, Karakter yang direka dari kalimat-kalimat yang diucapkan saat tokoh berdialog dengan tokoh lain. Serta bagaimana cara tokoh tersebut berucap. Fikiran, sikap dan emosi tokoh terlihat dari cara memilih kata dan tinggi rendah intonasi. Dari dialog dapat diketahui daerah asal, tingkat pendidikan, hobi dll.

3. Aksi eksternal, Karakter yang direka dari melihat bahasa tubuh tokoh. Apakah tokoh tersebut ceroboh atau tidak, kaku atau luwes, percaya diri atau tidak, dll. 4. Aksi internal. Karakter yang direka melalui aksi batin

tokoh. Aksi batin ini berlangsung dalam fikiran dan emosi tokoh terdiri dari fikiran-fikiran yang tidak diucapkan, angan-angan, aspirasi, kenangan, ketakutan, fantasi dan harapan. Realitas batin dapat ditunjukkan melalui gambar atau suara kalbu sang tokoh, dengan kilasan-kilasan, dll.

5. Reaksi tokoh-tokoh lain, Apakah dia seorang terkenal atau biasa, disayang atau dibenci, dikagumi atau diremehkan, dll.

6. Nama tokoh, Dapat diketahui daerah asal tokoh. Apakah dia orang jawa atau bali, indonesia atau amerika, kota atau desa, dll.

7. Identitas tokoh, Apakah dokter atau guru, direktur atau kuli, pelajar atau pengangguran, dll.

Alur dan Plot

Alur cerita atau yang sering kita sebut plot adalah bangunan sebuah cerita. Berbagai cara dapat dilakukan untuk membangun sebuah cerita.

1. Sirkuler, Sebuah plot cerita yang dimulai dari A dan kembali lagi ke A.

2. Linear, Sebuah plot cerita yang dimulai dari titik awal dan maju terus hingga titik akhir cerita.

3. Foreshadowing, Sebuah plot yang bercerita tentang kejadian yang akan terjadi di masa datang, loncat pada kejadian lain dan pada penutup bercerita kembali tentang kejadian yang sudh diceritakan di depan.

4. Flashback, Menceritakan kejadian di masa lampau. Untuk membangun struktur sebuah cerita yang menarik maka dapat dihadirkan suspens atau kejutan. Dapat berupa kejutan yang sederhana ataupun yang mampu mengembangkan rasa penasaran penonton. Suspens yang terpelihara dengan baik dapat mengukuhkan struktur dramatik sebuah cerita.

Struktur dari sebuah cerita dapat terdiri dari:

1. Eksposisi, memberikan gambaran selintas mengenai cerita yang akan terjadi, tokoh yang memerankan, dll. 2. Konflik, saat dimana tokoh mulai terlibat dalam suatu

permasalahan.

3. Klimaks, puncak dari pokok permasalahan 4. Resolusi, pemecahan permasalahan.38

Setting (latar)

Setting adalah waktu dan tempat dimana cerita sebuah film berlangsung. Setting pada umumnya

38

merupakan unsur yang paling berpengaruh pada unsur lain seperti tema, visual efek, kostum, dll. Empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan setting: 1. Faktor temporal (waktu), masa saat cerita itu terjadi. 2. Faktor geografik, tempat dimana cerita terjadi. 3. Faktor ekonomi yang berlaku saat itu.

4. Faktor adat dan budaya yang berlaku saat itu.

Sudut Pandang

Sudut pandang pada sebuah film, dapat kita ketahui dengan dua cara yaitu yang dikenal dengan sebutan diegetic dan non diegetic. Diegetik merupakan suara yang sumbernya terlihat pada layar atau yang sumber tersirat untuk hadir oleh aksi film:

a. Suara karakter

b. Suara yang dibuat oleh benda-benda dalam cerita

c. Musik direpresentasikan sebagai berasal dari instrumen dalam ruang cerita (= sumber musik) Suara diegetik adalah suara disajikan sebagai berasal dari sumber dalam dunia film. Suara Digetic dapat berupa pada layar atau dari layar tergantung pada apa pun sumbernya adalah dalam bingkai atau di luar bingkai. Istilah lain untuk suara diegetik adalah suara yang sebenarnya. Diegesis adalah kata Yunani untuk "cerita menceritakan". Diegesis film ini adalah total dunia aksi cerita. Non-diegetik merupakan suara yang sumber yang tidak terlihat pada layar atau telah tersirat untuk hadir dalam aksi:

a. Komentar narator

b. Efek suara yang ditambahkan untuk efek dramatis

Suara Non-diegetik direpresentasikan sebagai berasal dari sumber di luar ruang cerita. Perbedaan antara suara diegetik atau non-diegetik tergantung pada pemahaman kita tentang konvensi menonton film dan mendengarkan. Kita tahu bahwa suara-suara tertentu yang direpresentasikan sebagian berasal dari cerita dunia, sementara yang lain direpresentasikan sebagian berasal dari luar ruang peristiwa cerita. Sebuah bermain dengan konvensi diegetik dan non-diegetik dapat digunakan untuk membuat ambiguitas (horor), atau untuk mengejutkan penonton (komedi).39

3. Penambahan dan Penciutan

Sebuah karya sastra yang mengalami proses atau beralih media, tentunya banyak terdapat beberapa perbedaan. Seperti yang akan dibahas berikut ini, yaitu terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam proses alih wahana. Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan yakni dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga dialihwahanakan, yakni diubah menjadi jenis kesenian lain. Kegiatan di bidang ini akan menyadarkan kita bahwa sastra dapat bergerak kesana kemari, berubah- ubah unsur-unsurnya agar bisa sesuai dengan wahananya yang baru.40 Salah satunya ialah ekranisasi di dalamnya terdapat seperti penambahan dan penciutan. Tidak sedikit karya sastra yang diangkat kelayar lebar, banyak hal pula yang terjadi pada karya sastra tersebut, baik berupa penambahan maupun pengurangan. Hal ini tentu sah-sah saja

39

Diterjemahkan dari Susan Hayward, Key Concepts In Cinema Studies, (London: Routledge, 1996), hlm. 75

40

dilakukan selama mendapat persetujuan dari pembuat karya,

dan tidak mengurangi “rasa” karya tersebut.

Penambahan yang dimaksud ialah, seorang penulis skenario atau sutradara melakukan penambahan pada cerita, alur, penokohan, latar, atau suasana. Hal ini karena sutradara maupun penulis skenario telah menafsirkan terlebih dahulu cerita dari karya yang akan difilmkan, kemungkinan inilah yang menyebabkan adanya penambahan disana sini. Seorang sutradara tentu mempunyai alasan tertentu untuk melakukan penambahan. Misalnya dikatakan, penambahan itu penting dari sudut filmis. Tentunya penambahan itu masih relevan dengan cerita secara keseluruhan atau karena berbagai alasan yang lain.41

Berbeda dengan istilah penciutan, sebuah karya sastra dapat dimikmati dalam kurun waktu berjam-jam bahkan berhari-hari. Namun, berbeda dengan film yang dinikmati dalam kurun waktu 120 menit atau 2 jam. Sebab itulah terkadang sutradara dan penulis scenario melakukan pemotongan adengan atau penciutan. Artinya, tidak semua hal yang diungkapkan dalam novel akan dijumpai dalam film. Sebagian cerita, alur, tokoh- tokoh, latar ataupun suasana cerita pada karya sastra tidak akan ditemui secara lengkap pada film. Sebab, sebelumnya pembuat film sudah memilih terlebih dahulu informasi-informasi atau bagian-bagian yang dianggap penting atau memadai.42 Apabila latar pada sebuah karya sastra dipindahkan secara keseluruhan ke dalam film, kemungkinan besar film itu akan memakan waktu yang cukup panjang. Mengekranisasi latar ini pun tentu akan mengalami penciutan.

4. Perubahan bervariasi

Proses ekranisasi memungkinkan seorang pembuat film untuk membuat variasi-variasi dalam film, sehingga terkesan

41 Pamusuk Eneste, Novel dan Film, (Yogyakarta: Penerbit Nusa Indah, 1991), hlm.64. 42

film yang didasarkan atas sebuah karya sastra tidak “seasli”

karya sastra tersebut. Hal ini akan memunculkan interpretasi yang berbeda dari para penikmatnya. Bagi yang telah jatuh hati pada karya sastra terlebih dahulu, pasti akan merasa kecewa apabila film tersebut tidak sesuai atau berlainan dengan karya sastra yang telah dibacanya. Berbeda hal dengan penikmat film yang belum membaca bukunya pasti ia tidak akan terlalu kecewa atas perbedaan yang terjadi antara film dan karya sastra. Hal ini justru terkesan membuat penikmat film dan pembaca diajak untuk lebih kritis lagi dalam menerima dan menyerap informasi baru, pastinya akan terjadi proses perbandingan antara kedua hal tersebut.43

Film Salah Asuhan pun dijumpai sejumlah variasi, seperti dalam buku Abdul Muis menyebutkan, Hanafi dan Corie pernah sekolah di Betawi (Jakarta). Tetapi dalam film yang di sutradarai Asrul Sani, keduanya disebutkan pernah sekolah di Eropa bukan di Jakarta. Dalam film, Salah Asuhan pula kelihatan Hanafi dan Corie berduaan di Lembah Anai, sedangkan dalam buku tidak ada cerita semacam itu. Dapat dikatakan karya sastra tersebut memiliki versi lain, namun dalam bentuk cerita yang serupa. Meskipun dalam setiap karya sastra dan film kerap terjadi variasi-variasi namun tema pokok dan amanat yang hendak diungkapkan tidak akan terlalu jauh dengan apa yang dituliskan oleh pengarang.

Dokumen terkait