• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Tinjauan Kebijakan Pembangunan Kawasan

Berbagai peraturan yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi telah menjadi dasar dalam pelaksanaan pembangunan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya. UU No.15/1997 tentang transmigrasi mengatur tentang pembangunan lokasi (kawasan) permukiman transmigrasi dilaksanakan secara terencana dan bertahap serta terpadu dengan pembangunan sektoral dan pembangunan daerah. UU ini belum dilaksanakan sepenuhnya karena masih bersifat top down dan sektoral, dan adanya kendala otonomi daerah. Akibatnya, kawasan transmigrasi tidak berkembang optimal dan menjadi beban pemerintah serta kurang didukung oleh institusi sektoral dan pemerintah daerah.

UU N0.26/2007 tentang penataan ruang menetapkan bahwa pembangunan dan pengembangan kawasan harus dimulai dengan penyusunan rencana tata ruang yang dilanjutkan dengan perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang, program sektoral, dan pelaksanaan pembangunan secara terpadu. Di kawasan transmigrasi, perencanaan tata ruang pembangunan kawasan telah dilaksanakan, namun tidak konsisten dalam pengembangannya (program dan pelaksanaan). Hal ini karena perencanaan bersifat sektoral dan top-down

sehingga rencana pengembangan sarana dan prasarana kurang mendapat dukungan dari sektor lain maupun pemerintah daerah yang mengakibatkan rencana pengembangan tata ruang tidak mampu terwujud.

UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah menetapkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan (termasuk urusan pilihan) berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dampak pelaksanaan UU ini adalah rendahnya perhatian pemerintah daerah karena prioritas pembangunan kawasan disesuaikan dengan kepentingan masing-masing pemerintah daerah dan pengembangan kawasan transmigrasi kurang mendapat prioritas.

UU No.7/2004 tentang sumberdaya air menetapkan pengelolaan sumberdaya air (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) harus melibatkan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat lokal. UU ini juga menetapkan bahwa pengelolaan air diurus oleh negara. Tanggung jawab pengelolaan air oleh pemerintah secara berjenjang didasarkan pada wilayah administratif (otonomi daerah). Salah satu kendala utama dalam pengelolaan air di kawasan transmigrasi adalah rendahnya partisipasi stakeholder.

PP No. 2/1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi mengatur bahwa pembangunan pemukiman transmigrasi melalui tahapan penyiapan permukiman (penyusunan rencana tata ruang satuan kawasan pengembangan dan rencana tata ruang rinci satuan permukiman, penyiapan lahan, prasarana dan sarana permukiman, pembangunan perumahan dan fasilitas umum), pengarahan dan penempatan, pembinaan masyarakat transmigrasi dan pembinaan lingkungan permukiman transmigrasi dengan mengikutsertakan peran serta masyarakat serta kemitraan usaha. PP ini telah dilaksanakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat UPT, tetapi belum dilaksanakan untuk pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi sesuai rencana satuan kawasan pengembangan. Kenyataan menunjukkan bahwa UPT dikembangkan secara parsial, tidak terpadu dengan UPT lainnya dalam satu SKP sehingga terdapat UPT yang bermasalah dan belum mencapai sasaran kinerja yang direncanakan. Dalam pelaksaanaannya juga kurang melibatkan masyarakat dan pengusaha. Konsekuensinya adalah kawasan transmigrasi berkembang secara alami dan lambat tumbuh, sehingga terwujudnya \pusat pertumbuhan membutuhkan waktu yang relatif lama.

PP No.65/2005 tentang pedoman penyusunan dan penerapan standar pelayanan minimal (SPM), dalam penyusunan SPM hanya melibatkan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen. Dalam pembangunan UPT telah mengacu pada aturan tersebut, tetapi dalam pengembangan kawasan transmigrasi belum mengacu pada aturan tersebut, karena pada masa lalu belum ada kebijakan pelaksanaan pembangunannya. Akibatnya, standar pelayanan minimal di kawasan transmigrasi belum tercapai, seperti sarana dan prasarana kawasan belum mencukupi kebutuhan.

PP No.38/2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota mengatur bahwa dalam menyelenggarakan urusan harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang berwenang dengan memperhatikan keserasian hubungan pemerintah dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah serta melibatkan pemangku kepentingan terkait dan berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Secara operasional, belum ada norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam pelaksanaan pengembangan kawasan transmigrasi, sehingga pengembangan berskala kawasan terabaikan dan umumnya tidak mendapat perhatian khusus dalam rencana pembangunan daerah.

Kepmen Nakertrans No.214/MEN/2007 tentang pedoman umum pembangunan dan pengembangan kota terpadu mandiri, telah diterapkan untuk pengembangan kawasan transmigrasi. Namun secara operasional masih bersifat persyaratan pengembangan kawasan transmigrasi, yang masih memerlukan penjabaran norma, standar dan prosedur dalam pelaksanaan pembangunannya.

Beberapa proyek pembangunan telah dilaksanakan di kawasan Rasau Jaya. Pembangunan permukiman transmigrasi diawali dengan pembukaan hutan rawa dan pembangunan irigasi/drainase pada Pelita I (1969-1974) dan Pelita II (1974- 1979) oleh Departemen Pekerjaan Umum melalui proyek pembukaan persawahan pasang surut (P4S) dengan tujuan melipatgandakan produksi beras nasional dalam rangka swasembada pangan. Penempatan transmigrasi diawali di Rasau Jaya I pada tahun 1971 dan terakhir pada tahun 2001 dengan jumlah yang ditempatkan 2.561 keluarga meliputi 10.862 jiwa dan saat ini penduduknya telah berkembang mencapai 5.447 keluarga meliputi 25.371 jiwa (BPS Kabupaten Pontianak, 2007).

Pada tahun 1994-2000 telah dilakukan rehabilitasi jaringan irigasi di kawasan Rasau Jaya untuk meningkatkan produksi pertanian melalui proyek

Integrated Swamps Development Project (ISDP).

Lahan persawahan pasang surut yang luas dan potensial, sarana dan prasarana irigasi/drainase yang tersedia, jumlah penduduk yang cukup banyak serta aksesibilitas yang relatif baik, ternyata belum mampu mendorong percepatan pertumbuhan kawasan transmigrasi Rasau Jaya, sehingga kawasan ini belum berkembang optimal.

Berdasarkan berbagai kondisi dan implementasi kebijakan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa kebijakan yang melandasi pelaksanaan pengembangan kawasan transmigrasi masih bersifat sektoral, belum dapat mewujudkan partisipasi semua stakeholder sejak perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi, dan belum sepenuhnya mampu mewujudkan pengembangan kawasan transmigrasi secara berkelanjutan, seperti yang terindikasi dari kondisi sebagian besar kawasan transmigrasi yang lambat tumbuh, seperti kawasan transmigrasi Rasau Jaya, dan sebagian menjadi kawasan tertinggal dengan masyarakatnya tergolong miskin.

Pada tahun 2006 Pemerintah Kabupaten Pontianak menetapkan Kawasan Rasau Jaya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan merencanakan pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM). Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menetapkan kawasan Rasau Jaya sebagai salah satu kawasan pusat pertumbuhan yang akan dikembangkan melalui program pembangunan dan pengembangan KTM sesuai dengan Rencana Strategis Depnakertrans 2006 – 2009.

Kebijakan Depnakertrans menetapkan KTM Rasau Jaya yang meliputi empat SKP. Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya yang dijadikan studi kasus dalam penelitian ini merupakan salah satu SKP yang meliputi Desa Rasau Jaya Umum sebagai pusat KTM serta Desa Rasau Jaya I sebagai pusat SKP/desa utama. Desa Rasau Jaya Umum yang merupakan pusat KTM berfungsi sebagai pusat pelayanan kawasan KTM dan pusat pemasaran produk pertanian di KTM Rasau Jaya. Desa Rasau Jaya I yang merupakan pusat SKP berfungsi sebagai pusat pelayanan tingkat SKP dan pusat koleksi produksi pertanian dan turunannya dari desa-desa di Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya.

Kebijakan RTRW Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kalimantan Barat yang

diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap pengembangan Kawasan

Transmigrasi Rasau Jaya diantaranya adalah: Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya adalah termasuk wilayah pesisir yang diharapkan dapat menjadi salah satu motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi wilayah lainnya terutama di kawasan pesisir Kalimantan Barat, mengingat letaknya cukup strategis untuk perlintasan antar wilayah serta berbatasan langsung dengan Laut Natuna. Rasau Jaya termasuk ke dalam Wilayah Prioritas (C) yang meliputi wilayah Kubu – Teluk

Batang. Selain sebagai kota yang posisinya strategis, Rasau Jaya perlu dikembangkan sebagai kawasan pertanian terpadu yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai dengan pengelolaan secara terpadu.

Berkaitan dengan konsep Revisi RTRW Kabupaten Pontianak Tahun 2014, perlu dikembangkan wilayah inti baru yang secara struktur tata ruang wilayah sangat strategis dan berpotensi relatif tinggi untuk menjadi Pusat Pertumbuhan Wilayah bagian Selatan guna pemerataan pertumbuhan wilayah. Rasau Jaya merupakan pusat kegiatan regional (Orde II). Sub-Pusat Pengembangan adalah semua ibukota kecamatan lainnya beserta desa-desa pusat pertumbuhan potensial.

Dokumen terkait