• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Analisis Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan (Studi Kasus Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Analisis Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan (Studi Kasus Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak)"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

KAWASAN TRANSMIGRASI BERKELANJUTAN

(Studi Kasus: Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya,

Kabupaten Pontianak)

HARDY BENRY SIMBOLON

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang

berjudul: Model Analisis Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi

Berkelanjutan (Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya Kabupaten Pontianak) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, Agustus 2009

(3)

Hardy Benry Simbolon. 2009. An Analysis Model of Policy for Sustainable Development in Transmigration Area (Case Study: Transmigration Area of Rasau Jaya, Pontianak Regency). Supervised by Hartrisari, Santun R.P. Sitorus, and Son Diamar.

The main purpose of this study was to formulate an analysis model of policy for the development in a transmigration area in order to achieve a sustainable development. This study was conducted in the transmigration area of Rasau Jaya in four stages: namely (1) an analysis of sustainability level of the transmigration area of Rasau Jaya according to five dimensions (ecological, economic, social, technological, as well as legal and institutional; (2) an analysis of the factors that meet stakeholders’ requirement related to transmigration area development (3) an analysis of the key factors that would determine the sustainability of transmigration areas development in Rasau Jaya based on leverage factors and the factors that fulfill the stakeholders’ requirement; (4) scenario arrangement for development and formulation of policy directions as well as their implementation strategy. The results of the study showed that a model of policy analysis for transmigration area development could be applied through several sequential procedures: identification of sensitive factors that influence area management, determination of sustainability status of the transmigration area, determination stakeholders requirement, determination of key factors for area management, formulation of policy and its priority, and arrangement of strategy implementation by involving stakeholders. The policy of transmigration area development of Rasau Jaya is directed to achieve a sustainable transmigration area of Rasau Jaya through the scenario of economic and technological development. Operationally, this policy will be applied by supplying water based on demand, expanding the size of cultivated land, improving infrastructure and facilities, stabilizing the price of agricultural commodities, and developing technology. The strategy in the policy implementation for the transmigration area development of Rasau Jaya must be an optimal and integrated management of water recourses as well as expansion of land use for agriculture activities.

(4)

Hardy Benry Simbolon. 2009. Model Analisis Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan (Studi Kasus: Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak). Dibimbing oleh: Hartrisari Hardjomidjojo, Santun R.P. Sitorus, dan Son Diamar.

Pembangunan transmigrasi dimaksudkan untuk mempertemukan minimal dua kepentingan yaitu pemanfaatan sumberdaya alam dan memberi kesempatan kerja dan peluang berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan suatu kawasan transmigrasi tidak hanya berasal dari sisi internal, tetapi juga tergantung dari perubahan-perubahan yang terjadi di luar sistem kawasan itu. Hal ini mengakibatkan dibutuhkannya suatu cara untuk membantu memahami proses terjadinya persoalan dalam pengelolaan kawasan transmigrasi yang memiliki ciri-ciri sebagai kawasan perdesaan agar pengelola mampu mengantisipasi terjadinya perubahan keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan serta adanya perubahan di luar wilayahnya.

Intervensi langsung pemerintah dalam program transmigrasi adalah membangun unit pemukiman transmigrasi (sebagai pra desa) beserta pembinaan masyarakat dan lingkungan transmigrasi selama 5 tahun, untuk kemudian diserahkan pembinaannya kepada Pemerintah Daerah yang kemudian menetapkannya sebagai desa definitif. Sebagian dari ribuan unit pemukiman transmigrasi (UPT) yang dibangun telah menjadi pusat-pusat pertumbuhan. Terdapat 66 eks UPT telah menjadi ibukota kabupaten dan 235 eks UPT menjadi ibukota kecamatan (Depnakertrans, 2005). Pencapaian perkembangan tersebut membutuhkan waktu yang relatif lama. Berdasarkan kajian empirik, lokasi transmigrasi umum dengan pola usaha tanaman pangan yang berhasil berkembang menjadi sentra produksi ataupun menjadi ibukota kecamatan membutuhkan waktu selama 17 – 20 tahun (Jones, 1979). Sebagian lain dari ribuan UPT yang telah diserahkan ke pemerintah daerah ternyata menghadapi berbagai masalah, karena belum mencapai sasaran kinerja UPT serta belum mampu untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa kawasan transmigrasi masih digolongkan kawasan yang lambat tumbuh dan sebagian menjadi kawasan tertinggal dengan masyarakat yang tergolong miskin. Hal ini bersifat ironis, mengingat tujuan program transmigrasi adalah untuk memperbaiki posisi pendapatan melalui pendayagunaan lahan-lahan pertanian yang diberikan kepada para transmigran serta memperbaiki tingkat kehidupan para transmigran tersebut (Deptrans dan PPH, 1998).

Salah satu kunci penentu keberhasilan pengembangan kawasan transmigrasi adalah efektivitas kebijakan yang dipergunakan sebagai dasar

pengelolaan kawasan transmigrasi. Kebijakan pengembangan kawasan

transmigrasi perlu disusun dengan melibatkan berbagai pihak baik pemerintah pusat maupun daerah, masyarakat transmigran, masyarakat lokal, dan lembaga swadaya masyarakat, sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar

mencerminkan kebutuhan semua pihak yang berkepentingan dengan

(5)

depan dalam rangka mendorong percepatan pembangunan kawasan yang memiliki karakteristik fisik yang rentan secara ekologis, serta menghadapi masalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukung dan sumberdaya manusia. Di samping itu, dalam model analisis ini tercakup pula aspek pemantauan dan evaluasi keberlanjutan pembangunan. Dalam proses analisis ini diperlukan pendekatan partisipatif karena pada kawasan transmigrasi sudah terbangun komunitas dan sistem kelembagaannya.

Tujuan utama penelitian adalah merancang model analisis kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi yang diperlukan dalam mengelola pengembangan kawasan transmigrasi sehingga terwujud pembangunan kawasan transmigrasi yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik dapat diuraikan ke dalam tujuan operasional sebagai berikut: (1) Mengetahui tingkat keberlanjutan pembangunan kawasan transmigrasi dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan; (2) Mengidentifikasi kebutuhan

stakeholder dalam pengembangan kawasan transmigrasi di masa mendatang; (3) Mengetahui faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi yang berkelanjutan berdasarkan faktor pengungkit keberlanjutan dan pemenuhan kebutuhan

stakeholder; dan (4) Merumuskan arahan kebijakan serta strategi implementasi yang diperlukan dalam pengembangan kawasan transmigrasi sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

Penelitian ini dilakukan di Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya Kabupaten Pontianak dengan empat tahapan yaitu: (1) Menganalisis tingkat keberlanjutan pembangunan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya berdasarkan lima dimensi pembangunan yakni ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, serta hukum dan kelembagaan, (2) Menganalisis faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder yang terkait dengan pengembangan kawasan transmigrasi, (3) Menganalisis faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi yang berkelanjutan berdasarkan faktor pengungkit keberlanjutan dan faktor pemenuhan kebutuhan Stakeholder dan (4) merumuskan arahan kebijakan serta strategi implementasinya.

Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kondisi keberlanjutan menggunakan multi dimensional scaling, analisis kebutuhan

untuk mengetahui kebutuhan stakeholder dalam pembangunan kawasan

transmigrasi di masa mendatang, dan analisis prospektif untuk menentukan faktor kunci dan skenario pengelolaan pengembangan kawasan transmigrasi. Perumusan strategi implementasi kebijakan dilakukan dengan focus group discussion yang melibatkan stakeholder utama.

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa model analisis kebijakan pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya dapat dilakukan melalui prosedur: identifikasi faktor sensitif yang mendukung pengelolaan kawasan, menentukan status keberlanjutan kawasan, menentukan kebutuhan stakeholder, menetapkan faktor kunci pengelolaan kawasan, merumuskan kebijakan dan prioritasnya, dan menyusun strategi pelaksanaannya dengan melibatkan stakeholder.

(6)

tergolong kurang berkelanjutan.

Faktor-faktor pengungkit yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya adalah: (a) Dimensi ekologi yaitu pemanfaatan limbah untuk pupuk organik, tingkat pemanfaatan lahan, ketersediaan air, dan tingkat penggunaan pestisida kimiawi, dan ketersediaan TPS limbah pertanian (b) Dimensi ekonomi yaitu harga komoditi hasil pertanian, tempat menjual hasil pertanian, besarnya pasar, dan pihak yang mendapatkan keuntungan paling besar (c) Dimensi sosial yaitu besarnya pengaruh daerah sekitar, respon masyarakat lokal terhadap transmigran, partisipasi keluarga dalam kegiatan usahatani, dan frekuensi konflik antara masyarakat lokal-transmigran (d) Dimensi teknologi yaitu teknologi konstruksi bangunan, teknologi pengelolaan air, teknologi pengolahan hasil pertanian, teknologi informasi, teknologi budidaya pertanian, dan teknologi pengolahan lahan (e) Dimensi hukum dan kelembagaan yaitu kelembagaan ekonomi dan ketersediaan peraturan tentang pengelolaan kawasan transmigrasi.

Enam faktor pengungkit yang merupakan faktor kunci keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi yaitu: (1) tingkat pemanfaatan lahan, (2) tingkat penggunaan pestisida kimiawi, (3) pemanfaatan limbah untuk pupuk organik, (4) ketersediaan air, (5) ketersediaan TPS limbah pertanian, dan (6) respon masyarakat lokal terhadap transmigran.

Faktor kunci pemenuhan kebutuhan stakeholder dalam pembangunan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya dimasa mendatang adalah: sarana prasarana dasar, harga komoditi pertanian, ketersediaan air, pemasaran hasil pertanian, luas lahan yang dimanfaatkan, teknologi pengolahan hasil, lembaga keuangan, program pendidikan pelatihan, penataan ruang wilayah, kesesuaian penggunaan lahan, dan jumlah penduduk.

Faktor kunci utama pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya merupakan penggabungan faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan kawasan dan faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder yang kemudian dianalisis menggunakan analisis prospektif. Hasil analisis diperoleh faktor kunci utama pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya adalah sarana dan prasarana dasar, ketersediaan air, luas lahan yang dimanfaatkan, harga komoditi pertanian, dan teknologi pengolahan hasil pertanian.

Skenario pengembangan kawasan yang optimal adalah skenario semi optimis dengan kondisi masa depan yaitu: air tersedia mencukupi sesuai kebutuhan, luas lahan yang dimanfaatkan meningkat, sarana dan prasarana dasar meningkat tetapi belum optimal, harga komoditi pertanian meningkat tetapi belum memadai, dan teknologi pengolahan hasil berkembang. Skenario ini memberikan hasil yang berkelanjutan dengan nilai IKKTrans 68,42.

(7)

membangun tempat-tempat penampungan air, pengembangan sistem penyediaan air bersih untuk kebutuhan domestik dengan berbagai alternatif sumber air baku, (b) peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memelihara prasarana dan sarana yang tersedia serta mengoptimalkan pengelolaan penggunaan air yang ketersediaannya terbatas pada musim kemarau, (c) pengembangan rencana tata ruang kawasan khususnya zonasi ruang untuk pengembangan komoditi pertanian unggulan (padi, jagung, dan ternak), (d) menyusun program perluasan pemanfaatan lahan pertanian terpadu dengan program rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi dan prasarana transportasi, dan (e) menarik investor untuk ikut berinvestasi dalam pengembangan komoditi padi, jagung dan ternak serta mengembangkan kemitraan antara masyarakat dan pengusaha

Kata-kata kunci: model, analisis kebijakan, pengembangan, kawasan

(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(9)

(Studi Kasus: Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya,

Kabupaten Pontianak)

Oleh:

HARDY BENRY SIMBOLON

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Ujian Tertutup

Dilaksanakan pada : 2 Juni 2009

Penguji Luar Komisi : (1) Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB

(2) Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Fakultas Pertanian, IPB

Ujian Terbuka

Dilaksanakan pada : 19 Agustus 2009

Penguji Luar Komisi : (1) Dr. Ir. H. Erman Suparno, MBA, M.Si. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI

(2) Dr. Ir. Sujana Royat, DEA.

Deputi Bidang Koordinasi Pengentasan

Kemiskinan, Kementerian Koordinator

(11)

Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak)

Nama : Hardy Benry Simbolon

NIM : P062024184

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Son Diamar MSc

Anggota Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(12)

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan Disertasi ini. Disertasi merupakan salah satu prasyarat untuk menyelesaikan studi doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Obyek penelitian ini adalah sebuah sistem mikro yaitu kawasan transmigrasi. Konteks dari sistem tersebut dilihat dari perspektif ilmu lingkungan dengan fokus pada analisis kebijakan publik dengan menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan. Dari rencana penelitian yang berjudul Model Analisis Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan (Studi Kasus: Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya Kabupaten Pontianak) akan dihasilkan suatu rumusan kebijakan pengelolaan pengembangan kawasan transmigrasi yang sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, sehingga akan terwujud suatu kawasan pertumbuhan baru yang secara ekonomi memberikan dampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, secara sosial merata dan berkeadilan, dan secara ekologi tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA., Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, dan Dr. Ir. Son Diamar, MSc, sebagai tim komisi pembimbing yang telah memberikan kontribusi besar dalam bentuk saran pemikiran dan bimbingannya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Kepada Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. sebagai ketua program studi, juga saya ucapkan terimakasih atas perhatian dan waktunya dalam memberikan dorongan dan semangat kepada saya. Pada kesempatan ini saya sampaikan juga ucapan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat yang telah banyak membantu dalam penyediaan data dan memfasilitasi focus group discussion.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini merupakan rancangan kajian yang relatif singkat dan terbatas serta jauh dari sempurna, karena sebagai manusia biasa tidak lepas dari kekurangan dan kekhilafan. Untuk itu, kritikan dan saran dari pembaca akan sangat membantu penyempurnaan disertasi ini. Pada akhirnya penulis berharap disertasi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

Bogor, Agustus 2009

(13)

Hardy Benry Simbolon lahir di Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada tanggal 6 Nopember 1954. Pendidikan formal penulis yaitu pendidikan dasar di SD Negeri 6 Jakarta pada tahun 1960 – 1966, kemudian dilanjutkan di SMP Negeri XVIII Jakarta pada tahun 1967-1969 dan SMA Negeri II Jakarta pada tahun 1970 – 1972. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana S1 di Jurusan Planologi ITB pada tahun 1981, kemudian pendidikan S2 di Program Studi Magister Manajemen Agribisnis IPB (1995 – 1997). Sejak tahun 2003 penulis menempuh pendidikan S3 Doktor di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.

Pendidikan non formal yang pernah ditempuh penulis antara lain Management Training, di Montreal Kanada (1988); Pelatihan Manajemen Proyek di Jakarta (1991); SEPALA Angkatan XXXIII di Jakarta (1993); Dale Carnegie Employee Dev Course (1994); English Course, The British Council di Jakarta (1997); SPAMA Angkatan VII di Jakarta (1998); SPAMEN Angkatan VI di Jakarta (2000) dan Program Pendidikan Reguler Angkatan XLII LEMHANNAS-RI di Jakarta (2008).

Riwayat penugasan dan jabatan penulis sebagai PNS adalah sebagai staf Direktorat Bina Program (1983 – 1992) kemudian sebagai Kasubag Sistem Perencanaan pada Biro Perencanaan (1992 – 1994). Pada tahun 1994 – 1996 menjadi Kasubag Rencana Permukiman dan tahun 1996 – 1998 sebagai Kasubag Rencana di Biro Perencanaan. Pada tahun 1998 menjadi Kabid Lahpin di Pusdatin, kemudian menjadi Kabag Rencana di Biro Perencanaan (1999). Pada tahun 2000 menjadi Plt. Asisten Deputi Urusan Perencanaan Pertumbuhan Kawasan, Deputi Bidang Kawasan Transmigrasi. Pada tahun 2001 menjadi Plt. Direktur Bina Rencana dan Pembangunan Kawasan Ditjen PSKT kemudian menjadi Direktur Bina Rencana dan Pembangunan Kawasan Ditjen PSKT pada tahun 2002. Sejak tahun 2006 menjadi Direktur Pengembangan Sarana dan Prasarana Kawasan Ditjen P2MKT.

Penghargaan dan Tanda Jasa yang pernah diterima penulis adalah Satya Lencana Karya Satya X Tahun dan Satya Lencana Karya Satya XX Tahun. Pengalaman organisasi penulis adalah sebagai anggota Ikatan Ahli Perencanaan sejak tahun 1981 dan sebagai anggota KORPRI sejak tahun 1983.

Pada tahun 1987 penulis menikah dengan drg. Katarina L. Dairi dan telah dikaruniai 3 orang anak (Alfa, Sisi dan Aldi). Saat ini penulis bertempat tinggal di Rawamangun Jakarta Timur.

Bogor, Agustus 2009

(14)

x

2.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 16

2.2 Pengembangan Wilayah ... 21

2.3 Pengembangan Kawasan Transmigrasi ... 29

2.4 Konsep Pemodelan ... 38

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 67

4.1 Kondisi Fisik ... 67

4.2 Kependudukan dan Sosial ... 72

4.3 Perekonomian ... 77

4.4 Sarana dan Prasarana ... 81

4.5 Kebijakan Pengembangan Kawasan ... 84

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 101

5.1 Tinjauan Kebijakan Pembangunan Kawasan ... 101

5.2 Status Keberlanjutan Kawasan ... 105

5.3 Permasalahan dan Kebutuhan Stakeholder dalam Pengembangan Kawasan Transmigrasi ... 117

5.4 Faktor Kunci Keberlanjutan Pembangunan Kawasan Transmigrasi .. 121

5.5 Skenario Pengembangan Kawasan Transmigrasi ... 126

5.6 Arahan Kebijakan dan Strategi Implementasi Pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya ... 133

(15)

xi 6.2 Saran ... 162

(16)

xii 1 Tujuan penelitian, sumber data, jenis data, dan output yang

diinginkan ... 51

2 Jumlah responden berdasarkan desa dan pekerjaan ... 52

3 Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi

berdasarkan nilai indeks ... 61

4 Pengaruh langsung antar faktor dalam pengembangan kawasan

transmigrasi berkelanjutan ... 64

5 Jumlah KK dan penduduk di kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 72

6 Sebaran jumlah penduduk (jiwa) berdasarkan mata pencaharian di

kawasan transmigrasi Rasau Jaya tahun 2004 ... 74

7 Realisasi penempatan transmigrasi di Rasau Jaya menurut lokasi

penempatan ... 76

8 PDRB Kabupaten Pontianak per sektor atas dasar harga berlaku

tahun 2001 dan 2003 ... 77

9 Luas panen dan produksi jagung di kawasan Rasau Jaya ... 78

10 Luas panen dan produksi komoditi padi di kawasan Rasau Jaya... 79

11 Fasilitas pendidikan di kawasan transmigrasi Rasau Jaya tahun 2003 81

12 Fasilitas kesehatan di kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 82

13 Kondisi jalan di kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 84

14 Perwilayahan pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya ... 95

15 Hasil analisis MDS dua parameter statistik keberlanjutan

pengelolaan kawasan transmigrasi ... 107

16 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai IKKTrans dan

masing-masing dimensi pengelolan kawasan transmigrasi Rasau Jaya... 108

17 Kebutuhan stakeholder dan formulasi permasalahan dalam

pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan ... 119

18 Gabungan faktor kunci dalam pengembangan kawasan transmigrasi

di Rasau Jaya ... 121

19 Prospektif faktor kunci dalam pengembangan kawasan transmigrasi

di Rasau Jaya ... 126

20 Incompatible faktor kunci dalam pengembangan kawasan

transmigrasi di Rasau Jaya ... 127

21 Definisi masing-masing skenario strategi ... 128

22 Hasil penentuan bobot skenario strategi pengembangan kawasan

transmigrasi di Rasau Jaya ... 129

23 Perubahan skor atribut faktor untuk skenario terpilih ... 131

24 Perbandingan status keberlanjutan pengelolaan Kawasan

(17)

xiii

1 Kerangka pikir konseptual penelitian... 15

2 Peta lokasi penelitian kawasan transmigrasi Rasau Jaya, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak... 48

3 Peta batas administrasi Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak 49 4 Tahapan penelitian ... 50

5 Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS ... 54

6 Diagram layang-layang keberlanjutan dimensi IKKTrans ... 60

7 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem ... 64

8 Penggunaan lahan di kawasan transmigrasi Rasau Jaya tahun 2004 .. 71

9 Konsep struktur ruang KTM Rasau Jaya ... 94

10 Peta rencana pengembangan komoditas dan prasarana di kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 100

11 Nilai indeks keberlanjutan multidimensi pengelolaan kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 105

12 Diagram layang-layang nilai IKKTrans Rasau Jaya ... 106

13 Nilai masing-masing atribut dimensi ekologi ... 109

14 Nilai masing-masing atribut dimensi ekonomi ... 112

15 Nilai masing-masing atribut dimensi sosial ... 113

16 Nilai masing-masing atribut dimensi teknologi ... 114

17 Nilai masing-masing atribut dimensi hukum dan kelembagaan ... 115

18 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan Rasau Jaya ... 117

19 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor kebutuhan stakeholder dalam pengembangan kawasan transmigrasi ... 120

20 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor gabungan dalam pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan ... 122

21 Nilai indeks keberlanjutan multidimensi pengembangan kawasan transmigrasi Rasau Jaya hasil skenario berkelanjutan ... 132

22 Grafik perbandingan status keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi Rasau Jaya saat ini dan hasil skenario ... 133

23 Tahapan pencapaian kondisi faktor kunci utama ... 136

24 Peta kawasan potensial pengembangan komoditi di Rasau Jaya ... 148

(18)

xiv 1 Jumlah penduduk Kecamatan Rasau Jaya berdasarkan kelompok

umur Tahun 2006 ... 175

2 Sebaran jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di kawasan transmigrasi Rasau Jaya tahun 2006 ... 176

3 Data iklim di kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 176

4 Analisa data curah hujan harian (mm) ... 177

5 Hasil analisis fisik dan kimia contoh air di kawasan transmigrasi... 177

6 Atribut keberlanjutan pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak ... 178

7 Hasil analisis MDS ... 183

8 Peta penggunaan lahan Kecamatan Rasau Jaya ... 186

9 Foto kondisi Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya ... 187

(19)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan transmigrasi dimaksudkan untuk mempertemukan

kepentingan pemanfaatan sumberdaya alam dan pemberian kesempatan kerja

untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Kedua kepentingan ini dapat

terpenuhi melalui kegiatan yang dilakukan secara integratif dengan pembukaan

areal baru, penempatan tenaga kerja, redistribusi lahan pertanian, pemberdayaan

masyarakat yang dimukimkan, dan pengembangan wilayah (Najiyati et al., 2005).

Intervensi langsung pemerintah dalam program transmigrasi adalah

membangun unit pemukiman transmigrasi (sebagai pra desa) beserta pembinaan

masyarakat dan lingkungan transmigrasi selama 5 tahun, untuk kemudian

diserahkan pembinaannya kepada Pemerintah Daerah yang kemudian

menetapkannya sebagai desa definitif. Sebagian dari ribuan unit pemukiman

transmigrasi (UPT) yang telah dibangun telah menjadi pusat-pusat pertumbuhan.

Terdapat 66 eks UPT telah menjadi ibukota kabupaten dan 235 eks UPT menjadi

ibukota kecamatan (Depnakertrans, 2005). Pencapaian perkembangan tersebut

membutuhkan waktu yang relatif lama. Berdasarkan kajian empirik, lokasi

transmigrasi umum dengan pola usaha tanaman pangan yang berhasil berkembang

menjadi sentra produksi ataupun menjadi ibukota kecamatan membutuhkan waktu

selama 17 – 20 tahun (Jones, 1979).

Sebagian lain dari ribuan UPT yang telah diserahkan ke pemerintah daerah

ternyata menghadapi berbagai masalah, karena belum mencapai sasaran kinerja

UPT serta belum mampu untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Laporan

analisis perkembangan unit permukiman transmigrasi pada tahun 2005

menyatakan bahwa sebagian besar transmigran pada UPT yang masih berada

dalam masa pembinaan memiliki permasalahan antara lain: pendapatan per kapita

di bawah nilai rata-rata pendapatan per kapita kabupaten, munculnya konflik

dengan penduduk lokal, masalah status (kepemilikan) tanah, rusaknya

infrastruktur jalan serta rendahnya kinerja para pembina UPT (Depnakertrans,

(20)

Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa kawasan transmigrasi

masih digolongkan kawasan yang lambat tumbuh dan sebagian menjadi kawasan

tertinggal dengan masyarakat yang tergolong miskin. Hal ini bersifat ironis,

mengingat tujuan program transmigrasi adalah untuk memperbaiki posisi

pendapatan melalui pendayagunaan lahan-lahan pertanian yang diberikan kepada

para transmigran serta memperbaiki tingkat kehidupan para transmigran tersebut

(Deptrans dan PPH, 1998).

Dalam perspektif global, beberapa lembaga di dalam dan luar negeri

bahkan menyatakan bahwa program transmigrasi menimbulkan masalah karena

mayoritas (80%) lokasi transmigrasi tidak menunjukkan peningkatan/perbaikan

standar kehidupan (Rich, 1994), mendorong terjadinya perampasan tanah milik

masyarakat adat tempatan secara sistematis, penebangan dan penggundulan hutan

(deforestation), dan kerusakan lingkungan, memicu timbulnya konflik berdarah

antar komunitas (antara lain di Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan

Maluku) yang menyebabkan banyaknya pengungsi internal di Indonesia (Adhiati,

2001). Pandangan tersebut muncul dengan dilandasi oleh berkembangnya isu

global mengenai pembangunan yang merusak kelestarian lingkungan serta

pelanggaran hak asasi manusia.

Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan perhatian dan

bantuan dalam pengembangan unit-unit permukiman transmigrasi dalam rangka

mempercepat tercapainya satuan sosial ekonomi yang mandiri serta mampu

tumbuh berkelanjutan. Hal tersebut diwujudkan dengan mengembangkan unit-unit

permukiman transmigrasi yang ada secara terpadu dengan permukiman

masyarakat di sekitarnya dalam suatu hamparan kawasan transmigrasi dengan

pendekatan pengelolaan Satuan Kawasan Pengembangan (SKP). Pendekatan

pengelolaan SKP pernah dilakukan dengan nama Transmigration Second Stage

Development Programme (TSSDP) menggunakan bantuan pembiayaan dari

World Bank (Deptrans, 1989) namun terhenti bersamaan dengan berakhirnya

bantuan tersebut. Upaya tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan serta

tidak dapat berlanjut karena dikelola secara sentralistik dengan pendekatan

(21)

Pada tahun 2007 kebijakan pengembangan satuan kawasan dalam

pembangunan transmigrasi semakin dipertegas dengan diluncurkannya program

pembangunan dan pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) di kawasan

transmigrasi, dengan maksud menata kembali kawasan-kawasan transmigrasi

yang belum berkembang dan mempercepat terwujudnya pusat-pusat pertumbuhan

baru (Kepmen Nakertrans 214/2007). Program tersebut dirancang secara holistik

dan komprehensif layaknya membangun kawasan transmigrasi yang bernuansa

perkotaan. Melalui program tersebut diharapkan terjadi akselerasi perekonomian

perdesaan dan terwujudnya kawasan transmigrasi yang mandiri.

Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya termasuk kategori lokasi permukiman

transmigrasi yang lambat berkembang namun memiliki potensi untuk tumbuh dan

berkembang menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru di Kabupaten

Pontianak. Lahan pertanian yang disediakan untuk masyarakat transmigran

termasuk kategori lahan basah yang marginal dengan produktivitas rendah (lahan

gambut). Kondisi fisik lahan termasuk dataran rendah yang terletak di kawasan

pesisir dalam ekosistem lahan rawa pasang-surut yang dipengaruhi oleh Sungai

Punggur Besar dengan ketinggian 4-5 m dpl.

Pembangunan permukiman transmigrasi di kawasan Rasau Jaya diawali

dengan pembukaan hutan rawa dan pembangunan irigasi/drainase pada Pelita I

(1969-1974) dan Pelita II (1974-1979) oleh Departemen Pekerjaan Umum melalui

proyek pembukaan persawahan pasang surut (P4S) dengan tujuan

melipatgandakan produksi beras nasional dalam rangka swasembada pangan. Pada

tahun 1994-2000 telah dilakukan rehabilitasi jaringan reklamasi rawa di kawasan

Rasau Jaya untuk meningkatkan produksi pertanian melalui proyek Integrated

Swamps Development Project (ISDP).

Penempatan transmigrasi diawali di Rasau Jaya I pada tahun 1971 dan

terakhir pada tahun 2001 dengan jumlah yang ditempatkan 2.561 keluarga

meliputi 10.862 jiwa. Saat ini penduduknya telah berkembang menjadi 5.447

keluarga meliputi 25.371 jiwa (BPS Kabupaten Pontianak, 2007). Pada tahun

2006 Pemerintah Kabupaten Pontianak menetapkan kawasan transmigrasi Rasau

Jaya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan merencanakan pembangunan

Kota Terpadu Mandiri (KTM). Selain itu Departemen Tenaga Kerja dan

(22)

pertumbuhan melalui program pembangunan dan pengembangan KTM sesuai

dengan Rencana Strategis Depnakertrans 2006 – 2009.

Lahan rawa pasang surut yang luas dan potensial, prasarana dan sarana

irigasi/drainase yang tersedia, jumlah penduduk yang cukup banyak serta

aksesibilitas yang cukup baik, berjarak 30 km dari Kota Pontianak dengan jalan

perkerasan aspal, ternyata belum mampu menggerakkan percepatan

perkembangan wilayah, sehingga kawasan ini belum berkembang secara optimal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kawasan transmigrasi

tidak hanya berasal dari sisi internal (dari dalam kawasan sendiri), tetapi juga

tergantung dari perubahan-perubahan yang terjadi di luar kawasan itu (akibat

interaksi dengan wilayah yang lebih luas dan atau pusat pertumbuhan di

sekitarnya serta perubahan kepentingan stakeholder). Hal ini membutuhkan suatu perencanaan yang tepat dan berorientasi jangka panjang agar pengelola mampu

mengantisipasi terjadinya perubahan keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan

serta adanya perubahan di luar wilayahnya.

Di era otonomi daerah dan desentralisasi yang sedang berlangsung di

Indonesia juga terdapat tantangan lain. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota, serta Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, akan

menempatkan suatu kawasan transmigrasi dalam suatu mekanisme pengelolaan

multi level dan multistakeholder serta multi dimensi. Pemerintah daerah yang

telah mengadopsi urusan ketransmigrasian sebagai kewenangan pilihan, memiliki

tanggung jawab sepenuhnya terhadap pembangunan transmigrasi di daerahnya

masing-masing, dengan fasilitasi dan dukungan pemerintah. Namun tanggung

jawab tersebut belum dijalankan secara baik, yang diindikasikan oleh kurangnya

perhatian dan kecilnya anggaran yang dialokasikan pemerintah daerah terhadap

pembangunan di lokasi transmigrasi.

Sebagai upaya untuk mendapatkan solusi optimal dalam melaksanakan

pengembangan kawasan, perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan.

(23)

kawasan transmigrasi akan memberikan manfaat yang optimal bagi semua pihak

yang berkepentingan, sehingga pelaksanaan program pembangunan transmigrasi

pada masa yang akan datang dapat terjamin keberlanjutannya. Pembangunan

berkelanjutan merupakan salah satu sasaran dalam pembangunan transmigrasi

yaitu mewujudkan integrasi di permukiman transmigrasi sehingga secara ekonomi

dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (UU No.

15/1997).

Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada

banyak negara dan oleh berbagai lembaga serta para peneliti dengan

mengembangkan indikator keberlanjutan. Centre for International Forest

Research (CIFOR,) mengembangkan sistem pembangunan kehutanan

berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan

kelembagaan. Food and Agricultural Organization (FAO, 1976) mengembangkan

indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek

ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan.

Commision on Sustainable Development menyusun indikator pembangunan

berkelanjutan ke dalam empat kategori yaitu sosial, ekonomi, lingkungan, dan

kelembagaan (OECD, 1998; CSD, 2001). Charles (2001) mengembangkan sistem

pembangunan perikanan berkelanjutan dengan memadukan keberlanjutan ekologi,

keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagaan.

Dalam kerangka pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan,

maka kriteria-kriteria keberkelanjutan yang perlu diperhatikan antara lain kawasan

yang berkelanjutan seharusnya tidak menggunakan sumberdaya lebih cepat

dibandingkan kemampuannya untuk melakukan substitusi (aspek ekologi dan

teknologi), tidak menghasilkan polusi lebih cepat dibandingkan kemampuan

untuk menetralisir secara alami (aspek ekologi dan teknologi), terjadi peningkatan

pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah (aspek ekonomi dan

teknologi), dan mengurangi kesenjangan dan potensi konflik (aspek sosial),

berkeadilan (aspek hukum), dan melibatkan partisipasi semua stakeholder (aspek

kelembagaan).

Saragih dan Sipayung (2002) menyatakan bahwa dalam melaksanakan

(24)

pembangunan dari aspek sosial, ekonomi, dengan pelestarian lingkungan.

Benturan antara ketiga aspek kepentingan tersebut akan menimbulkan dampak

positif maupun negatif. Keberhasilan pengembangan suatu kawasan transmigrasi

ditentukan oleh kemampuan pengelola untuk mengembangkan potensi yang

dimiliki kawasan dalam mengatasi kekurangan dan memanfaatkan kelebihan yang

dimilikinya secara efektif dan efisien. Namun demikian, permasalahan

pengembangan kawasan transmigrasi belum sepenuhnya dapat diselesaikan dalam

mendorong percepatan pengembangan kawasan transmigrasi. Bahkan

permasalahan dan tantangan pengembangan kawasan berkembang secara dinamis

dan beragam sehingga memerlukan pendekatan yang komprehensif dan holistik

dalam upaya penyelesaian permasalahan dan tantangan tersebut.

Keberhasilan atau kegagalan suatu pembangunan kawasan transmigrasi

bergantung pada perpaduan antara faktor ekologis (iklim, tanah, topografi), faktor

ekonomi (produksi, komoditi pertanian, investasi, akses pemasaran produk, dan

pasar tenaga kerja), faktor teknis (kualitas infrastruktur, kesesuaian pola

pertanian), dan faktor manusianya (keterampilan transmigran, kualitas pembinaan)

(Levang, 2003). Salah satu kunci penentu keberhasilan pengembangan kawasan

transmigrasi adalah efektivitas kebijakan yang dipergunakan sebagai dasar

pengelolaan kawasan transmigrasi. Kebijakan pengembangan kawasan

transmigrasi perlu disusun melalui suatu model (prosedur) analisis kebijakan yang

melibatkan berbagai pihak baik pemerintah maupun pemerintah daerah,

masyarakat transmigran, masyarakat lokal, para pelaku dan lembaga swadaya

masyarakat, sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan

kebutuhan semua pihak yang berkepentingan dengan pengembangan kawasan

transmigrasi.

Berdasarkan uraian tersebut, diperlukan suatu model analisis kebijakan

yang dapat mengakomodasi permasalahan saat ini, tantangan dan peluang ke

depan dalam rangka mendorong percepatan pembangunan kawasan yang memiliki

karakteristik fisik yang rentan secara ekologis, serta menghadapi masalah

ketersediaan sarana dan prasarana pendukung dan sumberdaya manusia. Di

samping itu, model analisis ini mencakup pula aspek pemantauan dan evaluasi

(25)

partisipatif karena pada kawasan transmigrasi sudah terbangun komunitas dan

sistem kelembagaannya.

Melalui penelitian ini, diharapkan dihasilkan pula arahan kebijakan dan

strategi implementasi yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan yang

berbeda dan permasalahan yang kompleks secara optimal dalam pengembangan

kawasan transmigrasi. Posisi arahan kebijakan dan strategi ini dalam konteks

pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya adalah memberi masukan bagi

pelaksanaan masterplan KTM Rasau Jaya yang mencakup penggambaran struktur

dan pola pemanfaatan ruang kawasan serta berbagai indikasi program

pengembangannya.

1.2Rumusan Masalah

Hasil pemantauan dari hasil pelaksanaan kebijakan pembangunan

transmigrasi pada masa lalu memunculkan berbagai masalah yang dihadapi di

lokasi transmigrasi, antara lain adalah: 1) sumberdaya lahan kawasan transmigrasi

yang pada umumnya termasuk kategori lahan marjinal, 2) kurangnya perhatian

terhadap konservasi sumberdaya alam dan lingkungan, 3) orientasi awal

pengembangan kawasan hanya pada aspek produksi dan kurang dikaitkan dengan

sistem agribisnis secara utuh, 4) rendahnya produksi dan produktivitas usaha tani,

5) kurangnya akses transmigran keluar untuk kegiatan ekonomi atau sosial akibat

buruknya prasarana jalan transmigrasi, 6) kurangnya informasi pasar dan

teknologi pengolahan hasil, 7) kegiatan perekonomian yang sangat rendah, 8)

sarana dan prasarana sosial yang sangat terbatas, 9) banyak transmigran yang

bekerja di luar lokasi, 10) lambatnya proses akulturasi dan kadangkala terjadi

konflik dengan masyarakat setempat, (11) rendahnya kualitas sumberdaya

manusia dan kapasitas kelembagaan, (12) pelaksanaan pengembangan dalam

satuan kawasan pengembangan kurang mendapat perhatian dari para pengambil

keputusan (13) tata kepemerintahan yang belum mapan, dan 14) adanya

kesenjangan dengan wilayah di sekitarnya (Depnakertrans, 2005).

Terkait dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan kapasitas

kelembagaan, permasalahan yang menjadi kendala utama pengembangan kawasan

(26)

(SKP), (b) lemahnya kerjasama lintas sektor yang mengakibatkan proses

pembinaan dan pengembangan kawasan tidak efektif dan efisien, proses

penyusunan berbagai program pembangunan yang bersifat sektoral dan top down,

(c) kesinambungan program setelah penyerahan pembinaan dari Departemen yang

menangani ketransmigrasian ke pemerintah daerah tidak berjalan dengan baik dan

tidak berkelanjutan (Depnakertrans, 2005).

Dalam konteks pengembangan kawasan transmigrasi masih perlu

dievaluasi apakah masalah-masalah diatas, yang terkandung di dalam sistem

pengembangan kawasan transmigrasi, akan menyebabkan kawasan transmigrasi

menjadi berkembang tidak berkelanjutan? Apa upaya yang perlu dilakukan agar

pengembangan kawasan transmigrasi dapat berkelanjutan?

Kompleksitas permasalahan kawasan transmigrasi pada dasarnya

disebabkan oleh permasalahan kebijakan yang dalam proses analisis kebijakan

belum memperhatikan aspirasi stakeholder dan berbagai aspek keberlanjutan

pembangunan kawasan transmigrasi serta faktor kunci yang mempercepat

pengembangan kawasan transmigrasi secara lokal spesifik. Dengan demikian

diperlukan penelitian tentang bagaimana model analisis kebijakan pengembangan

kawasan transmigrasi berkelanjutan. Model ini diharapkan dapat menjawab

permasalahan kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi saat ini yakni

sistem pengembangan kawasan belum terpadu (masih per UPT dan bersifat

sektoral), belum mempertimbangkan kebijakan/kearifan lokal, belum melibatkan

seluruh stakeholder, dan tidak sepenuhnya menerapkan prinsip pembangunan

berkelanjutan.

Pada umumnya rencana pengembangan suatu kawasan/wilayah diawali

dengan penyusunan masterplan yang akan mencakup pengambaran struktur dan

pola pemanfaatan ruang kawasan/wilayah, serta berbagai indikasi program

pengembangan. Pada umumnya juga indikasi program pengembangan yang

disusun merupakan daftar panjang yang berisi berbagai macam kebutuhan dalam

semua aspek pengembangan kawasan/wilayah. Demikian juga halnya pada

rencana pengembangan KTM Rasau Jaya, dimana Kawasan Transmigrasi Rasau

Jaya merupakan salah satu SKP dari empat SKP yang ada, memuat rencana

(27)

masyarakat, yang dijabarkan ke dalam program pembangunan sarana dan

prasarana, penguatan kapasitas sumberdaya manusia dan pembangunan

masyarakat serta peningkatan investasi dan penguatan ekonomi rakyat, untuk

dilaksanakan oleh lintas sektor pemerintah dan pemerintah daerah, badan usaha

swasta/masyarakat (Kepmen Nakertrans 214/2007).

Agar indikasi program dan rencana tindak yang disusun dapat

diimplementasikan secara efektif maka diperlukan kebijakan operasionalisasi

rencana tata ruang (Djakapermana, 2006), dalam bentuk arahan kebijakan dan

strategi implementasi yang dihasilkan melalui proses partisipatif. Salah satu

tujuan sistem pengelolaan (pengembangan kawasan transmigrasi) yang partisipatif

adalah membuat para stakeholder dapat menghasilkan keputusan bermutu dan

dapat dilaksanakan oleh mereka sendiri secara efektif (Eriyatno, 2003).

Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan masalah penelitian yaitu

perlunya arahan kebijakan dan strategi implementasi dalam mengembangkan

kawasan transmigrasi yang berkelanjutan yang dapat mendorong percepatan

perkembangan satuan kawasan pengembangan transmigrasi yang telah ada, yang

dihasilkan melalui suatu model analisis kebijakan dengan menerapkan prinsip

pembangunan berkelanjutan. Pertanyaan penelitian pengembangan kawasan

transmigrasi berkelanjutan adalah sebagai berikut:

1. Seberapa besar tingkat keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi

ditinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum dan

kelembagaan sebagai hasil pelaksanaan kebijakan pengembangan kawasan

transmigrasi pada masa lalu?

2. Apa kebutuhan stakeholder dalam pengembangan kawasan transmigrasi di

masa mendatang?

3. Apa faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi yang berkelanjutan?

4. Bagaimana rumusan arahan kebijakan dan strategi implementasi yang

diperlukan dalam pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan sebagai

masukan bagi penyempurnaan kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi

(28)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian adalah merancang model analisis kebijakan

pengembangan kawasan transmigrasi yang diperlukan dalam mengelola

pengembangan kawasan transmigrasi sehingga terwujud pembangunan kawasan

transmigrasi yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik dapat diuraikan ke dalam

tujuan operasional sebagai berikut:

1. Mengetahui tingkat keberlanjutan pembangunan kawasan transmigrasi dari

dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum dan kelembagaan

2. Mengetahui kebutuhan stakeholder dalam pengembangan kawasan

transmigrasi di masa mendatang

3. Mengetahui faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi yang

berkelanjutan.

4. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi implementasi yang diperlukan

dalam pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1) Ilmu pengetahuan, dalam bidang aplikasi pendekatan sistem pengembangan

kawasan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, agar dapat membantu

dalam menyelesaikan permasalahan pengembangan kawasan khususnya di

kawasan transmigrasi.

2) Semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam

pengembangan kawasan transmigrasi agar dapat mengambil keputusan dengan

hasil yang lebih baik.

3) Pemerintah baik tingkat daerah maupun pusat, sebagai acuan dalam menyusun

kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi. Posisi arahan kebijakan dan

strategi implementasi dalam konteks pengembangan kawasan transmigrasi

Rasau Jaya adalah memberi masukan pelaksanaan masterplan yang meliputi

rencana pengembangan kawasan transmigrasi yang mencakup penggambaran

struktur dan pola pemanfaatan ruang kawasan serta berbagai indikasi program

(29)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Kajian ini dilakukan pada kawasan transmigrasi yang telah terbangun dan

memerlukan pengembangan lanjutan (second stage development). Penelitian

mencakup kajian terhadap kondisi dan potensi internal dalam satu kawasan

transmigrasi, dengan kasus Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten

Pontianak. Kajian ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, serta hukum dan

kelembagaan dalam kawasan transmigrasi dilakukan untuk mengidentifikasi

atribut/indikator yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat keberlanjutan

pengembangan kawasan transmigrasi yang selanjutnya disebut Indeks

Keberlanjutan Kawasan Transmigrasi (IKKTrans).

Tinjauan kebijakan hanya dilakukan pada aspek prosedur dalam kajian

kebijakan dan substansi kebijakan yang terkait dengan pengembangan kawasan.

Penelitian difokuskan pada model (prosedur) analisis kebijakan pengembangan

kawasan transmigrasi secara partisipatif yang menghasilkan arahan kebijakan

yang sesuai dengan kebutuhan semua pihak yang berkepentingan terhadap

kawasan transmigrasi, yaitu masyarakat, pengusaha, pemerintah Kabupaten

Pontianak, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, dan pemerintah yang diwakili

oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui suatu model analisis

kebijakan yang menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

1.6 Kerangka Pikir Konseptual

Pengembangan kawasan transmigrasi perlu dikelola dengan baik agar

mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan. Pada konsep pembangunan

berkelanjutan ini tujuan ekonominya adalah dengan meningkatkan pendapatan

masyarakat transmigran dan masyarakat lokal, tujuan sosialnya adalah mencegah

terjadinya berbagai konflik dan kesenjangan dan menciptakan keadilan dalam

kehidupan masyarakat, tujuan aspek lingkungan adalah menjaga keanekaragaman

hayati, konservasi lahan dan air, tujuan aspek teknologi adalah aplikasi dan

inovasi teknologi tepat guna, serta tujuan aspek hukum dan kelembagaan adalah

(30)

dicapai jika semua stakeholder yang terlibat dapat bersinerji secara optimal dalam

setiap langkah dalam pengembangan kawasan transmigrasi.

Kondisi kawasan transmigrasi saat ini merupakan hasil dari pengelolaan

kawasan yang telah dilakukan sebelumnya. Pengelolaan kawasan didasarkan pada

berbagai kebijakan pembangunan yang ditetapkan baik dari pemerintah maupun

pemerintah daerah secara kontinu. Hasil pemantauan dan laporan berbagai

penelitian menunjukkan bahwa banyak kawasan transmigrasi saat ini relatif belum

berkembang secara optimal. Hal ini merupakan permasalahan yang perlu dikaji

lebih lanjut terkait dengan keberlanjutan pembangunan. Prinsip pembangunan

berkelanjutan menjadi relevan untuk diterapkan agar dapat memberikan solusi

optimal terhadap konflik antara kepentingan pembangunan dengan pelestarian

lingkungan hidup.

Keberlanjutan pembangunan di suatu wilayah atau daerah dapat diketahui

dari indikator pembangunan berkelanjutan yang mencakup berbagai aspek.

Indikator yang digunakan mencakup lima dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial,

teknologi, serta hukum dan kelembagaan. Dimensi teknologi digunakan karena

kawasan transmigrasi berbasis pengelolaan lahan yang pada umumnya masih

dilakukan dengan cara-cara tradisional. Pengelolaan lahan dalam pengembangan

pertanian dan usaha lainnya di kawasan transmigrasi memerlukan penerapan dan

inovasi teknologi secara berkelanjutan untuk mencapai tingkat perkembangan

yang diinginkan. Inovasi teknologi akan meningkatkan efisiensi, nilai tambah

ekonomi dan kualitas sosial masyarakat, serta pada gilirannya akan dapat

meningkatkan daya tampung lingkungan di atas daya dukung alam yang tidak

berubah.

Dimensi hukum dan kelembagaan digunakan karena masyarakat di

kawasan transmigrasi pada umumnya memerlukan regulasi dan penegakan hukum

yang dapat dijadikan acuan norma dalam pengembangan kawasan khususnya

terkait dengan keragaman budaya dan perilaku masyarakatnya. Implementasinya

adalah dalam bentuk disiplin/komitmen atas pengelolaan lingkungan yang baik,

fragmentasi sosial yang harmonis, dan persaingan usaha yang sehat. Hal ini

berkaitan pula dengan kelembagaan yang telah mendominasi perkembangan

(31)

simultan akan mempengaruhi keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi.

Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria tersendiri yang

mencerminkan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang bersangkutan.

Berbagai atribut serta kriteria yang digunakan ditentukan berdasarkan hasil kajian

pustaka dan preferensi pakar. Informasi kondisi kawasan pada setiap atribut

didapatkan dari data sekunder, penyebaran kuesioner serta dari para stakeholder.

Untuk menilai keberlanjutan dari sistem pengembangan kawasan saat ini

yang merupakan hasil pelaksanaan kebijakan pembangunan transmigrasi, proyek

P4S dan ISDP, dan kebijakan regional dan lokal di masa lalu di kawasan Rasau

Jaya, dilakukan dengan cara menghitung Indeks Keberlanjutan kawasan

transmigrasi (IKKTrans) dengan menggunakan metode multi variabel non

parametrik yang disebut multidimensional scalling (MDS).

Jika penilaian menghasilkan IKKTrans termasuk dalam kategori

berkelanjutan maka hal tersebut menunjukkan bahwa pengembangan kawasan

transmigrasi aktual telah dilaksanakan secara baik dan benar yang dilandasi,

diarahkan dan diatur oleh kebijakan yang baik dan benar juga, dengan

menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Langkah selanjutnya adalah

memberikan rekomendasi agar kebijakan yang ada terus digunakan dan

memberikan penguatan pada faktor-faktor pengungkit utama atau faktor kunci

yang telah teridentifikasi mampu memberikan pengaruh besar agar tingkat

keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi dapat terus meningkat.

Jika penilaian menghasilkan IKKTrans termasuk dalam katagori belum

berkelanjutan, maka perlu dikenali permasalahan yang ada di dalam sistem

pengembangan kawasan transmigrasi serta mengidentifikasi kebutuhan

stakeholder. Dalam kerangka pengembangan kawasan transmigrasi, kebutuhan

yang didasarkan atas preferensi stakeholder dalam pengembangan kawasan di

masa mendatang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan pengembangan

kawasan. Dengan menggunakan metode analisis prospektif dapat dirumuskan

faktor-faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder serta faktor dominan atau faktor

kunci yang akan memberikan pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan sistem

(32)

Faktor-faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi merupakan

masukan dalam penyusunan skenario pengembangan Kawasan Transmigrasi

Rasau Jaya. Penyusunan skenario pengembangan kawasan perlu melibatkan

semua pihak terutama stakeholder utama dan pakar. Skenario ini diharapkan

memberikan gambaran masa depan kawasan transmigrasi dalam kaitan dengan

keberlanjutan dimensi-dimensi yang dikaji. Skenario pengembangan kawasan

transmigrasi dapat disimulasikan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang

dapat terjadi pada masa depan dengan menggunakan analisis prospektif. Hasil

analisis prospektif sistem pengembangan kawasan transmigrasi tersebut akan

menghasilkan alternatif skenario pengembangan kawasan pada masa datang.

Skenario optimal yang dihasilkan merupakan gambaran masa depan yang

akan diwujudkan oleh sistem. Selanjutnya, intervensi yang dapat mewujudkan

tercapainya skenario optimal dalam mencapai tujuan sistem merupakan

rekomendasi arahan kebijakan yang dapat disarankan untuk diadopsi oleh semua

pihak yang berkepentingan dalam sistem untuk diimplementasikan dengan

memperhatikan kemampuan sumberdaya yang dimiliki oleh sistem tersebut. Hasil

ini merupakan masukan untuk pelaksanaan kebijakan yang saat ini telah ada yakni

kebijakan pengembangan kawasan KTM Rasau Jaya, RTRW Kabupaten

Pontianak, dan RTR Kawasan Pesisir Kabupaten Pontianak. Secara skematis,

kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.

1.7Kebaruan Penelitian

Penelitian ini bersifat penelitian pengembangan dari beberapa penelitian

sebelumnya yang terkait dengan pengembangan kawasan transmigrasi. Kebaruan

penelitian (novelty) ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini menghasilkan model (prosedur) analisis kebijakan

pengembangan kawasan transmigrasi sebagai suatu model pengambilan

keputusan melalui tahapan: penilaian kondisi saat ini, analisis kebutuhan

pengembangan, menetapkan faktor kunci keberhasilan pengembangan di masa

depan, serta menyusun arahan kebijakan dan strategi pelaksanaannya dengan

(33)

Gambar 1. Kerangka pikir konseptual penelitian

2. Penelitian ini menghasilkan metode yang dapat digunakan untuk

mengevaluasi tingkat keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi

dalam suatu kawasan tertentu secara sistemik, cepat (rapid appraisal),

objektif, dan terkuantifikasi.

3. Penelitian ini menghasilkan alternatif skenario serta rumusan arahan kebijakan

dan strategi implementasi pengembangan kawasan transmigrasi yang dapat

mempertemukan berbagai kepentingan pembangunan (ekonomi, ekologi,

sosial, teknologi, hukum dan kelembagaan) dengan mempertimbangkan

berbagai kemungkinan perubahan kondisi masa depan yang akan terjadi.

(34)

2.1Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep

pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia untuk mengelola

sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan. Konsep ini

berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan sektor

transmigrasi. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidisiplin karena

banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain aspek

ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum dan kelembagaan. Banyak pendapat ahli

yang lain memberikan persyaratan pembangunan berkelanjutan dengan

aspek-aspek yang hampir sama tetapi dengan cara dan pendekatan yang berbeda.

Secara prinsip, pembangunan berkelanjutan merupakan upaya terpadu dan

terorganisasikan untuk mengembangkan kualitas hidup secara berkelanjutan,

dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan

pemeliharaan sumberdaya secara berkelanjutan dengan prasyarat terselenggaranya

suatu sistem kepemerintahan yang baik (good governance). Pembangunan

berkelanjutan juga diartikan sebagai pemaduan tujuan sosial, ekonomi, dan

ekologi. Walaupun secara konseptual pemaduan ini masuk akal, tetapi

implementasinya tidaklah sederhana. Hal ini antara lain karena permasalahan

sosial, ekonomi dan ekologi yang terpisahkan atau dipisahkan secara spasial.

Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the

World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987

dengan laporannya berjudul Our Common Future (Kay dan Alder, 1999). Laporan

ini dibuat oleh sekelompok ahli yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland,

sehingga laporan tersebut sering disebut sebagai Laporan Brundtland (The

Brundtland Report). Dalam laporan tersebut terkandung definisi pembangunan

berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa

membatasi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan

pengertian ini, Beller (1990) mengemukakan prinsip justice of fairness yang

(35)

tanggung jawab satu terhadap yang lainnya seperti layaknya berada dalam satu

generasi.

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan akan ada perpaduan antara dua

kata yang kontradiktif yaitu pembangunan yang menuntut perubahan dan

pemanfaatan sumberdaya alam, dan berkelanjutan yang berkonotasi “tidak boleh mengubah” di dalam proses pembangunan yang berkelanjutan. Persekutuan antara

kedua kepentingan ini pada dasarnya mengembalikan developmentalis dan

environmentalis back to basic yaitu oikos dimana kepentingan ekonomi dan

lingkungan hidup disetarakan (Saragih dan Sipayung 2002).

Young (1992) dalam Kay dan Alder (1999) mengemukakan adanya tiga

tema yang terkandung dalam definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu:

integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan kesejahteraan (equity).

Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Munasinghe (1993), bahwa

pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara

ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis

lestari (ramah lingkungan). Makna dari pembangunan berkelanjutan dari dimensi

ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan

kepada generasi mendatang sejumlah kuantitas modal alam (natural capital) yang

dapat menyediakan suatu hasil berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan

termasuk keindahan alam. Konsep lain yang masih berkaitan dengan hal tersebut

adalah konsep pemanfaaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable use of

resources) yang bermakna bahwa pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan

sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan

dalam kurun waktu yang sama.

Cicin-Sain dan Knecht (1998) mengemukakan bahwa pembangunan

berkelanjutan mencakup tiga penekanan, yaitu: (1) pembangunan ekonomi untuk

meningkatkan kualitas kehidupan manusia; (2) pembangunan yang sesuai dengan

lingkungan; dan (3) pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan,

yaitu keadilan penyebaran keuntungan dari pembangunan yang mencakup: a)

intersocietal equity misalnya antar kelompok dalam masyarakat, menghargai hak

khusus masyarakat lokal dan lain-lain; b) intergenerational equity yaitu tidak

(36)

yaitu memenuhi kewajiban (obligasi) terhadap bangsa lain dan terhadap

masyarakat internasional mengingat adanya kenyataan saling ketergantungan

secara global.

Reid (1995) dalam Kay dan Alder (1999) mengemukakan persyaratan agar

pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu: integrasi antara konservasi dan

pengembangan, kepuasan atas kebutuhan dasar manusia, peluang untuk

memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat “non materi”, berkembang ke arah

keadilan sosial dan kesejahteraan, menghargai dan mendukung keragaman

budaya, memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan

menumbuhkan sikap ketidak-tergantungan diri, dan menjaga integritas ekologis.

Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global

mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan

sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi.

Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus

mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial.

Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak

berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya

dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan

kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk itu,

harus memperhatikan prinsip: penggunaan sumberdaya tidak lebih cepat

dibandingkan kemampuannya untuk melakukan pemulihan kembali (rehabilitasi),

tidak menghasilkan polusi lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk

menetralisir secara alami (Radzicki dan Trees, 1995).

Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergik dengan

pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya

terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan

penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan,

dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini menegaskan

bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas, karena

tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah

proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan

(37)

lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak saja bersifat kuratif melainkan juga

bersifat preventif. Di masa depan, upaya-upaya yang lebih bersifat preventif harus

lebih diprioritaskan, dan hal ini menuntut dikembangkannya berbagai opsi

pengelolaan lingkungan, baik melalui opsi ekonomi maupun melalui

proses-proses peraturan dan penataan penggunaan lahan (Setiawan, 2003).

Hubungan timbal balik antara aspek ekonomi dan sumberdaya alam dan

lingkungan kemudian menjadi sangat penting. Betapa tidak ekstraksi terhadap

sumberdaya alam yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan

akan menghasilkan benefit dan limbah. Aktivitas manusia secara langsung

maupun tidak langsung telah dan akan memberikan dampak terhadap resistensi

sumberdaya alam dan lingkungan.

Pengelolaan sumberdaya alam merupakan suatu hal yang sangat penting

dibicarakan dan dikaji dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional kita.

Dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah sesungguhnya kita dapat

melaksanakan proses pembangunan bangsa ini secara berkelanjutan tanpa harus

dibayangi rasa cemas dan takut akan kekurangan modal bagi pelaksanaan

pembangunan tersebut. Pemanfaatan secara optimal kekayaan sumber daya alam

ini akan mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh bangsa

Indonesia.

Namun demikian perlu disadari eksploitasi secara berlebihan tanpa

perencanaan yang baik bukannya mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan

namun malah sebaliknya akan membawa malapetaka yang tidak terhindarkan.

Akibat dari pengelolaan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan

keseimbangan dan kelestarian lingkungan dapat kita lihat pada kondisi lingkungan

yang mengalami degradasi baik kualitas maupun kuantitasnya. Hutan tropis yang

kita banggakan setiap tahun luasnya berkurang sangat cepat, demikian juga

dengan jenis flora dan dan fauna di dalamnya sebagian besar sudah terancam

punah. Perairan yang sangat luas sudah tercemar sehingga ekosistemnya

terganggu. Demikian juga dengan dampak eksploitasi mineral yang terkandung

dalam perut bumi juga mulai merusak keseimbangan dan kelestarian alam sebagai

akibat proses penggalian, pengolahan dan pembuangan limbah yang tidak

Gambar

Gambar 1. Kerangka pikir konseptual penelitian
Gambar 2. Peta lokasi penelitian  Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya Kabupaten Pontianak
Gambar 3. Peta batas administrasi Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak
Gambar 4. Tahapan penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu untuk menentukan arahan pengembangan dalam pembangunan calon kawasan transmigrasi menjadi transmigrasi dengan arahan tematik didesa Lakmaras dan

: Pengembangan Model Redistribusi Laban Hutan Dalam Perspektif Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Dan Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan. (Studi Kasus Kabupaten

Skripsi yang berjudul “ Identifikasi Potensi Kawasan Pengembangan Budidaya Tanaman Bambu Di Kabupaten Gunung Kidul (Studi Kasus Di Kecamatan Playen )” disusun sebagai

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Strategi Komunikasi Untuk Pengembangan Kawasan Desa Wisata (Studi Kasus Implementasi Strategi Komunikasi

Alhamdulillah berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat memulai dan menyelesaikan Tesis berjudul Menuju Model Pengembangan Kawasan Perbatasan Daratan Antar Negara (Studi

Istanto Peran Stakeholder Kota Pada Pelestarian Berkelanjutan Kawasan Pecinan Studi Kasus Kawasan Pecinan Surabaya.. budaya lainnya tidak hanya di bidang Sastra, Musik, Tarian,

Kabupaten Kubu Raya (Suatu Studi Kecamatan Rasau Jaya), karena melihat fenomana yang peneliti lihat ialah masih minimnya minat masyarakat dalam membuat akta kematian dan belum

Penelitian ini berjudul Evaluasi Pola Pengelolaan Tambak Inti Rakyat (TIR) Yang Berkelanjutan (Kasus TIR Transmigrasi Jawai Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat). Ulasan