MODEL ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
KAWASAN TRANSMIGRASI BERKELANJUTAN
(Studi Kasus: Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya,
Kabupaten Pontianak)
HARDY BENRY SIMBOLON
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang
berjudul: Model Analisis Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi
Berkelanjutan (Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya Kabupaten Pontianak) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Agustus 2009
Hardy Benry Simbolon. 2009. An Analysis Model of Policy for Sustainable Development in Transmigration Area (Case Study: Transmigration Area of Rasau Jaya, Pontianak Regency). Supervised by Hartrisari, Santun R.P. Sitorus, and Son Diamar.
The main purpose of this study was to formulate an analysis model of policy for the development in a transmigration area in order to achieve a sustainable development. This study was conducted in the transmigration area of Rasau Jaya in four stages: namely (1) an analysis of sustainability level of the transmigration area of Rasau Jaya according to five dimensions (ecological, economic, social, technological, as well as legal and institutional; (2) an analysis of the factors that meet stakeholders’ requirement related to transmigration area development (3) an analysis of the key factors that would determine the sustainability of transmigration areas development in Rasau Jaya based on leverage factors and the factors that fulfill the stakeholders’ requirement; (4) scenario arrangement for development and formulation of policy directions as well as their implementation strategy. The results of the study showed that a model of policy analysis for transmigration area development could be applied through several sequential procedures: identification of sensitive factors that influence area management, determination of sustainability status of the transmigration area, determination stakeholders requirement, determination of key factors for area management, formulation of policy and its priority, and arrangement of strategy implementation by involving stakeholders. The policy of transmigration area development of Rasau Jaya is directed to achieve a sustainable transmigration area of Rasau Jaya through the scenario of economic and technological development. Operationally, this policy will be applied by supplying water based on demand, expanding the size of cultivated land, improving infrastructure and facilities, stabilizing the price of agricultural commodities, and developing technology. The strategy in the policy implementation for the transmigration area development of Rasau Jaya must be an optimal and integrated management of water recourses as well as expansion of land use for agriculture activities.
Hardy Benry Simbolon. 2009. Model Analisis Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan (Studi Kasus: Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak). Dibimbing oleh: Hartrisari Hardjomidjojo, Santun R.P. Sitorus, dan Son Diamar.
Pembangunan transmigrasi dimaksudkan untuk mempertemukan minimal dua kepentingan yaitu pemanfaatan sumberdaya alam dan memberi kesempatan kerja dan peluang berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan suatu kawasan transmigrasi tidak hanya berasal dari sisi internal, tetapi juga tergantung dari perubahan-perubahan yang terjadi di luar sistem kawasan itu. Hal ini mengakibatkan dibutuhkannya suatu cara untuk membantu memahami proses terjadinya persoalan dalam pengelolaan kawasan transmigrasi yang memiliki ciri-ciri sebagai kawasan perdesaan agar pengelola mampu mengantisipasi terjadinya perubahan keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan serta adanya perubahan di luar wilayahnya.
Intervensi langsung pemerintah dalam program transmigrasi adalah membangun unit pemukiman transmigrasi (sebagai pra desa) beserta pembinaan masyarakat dan lingkungan transmigrasi selama 5 tahun, untuk kemudian diserahkan pembinaannya kepada Pemerintah Daerah yang kemudian menetapkannya sebagai desa definitif. Sebagian dari ribuan unit pemukiman transmigrasi (UPT) yang dibangun telah menjadi pusat-pusat pertumbuhan. Terdapat 66 eks UPT telah menjadi ibukota kabupaten dan 235 eks UPT menjadi ibukota kecamatan (Depnakertrans, 2005). Pencapaian perkembangan tersebut membutuhkan waktu yang relatif lama. Berdasarkan kajian empirik, lokasi transmigrasi umum dengan pola usaha tanaman pangan yang berhasil berkembang menjadi sentra produksi ataupun menjadi ibukota kecamatan membutuhkan waktu selama 17 – 20 tahun (Jones, 1979). Sebagian lain dari ribuan UPT yang telah diserahkan ke pemerintah daerah ternyata menghadapi berbagai masalah, karena belum mencapai sasaran kinerja UPT serta belum mampu untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa kawasan transmigrasi masih digolongkan kawasan yang lambat tumbuh dan sebagian menjadi kawasan tertinggal dengan masyarakat yang tergolong miskin. Hal ini bersifat ironis, mengingat tujuan program transmigrasi adalah untuk memperbaiki posisi pendapatan melalui pendayagunaan lahan-lahan pertanian yang diberikan kepada para transmigran serta memperbaiki tingkat kehidupan para transmigran tersebut (Deptrans dan PPH, 1998).
Salah satu kunci penentu keberhasilan pengembangan kawasan transmigrasi adalah efektivitas kebijakan yang dipergunakan sebagai dasar
pengelolaan kawasan transmigrasi. Kebijakan pengembangan kawasan
transmigrasi perlu disusun dengan melibatkan berbagai pihak baik pemerintah pusat maupun daerah, masyarakat transmigran, masyarakat lokal, dan lembaga swadaya masyarakat, sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar
mencerminkan kebutuhan semua pihak yang berkepentingan dengan
depan dalam rangka mendorong percepatan pembangunan kawasan yang memiliki karakteristik fisik yang rentan secara ekologis, serta menghadapi masalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukung dan sumberdaya manusia. Di samping itu, dalam model analisis ini tercakup pula aspek pemantauan dan evaluasi keberlanjutan pembangunan. Dalam proses analisis ini diperlukan pendekatan partisipatif karena pada kawasan transmigrasi sudah terbangun komunitas dan sistem kelembagaannya.
Tujuan utama penelitian adalah merancang model analisis kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi yang diperlukan dalam mengelola pengembangan kawasan transmigrasi sehingga terwujud pembangunan kawasan transmigrasi yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik dapat diuraikan ke dalam tujuan operasional sebagai berikut: (1) Mengetahui tingkat keberlanjutan pembangunan kawasan transmigrasi dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan; (2) Mengidentifikasi kebutuhan
stakeholder dalam pengembangan kawasan transmigrasi di masa mendatang; (3) Mengetahui faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi yang berkelanjutan berdasarkan faktor pengungkit keberlanjutan dan pemenuhan kebutuhan
stakeholder; dan (4) Merumuskan arahan kebijakan serta strategi implementasi yang diperlukan dalam pengembangan kawasan transmigrasi sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Penelitian ini dilakukan di Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya Kabupaten Pontianak dengan empat tahapan yaitu: (1) Menganalisis tingkat keberlanjutan pembangunan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya berdasarkan lima dimensi pembangunan yakni ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, serta hukum dan kelembagaan, (2) Menganalisis faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder yang terkait dengan pengembangan kawasan transmigrasi, (3) Menganalisis faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi yang berkelanjutan berdasarkan faktor pengungkit keberlanjutan dan faktor pemenuhan kebutuhan Stakeholder dan (4) merumuskan arahan kebijakan serta strategi implementasinya.
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kondisi keberlanjutan menggunakan multi dimensional scaling, analisis kebutuhan
untuk mengetahui kebutuhan stakeholder dalam pembangunan kawasan
transmigrasi di masa mendatang, dan analisis prospektif untuk menentukan faktor kunci dan skenario pengelolaan pengembangan kawasan transmigrasi. Perumusan strategi implementasi kebijakan dilakukan dengan focus group discussion yang melibatkan stakeholder utama.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa model analisis kebijakan pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya dapat dilakukan melalui prosedur: identifikasi faktor sensitif yang mendukung pengelolaan kawasan, menentukan status keberlanjutan kawasan, menentukan kebutuhan stakeholder, menetapkan faktor kunci pengelolaan kawasan, merumuskan kebijakan dan prioritasnya, dan menyusun strategi pelaksanaannya dengan melibatkan stakeholder.
tergolong kurang berkelanjutan.
Faktor-faktor pengungkit yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya adalah: (a) Dimensi ekologi yaitu pemanfaatan limbah untuk pupuk organik, tingkat pemanfaatan lahan, ketersediaan air, dan tingkat penggunaan pestisida kimiawi, dan ketersediaan TPS limbah pertanian (b) Dimensi ekonomi yaitu harga komoditi hasil pertanian, tempat menjual hasil pertanian, besarnya pasar, dan pihak yang mendapatkan keuntungan paling besar (c) Dimensi sosial yaitu besarnya pengaruh daerah sekitar, respon masyarakat lokal terhadap transmigran, partisipasi keluarga dalam kegiatan usahatani, dan frekuensi konflik antara masyarakat lokal-transmigran (d) Dimensi teknologi yaitu teknologi konstruksi bangunan, teknologi pengelolaan air, teknologi pengolahan hasil pertanian, teknologi informasi, teknologi budidaya pertanian, dan teknologi pengolahan lahan (e) Dimensi hukum dan kelembagaan yaitu kelembagaan ekonomi dan ketersediaan peraturan tentang pengelolaan kawasan transmigrasi.
Enam faktor pengungkit yang merupakan faktor kunci keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi yaitu: (1) tingkat pemanfaatan lahan, (2) tingkat penggunaan pestisida kimiawi, (3) pemanfaatan limbah untuk pupuk organik, (4) ketersediaan air, (5) ketersediaan TPS limbah pertanian, dan (6) respon masyarakat lokal terhadap transmigran.
Faktor kunci pemenuhan kebutuhan stakeholder dalam pembangunan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya dimasa mendatang adalah: sarana prasarana dasar, harga komoditi pertanian, ketersediaan air, pemasaran hasil pertanian, luas lahan yang dimanfaatkan, teknologi pengolahan hasil, lembaga keuangan, program pendidikan pelatihan, penataan ruang wilayah, kesesuaian penggunaan lahan, dan jumlah penduduk.
Faktor kunci utama pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya merupakan penggabungan faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan kawasan dan faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder yang kemudian dianalisis menggunakan analisis prospektif. Hasil analisis diperoleh faktor kunci utama pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya adalah sarana dan prasarana dasar, ketersediaan air, luas lahan yang dimanfaatkan, harga komoditi pertanian, dan teknologi pengolahan hasil pertanian.
Skenario pengembangan kawasan yang optimal adalah skenario semi optimis dengan kondisi masa depan yaitu: air tersedia mencukupi sesuai kebutuhan, luas lahan yang dimanfaatkan meningkat, sarana dan prasarana dasar meningkat tetapi belum optimal, harga komoditi pertanian meningkat tetapi belum memadai, dan teknologi pengolahan hasil berkembang. Skenario ini memberikan hasil yang berkelanjutan dengan nilai IKKTrans 68,42.
membangun tempat-tempat penampungan air, pengembangan sistem penyediaan air bersih untuk kebutuhan domestik dengan berbagai alternatif sumber air baku, (b) peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memelihara prasarana dan sarana yang tersedia serta mengoptimalkan pengelolaan penggunaan air yang ketersediaannya terbatas pada musim kemarau, (c) pengembangan rencana tata ruang kawasan khususnya zonasi ruang untuk pengembangan komoditi pertanian unggulan (padi, jagung, dan ternak), (d) menyusun program perluasan pemanfaatan lahan pertanian terpadu dengan program rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi dan prasarana transportasi, dan (e) menarik investor untuk ikut berinvestasi dalam pengembangan komoditi padi, jagung dan ternak serta mengembangkan kemitraan antara masyarakat dan pengusaha
Kata-kata kunci: model, analisis kebijakan, pengembangan, kawasan
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(Studi Kasus: Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya,
Kabupaten Pontianak)
Oleh:
HARDY BENRY SIMBOLON
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Ujian Tertutup
Dilaksanakan pada : 2 Juni 2009
Penguji Luar Komisi : (1) Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
(2) Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Fakultas Pertanian, IPB
Ujian Terbuka
Dilaksanakan pada : 19 Agustus 2009
Penguji Luar Komisi : (1) Dr. Ir. H. Erman Suparno, MBA, M.Si. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
(2) Dr. Ir. Sujana Royat, DEA.
Deputi Bidang Koordinasi Pengentasan
Kemiskinan, Kementerian Koordinator
Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak)
Nama : Hardy Benry Simbolon
NIM : P062024184
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Son Diamar MSc
Anggota Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan Disertasi ini. Disertasi merupakan salah satu prasyarat untuk menyelesaikan studi doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Obyek penelitian ini adalah sebuah sistem mikro yaitu kawasan transmigrasi. Konteks dari sistem tersebut dilihat dari perspektif ilmu lingkungan dengan fokus pada analisis kebijakan publik dengan menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan. Dari rencana penelitian yang berjudul Model Analisis Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan (Studi Kasus: Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya Kabupaten Pontianak) akan dihasilkan suatu rumusan kebijakan pengelolaan pengembangan kawasan transmigrasi yang sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, sehingga akan terwujud suatu kawasan pertumbuhan baru yang secara ekonomi memberikan dampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, secara sosial merata dan berkeadilan, dan secara ekologi tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA., Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, dan Dr. Ir. Son Diamar, MSc, sebagai tim komisi pembimbing yang telah memberikan kontribusi besar dalam bentuk saran pemikiran dan bimbingannya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Kepada Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. sebagai ketua program studi, juga saya ucapkan terimakasih atas perhatian dan waktunya dalam memberikan dorongan dan semangat kepada saya. Pada kesempatan ini saya sampaikan juga ucapan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat yang telah banyak membantu dalam penyediaan data dan memfasilitasi focus group discussion.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini merupakan rancangan kajian yang relatif singkat dan terbatas serta jauh dari sempurna, karena sebagai manusia biasa tidak lepas dari kekurangan dan kekhilafan. Untuk itu, kritikan dan saran dari pembaca akan sangat membantu penyempurnaan disertasi ini. Pada akhirnya penulis berharap disertasi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Bogor, Agustus 2009
Hardy Benry Simbolon lahir di Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada tanggal 6 Nopember 1954. Pendidikan formal penulis yaitu pendidikan dasar di SD Negeri 6 Jakarta pada tahun 1960 – 1966, kemudian dilanjutkan di SMP Negeri XVIII Jakarta pada tahun 1967-1969 dan SMA Negeri II Jakarta pada tahun 1970 – 1972. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana S1 di Jurusan Planologi ITB pada tahun 1981, kemudian pendidikan S2 di Program Studi Magister Manajemen Agribisnis IPB (1995 – 1997). Sejak tahun 2003 penulis menempuh pendidikan S3 Doktor di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.
Pendidikan non formal yang pernah ditempuh penulis antara lain Management Training, di Montreal Kanada (1988); Pelatihan Manajemen Proyek di Jakarta (1991); SEPALA Angkatan XXXIII di Jakarta (1993); Dale Carnegie Employee Dev Course (1994); English Course, The British Council di Jakarta (1997); SPAMA Angkatan VII di Jakarta (1998); SPAMEN Angkatan VI di Jakarta (2000) dan Program Pendidikan Reguler Angkatan XLII LEMHANNAS-RI di Jakarta (2008).
Riwayat penugasan dan jabatan penulis sebagai PNS adalah sebagai staf Direktorat Bina Program (1983 – 1992) kemudian sebagai Kasubag Sistem Perencanaan pada Biro Perencanaan (1992 – 1994). Pada tahun 1994 – 1996 menjadi Kasubag Rencana Permukiman dan tahun 1996 – 1998 sebagai Kasubag Rencana di Biro Perencanaan. Pada tahun 1998 menjadi Kabid Lahpin di Pusdatin, kemudian menjadi Kabag Rencana di Biro Perencanaan (1999). Pada tahun 2000 menjadi Plt. Asisten Deputi Urusan Perencanaan Pertumbuhan Kawasan, Deputi Bidang Kawasan Transmigrasi. Pada tahun 2001 menjadi Plt. Direktur Bina Rencana dan Pembangunan Kawasan Ditjen PSKT kemudian menjadi Direktur Bina Rencana dan Pembangunan Kawasan Ditjen PSKT pada tahun 2002. Sejak tahun 2006 menjadi Direktur Pengembangan Sarana dan Prasarana Kawasan Ditjen P2MKT.
Penghargaan dan Tanda Jasa yang pernah diterima penulis adalah Satya Lencana Karya Satya X Tahun dan Satya Lencana Karya Satya XX Tahun. Pengalaman organisasi penulis adalah sebagai anggota Ikatan Ahli Perencanaan sejak tahun 1981 dan sebagai anggota KORPRI sejak tahun 1983.
Pada tahun 1987 penulis menikah dengan drg. Katarina L. Dairi dan telah dikaruniai 3 orang anak (Alfa, Sisi dan Aldi). Saat ini penulis bertempat tinggal di Rawamangun Jakarta Timur.
Bogor, Agustus 2009
x
2.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 16
2.2 Pengembangan Wilayah ... 21
2.3 Pengembangan Kawasan Transmigrasi ... 29
2.4 Konsep Pemodelan ... 38
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 67
4.1 Kondisi Fisik ... 67
4.2 Kependudukan dan Sosial ... 72
4.3 Perekonomian ... 77
4.4 Sarana dan Prasarana ... 81
4.5 Kebijakan Pengembangan Kawasan ... 84
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 101
5.1 Tinjauan Kebijakan Pembangunan Kawasan ... 101
5.2 Status Keberlanjutan Kawasan ... 105
5.3 Permasalahan dan Kebutuhan Stakeholder dalam Pengembangan Kawasan Transmigrasi ... 117
5.4 Faktor Kunci Keberlanjutan Pembangunan Kawasan Transmigrasi .. 121
5.5 Skenario Pengembangan Kawasan Transmigrasi ... 126
5.6 Arahan Kebijakan dan Strategi Implementasi Pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya ... 133
xi 6.2 Saran ... 162
xii 1 Tujuan penelitian, sumber data, jenis data, dan output yang
diinginkan ... 51
2 Jumlah responden berdasarkan desa dan pekerjaan ... 52
3 Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi
berdasarkan nilai indeks ... 61
4 Pengaruh langsung antar faktor dalam pengembangan kawasan
transmigrasi berkelanjutan ... 64
5 Jumlah KK dan penduduk di kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 72
6 Sebaran jumlah penduduk (jiwa) berdasarkan mata pencaharian di
kawasan transmigrasi Rasau Jaya tahun 2004 ... 74
7 Realisasi penempatan transmigrasi di Rasau Jaya menurut lokasi
penempatan ... 76
8 PDRB Kabupaten Pontianak per sektor atas dasar harga berlaku
tahun 2001 dan 2003 ... 77
9 Luas panen dan produksi jagung di kawasan Rasau Jaya ... 78
10 Luas panen dan produksi komoditi padi di kawasan Rasau Jaya... 79
11 Fasilitas pendidikan di kawasan transmigrasi Rasau Jaya tahun 2003 81
12 Fasilitas kesehatan di kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 82
13 Kondisi jalan di kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 84
14 Perwilayahan pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya ... 95
15 Hasil analisis MDS dua parameter statistik keberlanjutan
pengelolaan kawasan transmigrasi ... 107
16 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai IKKTrans dan
masing-masing dimensi pengelolan kawasan transmigrasi Rasau Jaya... 108
17 Kebutuhan stakeholder dan formulasi permasalahan dalam
pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan ... 119
18 Gabungan faktor kunci dalam pengembangan kawasan transmigrasi
di Rasau Jaya ... 121
19 Prospektif faktor kunci dalam pengembangan kawasan transmigrasi
di Rasau Jaya ... 126
20 Incompatible faktor kunci dalam pengembangan kawasan
transmigrasi di Rasau Jaya ... 127
21 Definisi masing-masing skenario strategi ... 128
22 Hasil penentuan bobot skenario strategi pengembangan kawasan
transmigrasi di Rasau Jaya ... 129
23 Perubahan skor atribut faktor untuk skenario terpilih ... 131
24 Perbandingan status keberlanjutan pengelolaan Kawasan
xiii
1 Kerangka pikir konseptual penelitian... 15
2 Peta lokasi penelitian kawasan transmigrasi Rasau Jaya, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak... 48
3 Peta batas administrasi Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak 49 4 Tahapan penelitian ... 50
5 Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS ... 54
6 Diagram layang-layang keberlanjutan dimensi IKKTrans ... 60
7 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem ... 64
8 Penggunaan lahan di kawasan transmigrasi Rasau Jaya tahun 2004 .. 71
9 Konsep struktur ruang KTM Rasau Jaya ... 94
10 Peta rencana pengembangan komoditas dan prasarana di kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 100
11 Nilai indeks keberlanjutan multidimensi pengelolaan kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 105
12 Diagram layang-layang nilai IKKTrans Rasau Jaya ... 106
13 Nilai masing-masing atribut dimensi ekologi ... 109
14 Nilai masing-masing atribut dimensi ekonomi ... 112
15 Nilai masing-masing atribut dimensi sosial ... 113
16 Nilai masing-masing atribut dimensi teknologi ... 114
17 Nilai masing-masing atribut dimensi hukum dan kelembagaan ... 115
18 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan Rasau Jaya ... 117
19 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor kebutuhan stakeholder dalam pengembangan kawasan transmigrasi ... 120
20 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor gabungan dalam pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan ... 122
21 Nilai indeks keberlanjutan multidimensi pengembangan kawasan transmigrasi Rasau Jaya hasil skenario berkelanjutan ... 132
22 Grafik perbandingan status keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi Rasau Jaya saat ini dan hasil skenario ... 133
23 Tahapan pencapaian kondisi faktor kunci utama ... 136
24 Peta kawasan potensial pengembangan komoditi di Rasau Jaya ... 148
xiv 1 Jumlah penduduk Kecamatan Rasau Jaya berdasarkan kelompok
umur Tahun 2006 ... 175
2 Sebaran jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di kawasan transmigrasi Rasau Jaya tahun 2006 ... 176
3 Data iklim di kawasan transmigrasi Rasau Jaya ... 176
4 Analisa data curah hujan harian (mm) ... 177
5 Hasil analisis fisik dan kimia contoh air di kawasan transmigrasi... 177
6 Atribut keberlanjutan pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak ... 178
7 Hasil analisis MDS ... 183
8 Peta penggunaan lahan Kecamatan Rasau Jaya ... 186
9 Foto kondisi Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya ... 187
1.1 Latar Belakang
Pembangunan transmigrasi dimaksudkan untuk mempertemukan
kepentingan pemanfaatan sumberdaya alam dan pemberian kesempatan kerja
untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Kedua kepentingan ini dapat
terpenuhi melalui kegiatan yang dilakukan secara integratif dengan pembukaan
areal baru, penempatan tenaga kerja, redistribusi lahan pertanian, pemberdayaan
masyarakat yang dimukimkan, dan pengembangan wilayah (Najiyati et al., 2005).
Intervensi langsung pemerintah dalam program transmigrasi adalah
membangun unit pemukiman transmigrasi (sebagai pra desa) beserta pembinaan
masyarakat dan lingkungan transmigrasi selama 5 tahun, untuk kemudian
diserahkan pembinaannya kepada Pemerintah Daerah yang kemudian
menetapkannya sebagai desa definitif. Sebagian dari ribuan unit pemukiman
transmigrasi (UPT) yang telah dibangun telah menjadi pusat-pusat pertumbuhan.
Terdapat 66 eks UPT telah menjadi ibukota kabupaten dan 235 eks UPT menjadi
ibukota kecamatan (Depnakertrans, 2005). Pencapaian perkembangan tersebut
membutuhkan waktu yang relatif lama. Berdasarkan kajian empirik, lokasi
transmigrasi umum dengan pola usaha tanaman pangan yang berhasil berkembang
menjadi sentra produksi ataupun menjadi ibukota kecamatan membutuhkan waktu
selama 17 – 20 tahun (Jones, 1979).
Sebagian lain dari ribuan UPT yang telah diserahkan ke pemerintah daerah
ternyata menghadapi berbagai masalah, karena belum mencapai sasaran kinerja
UPT serta belum mampu untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Laporan
analisis perkembangan unit permukiman transmigrasi pada tahun 2005
menyatakan bahwa sebagian besar transmigran pada UPT yang masih berada
dalam masa pembinaan memiliki permasalahan antara lain: pendapatan per kapita
di bawah nilai rata-rata pendapatan per kapita kabupaten, munculnya konflik
dengan penduduk lokal, masalah status (kepemilikan) tanah, rusaknya
infrastruktur jalan serta rendahnya kinerja para pembina UPT (Depnakertrans,
Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa kawasan transmigrasi
masih digolongkan kawasan yang lambat tumbuh dan sebagian menjadi kawasan
tertinggal dengan masyarakat yang tergolong miskin. Hal ini bersifat ironis,
mengingat tujuan program transmigrasi adalah untuk memperbaiki posisi
pendapatan melalui pendayagunaan lahan-lahan pertanian yang diberikan kepada
para transmigran serta memperbaiki tingkat kehidupan para transmigran tersebut
(Deptrans dan PPH, 1998).
Dalam perspektif global, beberapa lembaga di dalam dan luar negeri
bahkan menyatakan bahwa program transmigrasi menimbulkan masalah karena
mayoritas (80%) lokasi transmigrasi tidak menunjukkan peningkatan/perbaikan
standar kehidupan (Rich, 1994), mendorong terjadinya perampasan tanah milik
masyarakat adat tempatan secara sistematis, penebangan dan penggundulan hutan
(deforestation), dan kerusakan lingkungan, memicu timbulnya konflik berdarah
antar komunitas (antara lain di Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan
Maluku) yang menyebabkan banyaknya pengungsi internal di Indonesia (Adhiati,
2001). Pandangan tersebut muncul dengan dilandasi oleh berkembangnya isu
global mengenai pembangunan yang merusak kelestarian lingkungan serta
pelanggaran hak asasi manusia.
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan perhatian dan
bantuan dalam pengembangan unit-unit permukiman transmigrasi dalam rangka
mempercepat tercapainya satuan sosial ekonomi yang mandiri serta mampu
tumbuh berkelanjutan. Hal tersebut diwujudkan dengan mengembangkan unit-unit
permukiman transmigrasi yang ada secara terpadu dengan permukiman
masyarakat di sekitarnya dalam suatu hamparan kawasan transmigrasi dengan
pendekatan pengelolaan Satuan Kawasan Pengembangan (SKP). Pendekatan
pengelolaan SKP pernah dilakukan dengan nama Transmigration Second Stage
Development Programme (TSSDP) menggunakan bantuan pembiayaan dari
World Bank (Deptrans, 1989) namun terhenti bersamaan dengan berakhirnya
bantuan tersebut. Upaya tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan serta
tidak dapat berlanjut karena dikelola secara sentralistik dengan pendekatan
Pada tahun 2007 kebijakan pengembangan satuan kawasan dalam
pembangunan transmigrasi semakin dipertegas dengan diluncurkannya program
pembangunan dan pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) di kawasan
transmigrasi, dengan maksud menata kembali kawasan-kawasan transmigrasi
yang belum berkembang dan mempercepat terwujudnya pusat-pusat pertumbuhan
baru (Kepmen Nakertrans 214/2007). Program tersebut dirancang secara holistik
dan komprehensif layaknya membangun kawasan transmigrasi yang bernuansa
perkotaan. Melalui program tersebut diharapkan terjadi akselerasi perekonomian
perdesaan dan terwujudnya kawasan transmigrasi yang mandiri.
Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya termasuk kategori lokasi permukiman
transmigrasi yang lambat berkembang namun memiliki potensi untuk tumbuh dan
berkembang menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru di Kabupaten
Pontianak. Lahan pertanian yang disediakan untuk masyarakat transmigran
termasuk kategori lahan basah yang marginal dengan produktivitas rendah (lahan
gambut). Kondisi fisik lahan termasuk dataran rendah yang terletak di kawasan
pesisir dalam ekosistem lahan rawa pasang-surut yang dipengaruhi oleh Sungai
Punggur Besar dengan ketinggian 4-5 m dpl.
Pembangunan permukiman transmigrasi di kawasan Rasau Jaya diawali
dengan pembukaan hutan rawa dan pembangunan irigasi/drainase pada Pelita I
(1969-1974) dan Pelita II (1974-1979) oleh Departemen Pekerjaan Umum melalui
proyek pembukaan persawahan pasang surut (P4S) dengan tujuan
melipatgandakan produksi beras nasional dalam rangka swasembada pangan. Pada
tahun 1994-2000 telah dilakukan rehabilitasi jaringan reklamasi rawa di kawasan
Rasau Jaya untuk meningkatkan produksi pertanian melalui proyek Integrated
Swamps Development Project (ISDP).
Penempatan transmigrasi diawali di Rasau Jaya I pada tahun 1971 dan
terakhir pada tahun 2001 dengan jumlah yang ditempatkan 2.561 keluarga
meliputi 10.862 jiwa. Saat ini penduduknya telah berkembang menjadi 5.447
keluarga meliputi 25.371 jiwa (BPS Kabupaten Pontianak, 2007). Pada tahun
2006 Pemerintah Kabupaten Pontianak menetapkan kawasan transmigrasi Rasau
Jaya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan merencanakan pembangunan
Kota Terpadu Mandiri (KTM). Selain itu Departemen Tenaga Kerja dan
pertumbuhan melalui program pembangunan dan pengembangan KTM sesuai
dengan Rencana Strategis Depnakertrans 2006 – 2009.
Lahan rawa pasang surut yang luas dan potensial, prasarana dan sarana
irigasi/drainase yang tersedia, jumlah penduduk yang cukup banyak serta
aksesibilitas yang cukup baik, berjarak 30 km dari Kota Pontianak dengan jalan
perkerasan aspal, ternyata belum mampu menggerakkan percepatan
perkembangan wilayah, sehingga kawasan ini belum berkembang secara optimal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kawasan transmigrasi
tidak hanya berasal dari sisi internal (dari dalam kawasan sendiri), tetapi juga
tergantung dari perubahan-perubahan yang terjadi di luar kawasan itu (akibat
interaksi dengan wilayah yang lebih luas dan atau pusat pertumbuhan di
sekitarnya serta perubahan kepentingan stakeholder). Hal ini membutuhkan suatu perencanaan yang tepat dan berorientasi jangka panjang agar pengelola mampu
mengantisipasi terjadinya perubahan keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan
serta adanya perubahan di luar wilayahnya.
Di era otonomi daerah dan desentralisasi yang sedang berlangsung di
Indonesia juga terdapat tantangan lain. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, serta Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, akan
menempatkan suatu kawasan transmigrasi dalam suatu mekanisme pengelolaan
multi level dan multistakeholder serta multi dimensi. Pemerintah daerah yang
telah mengadopsi urusan ketransmigrasian sebagai kewenangan pilihan, memiliki
tanggung jawab sepenuhnya terhadap pembangunan transmigrasi di daerahnya
masing-masing, dengan fasilitasi dan dukungan pemerintah. Namun tanggung
jawab tersebut belum dijalankan secara baik, yang diindikasikan oleh kurangnya
perhatian dan kecilnya anggaran yang dialokasikan pemerintah daerah terhadap
pembangunan di lokasi transmigrasi.
Sebagai upaya untuk mendapatkan solusi optimal dalam melaksanakan
pengembangan kawasan, perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan.
kawasan transmigrasi akan memberikan manfaat yang optimal bagi semua pihak
yang berkepentingan, sehingga pelaksanaan program pembangunan transmigrasi
pada masa yang akan datang dapat terjamin keberlanjutannya. Pembangunan
berkelanjutan merupakan salah satu sasaran dalam pembangunan transmigrasi
yaitu mewujudkan integrasi di permukiman transmigrasi sehingga secara ekonomi
dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (UU No.
15/1997).
Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada
banyak negara dan oleh berbagai lembaga serta para peneliti dengan
mengembangkan indikator keberlanjutan. Centre for International Forest
Research (CIFOR,) mengembangkan sistem pembangunan kehutanan
berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan
kelembagaan. Food and Agricultural Organization (FAO, 1976) mengembangkan
indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek
ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan.
Commision on Sustainable Development menyusun indikator pembangunan
berkelanjutan ke dalam empat kategori yaitu sosial, ekonomi, lingkungan, dan
kelembagaan (OECD, 1998; CSD, 2001). Charles (2001) mengembangkan sistem
pembangunan perikanan berkelanjutan dengan memadukan keberlanjutan ekologi,
keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagaan.
Dalam kerangka pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan,
maka kriteria-kriteria keberkelanjutan yang perlu diperhatikan antara lain kawasan
yang berkelanjutan seharusnya tidak menggunakan sumberdaya lebih cepat
dibandingkan kemampuannya untuk melakukan substitusi (aspek ekologi dan
teknologi), tidak menghasilkan polusi lebih cepat dibandingkan kemampuan
untuk menetralisir secara alami (aspek ekologi dan teknologi), terjadi peningkatan
pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah (aspek ekonomi dan
teknologi), dan mengurangi kesenjangan dan potensi konflik (aspek sosial),
berkeadilan (aspek hukum), dan melibatkan partisipasi semua stakeholder (aspek
kelembagaan).
Saragih dan Sipayung (2002) menyatakan bahwa dalam melaksanakan
pembangunan dari aspek sosial, ekonomi, dengan pelestarian lingkungan.
Benturan antara ketiga aspek kepentingan tersebut akan menimbulkan dampak
positif maupun negatif. Keberhasilan pengembangan suatu kawasan transmigrasi
ditentukan oleh kemampuan pengelola untuk mengembangkan potensi yang
dimiliki kawasan dalam mengatasi kekurangan dan memanfaatkan kelebihan yang
dimilikinya secara efektif dan efisien. Namun demikian, permasalahan
pengembangan kawasan transmigrasi belum sepenuhnya dapat diselesaikan dalam
mendorong percepatan pengembangan kawasan transmigrasi. Bahkan
permasalahan dan tantangan pengembangan kawasan berkembang secara dinamis
dan beragam sehingga memerlukan pendekatan yang komprehensif dan holistik
dalam upaya penyelesaian permasalahan dan tantangan tersebut.
Keberhasilan atau kegagalan suatu pembangunan kawasan transmigrasi
bergantung pada perpaduan antara faktor ekologis (iklim, tanah, topografi), faktor
ekonomi (produksi, komoditi pertanian, investasi, akses pemasaran produk, dan
pasar tenaga kerja), faktor teknis (kualitas infrastruktur, kesesuaian pola
pertanian), dan faktor manusianya (keterampilan transmigran, kualitas pembinaan)
(Levang, 2003). Salah satu kunci penentu keberhasilan pengembangan kawasan
transmigrasi adalah efektivitas kebijakan yang dipergunakan sebagai dasar
pengelolaan kawasan transmigrasi. Kebijakan pengembangan kawasan
transmigrasi perlu disusun melalui suatu model (prosedur) analisis kebijakan yang
melibatkan berbagai pihak baik pemerintah maupun pemerintah daerah,
masyarakat transmigran, masyarakat lokal, para pelaku dan lembaga swadaya
masyarakat, sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan
kebutuhan semua pihak yang berkepentingan dengan pengembangan kawasan
transmigrasi.
Berdasarkan uraian tersebut, diperlukan suatu model analisis kebijakan
yang dapat mengakomodasi permasalahan saat ini, tantangan dan peluang ke
depan dalam rangka mendorong percepatan pembangunan kawasan yang memiliki
karakteristik fisik yang rentan secara ekologis, serta menghadapi masalah
ketersediaan sarana dan prasarana pendukung dan sumberdaya manusia. Di
samping itu, model analisis ini mencakup pula aspek pemantauan dan evaluasi
partisipatif karena pada kawasan transmigrasi sudah terbangun komunitas dan
sistem kelembagaannya.
Melalui penelitian ini, diharapkan dihasilkan pula arahan kebijakan dan
strategi implementasi yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan yang
berbeda dan permasalahan yang kompleks secara optimal dalam pengembangan
kawasan transmigrasi. Posisi arahan kebijakan dan strategi ini dalam konteks
pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya adalah memberi masukan bagi
pelaksanaan masterplan KTM Rasau Jaya yang mencakup penggambaran struktur
dan pola pemanfaatan ruang kawasan serta berbagai indikasi program
pengembangannya.
1.2Rumusan Masalah
Hasil pemantauan dari hasil pelaksanaan kebijakan pembangunan
transmigrasi pada masa lalu memunculkan berbagai masalah yang dihadapi di
lokasi transmigrasi, antara lain adalah: 1) sumberdaya lahan kawasan transmigrasi
yang pada umumnya termasuk kategori lahan marjinal, 2) kurangnya perhatian
terhadap konservasi sumberdaya alam dan lingkungan, 3) orientasi awal
pengembangan kawasan hanya pada aspek produksi dan kurang dikaitkan dengan
sistem agribisnis secara utuh, 4) rendahnya produksi dan produktivitas usaha tani,
5) kurangnya akses transmigran keluar untuk kegiatan ekonomi atau sosial akibat
buruknya prasarana jalan transmigrasi, 6) kurangnya informasi pasar dan
teknologi pengolahan hasil, 7) kegiatan perekonomian yang sangat rendah, 8)
sarana dan prasarana sosial yang sangat terbatas, 9) banyak transmigran yang
bekerja di luar lokasi, 10) lambatnya proses akulturasi dan kadangkala terjadi
konflik dengan masyarakat setempat, (11) rendahnya kualitas sumberdaya
manusia dan kapasitas kelembagaan, (12) pelaksanaan pengembangan dalam
satuan kawasan pengembangan kurang mendapat perhatian dari para pengambil
keputusan (13) tata kepemerintahan yang belum mapan, dan 14) adanya
kesenjangan dengan wilayah di sekitarnya (Depnakertrans, 2005).
Terkait dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan kapasitas
kelembagaan, permasalahan yang menjadi kendala utama pengembangan kawasan
(SKP), (b) lemahnya kerjasama lintas sektor yang mengakibatkan proses
pembinaan dan pengembangan kawasan tidak efektif dan efisien, proses
penyusunan berbagai program pembangunan yang bersifat sektoral dan top down,
(c) kesinambungan program setelah penyerahan pembinaan dari Departemen yang
menangani ketransmigrasian ke pemerintah daerah tidak berjalan dengan baik dan
tidak berkelanjutan (Depnakertrans, 2005).
Dalam konteks pengembangan kawasan transmigrasi masih perlu
dievaluasi apakah masalah-masalah diatas, yang terkandung di dalam sistem
pengembangan kawasan transmigrasi, akan menyebabkan kawasan transmigrasi
menjadi berkembang tidak berkelanjutan? Apa upaya yang perlu dilakukan agar
pengembangan kawasan transmigrasi dapat berkelanjutan?
Kompleksitas permasalahan kawasan transmigrasi pada dasarnya
disebabkan oleh permasalahan kebijakan yang dalam proses analisis kebijakan
belum memperhatikan aspirasi stakeholder dan berbagai aspek keberlanjutan
pembangunan kawasan transmigrasi serta faktor kunci yang mempercepat
pengembangan kawasan transmigrasi secara lokal spesifik. Dengan demikian
diperlukan penelitian tentang bagaimana model analisis kebijakan pengembangan
kawasan transmigrasi berkelanjutan. Model ini diharapkan dapat menjawab
permasalahan kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi saat ini yakni
sistem pengembangan kawasan belum terpadu (masih per UPT dan bersifat
sektoral), belum mempertimbangkan kebijakan/kearifan lokal, belum melibatkan
seluruh stakeholder, dan tidak sepenuhnya menerapkan prinsip pembangunan
berkelanjutan.
Pada umumnya rencana pengembangan suatu kawasan/wilayah diawali
dengan penyusunan masterplan yang akan mencakup pengambaran struktur dan
pola pemanfaatan ruang kawasan/wilayah, serta berbagai indikasi program
pengembangan. Pada umumnya juga indikasi program pengembangan yang
disusun merupakan daftar panjang yang berisi berbagai macam kebutuhan dalam
semua aspek pengembangan kawasan/wilayah. Demikian juga halnya pada
rencana pengembangan KTM Rasau Jaya, dimana Kawasan Transmigrasi Rasau
Jaya merupakan salah satu SKP dari empat SKP yang ada, memuat rencana
masyarakat, yang dijabarkan ke dalam program pembangunan sarana dan
prasarana, penguatan kapasitas sumberdaya manusia dan pembangunan
masyarakat serta peningkatan investasi dan penguatan ekonomi rakyat, untuk
dilaksanakan oleh lintas sektor pemerintah dan pemerintah daerah, badan usaha
swasta/masyarakat (Kepmen Nakertrans 214/2007).
Agar indikasi program dan rencana tindak yang disusun dapat
diimplementasikan secara efektif maka diperlukan kebijakan operasionalisasi
rencana tata ruang (Djakapermana, 2006), dalam bentuk arahan kebijakan dan
strategi implementasi yang dihasilkan melalui proses partisipatif. Salah satu
tujuan sistem pengelolaan (pengembangan kawasan transmigrasi) yang partisipatif
adalah membuat para stakeholder dapat menghasilkan keputusan bermutu dan
dapat dilaksanakan oleh mereka sendiri secara efektif (Eriyatno, 2003).
Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan masalah penelitian yaitu
perlunya arahan kebijakan dan strategi implementasi dalam mengembangkan
kawasan transmigrasi yang berkelanjutan yang dapat mendorong percepatan
perkembangan satuan kawasan pengembangan transmigrasi yang telah ada, yang
dihasilkan melalui suatu model analisis kebijakan dengan menerapkan prinsip
pembangunan berkelanjutan. Pertanyaan penelitian pengembangan kawasan
transmigrasi berkelanjutan adalah sebagai berikut:
1. Seberapa besar tingkat keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi
ditinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum dan
kelembagaan sebagai hasil pelaksanaan kebijakan pengembangan kawasan
transmigrasi pada masa lalu?
2. Apa kebutuhan stakeholder dalam pengembangan kawasan transmigrasi di
masa mendatang?
3. Apa faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi yang berkelanjutan?
4. Bagaimana rumusan arahan kebijakan dan strategi implementasi yang
diperlukan dalam pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan sebagai
masukan bagi penyempurnaan kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian adalah merancang model analisis kebijakan
pengembangan kawasan transmigrasi yang diperlukan dalam mengelola
pengembangan kawasan transmigrasi sehingga terwujud pembangunan kawasan
transmigrasi yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik dapat diuraikan ke dalam
tujuan operasional sebagai berikut:
1. Mengetahui tingkat keberlanjutan pembangunan kawasan transmigrasi dari
dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum dan kelembagaan
2. Mengetahui kebutuhan stakeholder dalam pengembangan kawasan
transmigrasi di masa mendatang
3. Mengetahui faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi yang
berkelanjutan.
4. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi implementasi yang diperlukan
dalam pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1) Ilmu pengetahuan, dalam bidang aplikasi pendekatan sistem pengembangan
kawasan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, agar dapat membantu
dalam menyelesaikan permasalahan pengembangan kawasan khususnya di
kawasan transmigrasi.
2) Semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam
pengembangan kawasan transmigrasi agar dapat mengambil keputusan dengan
hasil yang lebih baik.
3) Pemerintah baik tingkat daerah maupun pusat, sebagai acuan dalam menyusun
kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi. Posisi arahan kebijakan dan
strategi implementasi dalam konteks pengembangan kawasan transmigrasi
Rasau Jaya adalah memberi masukan pelaksanaan masterplan yang meliputi
rencana pengembangan kawasan transmigrasi yang mencakup penggambaran
struktur dan pola pemanfaatan ruang kawasan serta berbagai indikasi program
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Kajian ini dilakukan pada kawasan transmigrasi yang telah terbangun dan
memerlukan pengembangan lanjutan (second stage development). Penelitian
mencakup kajian terhadap kondisi dan potensi internal dalam satu kawasan
transmigrasi, dengan kasus Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten
Pontianak. Kajian ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, serta hukum dan
kelembagaan dalam kawasan transmigrasi dilakukan untuk mengidentifikasi
atribut/indikator yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat keberlanjutan
pengembangan kawasan transmigrasi yang selanjutnya disebut Indeks
Keberlanjutan Kawasan Transmigrasi (IKKTrans).
Tinjauan kebijakan hanya dilakukan pada aspek prosedur dalam kajian
kebijakan dan substansi kebijakan yang terkait dengan pengembangan kawasan.
Penelitian difokuskan pada model (prosedur) analisis kebijakan pengembangan
kawasan transmigrasi secara partisipatif yang menghasilkan arahan kebijakan
yang sesuai dengan kebutuhan semua pihak yang berkepentingan terhadap
kawasan transmigrasi, yaitu masyarakat, pengusaha, pemerintah Kabupaten
Pontianak, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, dan pemerintah yang diwakili
oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui suatu model analisis
kebijakan yang menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
1.6 Kerangka Pikir Konseptual
Pengembangan kawasan transmigrasi perlu dikelola dengan baik agar
mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan. Pada konsep pembangunan
berkelanjutan ini tujuan ekonominya adalah dengan meningkatkan pendapatan
masyarakat transmigran dan masyarakat lokal, tujuan sosialnya adalah mencegah
terjadinya berbagai konflik dan kesenjangan dan menciptakan keadilan dalam
kehidupan masyarakat, tujuan aspek lingkungan adalah menjaga keanekaragaman
hayati, konservasi lahan dan air, tujuan aspek teknologi adalah aplikasi dan
inovasi teknologi tepat guna, serta tujuan aspek hukum dan kelembagaan adalah
dicapai jika semua stakeholder yang terlibat dapat bersinerji secara optimal dalam
setiap langkah dalam pengembangan kawasan transmigrasi.
Kondisi kawasan transmigrasi saat ini merupakan hasil dari pengelolaan
kawasan yang telah dilakukan sebelumnya. Pengelolaan kawasan didasarkan pada
berbagai kebijakan pembangunan yang ditetapkan baik dari pemerintah maupun
pemerintah daerah secara kontinu. Hasil pemantauan dan laporan berbagai
penelitian menunjukkan bahwa banyak kawasan transmigrasi saat ini relatif belum
berkembang secara optimal. Hal ini merupakan permasalahan yang perlu dikaji
lebih lanjut terkait dengan keberlanjutan pembangunan. Prinsip pembangunan
berkelanjutan menjadi relevan untuk diterapkan agar dapat memberikan solusi
optimal terhadap konflik antara kepentingan pembangunan dengan pelestarian
lingkungan hidup.
Keberlanjutan pembangunan di suatu wilayah atau daerah dapat diketahui
dari indikator pembangunan berkelanjutan yang mencakup berbagai aspek.
Indikator yang digunakan mencakup lima dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial,
teknologi, serta hukum dan kelembagaan. Dimensi teknologi digunakan karena
kawasan transmigrasi berbasis pengelolaan lahan yang pada umumnya masih
dilakukan dengan cara-cara tradisional. Pengelolaan lahan dalam pengembangan
pertanian dan usaha lainnya di kawasan transmigrasi memerlukan penerapan dan
inovasi teknologi secara berkelanjutan untuk mencapai tingkat perkembangan
yang diinginkan. Inovasi teknologi akan meningkatkan efisiensi, nilai tambah
ekonomi dan kualitas sosial masyarakat, serta pada gilirannya akan dapat
meningkatkan daya tampung lingkungan di atas daya dukung alam yang tidak
berubah.
Dimensi hukum dan kelembagaan digunakan karena masyarakat di
kawasan transmigrasi pada umumnya memerlukan regulasi dan penegakan hukum
yang dapat dijadikan acuan norma dalam pengembangan kawasan khususnya
terkait dengan keragaman budaya dan perilaku masyarakatnya. Implementasinya
adalah dalam bentuk disiplin/komitmen atas pengelolaan lingkungan yang baik,
fragmentasi sosial yang harmonis, dan persaingan usaha yang sehat. Hal ini
berkaitan pula dengan kelembagaan yang telah mendominasi perkembangan
simultan akan mempengaruhi keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi.
Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria tersendiri yang
mencerminkan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang bersangkutan.
Berbagai atribut serta kriteria yang digunakan ditentukan berdasarkan hasil kajian
pustaka dan preferensi pakar. Informasi kondisi kawasan pada setiap atribut
didapatkan dari data sekunder, penyebaran kuesioner serta dari para stakeholder.
Untuk menilai keberlanjutan dari sistem pengembangan kawasan saat ini
yang merupakan hasil pelaksanaan kebijakan pembangunan transmigrasi, proyek
P4S dan ISDP, dan kebijakan regional dan lokal di masa lalu di kawasan Rasau
Jaya, dilakukan dengan cara menghitung Indeks Keberlanjutan kawasan
transmigrasi (IKKTrans) dengan menggunakan metode multi variabel non
parametrik yang disebut multidimensional scalling (MDS).
Jika penilaian menghasilkan IKKTrans termasuk dalam kategori
berkelanjutan maka hal tersebut menunjukkan bahwa pengembangan kawasan
transmigrasi aktual telah dilaksanakan secara baik dan benar yang dilandasi,
diarahkan dan diatur oleh kebijakan yang baik dan benar juga, dengan
menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Langkah selanjutnya adalah
memberikan rekomendasi agar kebijakan yang ada terus digunakan dan
memberikan penguatan pada faktor-faktor pengungkit utama atau faktor kunci
yang telah teridentifikasi mampu memberikan pengaruh besar agar tingkat
keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi dapat terus meningkat.
Jika penilaian menghasilkan IKKTrans termasuk dalam katagori belum
berkelanjutan, maka perlu dikenali permasalahan yang ada di dalam sistem
pengembangan kawasan transmigrasi serta mengidentifikasi kebutuhan
stakeholder. Dalam kerangka pengembangan kawasan transmigrasi, kebutuhan
yang didasarkan atas preferensi stakeholder dalam pengembangan kawasan di
masa mendatang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan pengembangan
kawasan. Dengan menggunakan metode analisis prospektif dapat dirumuskan
faktor-faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder serta faktor dominan atau faktor
kunci yang akan memberikan pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan sistem
Faktor-faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi merupakan
masukan dalam penyusunan skenario pengembangan Kawasan Transmigrasi
Rasau Jaya. Penyusunan skenario pengembangan kawasan perlu melibatkan
semua pihak terutama stakeholder utama dan pakar. Skenario ini diharapkan
memberikan gambaran masa depan kawasan transmigrasi dalam kaitan dengan
keberlanjutan dimensi-dimensi yang dikaji. Skenario pengembangan kawasan
transmigrasi dapat disimulasikan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi pada masa depan dengan menggunakan analisis prospektif. Hasil
analisis prospektif sistem pengembangan kawasan transmigrasi tersebut akan
menghasilkan alternatif skenario pengembangan kawasan pada masa datang.
Skenario optimal yang dihasilkan merupakan gambaran masa depan yang
akan diwujudkan oleh sistem. Selanjutnya, intervensi yang dapat mewujudkan
tercapainya skenario optimal dalam mencapai tujuan sistem merupakan
rekomendasi arahan kebijakan yang dapat disarankan untuk diadopsi oleh semua
pihak yang berkepentingan dalam sistem untuk diimplementasikan dengan
memperhatikan kemampuan sumberdaya yang dimiliki oleh sistem tersebut. Hasil
ini merupakan masukan untuk pelaksanaan kebijakan yang saat ini telah ada yakni
kebijakan pengembangan kawasan KTM Rasau Jaya, RTRW Kabupaten
Pontianak, dan RTR Kawasan Pesisir Kabupaten Pontianak. Secara skematis,
kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.
1.7Kebaruan Penelitian
Penelitian ini bersifat penelitian pengembangan dari beberapa penelitian
sebelumnya yang terkait dengan pengembangan kawasan transmigrasi. Kebaruan
penelitian (novelty) ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini menghasilkan model (prosedur) analisis kebijakan
pengembangan kawasan transmigrasi sebagai suatu model pengambilan
keputusan melalui tahapan: penilaian kondisi saat ini, analisis kebutuhan
pengembangan, menetapkan faktor kunci keberhasilan pengembangan di masa
depan, serta menyusun arahan kebijakan dan strategi pelaksanaannya dengan
Gambar 1. Kerangka pikir konseptual penelitian
2. Penelitian ini menghasilkan metode yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi tingkat keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi
dalam suatu kawasan tertentu secara sistemik, cepat (rapid appraisal),
objektif, dan terkuantifikasi.
3. Penelitian ini menghasilkan alternatif skenario serta rumusan arahan kebijakan
dan strategi implementasi pengembangan kawasan transmigrasi yang dapat
mempertemukan berbagai kepentingan pembangunan (ekonomi, ekologi,
sosial, teknologi, hukum dan kelembagaan) dengan mempertimbangkan
berbagai kemungkinan perubahan kondisi masa depan yang akan terjadi.
2.1Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi suatu konsep
pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia untuk mengelola
sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan. Konsep ini
berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan sektor
transmigrasi. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidisiplin karena
banyak aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain aspek
ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum dan kelembagaan. Banyak pendapat ahli
yang lain memberikan persyaratan pembangunan berkelanjutan dengan
aspek-aspek yang hampir sama tetapi dengan cara dan pendekatan yang berbeda.
Secara prinsip, pembangunan berkelanjutan merupakan upaya terpadu dan
terorganisasikan untuk mengembangkan kualitas hidup secara berkelanjutan,
dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumberdaya secara berkelanjutan dengan prasyarat terselenggaranya
suatu sistem kepemerintahan yang baik (good governance). Pembangunan
berkelanjutan juga diartikan sebagai pemaduan tujuan sosial, ekonomi, dan
ekologi. Walaupun secara konseptual pemaduan ini masuk akal, tetapi
implementasinya tidaklah sederhana. Hal ini antara lain karena permasalahan
sosial, ekonomi dan ekologi yang terpisahkan atau dipisahkan secara spasial.
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh the
World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987
dengan laporannya berjudul Our Common Future (Kay dan Alder, 1999). Laporan
ini dibuat oleh sekelompok ahli yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland,
sehingga laporan tersebut sering disebut sebagai Laporan Brundtland (The
Brundtland Report). Dalam laporan tersebut terkandung definisi pembangunan
berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa
membatasi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan
pengertian ini, Beller (1990) mengemukakan prinsip justice of fairness yang
tanggung jawab satu terhadap yang lainnya seperti layaknya berada dalam satu
generasi.
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan akan ada perpaduan antara dua
kata yang kontradiktif yaitu pembangunan yang menuntut perubahan dan
pemanfaatan sumberdaya alam, dan berkelanjutan yang berkonotasi “tidak boleh mengubah” di dalam proses pembangunan yang berkelanjutan. Persekutuan antara
kedua kepentingan ini pada dasarnya mengembalikan developmentalis dan
environmentalis back to basic yaitu oikos dimana kepentingan ekonomi dan
lingkungan hidup disetarakan (Saragih dan Sipayung 2002).
Young (1992) dalam Kay dan Alder (1999) mengemukakan adanya tiga
tema yang terkandung dalam definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu:
integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan kesejahteraan (equity).
Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Munasinghe (1993), bahwa
pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara
ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis
lestari (ramah lingkungan). Makna dari pembangunan berkelanjutan dari dimensi
ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan
kepada generasi mendatang sejumlah kuantitas modal alam (natural capital) yang
dapat menyediakan suatu hasil berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan
termasuk keindahan alam. Konsep lain yang masih berkaitan dengan hal tersebut
adalah konsep pemanfaaatan sumberdaya yang berkelanjutan (sustainable use of
resources) yang bermakna bahwa pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan
sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan
dalam kurun waktu yang sama.
Cicin-Sain dan Knecht (1998) mengemukakan bahwa pembangunan
berkelanjutan mencakup tiga penekanan, yaitu: (1) pembangunan ekonomi untuk
meningkatkan kualitas kehidupan manusia; (2) pembangunan yang sesuai dengan
lingkungan; dan (3) pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan,
yaitu keadilan penyebaran keuntungan dari pembangunan yang mencakup: a)
intersocietal equity misalnya antar kelompok dalam masyarakat, menghargai hak
khusus masyarakat lokal dan lain-lain; b) intergenerational equity yaitu tidak
yaitu memenuhi kewajiban (obligasi) terhadap bangsa lain dan terhadap
masyarakat internasional mengingat adanya kenyataan saling ketergantungan
secara global.
Reid (1995) dalam Kay dan Alder (1999) mengemukakan persyaratan agar
pembangunan berkelanjutan dapat terwujud, yaitu: integrasi antara konservasi dan
pengembangan, kepuasan atas kebutuhan dasar manusia, peluang untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat “non materi”, berkembang ke arah
keadilan sosial dan kesejahteraan, menghargai dan mendukung keragaman
budaya, memberikan peluang penentuan identitas diri secara sosial dan
menumbuhkan sikap ketidak-tergantungan diri, dan menjaga integritas ekologis.
Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global
mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan
sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi.
Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus
mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial.
Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak
berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya
dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan
kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk itu,
harus memperhatikan prinsip: penggunaan sumberdaya tidak lebih cepat
dibandingkan kemampuannya untuk melakukan pemulihan kembali (rehabilitasi),
tidak menghasilkan polusi lebih cepat dibandingkan kemampuan untuk
menetralisir secara alami (Radzicki dan Trees, 1995).
Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergik dengan
pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan,
dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini menegaskan
bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas, karena
tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah
proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan
lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak saja bersifat kuratif melainkan juga
bersifat preventif. Di masa depan, upaya-upaya yang lebih bersifat preventif harus
lebih diprioritaskan, dan hal ini menuntut dikembangkannya berbagai opsi
pengelolaan lingkungan, baik melalui opsi ekonomi maupun melalui
proses-proses peraturan dan penataan penggunaan lahan (Setiawan, 2003).
Hubungan timbal balik antara aspek ekonomi dan sumberdaya alam dan
lingkungan kemudian menjadi sangat penting. Betapa tidak ekstraksi terhadap
sumberdaya alam yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan
akan menghasilkan benefit dan limbah. Aktivitas manusia secara langsung
maupun tidak langsung telah dan akan memberikan dampak terhadap resistensi
sumberdaya alam dan lingkungan.
Pengelolaan sumberdaya alam merupakan suatu hal yang sangat penting
dibicarakan dan dikaji dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional kita.
Dengan potensi sumber daya alam yang berlimpah sesungguhnya kita dapat
melaksanakan proses pembangunan bangsa ini secara berkelanjutan tanpa harus
dibayangi rasa cemas dan takut akan kekurangan modal bagi pelaksanaan
pembangunan tersebut. Pemanfaatan secara optimal kekayaan sumber daya alam
ini akan mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh bangsa
Indonesia.
Namun demikian perlu disadari eksploitasi secara berlebihan tanpa
perencanaan yang baik bukannya mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan
namun malah sebaliknya akan membawa malapetaka yang tidak terhindarkan.
Akibat dari pengelolaan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan
keseimbangan dan kelestarian lingkungan dapat kita lihat pada kondisi lingkungan
yang mengalami degradasi baik kualitas maupun kuantitasnya. Hutan tropis yang
kita banggakan setiap tahun luasnya berkurang sangat cepat, demikian juga
dengan jenis flora dan dan fauna di dalamnya sebagian besar sudah terancam
punah. Perairan yang sangat luas sudah tercemar sehingga ekosistemnya
terganggu. Demikian juga dengan dampak eksploitasi mineral yang terkandung
dalam perut bumi juga mulai merusak keseimbangan dan kelestarian alam sebagai
akibat proses penggalian, pengolahan dan pembuangan limbah yang tidak