• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan Di Lahan Kering (Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan Di Lahan Kering (Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur)"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN

TRANSMIGRASI BERKELANJUTAN DI LAHAN KERING

(Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang

Kabupaten Kutai Timur)

GATOT DWI ADIATMOJO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Model Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan di Lahan Kering (Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, September 2008

Gatot Dwi Adiatmojo

(3)

Gatot Dwi Adiatmojo. 2008. Policy Model for Sustainable Transmigration Regional Development in Dry Land (Case Study at Transmigration Area of Kaliorang, East Kutai Regency). Under Direction of Santun R.P. Sitorus as a chairman, Hartrisari Hardjomidjojo, and Ernan Rustiadi as members.

The transmigration program contributed greatly to regional developments by creating both job and business opportunities. However, the transmigration developments, especially in the dry land, have not yet encouraged the region to develop optimally. The purposes of this research are: (1) to study the sustainability status of the transmigration regions developments in the dry land of Kaliorang; (2) to analyze the key factors that will determine the sustainability of transmigration development in the dry land of Kaliorang; and (3) to draw the policy for sustainable transmigration development in the dry land. The research was conducted in five stages, those are examining the policies of transmigration regional development in Kaliorang, analyzing the needs of stakeholders, analyzing the leverage factors of the sustainable transmigration regional developments, analyzing the key factors for transmigration regional developments, and formulating the policy for implementing the developments of transmigration in the dry land of Kaliorang. The results of the research shows that: (1) the transmigration developments in the dry land of Kaliorang do not sustained. Some of the dimensions that have not yet sustained in developing transmigration area are: the ecological, socio-cultural, and institutional, and the dimentions of unsustained are: technology, economy, and accessibility; (2) the key factors for the transmigration developments in the dry land of Kaliorang are: the size of cropping plantation for agricultural commodities, the contribution to social welfare, the improvement of infra-structures, the enhancement of human resource quality, the provision of technology, the development of main agricultural commodities, the establishing of institutions, the increase of interests in investments and the developing of business partnership; and (3) the priority alternative policies for sustainable transmigration regional developments in dry land are: improving the investment atmosphere and establishing agricultural business partnerships in developing main agricultural commodities, enhancing the quality of human resources, especially farmers and agriculture business doers, expanding plantation fields for main agricultural commodities that can improve the social welfare, developing and maintaining infrastructures for agricultural business, developing the technologies for agricultural practices and improving the management of agricultural businesses.

Key words: policy, development, sustainable, transmigration, dry land

(4)

GATOT DWI ADIATMOJO. Model Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan di Lahan Kering (Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur). Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO, dan ERNAN RUSTIADI.

Program transmigrasi telah memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap pembangunan wilayah, melalui penciptaan peluang usaha dan peluang kerja. Namun demikian, pembangunan kawasan transmigrasi khususnya di lahan kering belum optimal mendorong perkembangan wilayah. Diperlukan kebijakan yang terpadu dan komprehensif mempertimbangkan berbagai aspek yang sesuai dengan kondisi kawasan yakni aspek fisik lahan, ekonomi, sosial budaya, teknologi, kelembagaan, dan asksesibilitas untuk mencapai pembangunan kawasan transmigrasi berkelanjutan.

Selain itu proses pengambilan keputusan kebijakan pengembangan kawasan agar dilakukan secara partisipatif. Kebijakan tersebut diperlukan, untuk menyeimbangkan prinsip kelestarian lingkungan hidup dan pengembangan wilayah dengan tetap berpedoman pada rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengaturan tersebut diharapkan sebagai suatu kebijakan yang sinergis yang dapat menjawab kebutuhan mengoptimasikan pemanfaatan sumberdaya alam secara harmonis dan berkelanjutan.

Kabupaten Kutai Timur yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang mempunyai potensi dalam pengembangan kawasan transmigrasi, khususnya pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering. Sejak tahun 1985 sampai dengan tahun 2004 telah dilakukan pembangunan permukiman transmigrasi sebanyak 44 UPT yang semua pembangunannya dilakukan dengan memanfaatkan lahan kering. Lahan kering di Kabupaten Kutai Timur yang potensial dikembangkan untuk usaha pertanian seluas 146.731 ha. Dari luasan tersebut yang telah dimanfaatkan seluas 109.931 ha. Namun demikian, kondisi kawasan transmigrasi di Kabupaten Kutai Timur masih relatif belum berkembang. Hal ini terlihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, ketersediaan sarana dan prasarana terbatas, dan kontribusi sektor pertanian kawasan transmigrasi terhadap ekonomi wilayah masih rendah.

Penelitian bertujuan untuk (1) mengetahui status keberlanjutan pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang; (2) menganalisis faktor kunci yang menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang; dan (3) merumuskan kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering.

Penelitian dilakukan dengan lima tahapan penelitian yaitu review kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi Kaliorang, analisis keberlanjutan dan faktor pengungkit pembangunan kawasan transmigrasi, analisis kebutuhan stakeholder, analisis faktor-faktor kunci pembangunan kawasan transmigrasi, dan perumusan kebijakan dan strategi implementasi pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang secara partisipatif.

(5)

analytical hierarchy process untuk menentukan prioritas kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi lahan kering. Focus group discussion dilakukan untuk merumuskan strategi impelemntasi kebijakan prioritas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Keberlanjutan pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang dianalisis dengan model MDS. Nilai indeks keberlanjutan yang diperoleh berdasarkan penilaian terhadap semua atribut yang tercakup dalam enam dimensi (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, kelembagaan, dan aksesibilitas). Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholders dan pakar disepakati 48 atribut yang tersebar dalam enam dimensi pembangunan kawasan transmigrasi di lahan kering.

Pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang belum berkelanjutan. Dari enam dimensi yang dianalisis untuk menentukan status keberlanjutan pembangunan kawasan, terdapat tiga dimensi yang tergolong belum berkelanjutan (skor 50 – 75) yakni dimensi ekologi dengan nilai indeks 55,0; dimensi sosial (57,7), dan dimensi kelembagaan (62,0). Sedangkan dimensi yang tergolong tidak berkelanjutan (skor < 50) adalah dimensi ekonomi dengan nilai indeks 41,5; dimensi teknologi (46,0), dan dimensi aksesibiltas (48,5). Dimensi aksesibilitas, ekonomi, dan teknologi menjadi hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam kegiatan pembangunan kawasan transmigrasi Kaliorang karena memiliki skor yang paling rendah dan masih relatif jauh dari kondisi keberlanjutan. Dimensi yang memiliki indeks keberlanjutan tergolong tidak berkelanjutan adalah dimensi ekonomi, aksesibilitas, dan teknologi. Ketiga dimensi ini memiliki skor indeks keberlanjutan < 50. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor ekonomi, aksesibilitas, dan teknologi belum diperhatikan dalam proses pembangunan yang dilakukan selama ini. Dengan demikian, di masa mendatang ketiga dimensi ini perlu mendapat perhatian. Dimensi kelembagaan, sosial, dan ekologi tergolong belum berkelanjutan (nilai indeks 50 – 75).

Diperoleh 19 faktor pengungkit pembangunan kawasan transmigrasi secara berkelanjutan di Kaliorang. Dalam proses pembangunan, semua faktor ini harus diperhatikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas pembangunan. Secara operasional, faktor ini memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Namun demikian, dalam proses implementasinya diperlukan pemilihan faktor yang paling berpengaruh dan memiliki keterkaitan dengan faktor lainnya yang paling tinggi sehingga dengan memanfaatkan sumberdaya yang terbatas dapat dicapai tujuan pembangunan yang diinginkan.

Faktor-faktor kunci tersebut digunakan sebagai basis dalam perumusan kebijakan dan strategi implementasi pengembangan komoditi unggulan pertanian yakni padi, kelapa sawit, dan kakao. Penentuan faktor kunci dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait dengan pembangunan kawasan transmigrasi Kaliorang dan pakar. Hasil analisis prospektif diperoleh tiga faktor kunci keberhasilan pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang yaitu: luas lahan yang ditanami, ketersediaan mitra usaha, dan kondisi jalan.

(6)

pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang secara berkelanjutan. Dengan demikian, kebijakan pembangunan kawasan Kaliorang telah dapat mencerminkan aspirasi stakeholder dan kondisi masa depan yang diinginkan.

Rancangan kebijakan pembangunan kawasan Kaliorang dirumuskan dengan memperhatikan faktor-faktor kunci yang telah dihasilkan dari analisis sebelumnya. Selain itu juga memasukkan hasil tinjauan kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi Kaliorang. Perumusan kebijakan ini dilakukan melalui FGD dengan stakeholder dan pakar. Rumusan rancangan kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi Kaliorang adalah: (1) Peningkatan luas lahan yang ditanami dengan komoditi pertanian unggulan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (2) Pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis komoditi pertanian unggulan; (3) Pembangunan dan pemeliharaan sarana jalan penghubung guna menunjang ketersediaan sarana produksi pertanian dan pemasaran hasil pertanian; (4) Perbaikan iklim investasi dan peningkatan investasi pemerintah dan pengusaha; (5) Pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana kawasan guna menunjang pengembangan kawasan; (6) Pengembangan teknologi budidaya pertanian dan perbaikan manajemen usaha tani; dan (7) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya petani dan pelaku usahatani melalui pelatihan dan pendidikan

Alternatif kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering yang menjadi prioritas adalah: pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis komoditi pertanian unggulan. Untuk mewujudkan kebijakan tersebut disepakati strategi implementasi kebijakan yaitu: pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani, peningkatan investasi pemerintah untuk menunjang kemitraan usahatani, dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya petani dan pelaku usahatani.

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

TRANSMIGRASI BERKELANJUTAN DI LAHAN KERING

(Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang

Kabupaten Kutai Timur)

Oleh:

GATOT DWI ADIATMOJO

P062024314

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Ujian Tertutup

Dilaksanakan pada : 4 Februari 2008

Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc. Fakultas Pertanian, IPB

Ujian Terbuka

Dilaksanakan pada : 24 Juli 2008

Penguji Luar Komisi : (1) Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng. Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, IPB

(2) Dr. Son Diamar, M.Sc.

(10)

Berkelanjutan di Lahan Kering (Studi Kasus di Kabupaten Kutai Timur)

Nama : Gatot Dwi Adiatmojo

NIM : P062024314

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus Ketua

Dr Ir Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. Prof. Dr Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(11)

Assalamu ’Alaikum Wr. Wbr.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas rahmat dan karunia-NYA sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

Disertasi ini berjudul Model Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan di Lahan Kering (Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur). Hal yang melatarbelakangi pemilihan judul ini adalah bahwa kawasan Kaliorang merupakan pusat pertumbuhan baru yang prospektif dengan dukungan sumberdaya alam, sarana perhubungan darat dan laut, sentra produksi pertanian dan menjadi kawasan prioritas pemda untuk gerdabangagri dan agropolitan.

Melalui tulisan ini, penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada Bapak Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus, Ibu Dr Ir Hartrisari Hardjomidjojo, DEA., dan Bapak Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr. sebagai tim komisi pembimbing yang telah memberikan kontribusi besar dalam bentuk saran pemikiran dan bimbingannya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Kepada Ketua Program Studi PSL Bapak Prof. Dr Ir Surjono H. Hadisutjahjo, MS juga saya ucapkan terimakasih atas perhatian dan waktunya dalam memberikan dorongan dan semangat kepada saya. Pada kesempatan ini saya sampaikan juga ucapan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang telah banyak membantu dalam penyediaan data dan memfasilitasi focus group discussion.

Akhirnya saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak atas bantuan dan perhatiannya dalam penyelesaian disertasi ini, yang telah memberikan perhatian penuh, bantuan moril dan semangat kepada saya di setiap saat.

Sebagai sebuah disertasi, tentunya diharapkan masukan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan disertasi ini. Semoga bimbingan, saran, dan masukan yang diberikan dengan ikhlas membuahkan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia khususnya bagi masyarakat Kabupaten Kutai Timur.

Wassalamu ’Alaikum Wr. Wbr.

Bogor, September 2008

(12)

Gatot Dwi Adiatmojo lahir di Surabaya pada tanggal 18 Maret 1957. Penulis mengikuti pendidikan SD, SMP di Surabaya dan SMA di Semarang. Selanjutnya mengikuti pendidikan S1 pada jurusan Mekanisasi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian di Universitas Gadjah Mada dan diselesaikan pada tahun 1983. Pendidikan S2 pada Program Pascasarjana Program Studi Magister Manajemen Agribisnis di Institut Pertanian Bogor (1999), dan pendidikan S3 pada Program Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor (2003-sekarang).

Selain itu penulis juga mengikuti pendidikan informal/ diklat dan pelatihan antara lain: Kursus Pejabat Inti Proyek di Jakarta (1983); Kursus Manajemen Proyek di Jakarta (1985); Kursus Rural Infrastucture Development di CEC - AIT Bangkok Thailand (1988); Kursus In Situ Test Pondasi Dangkal dan Pondasi Dalam di Bandung (1991); Kursus Pengelolaan Jembatan Rangka Baja di Bandung (1992); Kursus Analisis Kebijakan Publik di Jakarta, (1999), SPALA (1994) dan SPAMA (2000).

Riwayat penugasan dan jabatan penulis ketika dinas antara lain; Kepala Seksi Wilayah Kalimantan Barat Subdit Wilayah Kalimantan pada Dit PLP Dep Transmigrasi (1993-1995), Kepala Seksi Wilayah Kalimantan pada Subdit Pembangunan dan Peningkatan Jalan dan Jembatan Dit PLP (1995-1999) Dep Transmigrasi dan PPH, Analisis Kebijakan III pada Asisten Deputi Pengembangan Masyarakat Deputi V Kementerian Negara Transmigrasi (1999-2001), Staf Khusus Ditjen P2MKT Dep Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2001-2007) dan mulai Januari 2008 menjadi Kasubdit Pengkajian dan Standarisasi Kawasan Ditjen P2MKT.

Penulis menikah dengan Yustisiati Novi Prihatini pada tanggal 9 Juni 1988 dan dikaruniai seorang putri, yaitu Notisia Bianca Lendi Adiwulandari yang lahir di Jakarta pada tanggal 12 September 1989.

Bogor, September 2008

Gatot Dwi Adiatmojo

(13)

xii

2.4 Pengembangan Pertanian Lahan Kering... 39

2.5 Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Kaliorang... 46

2.6 Analisis Kebijakan ... 55

2.7 Model-model Analisis untuk Pemodelan Kebijakan ... 57

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 64

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 64

3.2 Tahapan Penelitian ... 64

3.3 Pengumpulan Data ... 68

3.4 Analisis Data ... 70

IV. KONDISI UMUM KAWASAN KALIORANG ... 80

4.1 Kondisi Geografis dan Iklim... 80

5.1 Status Keberlanjutan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Kaliorang ... 102

5.2 Kebutuhan Stakeholder Dalam Pengembangan Kawasan Transmigrasi ... 124

5.3 Rancangan Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi... 127

5.4 Strategi Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan... 132

(14)

xiii

6.1 Kesimpulan ... 141

6.2 Saran ... 141

DAFTAR PUSTAKA... 143

(15)

xiv

Halaman

1 Luasan lahan kering yang dimanfaatkan di Kabupaten Kutai Timur ... 3

2 Jenis dan keluaran peta dan tahap perencanaan permukiman transmigrasi ... 36

3 Rangkuman hasil review kebijakan pembangunan kawasan Kaliorang 54 4 Karakteristik responden untuk menurut kepentingan analisis ... 69

5 Tujuan penelitian, jenis dan cara pengumpulan data, metode analisis dan output yang diharapkan... 70

6 Skala perbandingan berpasangan... 78

7 Sebaran luas lahan pekarangan, Lahan Usaha I dan II unit Permukiman Transmigrasi di Kecamatan Kaliorang ... 83

8 Pengembangan lahan di UPT Kecamatan Kaliorang... 85

9 Keragaan jumlah penduduk di Kecamatan Kaliorang ... 86

10 Sebaran suku bangsa di Kawasan Sangsaka... 87

11 Luas tanam, produktivitas dan produksi beberapa komoditi tanaman pangan di Kecamatan Kaliorang ... 89

12 Kondisi pengembangan tanaman perkebunan di Kawasan Sangsaka . 90 13 Kondisi populasi ternak di Kecamatan Kaliorang... 91

14 Jarak dan waktu tempuh setiap desa ke kantor Kecamatan Kaliorang dan Kabupaten Kutai Timur... 94

15 Dimensi ekologi pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering... 102

16 Dimensi ekonomi pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering... 102

17 Dimensi sosial budaya pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering ... 103

18 Dimensi teknologi pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering .. 103

19 Dimensi kelembagaan pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering ... 104

20 Dimensi aksesibilitas dan fasilitas umum pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering ... 104

21 Hasil analisis MDS beberapa dimensi keberlanjutan pembangunan kawasan transmigrasi ... 106

22 Hasil analisis monte carlo untuk nilai masing-masing dimensi pengembangan kawasan transmigrasi kaliorang... 107

23 Faktor pengungkit dari setiap dimensi pengembangan kawasan transmigrasi Kaliorang ... 122

24 Kebutuhan stakeholder pengembangan kawasan transmgrasi Kaliorang... 125

(16)

xv

Halaman

1 Pola perkembangan kawasan transmigrasi ... 6

2 Produktifitas rata-rata padi dan jagung nasional di lahan kering dan di kawasan transmigrasi lahan kering... 7

3 Keterkaitan aspek fisik (lahan), aspek ekonomi dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi perkembangan kawasan transmigrasi di lahan kering ... 12

4 Kerangka pemikiran model kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering ... 15

5 Pilar-pilar pembangunan berkelanjutan dengan tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan ... 17

6 Pola perencanaan pembangunan kawasan transmigrasi di lahan kering ... 32

7 Skema kaitan antara subprogram masterplan Gerdabangagri... 47

8 Peta lokasi penelitian ... 65

9 Kerangka model kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering secara berkelanjutan... 68

10 Proses aplikasi MDS ... 73

11 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem ... 76

12 Peta kesesuaian lahan pertanian di kawasan Kaliorang... 99

13 Peta arahan wilayah pengembangan agribisnis Kabupaten Kutai Timur... 101

14 Status keberlanjutan pembangunan kawasan transmigrasi Kaliorang 105 15 Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan kawasan Kaliorang ... 108

16 Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan kawasan Kaliorang ... 111

17 Atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan kawasan Kaliorang ... 113

18 Atribut teknologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan kawasan Kaliorang ... 115

19 Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan kawasan Kaliorang ... 117

20 Atribut aksesibilitas yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan kawasan Kaliorang ... 120

21 Hasil analisis prospektif penentuan faktor kunci pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang... 123

(17)

xvi rumusan alternatif kebijakan... 127 24 Bobot faktor-faktor pada setiap level penentuan kebijakan... 129 25 Bobot masing-masing alternatif kebijakan pengembangan kawasan

(18)

xvii Halaman

1 Kuesioner penilaian status keberlanjutan kawasan Transmigrasi... 152

2 Kuesioner Penentuan Faktor Kunci Pembangunan Kawasan Transmigrasi Lahan Kering Berkelanjutan... 160

3 Kuesioner AHP ... 161

4 Hasil analisis MDS keberlanjutan kawasan transmigrasi Kaliorang ... 178

(19)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan transmigrasi pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan daerah, sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan terutama di kawasan yang sumberdaya alamnya belum dimanfaatkan secara optimal dan jumlah penduduknya relatif sedikit. Pembangunan kawasan transmigrasi pada hakekatnya adalah pembangunan pertanian dengan memanfaatkan sumberdaya lahan. Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan para transmigran dan masyarakat sekitar, serta untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru. Dalam proses pengembangannya terdapat berbagai permasalahan sehingga terdapat kawasan transmigrasi belum berkembang sesuai yang diharapkan.

Kawasan transmigrasi yang telah dibangun diantaranya sudah berkembang dan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Program transmigrasi telah berhasil mengembangkan sekitar 2.800-an Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) dengan berbagai infrastrukturnya. Terdapat 945 diantaranya telah berkembang menjadi desa baru. Desa-desa baru tersebut dihuni oleh kurang lebih 12 juta jiwa dan telah tumbuh dan mendorong terbentuknya kecamatan dan kabupaten baru. Data eks UPT yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat pemerintahan sebanyak 180 kecamatan dan 32 kabupaten (Yudohusodo, 1998). Namun demikian, sebagian besar masih memerlukan upaya penanganan agar dapat berkembang menjadi sentra-sentra produksi dan memiliki keterkaitan kegiatan hulu-hilir yang selanjutnya dapat menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru.

Pembangunan transmigrasi yang dilaksanakan sampai dengan tahun 2005 sebagian besar memanfaatkan lahan kering. Sebanyak 90,8% (2.718 UPT) dari jumlah pembangunan UPT dilakukan dengan memanfaatkan lahan kering, sedangkan sisanya (9,2%) memanfaatkan lahan basah (Depnakertrans, 2004). Hal ini menunjukkan diperlukannya pendekatan pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering.

(20)

perkebunan (Adimiharja, 2002). Dari luasan tersebut sekitar 57 juta ha dapat digunakan untuk pertanian lahan kering. Luas lahan kering yang siap dimanfaatkan 21,2 juta ha dan 37% diantaranya dapat dikembangkan untuk komoditi kelapa sawit dengan kemiringan di bawah 15% (Mapaona, 2003). Melihat potensi lahan kering tersebut, pembangunan kawasan transmigrasi masih cukup berpeluang untuk dikembangkan. Lagipula lahan kering mempunyai potensi menjadi lahan kritis apabila tidak dikelola dengan baik (Sitorus, 2003a).

Lahan yang diperuntukkan bagi permukiman transmigrasi pada umumnya bersifat marginal (miskin unsur hara), sehingga pemanfaatannya memerlukan berbagai perlakuan apabila akan diusahakan untuk kegiatan pertanian. Hal tersebut merupakan faktor penyebab banyaknya desa transmigrasi yang mengalami kegagalan, sehingga perkembangan permukiman transmigrasi tidak dapat berkembang seperti yang diharapkan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong perkembangan kawasan transimigrasi, namun demikian belum ditemukan kebijakan pengembangan kawasan yang efektif dan efisien mendorong perkembangan kawasan transmigrasi secara optimal. Berbagai kendala yang ditemukenali antara lain adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia, keterbatasan sumberdaya finansial, dan kekurangan sarana dan prasarana pendukung. Selain itu terdapat disharmoni kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan prioritas pembangunan kawasan baik antar sektor maupun antar wilayah.

Kebijakan yang ditetapkan sebagai dasar pengembangan kawasan transmigrasi memiliki berbagai kelemahan, baik secara substansi maupun secara prosedural. Secara substansi, kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi belum memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertimbangan ekonomi lebih dominan sehingga aspek sosial budaya dan ekologi kurang dipertimbangkan. Hasil kajian Depnakertrans menyatakan bahwa penyebab kegagalan di berbagai unit permukiman transmigrasi tersebut antara lain karena pelaksanaan program transmigrasi hanya mengejar kepentingan ekonomi sesaat dan kurang mempertimbangkan aspek lingkungan dan aspek sosial budaya setempat.

(21)

berbeda-beda. Mekanisme ini menyebabkan kesenjangan program dan kegiatan antara kebijakan pemerintah dengan kebijakan pemerintah daerah. Demikian pula yang terjadi secara lintas sektor. Selain itu proses tersebut kurang melibatkan masyarakat dan pengusaha sejak awal, sehingga implementasinya mengalami berbagai hambatan. Kondisi objektif ini memerlukan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan secara partisipatif dan terpadu agar pengembangannya dapat lebih berkelanjutan.

Kabupaten Kutai Timur yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang mempunyai potensi dalam pengembangan kawasan transmigrasi, khususnya pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering. Sejak tahun 1985 sampai dengan tahun 2004 telah dilakukan pembangunan permukiman transmigrasi sebanyak 44 UPT yang semua pembangunannya dilakukan dengan memanfaatkan lahan kering. Luas lahan kering yang dimanfaatkan mencapai 74,91% (Tabel 1).

Tabel 1. Luas lahan kering yang dimanfaatkan di Kabupaten Kutai Timur

Lahan Potensial

Sumber: Bappeda Kabupaten Kutai Timur (2003)

(22)

Guna mencapai keberhasilan pembangunan kawasan transmigrasi khususnya di lahan kering diperlukan penerapan paradigma pembangunan berkelanjutan. Kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memeliharan daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.

Di dalam RTR pulau Kalimantan ditetapkan tiga komponen utama yang dapat menjamin pengembangan wilayah Kalimantan. Ketiga komponen tersebut adalah: (1) pengelolaan sumberdaya alam, (2) menjaga dan mengoptimalkan prinsip pengelolaan lingkungan hidup agar tercapai pembangunan berkelanjutan dan (3) penyediaan prasarana transportasi wilayah (Depkimpraswil, 2003). Kegiatan pengelolaan sumberdaya alam akan berinteraksi dengan penduduk, permukiman, atau dengan lokasi pasar. Interaksi yang baik, lancar, aman, murah dan tidak mengganggu lingkungan alam yang serasi merupakan kebutuhan untuk dapat memperlancar pemasaran hasil produksi pemanfaatan sumberdaya alam, dan sekaligus akan memberikan dampak timbulnya berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang berpotensi bagi pengembangan wilayah di masa yang akan datang. Dalam konteks inilah kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang serasi juga memerlukan sarana dan prasarana transportasi wilayah untuk memasarkannya.

(23)

harus dikaitkan dengan perlunya masukan teknologi dan peran transportasi wilayah agar tercapai nilai-nilai ekonomi.

Dalam pengembangan kawasan diperlukan pula investasi sebagai stimulan percepatan pengembangan kawasan. Hal ini memerlukan mekanisme dan aturan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan stakeholder dan juga untuk menjaga kelestarian ekologi dan mencegah konflik sosial. Mekanisme dan aturan ini perlu ditetapkan dalam bentuk kebijakan yang disepakati bersama. Lahan merupakan modal dasar dalam pengembangan kawasan transmigrasi. Dalam kaitan dengan investasi, aspek-aspek legalitas lahan dan kelembagaan usahatani perlu diperhatikan guna mencapai kesetaraan dalam suatu kemitraan.

Dalam upaya pembangunan kawasan transmigrasi berkelanjutan diperlukan kebijakan yang terpadu dan komprehensif mempertimbangkan berbagai aspek yang sesuai dengan kondisi kawasan yakni aspek fisik lahan, ekonomi, sosial budaya, teknologi, kelembagaan, dan asksesibilitas. Selain itu proses pengambilan keputusan kebijakan pengembangan kawasan agar dilakukan secara partisipatif.

Kebijakan tersebut diperlukan, untuk menyeimbangkan prinsip kelestarian lingkungan hidup dan pengembangan wilayah dengan tetap berpedoman pada rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengaturan tersebut diharapkan sebagai suatu kebijakan yang sinergis yang dapat menjawab kebutuhan mengoptimasikan pemanfaatan sumberdaya alam secara harmonis dan berkelanjutan. Pengusaha dan masyarakat yang membutuhkan arahan pengembangan kawasan dapat menjadikan kebijakan tersebut sebagai acuan dalam pelaksanaan pembangunan kawasan transmigrasi berkelanjutan.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa pengembangan kawasan transmigrasi bersifat kompleks dengan berbagai aspek yang saling berkaitan dan dinamis. Selain itu kebutuhan stakeholder dalam kaitan dengan pengembangan kawasan bervariasi. Dengan demikian, tinjauan secara kesisteman dalam pembangunan kawasan transmigrasi penting untuk mencapai tujuan pengembangan kawasan secara berkelanjutan (Eriyatno, 1998; Sardjadidjaja, 2004; Hartrisari, 2007).

(24)

1.2 Perumusan masalah

Perkembangan suatu kawasan transmigrasi menjadi lebih baik rata-rata memerlukan waktu yang relatif cukup lama, yakni sekitar 15 tahun setelah pembangunan. Bahkan terdapat kawasan transmigrasi yang memerlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk dapat berkembang. Semakin lama waktu yang diperlukan untuk berkembangnya suatu kawasan transmigrasi, semakin banyak pula waktu, biaya dan tenaga yang diperlukan untuk dapat menangani kondisi tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi yang berkelanjutan, yang diharapkan dapat membantu mempercepat perkembangan suatu kawasan transmigrasi. Kebijakan tersebut sebagai suatu bentuk intervensi agar perkembangan kawasan yang diinginkan dapat tercapai. Konsepsi dan pola pengembangan kawasan transmigrasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pola perkembangan kawasan transmigrasi

Selain waktu berkembangnya suatu kawasan transmigrasi yang relatif cukup lama, juga terdapat beberapa isu negatif yang berkaitan dengan pembangunan kawasan transmigrasi yakni pembangunan kawasan transmigrasi merupakan program yang merusak lingkungan, baik lingkungan ekologis maupun lingkungan sosial budaya. Juga terdapat pendapat bahwa pembangunan kawasan transmigrasi hanya menambah dan memindahkan kemiskinan.

Kebiasaan cara mengolah tanah, bercocok tanam di lahan kering berbeda dengan di lahan sawah, yang pada umumnya dialami oleh para pendatang

Perkembangan yang terjadi Tingkat

perkembangan

permukiman transmigrasi

Perlu model kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan

Perkembangan yang diinginkan

(25)

(transmigran), sehingga para transmigran memerlukan waktu untuk dapat mengetahui dan memahami kondisi dan karakteristik pengelolaan lahan kering. Transmigran di tempat asalnya mempunyai latar belakang keterampilan mengolah dan mengelola lahan sawah yang mempunyai tingkat kesuburan yang lebih baik dibandingkan dengan di lokasi transmigrasi, sehingga transmigran mengalami kendala mengelola lahan kering. Menurut Sitorus dan Susetio (2000), berbagai kendala tersebut mengakibatkan tingkat perkembangan UPT relatif lambat, terlihat antara lain dari tingkat produktivitas lahan yang rendah dan pengusahaan lahan yang kurang optimal yang mengakibatkan pendapatan para transmigran menjadi rendah.

Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh para transmigran selama ini umumnya masih terfokus pada komoditi tanaman pangan. Hasil dari tanaman pangan pada awal transmigran datang belum cukup memberikan hasil yang memadai, dan juga harga jual tanaman pangan relatif cukup rendah. Pendapatan transmigran menjadi sulit dicapai, karena selain luasan lahan yang diusahakan hanya 1 ha dan kegiatan usaha pokok adalah pertanian tanaman pangan yang pada umumnya mempunyai tingkat kelayakan ekonomis yang relatif rendah. Keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan transmigran sangat ditentukan oleh tingkat pengusahaan lahan yang diterima transmigran dan tingkat produktifitas lahan yang diusahakan.

Pada umumnya kawasan transmigrasi lahan kering dibangun pada lahan marginal. Kondisi ini mengakibatkan hasil pertanian yang diusahakan di kawasan transmigrasi lahan kering belum cukup baik. Sebagai gambaran, produksi jagung dan padi ladang memberikan hasil rata-rata 16,40 kuintal/ha dan 8,87 kuintal/ha seperti terlihat pada Gambar 2 (Depnakertrans, 2005; Deptan, 2005).

Gambar 2. Produktivitas rata-rata jagung dan padi ladang nasional di lahan kering dan di kawasan transmigrasi lahan kering

25,23 25,63

Produksi Padi Ladang Nasional di Lahan Kering

Produksi Padi Ladang di Kawasan Transmigrasi Lahan Kering

2003 2004

Produksi Jagung Nasional di Lahan Kering

Produksi Jagung di Kawasan Transmigrasi Lahan Kering

(26)

Di samping hasil yang belum cukup baik, pemanfaatan lahan juga belum optimal. Hasil penelitian Sitorus dan Pribadi (2000), menemukan dari rata-rata 1,37 ha/KK lahan usaha I (LU-I) dan lahan usaha II (LU-II) pola tanaman pangan lahan kering dan hanya 0,76 ha/KK pola tanaman pangan lahan basah yang sudah diusahakan oleh transmigran pada tahun bina ke-lima. Keterbatasan anggaran pemerintah dalam penyelenggaraan transmigrasi menyebabkan alokasi luasan lahan 2 ha/KK hanya kurang lebih 1 ha/KK yang diberikan dalam keadaan siap tanam/siap olah (LP dan LU-I), sedangkan 1 ha LU-II diharapkan dapat dibuka sendiri oleh transmigran.

Kawasan transmigrasi Kaliorang merupakan kawasan pertanian lahan kering. Kesesuaian lahan untuk komoditi pertanian pada umumnya sesuai marginal. Produktivitas lahan relatif rendah dengan komoditi yang dibudidayakan disesuaikan dengan kemampuan petani. Tingkat pemanfaatan lahan juga belum optimal. Masyarakat masih memanfaatkan LP dan LU untuk kegiatan pertanian. Sistem budidaya yang dilakukan masih bersifat subsisten. Kondisi perekonomian kawasan belum dapat memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perekonomian wilayah Kutai Timur. Sebagian besar masyarakatnya adalah transmigran dengan tingkat pendidikan yang rendah.

Kawasan Kaliorang telah menjadi kawasan transmigrasi selama duapuluh tahun. Sejak tahun 2001 telah ditetapkan sebagai kawasan agropolitan. Selain itu juga menjadi salah satu kawasan pembangunan agribisnis oleh pemerintah daerah. Namun demikian, kondisi kawasan Kaliorang belum berkembang sesuai dengan tujuan pengembangan kawasan yang diinginkan. Hal ini merupakan daya tarik untuk dilakukan kajian pengembangan kawasan transmigrasi.

Hasil penelitian Levang (2003) menyatakan bahwa untuk meningkatkan keberhasilan pembangunan ketransmigrasian maka perlu ditinjau dari perpaduan antara faktor-faktor yang terlibat dalam pembangunan tersebut, yaitu: faktor ekologi, ekonomi, teknis dan sosial budaya. Sehubungan dengan kondisi kawasan transmigrasi di lahan kering, maka aspek teknologi dan aksesibilitas lokasi menjadi faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pengembangan kawasan. Keenam faktor (dimensi) tersebut masih bersifat umum sehingga diperlukan atribut yang dapat diukur untuk mengetahui kondisi keberlanjutan setiap dimensi dari pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering.

(27)

kawasan. Faktor tersebut memiliki pengaruh yang tinggi terhadap faktor lainnya dalam pengembangan kawasan sehingga melalui pengembangan faktor tersebut akan dapat mendorong pengembangan kawasan secara efektif dan efisien. Untuk memudahkan implementasi kebijakan dan strategi pengembangan kawasan transmigrasi Kaliorang, maka semua proses tersebut dilakukan secara partisipatif melibatkan stakeholder kunci.

Berdasarkan uraian tersebut diperlukan suatu kajian model pengembangan kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu model kebijakan dan strategi yang dapat memberikan suatu pola pelaksanaan pembangunan kawasan transmigrasi yang berkelanjutan. Model ini dapat menjadi acuan pelaksanaan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering lainnya yang memiliki karakterisitik kawasan yang serupa.

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian model kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering adalah:

1. Mengetahui status keberlanjutan pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering dari aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, aksesibilitas, dan kelembagaan.

2. Menganalisis faktor-faktor kunci yang menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering.

3. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian model kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering, diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai alat bagi pengambil keputusan dalam penyusunan pengembangan

kawasan transmigrasi berkelanjutan di Kaliorang.

(28)

3. Sebagai acuan pelaksanaan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering lainnya yang memiliki karakterisitik kawasan yang serupa.

4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya terutama yang berhubungan dengan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering.

1.5 Kerangka Pikir

Pembangunan berkelanjutan mempunyai arti bahwa pembangunan dilakukan tidak saja memenuhi kebutuhan penduduk di masa sekarang tetapi juga memenuhi kehidupan generasi di masa mendatang (Moffatt dan Hanley, 2001). Di dalamnya terdapat dua gagasan penting: (1) gagasan kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan manusia, (2) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. Tujuan yang harus dicapai untuk keberlanjutan pembangunan adalah: keberlanjutan ekologis, ekonomi, sosial budaya dan politik, serta pertahanan dan keamanan. Pembangunan berkelanjutan mempunyai prinsip-prinsip dasar dari setiap elemen pembangunan berkelanjutan dapat diringkas menjadi empat, yaitu: pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, integrasi dan perspektif jangka panjang (Djajadiningrat, 2001).

Pada pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan, terdapat tiga pilar tujuan, yaitu: pilar pertama, pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi. Pada pilar kedua pembangunan sosial budaya yang bertujuan pengentasan kemiskinan, pengakuan jati diri dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan pilar ketiga pembangunan lingkungan (dalam hal ini penelitian ditinjau dari aspek lahan) yang berorientasi pada perbaikan lingkungan lokal seperti mengurangi laju erosi, sanitasi lingkungan, industri yang lebih bersih dan rendah emisi, dan kelestarian sumberdaya alam (Munasinghe, 1993).

(29)

demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan permintaan akan barang-barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal yang menciptakan pendapatan dan konsumsi masyarakat lokal. Strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan produksi yang berorientasi keluar. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk meningkatkan suplai dari komoditi yang pada umumnya di proses dari sumberdaya alam lokal. Adanya peningkatan penawaran akan meningkatkan ekspor wilayah yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan lokal. Hal ini akan menarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut.

Pembangunan kawasan transmigrasi pada tahap perencanaan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan dengan perencanaan atau program pembangunan yang ada di wilayah tersebut. Terdapat banyak faktor yang harus dipertimbangkan secara terpadu pada pembangunan kawasan transmigrasi, karena pembangunan kawasan transmigrasi tidak hanya pembangunan secara fisik (lahan) saja tetapi juga pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial budaya. Komponen pembangunan fisik lahan, komponen pembangunan ekonomi dan komponen pembangunan sosial budaya merupakan tiga komponen utama dalam pembangunan kawasan transmigrasi. Pembangunan secara fisik (lahan kering), juga harus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan kelestarian, karena pembangunan permukiman transmigrasi akan mengubah fungsi bentang lahan yang diawalnya tidak terdapat kegiatan manusia di atas lahan tersebut.

Terdapat tiga komponen utama yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan ruang/wilayah untuk perencanaan kawasan transmigrasi, yaitu: (1) komponen optimasi pemanfaatan sumberdaya lahan seperti potensi pertambangan, kehutanan, perkebunan, pertanian, (2) komponen pemanfaatan lingkungan hidup yang harus memperhatikan upaya-upaya pelestarian sumberdaya alam dan pencegahan kerusakan alam (degradasi lahan), dan (3) komponen sarana dan prasarana untuk permukiman dan usaha pertanian, yang merupakan upaya untuk mendorong peningkatan nilai tambah dari komoditi yang dihasilkan dari ekstraksi sumberdaya alam (Depkimpraswil, 2003).

(30)

transmigrasi yang berkelanjutan. Apabila ketiga komponen tersebut ditinjau secara terpadu pada pembangunan kawasan transmigrasi maka akan sangat rumit dan kompleks dikarenakan terdapat komponen yang bersifat eksak seperti kondisi lahan (jenis tanah) dan komponen yang bersifat non-eksak seperti interaksi kehidupan sosial budaya antara penduduk lokal dan penduduk pendatang (transmigran) karena hanya dapat dirasakan.

Aspek fisik (lahan), aspek ekonomi dan aspek sosial budaya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam suatu sistem dan bersifat dinamis. Perubahan suatu aspek akan mempengaruhi dinamika aspek lainnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil pembangunan kawasan transmigrasi dan tingkat perkembangannya. Keterkaitan antar aspek fisik (lahan), ekonomi dan sosial budaya tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Keterkaitan aspek fisik (lahan), aspek ekonomi dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi perkembangan kawasan transmigrasi di lahan kering

Pembangunan ekonomi akan tercapai bila terdapat permintaan dan penawaran barang dan jasa. Pada pembangunan kawasan transmigrasi, lahan ditanami dengan tanaman pertanian dan usaha-usaha pertanian lainnya. Kegiatan ekonomi dari usaha-usaha pertanian di kawasan transmigrasi merupakan hal yang penting, karena merupakan salah satu indikator dalam menilai perkembangan suatu kawasan transmigrasi. Indikatornya adalah seberapa besar nilai barang dan jasa yang dapat dipasarkan atau dijual keluar kawasan transmigrasi tersebut (Azis, 1994). Dengan demikian terdapat kegiatan

Aspek fisik lahan

optimal, belum berkelanjutan dan perlu waktu

Aspek fisik lahan

(31)

perekonomian dari usaha-usaha pertanian tersebut yang juga harus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan supaya hasil-hasil pertanian mempunyai nilai ekonomi tertentu, sehingga akan terjadi permintaan dan penawaran akan barang dan jasa secara berkelanjutan.

Komponen sosial budaya pada pembangunan kawasan transmigrasi sangat penting, karena terdapat unsur penduduk lokal (setempat) dan penduduk pendatang (transmigran) yang masing-masing mempunyai latar belakang sosial budaya yang berbeda. Perbedaan latar belakang sosial budaya lokal dan pendatang (transmigran) yang bersifat positif sangatlah penting untuk dipertahankan. Demikian juga akan terjadi interaksi kehidupan sosial budaya antar penduduk lokal dan pendatang. Interaksi kehidupan ini dapat saling tenggang rasa, saling menghargai antar pendatang (transmigran) dengan penduduk lokal, sehingga terjadi kehidupan yang harmonis secara berkelanjutan. Dalam kaitan dengan pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering, perlu memperhatikan aspek teknologi dan kelembagaan. Hal ini karena lahan kering memerlukan perlakuan khusus untuk digunakan sebagai lahan budidaya pertanian. Teknologi budidaya pertanian menjadi relevan apabila dikaitkan dengan pengetahuan masyarakat dalam budidaya pertanian di lahan kering. Aspek kelembagaan menjadi penting karena petani di kawasan transmigrasi memiliki budaya yang berbeda dalam berinteraksi sosial mapun ekonomi. Dengan demikian, aspek sosial masyarakat perlu diperhatikan secara lebih spesifik. Bagi kawasan transmigrasi yang relatif jauh dari pusat kegiatan wilayah, maka aspek aksesibilitas menjadi penting. Prasarana jalan merupakan prasarana vital untuk mengembangkan kawasan ini. Terbangunnya jalan kabupaten (antar kecamatan) dan antar desa akan memudahkan pengangkutan hasil pertanian, barang produksi, dan konsumsi. Selain itu juga akan mendorong pergerakan manusia untuk berinteraksi dalam hubungan ekonomi dan sosial. Interaksi ini pula dapat mendorong alih teknologi antar penduduk.

(32)

perkembangan sarana ekonomi meningkat. Di samping itu secara sosial mencakup: pengetahuan terhadap lingkungan yang memadai, tingkat pendidikan masyarakat relatif sama terhadap kabupaten, frekuensi konflik rendah, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya tinggi, ada alternatif usaha, kesehatan masyarakat meningkat, ketersediaan peraturan pengelolan, ada transparansi dalam pengambilan keputusan, pengembangan kelembagaan lokal atas inisiatif masyarakat (Pitcher, 1999).

Program pembangunan kawasan transmigrasi merupakan salah satu program pengembangan dan pembangunan wilayah yang dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya alam secara harmonis dan serasi dengan pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi dan sosial budaya untuk pembangunan berkelanjutan (Misra, 1982). Sitorus (2003a) menyatakan bahwa pembangunan wilayah berkelanjutan erat kaitannya dengan rencana pemanfaatan lahan (ruang) yang diwujudkan melalui keterkaitan pengelolaan yang tepat antara sumberdaya alam, dengan aspek sosial ekonomi dan budaya.

Dalam perencanaan tata ruang kawasan transmigrasi, ketiga komponen utama tersebut harus disesuaikan dengan pola-pola perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Hal ini seperti dikemukakan oleh Sitorus (2003b), bahwa dalam tahapan pembangunan, penting terlebih dahulu dilakukan perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan penggunaan lahan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui potensi pengembangan lahan, daya dukung lahan dan manfaat lahan.

(33)

khususnya di kawasan transmigrasi maka perlu mengetahui faktor pengungkit (leveraging factor) keberhasilan pembangunan kawasan. Selain faktor pengungkit, perlu pula memperhatikan kebutuhan stakeholder untuk memudahkan implementasi kebijakan.

Dalam melakukan kegiatan pengembangan kawasan transmigrasi di masa mendatang, perlu ditemukenali faktor kunci pengembangan kawasan yang diperoleh dari faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder dan faktor pengungkit keberlanjutan pembangunan kawasan. Faktor kunci ini merupakan masukan dalam perumusan arahan kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering.

Sistem yang disusun dalam penelitian ini sekaligus merupakan model pengembangan yang dapat direplikasikan di kawasan transmigrasi lahan kering di wilayah yang karakteristiknya hampir sama. Secara skematis kerangka pemikiran model kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering disajikan pada Gambar 4.

Kebijakan Pembangunan

(34)

1.6 Kebaruan Penelitian

Kebaruan penelitian (novelty) model pengembangan kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering adalah sistem penyusunan kebijakan pembangunan dan strateginya didasarkan pada status keberlanjutan kawasan, yang ditinjau dari enam dimensi yaitu ekologi, sosial, ekonomi, teknologi, kelembagaan, dan aksesibilitas lokasi. Keenam dimensi ini merupakan pengembangan dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan yakni ekologi, ekonomi, dan sosial yang dikembangkan oleh Munasinghe (1993) dan Charles (1994); empat kriteria keberlanjutan yaitu: keberlanjutan lingkungan, ekonomi, sosial, dan teknologi yang dikembangkan oleh Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (2005); empat aspek pembangunan kehutanan berkelanjutan yaitu: aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan yang dikembangkan oleh Center for International Forestry Research - Cifor (1999).

(35)

2.1 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan adalah sebuah proses produksi dan konsumsi dimana materi dan energi diolah dengan menggunakan faktor produksi, seperti modal, mesin, tenaga kerja, dan bahan baku. Dalam hal penyediaan bahan baku dan proses produksi kegiatan pembangunan dapat membawa dampak kepada lingkungan alam dan masyarakat sekitarnya (transmigran), yang pada gilirannya akan berdampak kepada keberlanjutan pembangunan.

Pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga pilar tujuan yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinghe, 1993 . Pilar pertama adalah pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi. Pilar kedua adalah pembangunan sosial yang bertujuan pengentasan kemiskinan, pengakuan jati diri dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan pilar ketiga adalah pembangunan lingkungan yang berorientasi pada perbaikan lingkungan seperti sanitasi lingkungan, industri yang lebih bersih dan rendah emisi, dan kelestarian sumberdaya alam. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan dengan tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan dapat dilihat pada Gambar 5.

(36)

Pendekatan ekonomi untuk pembangunan berkelanjutan didasarkan pada maksimisasi pendapatan yang dapat digeneralisasikan saat pemeliharaan aktiva (modal) yang menghasilkan keuntungan (manfaat). Hal ini merupakan konsep optimalisasi dan penerapan efisiensi ekonomi dalam menggunakan sumberdaya alam. Dimensi ekonomi merupakan bagian yang penting dan selalu berkontradiksi dengan kepentingan pelestarian sumberdaya alam. Pendekatan ekologi untuk pembangunan berkelanjutan difokuskan pada keseimbangan sistem biologi dan sistem fisik, terutama pentingnya kelangsungan hidup subsistem yang kritis untuk keseimbangan global dari ekosistem yang menyeluruh. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati adalah aspek kunci.

Sistem alami dapat diinterpretasikan ke dalam seluruh aspek biosfer, termasuk lingkungan buatan manusia seperti pemukiman transmigrasi. Pendekatan sosial budaya dalam pembangunan berkelanjutan adalah berusaha untuk memelihara stabilitas sistem sosial dan budaya, yang mempunyai bentuk-bentuk dan perilaku yang sudah terpolakan, menciptakan kepercayaan dan nilai-nilai bersama yang dirancang untuk memberi makna bagi tindakan kolektif.

Pandangan pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh Moffatt dan Hanley (2001), bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan bagian penting yang harus mengintegrasikan komponen-komponen sumberdaya, yaitu komponen ekonomi, komponen sosial budaya dan komponen lingkungan secara serasi dan seimbang. Pemanfaatan komponen-komponen sumberdaya secara serasi dan seimbang dimaksudkan untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pada saat sekarang tanpa mengurangi kesempatan dan pemenuhan kehidupan generasi pada saat mendatang.

(37)

jenis atau tipe utama, yaitu: pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat pressure of environment dan akibat atau dampak dari pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat impact of environment.

Dari berbagai pendapat mengenai pembangunan berkelanjutan, nampak bahwa setiap pembangunan harus memenuhi ketiga pilar dan ketiga indikator pembangunan berkelanjutan. Pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia adalah tujuan utama pembangunan. Pembangunan berkelanjutan mengharuskan dipenuhinya kebutuhan dasar bagi semua generasi dan diberinya kesempatan kepada semua generasi untuk mengejar cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Kebutuhan yang wajar ditentukan secara sosial dan kultural, dan pembangunan berkelanjutan menyebarluaskan nilai-nilai yang menciptakan standar konsumsi yang berada dalam batas-batas kemampuan ekologi.

Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (2005) menyatakan, kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan yang digunakan dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu: keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan teknologi. Tiga kriteria pertama adalah mengenai dampak lokal, sehingga batas wilayah adalah lokal. Lebih spesifik lagi, lingkup untuk kategori kriteria keberlanjutan lingkungan adalah wilayah yang mengalami dampak ekologis langsung akibat pembangunan. Sementara lingkup untuk kategori kriteria keberlanjutan ekonomi dan sosial adalah batas administratif kabupaten. Bila dampak ekonomi dan sosial dirasakan lintas kabupaten maka batas administratsi yang digunakan adalah semua kabupaten yang terkena dampak. Berbeda dengan ketiga kategori kriteria lainnya, batas dari keberlanjutan teknologi adalah di tingkat nasional.

Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator keberlanjutan antara lain: Center for International Forestry Research - Cifor (1999) mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Food and Agriculture Organization - FAO (1995) mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan.

(38)

sosio-ekonomi), community sustainability (keberlanjutan masyarakat). Prasyarat untuk mencapai keberlanjutan ketiga aspek tersebut maka diperlukan institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan) yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat. Dengan demikian jika setiap komponen dilihat sebagai komponen yang penting untuk menunjang keseluruhan proses pembangunan berkesinambungan, maka kebijakan pembangunan yang berkesinambungan haruslah mampu memelihara tingkat yang reasonable dari setiap komponen sustainable tersebut. Dengan kata lain keberlanjutan sistim akan menurun melalui kebijakan yang ditujukan hanya untuk mencapai satu elemen keberlanjutan saja.

Pembangunan berkelanjutan mempunyai indikator-indikator: culture-ecology interface, didefinisikan bahwa, pembangunan berkelanjutan merupakan fungsi yang integratif dari nilai-nilai sosial budaya yang menyatu terhadap ekosistem. Indikator yang termasuk dalam perubahan etika lingkungan, komitmen untuk menjaga keseimbangan political-cultural dan ecoturism; culture-economy interface, menggambarkan fungsi tujuan di dalam nilai-nilai non market dan keputusan untuk menjaga konservasi lingkungan untuk tujuan budaya. Nilai-nilai kultural ekonomi lebih tinggi, demikian juga refleksinya terhadap politik, institusi dan struktur hukum; dan economy-ecology interface, menggambarkan fungsi tujuan dalam termin dari nilai-nilai ekonomi dan cost benefit analysis (Rustiadi et al., 2004).

Pembangunan selain memperhatikan aspek keberkelanjutan, juga harus didekati dengan pendekatan yang menyeluruh yang menyangkut berbagai dimensi. Alder et al. (2000) melihat bahwa pendekatan yang holistik tersebut harus mengakomodasi berbagai komponen yang menentukan keberlanjutan pembangunan. Komponen tersebut menyangkut aspek ekologi, ekonomi teknologi, sosiologi dan aspek etis. Dari setiap komponen atau dimensi ada beberapa atribut yang harus dipenuhi yang merupakan indikator keragaan sumberdaya sekaligus indikator keberlanjutan.

(39)

pusat-pusat pertumbuhan (kota-kota) secara hirarki dan sistemik sesuai UU No 38 tahun 2004 tentang jalan, untuk mewujudkan efisiensi struktur wilayah, dan meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas pergerakan melalui pemanfaatan sistem intermoda jaringan jalan dan angkutan sungai sesuai koridor masing-masing (Djakapermana, 2006). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi pada pasal 13 ayat (1) dan (2), menyatakan bahwa salah satu syarat kawasan yang diperuntukkan sebagai rencana Wilayah Pengembangan Transmigrasi adalah mempunyai kemudahan hubungan antar kota atau wilayah yang sedang berkembang.

Kriteria keberlanjutan lingkungan adalah dengan menerapkan konservasi atau diversifikasi pemanfaatan sumberdaya alam dengan indikator: (a) terjaganya keberlanjutan fungsi-fungsi ekologis; (b) tidak melebihi ambang batas baku mutu lingkungan yang berlaku, nasional dan lokal (tidak menimbulkan pencemaran udara, air, tanah); (c) terjaganya keanekaragaman hayati (genetik, spesies, dan ekosistem) dan tidak terjadi pencemaran genetika; (d) dipatuhinya peraturan tata guna lahan atau tata ruang.

Kriteria keselamatan dan kesehatan masyarakat lokal, dengan indikator : (a) tidak menyebabkan timbulnya gangguan kesehatan; (b) dipatuhinya peraturan keselamatan kerja; (c) adanya prosedur yang terdokumentasi yang menjelaskan usaha-usaha yang memadai untuk mencegah kecelakaan dan mengatasi bila terjadi kecelakaan.

Keberlanjutan ekonomi dengan kriteria kesejahteraan masyarakat lokal dan indikatornya adalah : (a) tidak menurunkan pendapatan masyarakat lokal; (b) adanya kesepakatan dari pihak-pihak yang terkait untuk menyelesaikan masalah-masalah PHK sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; (c) adanya upaya-upaya untuk mengatasi kemungkinan dampak penurunan pendapatan bagi sekolompok masyarakat; (d) tidak menurunkan kualitas pelayanan umum untuk masyarakat lokal.

(40)

Keberlanjutan teknologi dengan kriteria terjadi alih teknologi dan indikatornya adalah tidak menimbulkan ketergantungan pada pihak asing dalam hal pengetahuan dan pengoperasian alat (know-how), tidak menggunakan teknologi yang masih bersifat percobaan dan teknologi usang dan mengupayakan peningkatan kemampuan dan pemanfaatan teknologi lokal.

2.2 Pengembangan Wilayah

Paradigma pembangunan selama beberapa dekade terakhir terus mengalami pergeseran dan perubahan-perubahan mendasar. Dalam pengkajian kebutuhan pengembangan kapasitas bagi pemerintah daerah dalam kerangka normatif perencanaan pembangunan daerah, GTZ (2000) memberikan pendapat, bahwa berbagai pergeseran akibat adanya distorsi berupa kesalahan di dalam menerapkan model-model pembangunan selama ini adalah: (1) kecenderungan dengan pendekatan melihat pencapaian tujuan-tujuan pembangunan yang diukur secara makro menuju pendekatan lokal (regional), (2) pergeseran dari situasi yang harus memilih antara pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan pada keharusan melakukan pembangunan secara berimbang, dan (3) pergeseran asumsi tentang peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan (perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian).

Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang diinginkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan kondisi yang lebih baik dari pada sebelum pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Syahroni, 2002). Dengan demikian pembangunan harus mencerminkan perubahan total dari suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual (Rustiadi et al., 2004).

(41)

(KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI), Jawa dengan luar Jawa adalah sebagai bukti adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah.

Pendekatan wilayah dalam pelaksanaan pembangunan, khususnya dalam kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, menjadi signifikan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis antara satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Melalui pendekatan wilayah, upaya pembangunan dapat dilaksanakan untuk memacu pembangunan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan menjaga kelestarian lingkungan pada suatu wilayah tertentu. Pembangunan wilayah berbeda dengan pembangunan nasional yang dilaksanakan secara merata dan menyeluruh secara nasional, dan bukan pendisagregasian dari pembangunan nasional karena memiliki peranan dan tujuan yang berbeda (Budiharsono, 2001). Berbeda pula dengan pendekatan pembangunan sektoral yang hanya bertujuan untuk mengembangkan dan menyelesaikan permasalahan satu sektor tertentu, tanpa memperhatikan kaitannya dengan sektor lain.

Konsep pengembangan wilayah memerlukan berbagai teori dan ilmu terapan seperti geografi, ekonomi, sosiologi, statistika, ilmu politik, ilmu lingkungan, dan sebagainya. Hal ini karena pembangunan itu merupakan fenomena multifaset yang memerlukan pendekatan dari berbagai bidang ilmu (Budiharsono, 2001). Pembangunan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pembangunan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis, serasi melalui pendekatan yang bersifat komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya untuk pembangunan berkelanjutan (Misra, 1982).

(42)

atau menjaga kelestarian sumberdaya alam agar bermanfaat bagi generasi sekarang dan generasi masa mendatang (pembangunan berkelanjutan).

Tap MPR No. IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam menetapkan langkah yang harus dilakukan dalam optimasi pengelolaan sumberdaya alam yaitu: (1) mewujudkan optimasi pemanfaatan sumberdaya alam harus melalui tahapan identifikasi dan investasi kualitas sumberdaya alam sebagai potensi pembangunan nasional dan (2) perlu disusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam (termasuk perencanaan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir) yang didasarkan pada optimasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.

Konsep pengembangan kawasan transmigrasi merupakan salah satu strategi untuk pengembangan wilayah baru. Menurut Rustiadi et al. (2004), strategi pengembangan dan pembangunan kawasan transmigrasi di luar pulau Jawa menjadi sangat penting, secara teoritis strategi tersebut dapat digolongkan dalam dua kategori strategi, yaitu: (1) demand side strategy dan (2) supply side strategy. Strategi pertama, demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan permintaan akan barang-barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal yang dapat meningkatkan pendapatan dan konsumsi masyarakat lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah meningkatkan taraf hidup penduduk. Contoh dari strategi demand side adalah program transmigrasi yang diharapkan akan meningkatkan permintaan barang-barang non pertanian. Efek dari peningkatan permintaan barang non pertanian tersebut adalah menarik industri barang dan jasa. Dalam strategi ini diharapkan masyarakat mampu mengelola sumberdaya alam (lahan) yang ada melalui insentif (rangsangan kegiatan).

(43)

barang dan jasa (kebutuhan sekunder), sehingga memungkinkan perkembangan sektor-sektor non-pertanian khususnya yang didasarkan pada output pertanian. Pada stadia ini mulai terdapat diversifikasi pekerjaan; (4) stadia industri pertanian, merupakan stadia yang diharapkan tumbuhnya industri pedesaan seiring dengan perkembangan spesialisasi pekerjaan didasarkan pada comparative advantage atas wilayah-wilayah lainnya; (5) stadia industri non-pertanian, pada stadia ini diusahakan terdapat peningkatan permintaan barang-barang mewah; dan (6) stadia industrialisasi (Rustiadi et al., 2004).

Model strategi pengembangan dan pembangunan kawasan transmigrasi dengan pola demand side, dalam kenyataannya sering kali tertahan sampai pada stadia ke dua. Namun ada yang sampai pada stadia ke tiga. Keuntungan digunakan strategi demand side adalah strategi ini sangat stabil, tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan di luar daerah yang berkaitan dengan perubahan struktur kelembagaan yang mantap. Sedangkan kerugian strategi ini memerlukan waktu yang relatif lama, karena tiap stadia membutuhkan transformasi teknologi dan transformasi struktur kelembangaan (Rustiadi et al., 2004).

Pengertian dari strategi kedua, supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan produksi yang berorientasi keluar. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk meningkatkan suplai dari komoditi yang pada umumnya di proses dari sumberdaya alam lokal. Adanya peningkatan penawaran akan meningkatkan ekspor wilayah yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan lokal. Hal ini akan menarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut (Rustiadi et al., 2004).

2.3 Pembangunan Kawasan Transmigrasi

Gambar

Gambar 3.  Keterkaitan aspek fisik (lahan), aspek ekonomi dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi perkembangan kawasan transmigrasi di lahan kering
Gambar 4.  Kerangka pemikiran model kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering
Gambar 5.  Pilar-pilar pembangunan berkelanjutan dengan tujuan sosial,   ekonomi dan lingkungan (Munasinghe, 1993)�
Gambar 6. Pola perencanaan pembangunan kawasan transmigrasi di lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karambut dan Noormijati (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kecerdasan emosional memberikan pengaruh yang signifikan negatif terhadap stres kerja, karena semakin

Faktor lain penyebab lebih rendahnya keuntungan yang diperoleh pada pola usaha pembibitan secara ekstensif adalah rataan bobot badan sapi akhir penelitian rendah yang disebabkan

Kesimpulan: 1) Sebagian besar keluarga yang membawa anggota keluarga berkunjung berobat memiliki beban keluarga sebanyak 47 orang (58,8%). 2) Sebagian besar keluarga

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muntiana (292008003) pada tahun 2012 yang berjudul “Perbedaan pengaruh pendekatan Inquiry dengan menggunakan metode discovery

 Mulai dengan dosis rendah untuk penyesuaian efek samping namun dosis ini umumnya lebih tinggi dari dosis sebagai anti-depresi, Clomipramine mulai dengan 25-50

Sebagai penyedia jasa di bidang dekorasi ruang, tentu saja kegiatan CV Rumah Kampung akan bersentuhan dengan aktivitas yang berisiko, serta perlengkapan dan

Hasil pengkajian adaptasi ini menunjukkan bahwa rekomendasi dosis pupuk kandang dan pupuk kimia yang diberikan pada tanaman krisan di Kecamatan Pakem, sesuai untuk

Tampilan input peminjaman buku melakukan proses peminjaman buku, didalam tampilan input peminjaman buku terdapat listbox judul buku yang di ambil pada gambar 4.5 dan