• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PEREKONOMIAN NASIONAL

Dalam dokumen AR Semen Indonesia 2013. pdf (Halaman 188-191)

Kondisi perekonomian nasional sepanjang tahun 2013 memberikan tantangan lebih signifikan dibandingkan dengan tahun 2012. Pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat mencapai 6,2% dengan inflasi terkendali sebesar 4,3%. Hal ini terutama didukung oleh pertumbuhan permintaan domestik yang cukup kuat sebesar 5,3%, pertumbuhan investasi sebesar 9,8%, dan nilai tukar Rupiah yang stabil di kisaran Rp.8.900 s.d. Rp.9.700 per USD.

Pada tahun 2013, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,8% (YoY), lebih lambat dari tahun 2012. Hal ini terutama terlihat pada sisi investasi dengan menurunnya investasi bangunan dan rendahnya pertumbuhan investasi non-bangunan. Pertumbuhan ekonomi 4 tahun ini tercatat 5,7% (YoY), meningkat dibandingkan Q3 sebesar 5,6% (YoY). Dengan demikian, secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi pada 2013 tercatat 5,8%. Pertumbuhan ekonomi Q4 2013 terutama didukung oleh kenaikan ekspor dan moderasi konsumsi yang terpelihara. Pertumbuhan ekspor mencapai 7,40% (YoY), yang didorong kenaikan permintaan mitra dagang negara-negara maju. Kenaikan ekspor tersebut juga tergambar pada pertumbuhan sektor ekonomi yang terkait dengan ekspor seperti pertambangan dan manufaktur. Sementara itu, pertumbuhan permintaan domestik melambat sejalan dengan melambatnya pertumbuhan total konsumsi dan investasi masing-masing 5,44% (YoY) dan 4,37% (YoY), dari semula 5,89% (YoY) dan 4,54% (YoY) di 3Q13.

Perlambatan ekonomi Indonesia dinilai oleh Bank Indonesia (BI) tidak terlepas dari pengaruh kebijakan stabilisasi yang dilakukan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membawa pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih sehat dan seimbang. Berdasarkan sektoral, pertumbuhan melambat terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian karena pertumbuhan produksi minyak lebih rendah akibat adanya gangguan produksi di beberapa lapangan migas. Sementara itu, sektor pengolahan dan bangunan juga melambat sebagai akibat kenaikan harga BBM yang menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat.

Dari sisi eksternal, neraca pembayaran Indonesia pada 4Q 2013 akan membaik. Perbaikan NPI ini didukung oleh menyempitnya defisit transaksi berjalan seiring dengan perbaikan neraca perdagangan yang sempat mencatat surplus pada Oktober dan November 2013 yang masing -masing sebesar USD24 juta dan USD776 juta. Selain itu, aliran masuk modal asing baik investasi langsung maupun portfolio diperkirakan masih mencatat surplus. Cadangan devisa akhir Desember 2013 mengalami kenaikan sebesar USD2,4 Miliar menjadi USD99.4 Miliar. Pada level tersebut cadangan devisa dapat membiayai 5,6 bulan impor atau 5,4 bulan impor dan pembayaran

Inflasi meningkat sebagai dampak kenaikan BBM

Laju inflasi selama tahun 2013 mengalami kenaikan cukup signifikan disebabkan oleh kenaikan harga BBM bersubsidi pada bulan Juni 2013 dan melemahnya nilai tukar Rupiah. Puncak tekanan inflasi terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2013 dengan catatan inflasi mencapai 8,6% dan 8,8% (YoY). Dan setelah itu laju inflasi mulai mereda hingga mencapai 8,4%, pada akhir tahun 2013 (YoY). Hal ini menunjukkan tekanan inflasi terbesar sebagai dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi telah mereda. Melambatnya laju inflasi disebabkan oleh terjadinya deflasi pada kelompok pangan dan sandang. Sementara itu, pada periode yang sama laju inflasi inti (core inflation) relatif stabil pada level 4,73%. Inflasi pada tahun 2013 tidak sebaik pencapaian pada tahun 2012. Pada tahun 2012 inflasi tercatat cukup stabil sebesar 4,3%.

Suku Bunga Acuan (BI Rate) meningkat untuk memangkas defisit neraca perdagangan

Tekanan inflasi akibat kenaikan harga BBM besubsidi mendorong BI untuk mengetatkan kebijakan moneter. Bank Indonesia sejak bulan Juni 2013 sampai dengan November 2013 telah menaikkan bunga acuan sebanyak 150 bps menjadi 7,5%. Selain untuk meredam Rupiah kenaikan bunga acuan tersebut dilakukan untuk mengatasi defisit neraca berjalan dan untuk mengerem laju pertumbuhan kredit untuk mencegah overheating perekonomian.

Kenaikan BI rate mendorong perbankan menaikkan suku bunga deposito. Sejak bulan Mei sampai dengan Oktober 2013 rata-rata suku bunga deposito Rupiah satu bulan naik 160 bps dari 5,5% menjadi 7,1%. Pada periode yang sama di sisi pembiayaan, suku bunga kredit investasi, modal kerja, dan konsumsi sedikit meningkat, masing-masing dari 11,3%, dan 11,5% menjadi 11,7% dan 11,9%. Sementara itu suku bunga kredit konsumsi justru mengalami penurunan dari 13,4% menjadi 13,1% sedangkan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah selama tahun 2013 mengalami tren kenaikan sebagai dampak dari lonjakan inflasi dan juga arus modal asing keluar di pasar modal.

Yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun pada tahun 2013 ditutup pada posisi 8,48%, atau naik 328,7 bps dibandingkan penutupan tahun 2012 yang berada pada posisi 5,19%. Imbal hasil tersebut sempat menyentuh posisi tertingginya pada level 8,79% di awal Desember. Pasar obligasi mengalami tekanan akibat adanya aliran modal asing keluar pada bulan Juni yang mencapai Rp20 Triliun. Namun tidak seperti pasar saham yang sampai saat ini terus mengalami aksi jual asing, pasar obligasi pemerintah telah mencatatkan net foreign inflow sejak bulan September hingga Desember 2013 yang jumlahnya mencapai Rp40 Triliun.

Nilai Tukar Rupiah melemah terhadap USD di Semester II

Rupiah mengalami depresiasi cukup signifikan selama tahun 2013. Tekanan terbesar terjadi mulai pada bulan Mei ketika The Fed mengumumkan rencana pengurangan (tapering) stimulus quantitative easing. Tekanan terhadap Rupiah terus terjadi sampai pada akhirnya The Fed pada FOMC Meeting tanggal 18 Desember 2013 menyatakan akan mulai melakukan tapering pada bulan Januari 2014. Selama tahun 2013 Rupiah telah mengalami depresiasi sebanyak 26,7% menjadi Rp12.210 dari Rp9.655 per USD pada akhir tahun 2012.

Selain ketidakpastian akan rencana pengurangan stimulus The Fed, faktor global lain yang akan memicu volatilitas Rupiah adalah perlambatan perekonomian emerging markets dan ketidakpastian kondisi fiskal AS karena efek dari ketidakpastian politik. Sementara itu dari dalam dalam negeri, volatilitas dipicu oleh kondisi neraca berjalan dan neraca perdagangan (ekspor-impor) yang terus mengalami mengalami defisit. Defisit neraca berjalan telah mengalami penurunan dari 4,4% pada Q2-2013 menjadi 3,8% pada Q3-2013.

Sementara itu, neraca perdagangan telah mengalami surplus pada bulan Desember 2013 sebesar USD1,5 Miliar. Surplus neraca perdagangan didorong oleh meningkatnya ekspor migas seiring kenaikan harga migas. Meski demikian total defisit selama periode Januari – Desember 2013 mencapai USD4,1 Miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2012 yang sebesar USD853 Juta karena ekspor sepanjang 2013 cenderung melambat.

Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Domestik Tahun 2014

Pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2014 kemungkinan akan membaik. IMF memprediksi perekonomian global akan tumbuh 3,7%, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi global tahun 2013 yang diprediksi sebesar 3,0%. Sementara itu, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2014 akan meningkat menjadi 3,1% dari 2,3% pada tahun 2013. Membaiknya pertumbuhan ekonomi global akan ditopang oleh membaiknya kondisi ekonomi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara kawasan Eropa. Membaiknya perekonomian AS turut didukung oleh terus membaiknya kondisi ketenagakerjaan dan meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat. Membaiknya kondisi ekonomi Eropa didukung oleh terus membaiknya kinerja pertumbuhan ekonomi Jerman. Sementara itu, Bank Dunia menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2014 menjadi 3,2%.

Proyeksi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi Juni 2013 lalu yang sebesar 3%. Pertumbuhan negara-negara maju dinaikkan menjadi 2,2% dari 2% seiring mulai melonggarnya kebijakan fiskal untuk menopang pertumbuhan ekonominya. Melonggarnya kebijakan fiskal tersebut diharapkan berkontribusi terhadap perekonomian negara-negara maju dan juga berdampak positif terhadap ekspor negara-negara berkembang. Dengan perkembangan hingga 2013, Bank Indonesia masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kisaran 5,5 - 5,9% di tahun 2014.

Sementara itu Perseroan memprediksi ekonomi nasional pada tahun 2014 akan tumbuh sedikit melambat ke 5,6% di 2014 dipengaruhi oleh prospek ekonomi global yang masih berfluktuasi serta dampak dari kebijakan moneter yang ketat. Selain itu, ekonomi yang sedikit melambat juga dipengaruhi oleh aliran investasi yang tidak sebesar tahun sebelumnya. Kondisi ekonomi global pada tahun 2014 masih diwarnai oleh beberapa risiko. Yang pertama adalah mulai dilakukannya tapering stimulus moneter The Fed akan akan berdampak kepada volatilitas pasar finansial global. Meski The Fed sudah menyatakan akan mempertahankan bunga rendah sampai dengan tahun 2015, namun imbal hasil surat berharga Pemerintah AS bertenor 10 tahun telah mengalami kenaikan hingga ke level tertingginya sejak Juli 2011 di atas 3%. Kenaikan tersebut menyebabkan spread antara imbal hasil obligasi Pemerintah AS dengan aset-aset emerging market mengecil sehingga mendorong aliran modal kembali ke AS. Terjadinya capital outflow tersebut turut berimbas kepada volatilitas nilai tukar mata uang emerging markets, termasuk Indonesia.

Risiko kedua adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, terutama China. Pemerintah China cenderung melakukan kebijakan yang bersifat jangka panjang dan membiarkan pertumbuhan ekonominya melambat dalam jangka pendek. Melambatnya perekonomian China juga akan berdampak kepada emerging market lainnya seperti India dan juga Indonesia. Perlambatan pertumbuhan emerging markets menyebabkan arus modal ke kawasan tersebut terus melambat. Perkembangan ekonomi global akan turut berdampak kepada kinerja perekonomian Indonesia pada tahun 2014. Membaiknya perekonomian AS akan berdampak positif kepada kinerja ekspor Indonesia. Meski demikian, mulai dilakukannya tapering stimulus The Fed masih akan menyebabkan volatilitas nilai tukar Rupiah yang akan mengganggu stabilnya perekonomian nasional. Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah juga masih akan dipengaruhi oleh kondisi neraca transaksi berjalan yang masih akan mengalami defisit.

Banyak pengamat memprediksi defisit transaksi berjalan (current account deficit atau CAD) akan mencapai 3,3% terhadap PDB di akhir tahun 2013 dan menurun menjadi 2,7% di tahun 2014. Laju inflasi diprediksi akan melambat pada tahun 2014 menjadi sebesar 5,3% dari 8,4% di tahun 2013 lalu. Prediksi ini didasarkan kepada perkembangan laju inflasi terkini dan asumsi bahwa tidak ada penyesuaian harga BBM bersubsidi pada tahun 2014 serta rencana peningkatan tarif listrik konsumen industri dengan skala antara 8,6% - 13,3% yang berlaku setiap dua bulan sekali mulai 1 Mei 2014.

Dengan melihat berbagai perkembangan kondisi ekonomi dan pasar finansial global maupun domestik, Rupiah diprediksi pada kuartalI dan II tahun 2014 akan berada pada kisaran Rp12.100 dan Rp12.300 per USD. Rupiah kemungkinan baru akan mengalami apresiasi pada kuartal III dan IV 2014 ke level Rp11.800 dan Rp11.400 per USD. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa penyelenggaraan Pemilu 2014 akan berjalan lancar, dan presiden terpilih sesuai ekspektasi pasar. Perseroan memperkirakan BI rate pada tahun 2014 akan naik menjadi 7,75%. Hal ini didasarkan kepada masih adanya tekanan terhadap nilai tukar Rupiah seiring dimulainya tapering The Fed dan meningkatnya risiko politik menjelang Pemilu 2014.

Dalam dokumen AR Semen Indonesia 2013. pdf (Halaman 188-191)