• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebijakan

Kebijakan merupakan dasar pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan dengan maksud membangun landasan yang jelas dalam mengambil keputusan dan langkah yang akan dilaksanakan (Dunn, 1998). Menurut Quade (1998) analisis kebijakan merupakan analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan. Sedangkan Dunn (1998) menyebutkan analisis kebijakan adalah setiap analisis yang menghasilkan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi pengambil kebijakan atau keputusan. Studi kebijakan merupakan disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metoda penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan pada tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah publik (Dunn, 1998).

Pengambilan keputusan atau kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan model kebijakan karena merupakan sajian sederhana mengenai aspek terpilih dari situasi problematis didasari atas tujuan-tujuan khusus. Model- model kebijakan tersebut yaitu model deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model perspektif (Dunn, 1998). Lebih lanjut disebutkan, dari beberapa model yang dikenali dalam merumuskan kebijakan tidak satupun model yang dianggap baik, karena masing- masing model memfokuskan perhatian pada aspek yang berbeda.

Analytical Hierarcy Process (AHP)

Sumber kerumitan pengambilan keputusan (kebijakan) bukan hanya pada faktor ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi dan data saja, tetapi masih terdapat penyebab lain seperti banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap pilihan-pilihan yang ada dengan beragam kriteria dan jika pembuatan keputusan lebih dari satu, maka hal ini merupakan suatu bentuk penyelesaian yang kompleks (Kosasi, 2002).

Salah satu model analisis data yang dapat digunakan untuk menelaah kebijakan adalah AHP dikembangkan oleh Saaty (1991). Model ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prio ritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik (Saaty, 1991). Dalam perkembangannya metode AHP tidak saja digunakan untuk menentukan prioritas pilihan dengan banyak kriteria (multikriteria), tetapi dalam penerapannya telah meluas sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam- macam masalah seperti memilih portofolio yang menguntungkan, analisis manfaat biaya dan membuat ramalan. Hal ini dimungkinkan karena metode AHP dapat digunakan dengan cukup menga ndalkan pada instuisi atau persepsi sebagai masukan utamanya, namun instuisi atau persepsi tersebut harus datang dari orang yang mengerti permasalahan, pelaku dan pembuat keputusan yang memiliki cukup informasi dan memahami masalah keputusan yang dihadapi (Kosasi, 2002).

Motode AHP ditujukan untuk memodelkan perihal tidak terstruktur baik dibidang ekonomi, sosial, maupun manajemen. Penerapan metode ini membuka kesempatan adanya perbedaan pendapat dan konflik sebagaimana terdapat dalam kenyataan sehari- hari dalam usaha mencapai konsensus (Eryatno, 1996). AHP merupakan alat analisis yang dapat dipakai pada kondisi ketidakpastian informasi, keterbatasan data dan beragamnya kriteria pengambilan keputusan (Saaty, 1991).

Pendekatan AHP merupakan salah satu alat untuk memilih alternatif kebijakan serta dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP dipilih karena memiliki keunggulan dalam memecahkan permasalahan komplek dimana aspek atau kriteria dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria alternatif yang dipilih cukup banyak. Selain itu AHP juga mampu menghitung validasi sampai pada pengambilan keputusan. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Dengan hierarki suatu masalah yang komplek dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki (Suryadi dan Ramdhani, 1998).

Mulyono (1998) in Kosasi (2000) menyebutkan bahwa dalam menyelesaikan persoalan dengan menggunakan AHP ada beberapa prinsip yang harus menjadi perhatian sebagai berikut:

1. Decomposition; yaitu memecahkan persoalan yang utuh menjadi unsur-unsur. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat maka pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut sehingga didapatkan beberapa tingkatan persoalan.

2. Comparative judgemen, prinsip ini mengandung arti membuat penilaian

tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Ini merupakan inti dari metoda AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen yang ada. Hasil analisis AHP akan lebih baik bila dituangkan dalam bentuk matriks berpasangan yang sering disebut" pairwise comparation".

3. Synthesis of priority, dari setiap matrik pairwise comparasion lalu dicari eigen vektornya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks pairwise

comparation terdapat pada setiap tingkatan, maka untuk mendapatkan global

priority harus dilakukan sintesis diantara local priority. Prosedur melakukan sintesis berbeda dengan bentuk hirarki. Pengurutan elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting.

4. Logical consistency; dalam hal ini konsistensi memiliki 2 makna, pertama

bahwa obyek-obyek serupa dapat dikelompokan sesuai dengan keseragaman dan relevansi dan kedua tingkat hubungan antar obyek-obyek didasarkan pada kriteria.

Sifat data yang diperlukan dalam metode AHP berupa pesepsi atau

judgement, membuat AHP mudah digunakan terutama di negara berkembang

dengan kualitas data sekunder sering dipertanyakan keakuratanya. Saaty (1991) menyebutkan beberapa keuntungan dari metode AHP yaitu;

1. AHP memberi suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persolan tidak terstruktur.

2. AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dan pemecahan persoalan kompleks.

3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan memaksakan pemikiran linier.

4. AHP menuntun kesuatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan suatu alternatif.

5. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda.

6. AHP mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik beradasarkan tujuan mereka.

Pendekatan AHP dalam Kerangka Manfaat Biaya

Barbier (1991) in Barton (1994) menyebutkan bahwa pendekatan AHP dalam kerangka manfaat biaya merupakan suatu alternatif tradisional dari alokasi sumberdaya untuk mendapatkan pilihan terbaik dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Sedangkan Saaty (1991) menyebutkan bahwa AHP dalam kerangka manfaat biaya merupakan metoda praktis untuk ;

- Memutuskan apakah akan melaksanakan suatu proyek,

- Memilih aktifitas paling produktif dengan rasio manfaat biaya tertinggi, - Memilih proyek yang manfaatnya dapat didistribusikan diantara penduduk

dengan cara yang khusus,

- Memaksimumkan manfaat total dalam kendala tertentu (seperti anggaran), - Meninjau ulang seperangkat proyek yang ada, untuk melihat kemungkinan

untuk menghapus atau merelokasi sumberdaya.

Penelitian dengan pendekatan metode AHP dalam kerangka manfaat biaya yang pendekatannya sama-sama bertujuan untuk me mperoleh alokasi optimal dari pemanfaatan sumberdaya. Menurut Saaty (1991) konsep-konsep pokok dari AHP dalam kerangka manfaat dan biaya adalah sebagai berikut:

1. AHP mampu mengkonversi faktor faktor yang tidak terukur (intangible) ke dalam aturan biasa yang memungkinkan untuk perbandingan dan evaluasi. 2. AHP dapat digunakan untuk memecahkan pengambilan keputusan manfaat

biaya yang kompleks dan mengalokasikan sumberdaya dan aktifitas campuran.

3. Ada dua tujuan pengalokasian sumberdaya yaitu, pertama untuk menangani kriteria berkaitan dengan evaluasi manfaat atau keuntungan berbagai alternatif kedua yang berkaitan dengan biaya atau kerugian.

Dengan demikian pendekatan AHP dalam kerangka manfaat biaya dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan faktor yang intangible sehingga perhitungan manfaat biaya atau dapat dilakukan sebagaimana mestinya.

Pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya. Pemecahan permasalahan dan solusi guna mendapatkan skenario yang optimal dari pengembangan perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur, maka untuk menyusun suatu analisa yang mengapliksi dua pendekatan (pendekatan manfaata biaya) tersebut perlu diketahui lebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi manfaat dan biaya dalam pengembangan perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Analisis SWOT

Analisis SWOT disebut juga analisis situasi atau analisis KEKEPAN (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) yaitu suatu analisis kualitatif yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistemantis untuk memformulasikan strategi suatu kegiatan (Rangkuti, 2000). Analisis SWOT didasarkan pada logika untuk memaksimalkan kekuatan (Strenghts) dan peluang

(Opportunities) namum secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan

(Weaknesses) dan ancaman (Threats) (Rangkuti, 2000 in Marimin, 2004). Salah

satu strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan perikanan adalah analisis SWOT, karena memiliki kelebihan yaitu sederhana, fleksibel, menyeluruh, menyatukan dan elaborasi. Melalui analisis SWOT dapat diketahui keterkaitan antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) sehingga dapat menghasilkan alternatif strategis.

David (2002) menyebutkan analisis SWOT merupakan alat pencocokan penting yang dapat membantu pimpinan mengembangkan 4 strategi yaitu strategi SO, strategi WO, strategi ST dan strategi WT. Lebih lanjt dikatakan David (2002) bahwa mencocokan faktor internal dan eksternal merupakan bagian sulit untuk mengembangkan matriks SWOT dan memerlukan penilaian yang baik serta tidak ada satupun kecocokan terbaik. Strategi SO (Strenghts-Opurtinity) atau strategi menggunakan kekuatan internal untuk memanfaatkan peluang eksternal, Strategi WO (Weaknesess–Opurtinity) atau srategi yang bertuj uan untuk mengatasi internal kelemahan dengan memanfaatkan peluang eksternal, strategi ST

(Strenght–Threats) atau strategi menggunakan kekuatan internal untuk mengatasi dampak ancaman eksternal, strategi WT (Weaknesess–Threats) atau strategi mengurangi kelemahan internal untuk menghadapi ancaman eksternal yang akan datang (Rangkuti, 2000).

Fungsi dan Kewenangan

Nikijuluw (2002) menyebutkan bahwa keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara penuh atau sebagian memiliki alasan dasar atau prinsip yang sama dengan keterlibatan pemerintah pada sektor ekonomi lain yaitu untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan sumberdaya perikanan. Ini diwujudkan dalam fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi dilakukan melalui relokasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi distribusi dijalankan agar terwujudnya keadilan dan kewajaran sesuai dengan pengorbanan dan biaya yang dipikul setiap orang. Sementara itu fungsi stabilisasi dilakukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak berpotensi instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan sosial ekonomi masyarakat. Keterlibatan pemerintah dalam pengembangan perikanan wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur dapat dilihat dari peran berdasarkan payung hukum berupa peraturan, perjanjian, kerjasama, kesepakatan, anggran dasar dan anggaran rumah termasuk kearifan lokal yang berlaku.

Jentoft (1989 in Nikijuluw (2002) mengatakan bahwa pemerintah harus terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena 3 alasan dasar yaitu:

1. Alasan efisiensi, keikutsertaan pemerintah dalam mengelola sumberdaya

perikanan supaya efisiensi dapat ditingkatkan. Sumberdaya ikan (perikanan tangkap) bersifat open acsess dan public proverty yang pemanfatannya dapat membawa akibat eksternalitas dan deplesi sumberdaya. Untuk itu pemerintah perlu terlibat dalam mengatur pemanfatannya agar dampak eksternalitas dan deplesi sumberdaya dapat dikurangi atau dihindari.

2. Alasan keadilan, jika pemerintah tidak campur tangan maka pemodal kuat akan mengambil manfaat secara berlebihan dan membiarkan nelayan dan petani ikan yang bermodal kecil bahkan tidak punya modal dalam kemiskinan

dan kemalaratan. Selanjutnya pada saat ketimpangan sudah terlalu lebar dan matang serta sulit diatasi maka hal ini dapat menjadi sumber konflik.

3. Alasan administrasi, asumsi dan fakta menyatakan bahwa pemerintah berhak menjalankan administrasi dengan otoritas dan kemampuannya. Dengan otoritas dan kemampuan pemerintah dapat melaksanakan peran dan fungsi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Peran pemerintah sangat diperlukan dalam menjalankan kegiatan yang tidak langsung menghasilkan keuntungan ekonomi, artinya tanpa insentif tidak ada pihak swasta mau melakukannya.

Peran pemeritnah tetap diperlukan dimasa datang, salah satunya atas permintaan lembaga dunia Food Agriculture Organization (FAO) melalui Code

of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) agar setiap negara berdaulat

memaksimalkan peran yang signifikan untuk mewujudkan pembangunan perikanan yang bertanggungjawab dengan prinsip-prinsip (Nikijuluw, 2002) sebagai berikut :

1. Setiap negara harus melakukan konservasi ekosisitem perairan.

2. Setiap negara harus mencegah dan menghindari kelebihan jumlah dan kapasitas penangkapan.

3. Setiap negara harus menjamin dalam pembangunan harus dalam kerangka dan konteks pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan terintegrasi. 4. Setiap negara harus menerapkan prinsip kehati- hatian dalam pengelolaan

sumberdaya perikanan.

5. Setiap negara yang memberikan izin penangkapan ikan atau usaha perikanan harus mampu melakukan pengawasan dan pengendalian secara efektif.

6. Setiap negara sesuai dengan kompetensi dan hukum internasional harus bekerjasama dengan berbagai pihak sebagai upaya mempromosikan konservasi dan pelaksana pembangunan perikanan yang bertanggungjawab 7. Setiap negara sesuai dengan peraturan yang berlaku dinegaranya harus menjamin bahwa proses pengambilan keputusan dibuat secara transparan untuk mengahadapi masalah- masalah yang dihadapi.

8. Setiap negara harus bekerjasama untuk memecahkan perselisihan dan perbedaan pendapat dengan cepat dan damai koorperatif.

9. Setiap negara harus mengakui dan menyadari bahwa nelayan dan pembudidaya patut mendapatkan pemahaman yang benar terhadap konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Karena itu harus mengembangkan penyadaran masyarakat melaui pendidikan, penyuluhan dan pelatihan.

10. Setiap negara harus menjamin bahwa sarana dan prasarana penangkapan dan budidaya memenuhi standar internsional. Sarana dan prasarana tersebut harus menjamin keselamatan nelayan dan petani ikan serta masyarakat.

11.Setiap negara harus mempertimbangkan kegiatan budidaya dan perikanan tangkap berbasis budidaya sebagai strategi diversifikasi usaha dan peningkatan pendapatan.

Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut yang mana ke arah darat meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan rembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian yang masih dipengaruhi proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun oleh kegiatan masnusia seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Supriharyono, 2000). Beberapa pakar terutama pakar ilmu sosial berpendapat bahwa wilayah pesisir juga tidak bisa dilepaskan dari permasalahan sosial ekonomi masyarakat pesisir itu sendiri (Supriharyono, 2000).

Wilayah pesisir merupakan suatu ekosistem yang unik, Dahuri et al. (2001) menyebutkan dalam suatu wilayah pesisir terdapat 1 atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Lebih lanjut disebutkan Dahuri et al. (2001)

bahwa ekosistem tersebut ada yang secara terus menerus dan berkala tergenang air seperti; hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, rumput laut, estauria, pantai berpasir, pantai berbatu, pulau-pulau kecil dan laut terbuka. Disamping itu terdapat juga ekosisitem pesisir tidak tergenang air (uninundated coast) seperti formasi Pescarpae yang didominasi oleh vegetasi pionir khususnya kangkung laut

(Ipomea pescarpae) dan formasi barington dimana ekosisitem ini berkembang

tumbuh. Habitat berbatu ditandai oleh komunitas rerumputan dan belukar yang dikenal dengan formasi baringtonia. Burbrige dan Maragos (1985) in Dahuri et al.

(2001) mengusulkan suatu sistem klasifikasi lebih sederhana dan fungsional dengan 10 tipe ekosistem ya itu; agroekosisitem, tambak, rawa air tawar, pantai, estuaria, hutan rawa pasang surut, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, ekosistem demersal (dasar laut), dan ekosistem pelagik (laut permukaan).

Wilayah pesisir Kabupaten Tanj ung Jabung Timur, seperti halnya pesisir timur pulau Sumatera memiliki karakteristik pantai relatif lebih datar, umumnya terbentuk dari tanah aluvial ya ng merupakan endapan sedimen, umumnya relatif datar dan berlumpur (mud flat), banyak muara sungai dan hamparan hutan mangrove di sepanjang pantainya (Kasry, 1997). Wilayah daratan pada pesisir timur Sumatra, termasuk pesisir Tanjung Jabung Timur menurut Verstappen (1964a;1964b) in Kasry (1997) bahwa pembentuk utama adalah sedimentasi.

Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir

Manurung et al. (1997) mengatakan bahwa “pengembangan” merupakan suatu proses membawa peningkatan kemampuan penduduk (khususnya di pedesaan) mengenai lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatkan taraf hidup mereka sebagai akibat dari penguasaan sumberdaya alam. Dengan kata lain pengembangan merupakan proses menuju pada suatu kemajuan atau keadaan yang lebih baik dari yang ada pada saat ini. Rustiadi et al. (2004) menyebutkan bahwa pengembangan merupakan pembangunan dalam arti luas mencakup aspek spasial , sosial ekonomi dan lingkungan dari apa yang sudah ada agar lebih baik lagi.

Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan kesejateraan masyarkat dan pendapatan negara melalui penerapan teknologi yang lebih baik dan ramah lingkungan. Barus et al. (1991) berpendapat bahwa dalam pengelolaan dan pengembangan perikanan di wilayah pesisir harus memperhatikan aspek biologis, teknis, sosial budaya dan ekonomi.

Pada wilayah pesisir terdapat beberapa sektor perikanan yang dapat diusahakan atau dikembangkan seperti; budidaya laut dan pantai (culture), penangkapan (capture), pengolahan hasil serta sektor hulu dan hilir dari kegiatan perikanan. Sektor perikanan mempunyai keterkaitan ke belakang “backward

linkages” dan keterkaitan ke depan “forward linkages” yang luas, sehingga bila sektor ini dikembangkan secara baik besar artinya bagi pengembangan ekonomi di wilayah tersebut. Sektor perikanan merupakan sektor yang menghasilkan produk yang memiliki dampak terbentuknya usaha sektor usaha hulu dan hilir yang cukup banyak seperti industri pembuatan kapal, alat tangkap, pengolahan hasil, pembibitan ikan, pabrik es, usaha pakan dan tepung ikan, transportasi, perdagangan dan bahan pengawet alat tangkap.

Pengembangan perikanan pesisir merupakan bagian dan sejalan dengan program Gerakan Nasional Pengembangan Kelautan dan Perikanan (GERBANG MINA BAHARI) yang dicanangkan Presiden Megawati Oktober 2003. Program ini dilaksanakan serentak dan terpadu serta dikendalikan diseluruh daerah meliputi pesisir, laut dan perairan tawar potensial (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003). Provinsi Jambi telah menindaklanjuti GERBANG MINA BAHARI dengan pencanangan gerakan ini oleh Gubernur Jambi pada tanggal 28 November 2004 di Kuala Tungkal Kabupaten Tanj ab Barat (Jambi Ekpres 29 Novemper 2004). Pencanangan GERBANG MINA BAHARI di Provinsi Jambi merupakan komitmen untuk mengembangkan potensi perikanan di Provinsi Jambi, termasuk pengembangan perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Potensi Perikanan Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir dan lautan, ditinjau dari berbagai macam peruntukanya merupakan wilayah yang sangat produktif, hal ini ditandai juga dengan tingginya produktivitas primernya. Produktivitas primer wilayah pesisir seperti estuaria, hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang ada yang mencapai lebih dari 10.000 gram C /m2//tahun yaitu 100-200 kali lebih besar dibandingkan dengan produktifitas primer perairan laut bebas (Kasry, 1997). Tingginya produktivitas primer wilayah pesisir mengindikasikan tingginya proktivitas sekunder dan tersier berupa ikan dan hewan laut lainnya (Supriharyono, 2000).

Perairan pesisir dan laut Jambi menurut Martosubroto (1973) in Kasry (1997) memiliki potensi perikanan cukup besar yaitu densitas ikan demersal sebesar 0.6-0.8 ton/km2. Hasil survey Ditjen Perikanan menemukan bahwa densitas stok ikan pelagis sebesar 4.60 ton/km2, ikan demersal 4.00 ton/km2 dan udang 0.90 ton/km2 (Susanto, 1985). Menurut laporan Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Tanjung Jabung Timur potensi perikanan tangkap di wilayah ini mencapai 76 500 ton/tahun berupa ikan, udang, cumi-cumi, ubur-ubur kerang, kepiting dengan hasil tangkapan tahun 2004 sebanyak 28 842.6 ton. Jenis-jenis hewan laut penting yang merupakan hasil tangkapan nelayan di perairan Tanjung Jabung Timur antara lain; udang windu, udang belalang, udang kuning, kakap, kerapu, bawal, senangin, manyung, tenggiri, kembung, gerot- gerot, selar, kepiting, kerang darah, ubur- ubur, cumi-cumi, beronang, layur dan rajungan. Budidaya tambak memiliki prospek besar di Kabupten Tanjab Timur dengan potensi tambak seluas 18 757 Ha.

Penelitian Terdahulu

Leung et al. (1998) menganalisis pengembangan perikanan tangkap ikan pelagis di laut Hawai yang menempatkan aspek biologi merupakan prioritas pertama yang perlu diperhatikan dibanding dengan aspek ekonomi, sosial ma upun politik. Selanjutnya Leung el al. (1998) melaporkan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) kebijakan prioritas dalam pengelolaan perikanan pelagik yang berkelanjutan adalah pengetatan ukuran kapal

(restricted vessel size). Alpizar (2005) melaporkan bahwa keberhasilan dalam

pengelolaan perikanan pesisir di Costa Rica memberikan hasil yang lebih baik bila ada kerjasama dan koordinasi yang baik antara sesama instansi pemerintah dan kelompok masyarakat maupun lembaga nonpemerintah (LSM atau koperasi). Tomboelu el al. (2000) menggunakan AHP dalam kerangka manfaat biaya ternyata bahwa dari berbagai skenario kebijakan dalam pengelolaan terumbu karang di kawasan Bunaken Sulawesi Utara dan sekitarnya menyimpulkan bahwa daerah tersebut memberikan nilai manfaat/biaya atau Benefit/Cost (B/C) terbesar yaitu 1.565 bila kawasan tersebut diperuntukan menjadi kawasan pariwisata yang memperhatikan konservasi bila dibandingkan dimanfaatkan untuk Kawasan konservasi dengan nilai B/C hanya sebesar 0.748 atau untuk kawasan pariwisata saja dengan nilai B/C hanya sebesar 0.734.

Ariadi (2003) melaporkan hasil penelitiaannya di Kepulauan Seribu, ternyata dari analisis dengan pendekatan AHP dalam kerangka manfaat biaya menyimpulkan bahwa skenario kebijakan prioritas adalah memanfaatkan kawasan

Kepulauan Seribu menjadi kawasan gabungan (konservasi, pariwisata dan budidaya laut) pada daerah-daerah tertentu dengan nilai B/C sebesar 5.93. Menurut Ariadi (2003) bila kawasan tersebut hanya dikembangkan marikultur (budidaya laut) atau pariwisata yang memperhatikan konservasi saja hanya menghasilkan nilai B/C masing- masing sebesar 0.220 dan 0.490. Pengelolaan Kepulauan Seribu sebagai kawasan pengembangan marikultur saja biasanya menguntungkan bila ditinjau dari aspek ekonomi, tetapi dalam analisis ini terlihat tidak menguntungkan. Oleh karena itu untuk kepentingan jangka panjang dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan menghasilkan pengelolaan yang optimal dari segi pelestarian pesisir dan laut pada kawasan tersebut maupun kelangsungan pengembangan ketiga kegiatan

Penelitian menggunakan AHP dalam kerangka manfaat biaya juga dilakukan oleh Rifki (2002) yang melaporkan bahwa dari beberapa skenario kebijakan dalam rangka pengembangan perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Padang Pariaman ternyata skenario yang optimal dengan memberikan nilai B/C terbesar adalah bila dilakukan pengkayaan sumberdaya perikanan dan penanaman rumpon yaitu sebesar 3.661. Rifki memberikan alasan bahwa dengan adanya rumpon yang merupakan tempat berlindung dan mencari makan ikan laut menyebabkan penangkapan ikan lebih efisien karena nelayan tidak perlu jauh-jauh ke tengah laut, dapat menghemat bahan bakar dan ikan yang berkumpul juga